15 • Game Over

🍬🍬 ------------------------------
when someone takes responsibility without force, that is love
------------------------------ 🍬🍬

Noted ya, 600 ⭐ aku next, jangan pelit-pelit 😂🤭🤣

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

SEMULA Hawwaiz ingin menyiapkan sesuatu di hari spesial Vira, tapi melihat drama kehidupan yang kini sedang ada di depan matanya rasanya semua itu tidak perlu dilakukan lagi. Kata calon istri yang keluar dari bibir Heffry masing terngiang-ngiang di telinganya. Apalagi melihat perhatian Vira pada pria itu ketika dia rawat di rumah sakit. Ini bukan tentang kemanusiaan, tapi tentang harga sebuah hati yang harus dijaga.

Pagi itu Hawwaiz telah bersiap. Dia hanya kembali ke flat untuk mandi setelah semalaman terjaga karena harus mengerjakan laporan. Jangan lagi bertanya bagaimana dengan kantung matanya, yang jelas tampilan Hawwaiz sekarang tidak kalah amburadul dari hatinya. Cambangnya mulai tumbuh dan Hawwaiz memilih membiarkannya. Selama tidak masuk ke ruangan operasi, rambut-rambut halus itu tidak mengganggu aktivitasnya.

"Morning, Hawwaiz." Clara meletakkan satu cup teh panas yang masih mengepul asapnya di depan Hawwaiz.

"Thanks, Claire. You always know what I need now," kelakar Hawwaiz mengambil cup teh pemberian Clara.

"I know you don't like coffee as a sedative after finishing work."

Hawwaiz mengangguk setuju. Pagi itu mendadak konsulennya mengadakan ujian tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sehingga siap tidak siap Hawwaiz, Clara, dan yang lainnya pun harus melewati semuanya.

"No need to ask, we are sure you can pass this impromptu exam very well." Clara mengangkat jempol tangannya dan menunjukkan pada Hawwaiz.

"We are very worthy of that praise," jawab Hawwaiz merendah.

Kembali pada aktivitas, panggilan darurat yang membuat semuanya berhamburan menuju pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Clara masih berdiri di samping Hawwaiz menangani pasien yang baru saja tiba dengan luka yang cukup serius. Dejavu yang membuat Clara akhirnya memutuskan untuk bicara dan bertanya pada Hawwaiz.

"Hawwaiz, I want to talk to you."

Wajah serius yang ditunjukkan Clara membuat Hawwaiz terpaku sejenak lalu menganggukkan kepalanya. Mereka memilih menikmati waktu istirahat bersama di kafetaria rumah sakit.

Baru saja mereka akan melangkahkan kaki memasuki area kafetaria, sosok wanita yang ingin Clara sampaikan pada Hawwaiz telah lebih dulu berada di sana. Vira terlihat membawa makanan yang sengaja dibungkus yang kini menggantung di lengannya.

Clara tersenyum ramah. Namun, kecanggungan jelas sekali terlihat antara Vira dan Hawwaiz. Akhirnya Vira hanya mengangguk kaku lalu memilih berlalu tanpa berniat menyapa Hawwaiz lebih karena semakin lama dia melihat kebersamaan Hawwaiz dengan Clara maka semakin bertambah sakit yang mendera dalam hatinya.

Harusnya Hawwaiz mengejar dan bertanya pada Vira, tapi suara Clara lebih dulu membuat refleks kakinya mengikuti gerakan wanita itu masuk kafetaria.

"Do you know the future wife of a patient from Indonesia who was operated on because of a displaced scapula?" tanya Clara setelah mereka mendapatkan tempat duduk.

"Her name is Vira," jawab Hawwaiz tanpa menunggu lama.

Clara menatap Hawwaiz tanpa suara sampai akhirnya Hawwaiz tersadar bahwa hal yang akan dibicarakan Clara adalah tentang Vira.

"Do you mean you want to talk with me because of Vira?" tanya Hawwaiz memicingkan mata curiga.

"In a first time I met her, she ask me about us." Clara mendesah perlahan memulai ceritanya. Hawwaiz yang semula tidak tertarik membicarakan Vira perlahan menghentikan kegiatannya.

"Do you love her?" tanya Clara tiba-tiba yang membuat Hawwaiz tersedak ludahnya sendiri.

Clara tertawa melihat sikap Hawwaiz. Lalu dia kembali bicara meski mungkin Hawwaiz tidak menyukainya. Namun, menurut Clara berkata jujur itu jauh lebih baik walau kadang terdengar menyakitkan.

"It's not difficult for a woman to fall in love with a man like you. But maybe it will be difficult for you to love."

Hawwaiz kembali mengerutkan keningnya, tapi dia masih diam menunggu Clara menyelesaikan kalimatnya dengan baik.

"The warmth of your attitude sometimes makes women feel special, maybe if I didn't realize that we were different I would have fallen in love with you first." Clara tertawa lirih. "You really deserve to be loved, Hawwaiz. Kind, helpful, friendly, and all your kindness is welcome."

"Okay, what's the point?" tanya Hawwaiz mempersingkat semuanya.

"I've never seen you look at a woman with adoring eyes like when you looked at Vira. So, it's not wrong if I think like that, right?" Clara memainkan kedua alisnya supaya menghilangkan ketegangan di wajah Hawwaiz.

"Are you crazy?" Hawwaiz tersenyum miring. Lalu memilih untuk menyantap makanan yang sudah tersedia di depan mereka. "Let's back to the topic. What do you want to tell about Vira at your first meeting?"

"She asked me, did we in a relationship?" jawab Clara kembali ke mode serius.

"What?" Hawwaiz tidak percaya.

"You know? That was the most impolite question I've ever heard from someone I just met."

Hawwaiz mendesah kecewa. Tidak perlu tinggal di Inggris dalam waktu yang lama untuk bisa mengerti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terlebih sebagai pendatang.

"Then, what do you answer?" tanya Hawwaiz selajutnya.

"Yes, I answered, we are in a relationship."

Jawaban Clara yang seketika membuat Hawwaiz menyudahi makannya. Dia langsung berdiri dan meninggalkan Clara di tempatnya. Ada hal yang harus dijelaskan walau mungkin itu tidak akan berarti lagi bagi Vira. Setidaknya jika mereka memang tidak berjodoh, itu bukan karena pengkhianatan yang dia lakukan.

Hawwaiz berjalan cepat menuju kamar rawat Heffry. Namun, sesampainya di sana dia mendapati kamar itu yang sudah kosong. Seorang pekerja yang bertugas membersihkan menyampaikan bahwa pasien telah diperbolehkan pulang oleh dokter.

Sepertinya ucapan Heffry adalah kebenaran yang harus dia percaya. Selama sepuluh hari menginap di rumah sakit, Hawwaiz hanya melihat Vira yang sibuk mengurus semua keperluan Heffry di rumah sakit. Dibantu oleh beberapa rekan kantornya. Hawwaiz sama sekali tidak pernah melihat orang tua Heffry datang menjenguk putranya. Bahkan saat Hawwaiz memeriksa semua dokumen yang membutuhkan tanda tangan wali pasien, nama Vira menjadi penjaminnya.

Hawwaiz memijit pelipisnya. Mengapa urusannya menjadi rumit seperti ini karena satu kesalahan yang pernah dia perbuat. Sekalipun Hawwaiz tahu di mana Heffry tinggal, dia tidak mungkin meninggalkan tugasnya di rumah sakit. Kegiatannya benar-benar padat. Satu minggu lagi ada ujian stase dan dia harus mempersiapkan diri dengan baik.

"El, why are you doing to me?" Hawwaiz bergumam lirih. "Bukankah kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu? Atau semua ini karena Om Arfan?"

Hawwaiz mendesah perlahan. Rasanya tidak akan pernah sanggup jika harus menerima kenyataan jika Vira diminta memilih dia atau orang tuanya. Satu jawaban yang bisa dipastikan sebelum pertanyaan itu ada yang membuat tulang persendian Hawwaiz lemas. Dunianya berubah menjadi gelap.

Ketika Hawwaiz membuka matanya, sebuah jarum infus sudah terpasang di lengan kirinya.

"What happen to me?" Hawwaiz meminta jawaban pada Shane–teman clerkshipnya. Selain Clara, Hawwaiz juga sangat dekat dengan Shane.

"Your blood pressure is very low and so is your oxygen saturation." Shane menggelengkan kepalanya. "Don't force too much. The body also needs rest, everything has a maximum limit," tambah Shane.

"How long do I have to lie down here?" Hawwaiz beringsut, tapi segera dicegah oleh Shane dan diceramahi kembali.

"I have to finish my job." Tangan Hawwaiz bergerak cepat untuk mengubah setelan infus supaya cairan yang masih ada di botol segera masuk ke tubuhnya.

Shane mendesah dan kembali menggelengkan kepalanya melihat tingkah calon dokter yang tampak tidak rela waktunya berlalu percuma dengan hanya berbaring sementara dia masih merasa cukup sehat.

"I wonder what exactly you want to prove. Meanwhile the world has recognized that you are very competent at this job."

"Aw," Hawwaiz memegang kepalanya. Ternyata rasa pusing masih belum menghilang.

"Take a rest, Hawwaiz. Love your body and give it its due!"

Shane meninggalkan Hawwaiz sendiri karena merasa gemas dengan sikap teman barunya itu. Seperti enggan mengindahkan kebaikan untuk kesehatannya atau mungkin rata-rata dokter memiliki prinsip demikian.

Tidak lebih dari satu jam, Hawwaiz sudah melepas jarum yang menancap di lengan kirinya. Meski dengan sedikit sempoyongan dia berusaha berdiri dan menyampaikan apa yang dirasakan kepada perawat jaga.

"You should ask Doctor Edward for take some permission. Rest at home, your face is very pale and your condition is too weak." Perawat senior yang bernama Bertha menasihati Hawwaiz.

Sepertinya kali ini dia harus mendengarkan pendapat sejawatnya. Tubuhnya sangat lemah untuk memberikan toleransi lebih. Daripada menanggung akibat yang jauh lebih besar daripada ini, Hawwaiz menyerah. Dia menemui Dokter Edward dan bergegas kembali ke flat untuk istirahat.

Namun, ketika sampai di flat gawainya bergetar dan pesan yang baru saja diterima dari Regita semakin membuat kepalanya berdenyut kencang.

Sam's Riverside

Sori, aku nggak bisa kasih info lebih.

Hawwaiz meletakkan gawainya di nakas. Dia masih belum berminat membalas pesan itu. Meski tidak begitu jelas, tapi dia paham nama tempat yang dituliskan Regita dalam pesannya itu tentu saja berkenaan dengan ulang tahun Vira.

Tiga hari yang akan datang, Hawwaiz tentu saja ingat tanggal keramat yang sangat istimewa bagi hidup Vira. Sebenarnya dia juga sudah menyiapkan hadiah yang pantas meski mungkin tak akan pernah Hawwaiz berikan untuk selamanya.

Wanita dan seperangkat perhiasan rasanya seperti hidup dan nadi yang sangat erat berdekatan. Satu set Swarovski telah Hawwaiz pesan khusus untuk hari spesial Vira. Namun, saat melihatnya lagi hatinya semakin menjerit karena mungkin dia tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk memberikannya pada wanita yang sangat dia cintai itu.

Tidak baik mengurungkan niat baik, bukankah hadiah itu sudah kamu siapkan untuk Vira apa pun yang akan terjadi nantinya? Suara hati Hawwaiz kembali membuatnya bingung harus melakukan apa.

Mengapa tidak bertanya, bukankah selalu ada jawaban yang benar di setiap pertanyaan itu? Hawwaiz mendesah resah.

Untuk apa dilakukan, jika jawabannya sudah didengarnya langsung dari orang yang menyebut sebagai calon takdirnya? Hawwaiz membaringkan tubuhnya kembali. Mencoba menghalau pertanyaan-pertanyaan yang kini memenuhi pikirannya. Dia butuh istirahat saat ini.

Yang terjadi justru Hawwaiz tak lagi bisa memejamkan matanya. Semua angannya justru memilih mengingat gulungan kenangannya bersama Vira, bagaimana awalnya dia bisa jatuh hati hingga akhirnya bisa cinta mati dengan gadis yang berusia lebih tua darinya.

Lagi-lagi Hawwaiz meringis, ini bukan tentang hatinya yang sakit, tetapi perutnya mulai melilit, perih hingga nyerinya terasa sampai ke ulu hati. Tak lama kemudian dia harus terbangun karena ingin memuntahkan isi dalam perutnya.

Badan yang lemas semakin melemah manakala hampir semua cairan tubuhnya mendesak berhamburan keluar. Sepertinya Hawwaiz menderita diare akut. Tak tahan dengan sakitnya, Hawwaiz segera mencari obat pereda nyeri yang dia miliki di kotak obat. Hanya sekilas membaca dan tangannya bergerak cepat merobek beberapa obat lalu menelannya dengan cepat.

Tidak langsung meredakan, tapi cukup membuat frekuensi ke belakang berkurang. Namun, satu jam berikutnya Hawwaiz bak bermandikan keringat dingin. Sementara pusing yang tak kunjung reda membuat tangannya memilih meraih gawai di nakas lalu menghubungi Shane. Setengah jam berikutnya Shane datang bersama Clara dan membujuk Hawwaiz agar mau kembali ke rumah sakit karena melihat keadaan rasanya mereka berdua tidak tega meninggalkan, tapi harus menyelesaikan pekerjaan.

"Sorry, it's bothering you guys. I just need this medicine and don't have it in stock." Hawwaiz berusaha menguatkan tubuhnya.

"We are worried about your condition, Hawwaiz. It's best to just be hospitalized." Shane berusaha membujuk Hawwaiz.

"Shane is right, Hawwaiz. You have to totaly rest and hospitalized is the best choice," tambah Clara.

"No, thank you. Tomorrow it will be better." Hawwaiz tersenyum meski dengan bibir yang sangat pucat. "Thanks for your attention."

"Let us know, whatever happens to you." Shane menyerah. Dia harus segera kembali ke rumah sakit.

Hawwaiz menonaktifkan gawainya. Dia ingin memejamkan mata dan mengambil jatah mengistirahatkan tubuhnya walau hanya sebentar. Dan saat rasa kantuk tidak lagi bisa ditahannya karena pengaruh obat, Hawwaiz akhirnya terlelap sampai melewati waktu untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Keesokan harinya saat Hawwaiz membuka mata, tubuhnya sudah sedikit membaik. Dia juga sudah tidak mengalami diare lagi, tapi belum sepenuhnya fit.

"Astagfirullah, jam berapa ini?" Hawwaiz melihat jam dinding di kamarnya.

Dia bergegas mengambil wudu dan menunaikan salat yang telah tanpa sengaja dia tinggalkan sekaligus menumpahkan semua kegundahan hatinya pada sang pemilik hidup dan matinya. Tak lupa meminta petunjuk apa yang harus dia lakukan selanjutnya.

Kembali menenggelamkan diri adalah cara yang paling efektif untuk menggulung waktu agar segera berlalu. Ditambah dengan persiapan ujian stase, jika bukan karena Shane memberikan jadwalnya, Hawwaiz tentu sudah melupakan hari ini tanggal berapa.

Tepat hari di mana Vira berulang tahun, Hawwaiz harus berhadapan dengan penguji untuk mempertanggungjawabkan pengaplikasian teori yang telah dia peroleh di bangku kuliah dengan kerja praktik yang telah dia lakoni selama lebih dari dua bulan di rumah sakit.

"Why? Are you sick again, Hawwaiz?" tanya Clara.

Hawwaiz menggeleng lemah. Tubuhnya memang belum sepenuhnya pulih, dia bahkan masih mengonsumsi obat penurun panas, antibiotik dan vitamin.

"Are you not ready for this exam? I think not." Clara bertanya lagi tapi dia juga yang memberikan jawaban hingga membuat Hawwaiz tersenyum.

"Your face is still pale, Hawwaiz. Even if you cover it with a mask." Clara menatap Hawwaiz dalam-dalam.

"No, I'm okay, Claire." Meski menjawab demikian Hawwaiz memilih menundukkan kepala kemudian berlalu dari hadapan Clara.

"Hawwaiz ...." Clara mengikuti langkah cepat Hawwaiz.

Saat Hawwaiz menghentikan langkahnya, nyaris Clara menabrak punggung kokoh Hawwaiz jika dia tidak cepat menyerongkan langkahnya.

"Sorry, but if you need some place to tell anything, Shane and I are always here for you."

Hawwaiz mengangguk sekilas dan kembali meninggalkan Clara yang masih terpaku di tempatnya. Tidak ada tempat paling aman untuk bercerita selain doa di ujung sajadah tempat dia bersujud dan memuja-Nya. Hawwaiz masih berusaha mengendalikan hatinya.

Dan benar saja, tekanan atas banyak hal yang menimpanya kembali membuat Hawwaiz ambruk di saat yang tidak pas. Pagi ini setelah salat Subuh dia kembali kehilangan tenaga. Padahal dia harus sudah siap di rumah sakit dua jam lagi untuk ujian stase pertamanya.

Hawwaiz kembali menelan obat untuk meredakan sakitnya, tak hanya itu dia juga menelan lebih dari satu vitamin supaya bisa segera fit. Hawwaiz lupa bahwa dia adalah calon dokter yang harusnya mengerti takaran dan batas maksimum tubuhnya menerima bahan kimia yang akan dicerna. Secepat apa pun dia merasa baik pasti akan menimbulkan efek setelahnya.

"Setidaknya aku harus sehat untuk ujian ini." Hawwaiz bergumam dan bersiap menuju rumah sakit.

Tentang ujian, semua yakin bahwa pemuda itu tidak akan kesulitan melaluinya. Namun, saat pikirannya bercabang ketika Regita kembali mengingatkannya dengan pesan yang meminta Hawwaiz untuk bergerak.

Do something or you will regret it for the rest of your life.

Don't forget, Sam's Riverside : 07.00 pm.

"Hawwaiz, Doctor Edward has called you twice and you are still daydreaming here? Don't be crazy! Hurry up, he won't give you a retake if you miss your chance!" Shane menggoyangkan bahu Hawwaiz hingga sahabatnya berdiri cepat.

Sedikit oleng karena kepalanya tiba-tiba berdenyut akibat gerakan refleks akibat panggilan Shane. Hawwaiz memegang kepalanya sebentar lalu merapikan pakaian dan berjalan menuju ruangan Dokter Edward. Dokter bedah terbaik di Ormond Hospital yang bertanggungjawab sebagai kepala emergency unit yang turun tangan untuk menguji para dokter muda dan memberikan penilaian kelayakan mereka untuk melangkah ke state berikutnya atau harus stay di pelayanan dasar rumah sakit sebagai calon dokter.

Satu setengah jam berada di dalam ruangan, berhadapan dengan Dokter Edward dan dua dokter lainnya sebagai pendamping pastinya menguras tenaga dan pikirannya. Hawwaiz harus tetap fokus, sementara hatinya kini sedang melambung entah ke mana.

"You don't seem serious about this test, Doctor Hawwaiz?" kata Dokter Edward.

"No doctor, I'm very serious but honestly I'm not 100% healthy today. But I still try to give the best answer that I can. Sorry of that," jawab Hawwaiz.

Selebihnya ucapan ketus yang memojokkan Hawwaiz dari dua dokter yang duduk di samping Dokter Edward membuat Hawwaiz semakin kehilangan tenaganya untuk bertahan. Sampai akhirnya mereka bertiga berdiri dan tersenyum pada Hawwaiz saat mengulurkan tangannya.

"Congratulations, Doctor Hawwaiz. You passed this first stage. We are only testing your mentality, because later we will receive a lot of problems in the emergency unit and as doctors we must be able to control our emotions to continue to provide the best service."

Hawwaiz mengembuskan napasnya lega meski kedua kakinya masih bergetar. Dia berdiri menerima uluran tangan ketiga dokter senior yang ada di depannya. Sedikit tertatih dia keluar setelahnya.

Jika tidak ingat masih di rumah sakit, Hawwaiz pasti akan memekikkan suaranya sebagai tanda gembira saat nilai nyaris sempurna yang diberikan ketiga dokter yang kini tengah menguji Shane di dalam. Hawwaiz mengusap keringat dingin yang kembali membasahi tubuhnya. Pakaiannya kini bahkan dikatakan tidak layak dikenakan lagi karena telah basah dan dia harus mengganti secepatnya kalau tidak ingin terkena penyakit kulit.

Setelah itu Hawwaiz memilih untuk menghubungi Regita. Namun, sayangnya gadis yang mengirimkan pesan beberapa jam yang lalu itu tidak mengaktifkan gawainya. Sepertinya hari itu Gita sangat sibuk hingga mungkin melupakan mengecharge gawai yang seharusnya selalu dia nyalakan.

Hawwaiz mengembuskan napasnya perlahan, bagaimana dia bisa mendapatkan info kalau begitu sulit menelepon satu-satunya orang yang bisa dia percaya untuk memberikannya?

Mencoba berpikiran positif dan berusaha mengabaikan pesan Regita karena dia harus kembali bekerja. Setengah jam berikutnya Hawwaiz sudah berada di emergency unit lagi. Terakhir kalinya harus bertugas di layanan pertama rumah sakit ini, Hawwaiz tetap ingin menunjukkan integritasnya walau dia sendiri harus berjuang tetap kuat sampai shift berakhir. Laporan kerja yang sudah dia selesaikan pun telah berpindah tangan pada clerkship selanjutnya.

"Hawwaiz, let's eat with us. As celebration of our success in the emergency unit." Shane mengajak Hawwaiz yang disetujui oleh teman satu tim mereka karena semuanya lulus.

Clara hendak bersuara ketika Hawwaiz lebih dulu menjawabnya hingga bibirnya terkatup kembali. "Thanks, but sorry, I have some bussiness tonight. Enjoy your night, Guys, have fun," kata Hawwaiz. Pria itu melambaikan tangannya, lalu memisahkan diri dari teman-temannya.

Hawwaiz telah mengambil keputusan, malam ini dia akan menemui Vira dan menanyakan secara langsung apa yang telah dia dengar dari pengakuan Heffry. Sam's Riverside resto menjadi tujuan Hawwaiz kali ini. Dia hanya berpikir pasti akan banyak teman-teman Vira yang diundang untuk merayakan hari bahagianya, tapi sesaat kemudian kakinya berhenti bergerak. Sejak kapan Vira memiliki ide seperti itu? Bukankah selama dia kenal dia tidak pernah mengistimewakan hari lahirnya?

Hawwaiz kembali melangkah dengan cepat, tidak ingin Heffry lebih dulu tiba sebelum dia mengatakannya pada Vira. Di tangannya, hadiah yang telah dia siapkan sejak dia pindah ke London telah dia masukkan ke dalam goddie bag dengan rapi.

"Sorry, Sir. This restaurant has been booked by someone for an event." Seorang petugas keamanan menghalau langkah Hawwaiz di pintu masuk Sam's Riverside.

"Event?" Hawwaiz melihat arloji yang melingkar di tangan kirinya. Masih ada lima belas menit sebelum pukul tujuh malam. Artinya dia masih memiliki waktu lima belas menit untuk meminta penjelasan pada Vira.

"Sorry, but I already have an appointment with someone at this restaurant," kata Hawwaiz sedikit berbohong.

"Sorry again, Sir. For tonight everything was ordered by Mr. Altezar Heffry and Mrs. Elvira Maritza Aldebaran. We must ask their permission first before giving you permission." Petugas keamanan yang lain datang dan mencoba memberikan penjelasan lebih mendetail.

Hawwaiz mengangguk mengerti. Dia menghela napas dan memainkan gawainya, berniat ingin menghubungi Regita, tapi kedua matanya justru menangkap dua sosok yang dibicarakan petugas itu melangkah dengan senyum bahagia. Meski masih terlihat beberapa perban yang membebat beberapa bagian tubuh Heffry dan pria itu belum bisa berjalan dengan sempurna, tapi Vira dengan sabar mengiringnya di samping.

Dua petugas yang ada di dekat Hawwaiz pun meminta izin untuk menyambut dua tamu istimewa mereka. Senyum Vira mendadak lenyap manakala melihat sosok Hawwaiz berdiri tegak menatap dirinya.

Heffry yang juga memandang ke arah Hawwaiz lalu bibirnya tersenyum sekilas ketika seorang petugas mengatakan bahwa pengunjung yang sedang mereka lihat adalah orang yang mengaku memiliki janji dengan seseorang di restoran ini padahal semuanya telah dipesan oleh Heffry.

"Let him come in, he is the doctor who treated me during the accident yesterday," kata Heffry lalu mengangguk ke arah Hawwaiz.

Vira yang mengetahuinya juga ikut tersenyum walau dalam hati diliputi banyak pertanyaan. Meski demikian dia sangat senang Hawwaiz tidak melupakan hari bahagianya. Namun, siapa yang memberitahukan Heffry akan mengajaknya kemari? Vira menggeleng perlahan, membayangkan teman-teman satu kantor sudah menyambutnya di dalam saja sudah bahagia terlebih mengetahui Hawwaiz bersamanya kini. Siapa pun dia, Vira akan mengucapkan terima kasihnya nanti secara khusus.

Awalnya Hawwaiz menolak, tapi karena Heffry sedikit memaksa maka berjalanlah dia di samping Heffry. Namun, saat sampai di dalam yang terlihat sangat sepi Vira mulai curiga.

"Teman-teman yang lain bukankah harusnya sudah sampai ya, Mas?" tanya Vira pada Heffry.

Tidak ada jawaban, hanya senyum simpul yang ditunjukkan Heffry pada Hawwaiz dan Vira lalu dia menyilakan keduanya duduk di sebuah meja yang telah diset untuk dua orang. Heffry melambaikan tangannya kepada salah seorang pramusaji untuk meletakkan satu kursi di meja itu.

Perkenalan singkat yang membuat keduanya nyambung bicara, tentu saja Hawwaiz dan Heffry sama-sama memiliki public speaking yang baik. Sehingga tidak ada yang menyangka jika keduanya baru sekali terlibat dalam sebuah percakapan seperti yang sekarang terjadi. Hawwaiz pun mengenalkan diri sebagai ipar dari kakak Vira yang menikahi kakaknya, sehingga mereka justru terlihat semakin akrab.

"Saya sangat beruntung dan merasa bangga bisa bertemu dengan seorang dokter dari Indonesia. Rasanya seperti menemukan saudara di negeri orang," kata Heffry.

"Saya juga senang bisa berkenalan dengan Anda," jawab Hawwaiz.

"Lukanya sudah kering, Mas Heffry, tapi sebaiknya jangan terlalu memvorsir diri mengerjakan sesuatu yang berat. Tidak baik untuk pemulihannya," kata Hawwaiz lagi.

Heffry mengangguk setuju. Lalu menatap Vira yang sedari tadi hanya diam mendengarkan mereka bicara.

"Maaf—" tiba-tiba Hawwaiz menyela. "Apa saya boleh bicara sebentar dengan Vira?" tanya Hawwaiz yang tak ingin membuang waktu pada tujuan awal dia ingin menemui Vira di sini.

Heffry kembali mengangguk. Namun, setelah itu bibirnya mulai bergerak untuk bicara.

"Setelah saya selesaikan semuanya," jawab Heffry.

Vira yang masih belum mengerti apa yang dimaksudkan Heffry hanya mengerutkan keningnya. Dia mencoba mencari jawaban dari wajah Heffry, tapi sayangnya dia tidak menemukan sesuatu yang bisa dijadikan jawaban di sana. Sampai senyum Heffry memberinya isyarat untuk bersabar.

"Saya bukan pria yang romantis, Vir. Namun, saya berharap malam hari ini bisa menjadi sesuatu yang istimewa untuk kita. Terima kasih juga untuk Mas Dokter yang waktu itu menolong saya dengan cepat, sehingga impian saya hari ini bisa diwujudkan. Selamat ulang tahun, Vira," Heffry mulai bersuara.

Hawwaiz mengepalkan tangannya. Terlambat, harusnya dia bisa mencegahnya dari kemarin, tapi mengapa kebodohan justru mengantarkannya pada kenyataan yang sangat menyakiti hatinya? Dia bahkan tidak bisa menghentikan apa yang terjadi sekarang.

"Di depan Mas Dokter yang nanti akan menjadi saksi, malam ini saya ingin menyampaikan apa yang sebenarnya ada di dalam hati."

Bukannya menatap Heffry, Vira justru memilih menatap Hawwaiz yang kini sedang menundukkan kepalanya.

"Om Arfan telah mengetahuinya dan beliau memberikan dukungan jika saya dan kamu nantinya akan bisa bersama-sama menjadi kita," tambah Heffry.

"Mas Heffry—?" Vira menutup bibirnya tak percaya ketika sebuah kotak cincin terbuka di depannya.

"Saya telah melewati ribuan malam untuk menantikan hari ini tiba. Berdiri di hadapanmu dan menyuarakan ingin untuk berjalan selangkah lebih dekat. Tidak perlu banyak waktu untuk menimbangnya karena sejak awal bertemu denganmu, saya telah yakin, Vira. Before I met you, I never knew what it was like to smile for no reason. Now that you're here, I think my entire life will fall into place."

Hawwaiz memejamkan matanya. Di depan matanya, seorang pria meminang wanita yang sangat dia cintai. Dan Vira sangat tahu mengapa dia tidak melakukan itu dari dulu. Bukankah mereka berdua telah berjanji untuk setia menanti?

"Elvira Maritza Aldebaran, the girl who took all my time not to stop thinking about her. Do you want me as much as I do?"

Vira masih membelalakkan matanya. Dia tidak memiliki kata-kata yang pantas untuk menghentikan ucapan Heffry.

"Vira, out of the many choices, I only have one wish right now and that is want you be my wife. Will you marry me?" Heffry menyelesaikan kalimatnya dengan sempurna.

Belum sampai Vira menjawabnya, suara gawai Hawwaiz memecah keheningan dan memudarkan sisi romantisme yang tercipta. Nama Hanif menjadi alasan Hawwaiz untuk beranjak dan menjauh dari keduanya.

"I looked for you at the hospital, they said you had come home earlier but when I was at your flat why weren't you here. Where are you now?" kata Hanif terdengar jelas di telinga Hawwaiz.

"In my flat?" Hawwaiz sedikit berteriak tidak percaya.

"Mas Hanif di Inggris? What's the matter? Why so suddenly?" Hawwaiz terlihat kebingungan.

Ingin sekali rasanya menggagalkan lamaran Heffry untuk Vira, tapi di sisi lain Hawwaiz juga harus kembali ke flat. Tidak tega jika harus meminta Hanif menunggu, sementara kakak sulungnya itu baru saja menempuh perjalanan jauh.

Akhirnya, Hawwaiz meminta izin Heffry untuk meninggalkan mereka karena kakaknya datang dari Indonesia. Saking terburunya Hawwaiz sampai lupa membawa kembali bingkisan yang dia siapkan sebagai kado di hari ulang tahun Vira.

"Goddie bag?" Vira mengambil sebuah tas yang ada di bawah meja ketika kakinya tanpa sengaja menyentuh barang itu.

Gadis itu menunjukkan pada Heffry, dan tatapan mereka mengarah pada satu orang yang sama sebagai pemilik barang yang tertinggal itu.

"Dokter Hawwaiz, barangnya tertinggal," teriak Heffry.

Sayangnya suara Heffry kalah cepat dengan gerakan Hawwaiz yang telah berlari menjauh dan dia sama sekali tidak mendengar panggilannya.☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 15 Maret 2024
*sorry for typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top