12B • Sacrifice

🍬🍬 ------------------------------
I feel like flying in the sky when you look at me. I hope the wind will tell you how much I love you
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

SEBAGAIMANA waktu yang telah disepakati, Vira dijemput Hawwaiz di stasiun kereta. Meski sedikit takut dalam hatinya, gadis itu akan berusaha bersikap sewajarnya di hadapan kedua orang tua Hawwaiz nantinya.

Semburat wajah lelah dan terlihat masih pucat, Hawwaiz tiba di stasiun bersama Revan. Meski demikian senyumnya terlihat mencuat manakala kedua manik matanya melihat dari jauh Vira tersenyum semringah, mengenakan mantel yang dia belikan beberapa waktu lalu. Tangannya melambai setelah jarak mereka cukup dekat untuk saling menyapa.

"Eh, sama Revan juga?" tanya Vira mengangguk ramah kepada Revan yang berdiri di samping Hawwaiz.

Menghalau segala keresahan yang kini berkecamuk di antara rasa bersalahnya kepada pria yang sangat Vira cintai. Bisu akhirnya membalut segala gundah yang membawa kata di ujung bibirnya.

"Maafin aku, Bi," kata Vira saat dia telah berdiri tepat di depan Hawwaiz.

Hawwaiz tersenyum sekilas tanpa suara, selebihnya dia justru lebih memilih menjaga jarak aman sampai dengan sebuah taksi tiba di depan mereka.

Vira mendesah perlahan, pertama kalinya berkunjung ke Oxford justru di musim dingin yang membuatnya tidak bisa menikmati sudut kota dengan sempurna. Namun, dia tidak memiliki nyali untuk bertanya lebih lanjut tentang beberapa pemandangan yang memukau matanya.

"Kamu sudah sarapan?" tanya Hawwaiz tiba-tiba.

Gelengan kepala Vira membuat Hawwaiz meminta sopir taksi menghentikan mobil mereka di sebuah cafe yang ditunjuk Hawwaiz. Ketiganya masuk dan memesan makanan yang tersedia di sana.

"Om Ibnu dan Tante Qiyya—?" tanya Vira kikuk.

"Daddy dan Bunda masih di hotel, setelah ini aku antar kamu bertemu dengan mereka," jawab Hawwaiz lalu menyilakan Revan dan Vira menikmati sarapan yang telah tersedia.

Revan masih dengan mode silent. Menyimak percakapan mereka tanpa berniat nimbrung dalam urusan mereka. Sejak awal dia mengerti, Revan tidak ingin banyak bertanya. Kapasitasnya hanya sebagai seorang sahabat yang harus ada ketika sahabatnya membutuhkan bantuan.

"Sori, Rev. Karena masalahku sama Vira, kamu jadi ikut terkena getahnya," kata Hawwaiz setelah mereka selesai makan saat berada di restroom berdua.

"Selama aku bisa membantu kenapa nggak sih, Iz. Aku nggak ngerti detailnya seperti apa dan kamu nggak perlu cerita ke aku. Om Ibnu adalah orang yang paling tepat untuk mengetahui semuanya." Revan menepuk bahu Hawwaiz lalu mengajaknya kembali ke meja makan.

Hawwaiz mengangguk.

Di mata Hawwaiz, tidak ada yang berbeda dari sikap Vira. Rasa rindu berbalut cinta itu terlihat begitu jelas melalui pancaran matanya. Senyumnya pun merekah mewakilkan hatinya yang teramat bahagia bisa melihat Hawwaiz kembali setelah sekian lama tidak bersua. Meski rasa ragu masih membayang perjalanan kisah mereka selanjutnya. Bukan tentang perasaannya kepada Vira, tapi dengan sikap orang tua gadis itu setelah dia melakukan kesalahan besar.

"Iz, sepertinya aku antar sampai di sini ya. Ada Om Ibnu dan Tante Qiyya di atas. I'm sure you know what to do," kata Revan ketika mereka sampai di lobi hotel tempat Ibnu dan Qiyya menginap.

Hawwaiz menghela napas panjang lalu mengucapkan terima kasih sebelum mereka berpisah. Selanjutnya dia mengajak Vira naik dengan elevator untuk menemui Ibnu dan Qiyya.

"Om Arfan dan Tante Nia baik-baik saja kan, El?" tanya Hawwaiz.

Vira menatap Hawwaiz sejenak, tapi pemuda itu memilih untuk berdiri di pojok tanpa sedikit pun menatapnya.

"Aku minta maaf, Bi. Mungkin jika aku nggak kelepasan bicara pada Mimi, cerita kita—" Vira kembali menundukkan kepalanya.

"Orang tua kita nggak tahu, tapi Allah tahu kita telah berbuat salah," jawab Hawwaiz.

"Aku tahu itu," kata Vira.

"Tapi tetap saja aku yang bersalah, dan sekarang aku juga segan bertemu dengan orang tuamu." Vira menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.

"Mereka tidak akan menelanmu," gurau Hawwaiz.

"Aku serius, Bi. Ish!" Vira memberengut.

Hawwaiz tertawa sejenak memperhatikan reaksi Vira, tapi secepatnya dia beristigfar. Takut terbawa suasana yang akan membuat kontrol emosinya menipis.

"Padahal kemarin baru saja menyelesaikan urusan Mbak Ayya dan Kak Aftab, sekarang kita." Vira menautkan jari jemarinya.

"Kita hadapi bersama. Daddy pasti marah, tapi tentu saja marahnya ke aku bukan ke kamu." Hawwaiz meminta Vira mengikutinya setelah pintu elevator terbuka sempurna.

Hanya dalam hitungan detik, akhirnya senyum keibuan milik Qiyya tampak dibalik pintu. Ibu lima anak itu menyilakan putra bungsu dan tamu yang ditunggunya masuk ke kamar. Berbeda dengan itu, Ibnu terlihat hanya menatap Vira dengan wajah datarnya dari sofa.

"Duduk, Vir. Tunggu sebentar, Tante buatkan minuman hangat," sambut Qiyya.

Suite room yang disewa Ibnu ini sangat memungkinkan bagi Qiyya untuk menjamu tamunya dengan baik meski tidak sempurna.

"Terima kasih, Tan. Nggak perlu repot-repot." Vira tersenyum ke arah Ibnu padahal dalam hati sudah ketar-ketir melihatnya.

"Jangan nyeremin gitu lah, Dad. Bikin takut anak orang lho." Hawwaiz mencoba mencairkan suasana, tapi suara Ibnu lebih mendominasi untuk membuat suasana kembali serius.

"Duduk, Vir. Pasti capek naik kereta sendiri ke kota yang mungkin belum pernah dikunjungi." Ibnu menekankan kata mungkin yang langsung membuat Hawwaiz menatapnya dengan tajam.

"Vira memang belum pernah ke Oxford, Dad," jawab Hawwaiz.

"Vira ini temannya Kak Al, Dik. Nggak sopan kamu panggilnya seperti itu!" kata Ibnu.

Hawwaiz menghela napas panjang. Dia ingin menimpali, tapi Qiyya lebih dulu datang dan mengambil alih kalimat Hawwaiz selanjutnya.

"No problem, Dad, selama Vira nggak mempermasalahkan itu. Toh kita semua juga sudah tahu apa yang diinginkan mereka." Qiyya meletakkan cangkir berisi teh panas di atas meja.

"Diminum dulu, Vir."

Sampai kapan pun bahasa ibu memang jauh lebih halus dibandingkan apa pun di dunia ini. Percakapan pembuka yang terkesan hangat meskipun gestur Vira terlihat sangat kaku. Qiyya bukannya tidak melihat itu, tapi mereka memang harus bicara.

"Jadi, kami mengundangmu kemari karena ingin mendengar langsung. Apa rencana kalian sekarang?" Tak ingin menunda waktu terlalu lama, Ibnu segera masuk ke percakapan inti mereka.

Vira menatap Hawwaiz dan Qiyya secara bergantian.

"Sebelumnya, saya minta maaf, Om. Kejadian itu tidak sepenuhnya salah Bilal." Vira mulai bicara meski dengan kalimat terbata.

"Justru orang yang paling disalahkan adalah saya," lanjutnya.

"El—" Hawwaiz terlihat keberatan dengan kalimat terakhir yang Vira ucapkan.

"Jika saya tidak menantangnya, mungkin Bilal—" Vira menatap Hawwaiz sesaat.

"Elvira cukup!" Hawwaiz memotongnya dengan nada sedikit tinggi.

"Bi, bukankah kita tidak lagi memiliki pilihan selain jujur?" kata Vira.

Ibnu mendesah, konfrontasi hari ini cukup memberikan gambaran bahwa apa yang disampaikan oleh Hanif dan Ayya tentang putra bungsunya memang benar adanya. Tatapan Hawwaiz terlihat memuja Vira sedemikian rupa.

"Tidak perlu berdebat di depan Daddy dan Bunda!" tegas Ibnu.

"Kalian berdua memang salah, tidak perlu memperebutkan siapa yang paling bersalah." Kepalan tangan Ibnu menunjukkan dia sedang menguasai emosinya.

Qiyya pun akhirnya mengambil peran. Bibirnya bergetar mengondisikan suasana supaya tetap nyaman untuk semuanya.

"Maksud Daddy, kami datang kemari karena sayang dengan kalian berdua. Meski jujur juga terdorong atas rasa kecewa. Hawwaiz, Vira, Daddy dan Bunda nggak pernah mempermasalahkan benih cinta itu tumbuh di antara kalian. Tapi satu hal yang harus selalu diingat, kalian harus bisa menahan semuanya dengan baik," kata Qiyya.

"Tidak ada istilah pacaran dalam Islam, Dik," tambah Ibnu.

"Adik juga tidak ingin pacaran, Dad. Itu sebabnya—" Hawwaiz menghentikan kalimatnya segera ketika menatap sorot mata Ibnu yang tidak lagi bersahabat.

"Nyatanya kamu belumlah cukup dikatakan dewasa. Orang dewasa selalu menggunakan logikanya berdasarkan hukum sebab akibat. Dan dengan kalian melakukan itu, sudah cukup membuktikan kepada kami bagaimana sifat kekanak-kanakanmu itu. Sebagai calon dokter yang kami didik dengan baik sedari kecil, harusnya kamu mengerti maksud Daddy memintamu untuk menyelesaikan kuliahmu terlebih dulu sebelum menikah." Ibnu memilih berdiri dan mengamati pemandangan Oxford yang hampir semua tertutup salju dari sudut jendela yang ada di kamar itu.

"Dad, ini bukan sebuah intimidasi untuk kami berdua, kan?" Hawwaiz ikut berdiri lalu berjalan mendekati Ibnu.

"Jangan terlalu naif untuk memberikan penilaian pada diri kita sendiri, Dik." Ibnu menepuk bahu putra bungsunya lalu membiarkan Hawwaiz kembali berpikir.

Kata dewasa yang selama ini didengungkan Hawwaiz membuat Ibnu memberikan penawaran lain secara tersirat melalui tatapan matanya.

"Terima kasih untuk kesempatannya, Dad. Adik janji nggak akan salah melangkah lagi." Hawwaiz merangsek ke pelukan Ibnu ketika pria paruh baya itu membuka lengannya.

Qiyya akhirnya bisa tersenyum lega dan berpindah tempat duduk tepat di samping Vira.

"Om Ibnu ...." Jujur Vira sangat bingung dengan perubahan sikap Ibnu yang sangat mencolok mata dengan sedikit kata yang terucap.

"Itulah mereka berdua, Vira. Mereka seolah tahu tanpa harus banyak bicara. Harusnya kami selalu ada di sampingnya supaya dia tidak salah melangkah. Maafkan kami berdua ya, maafkan anak bungsu Tante juga." Qiyya tersenyum meski titik-titik air mata melelah dari sudut matanya.

"Tante dan Om Ibnu Ibnu tidak pernah salah. Kami yang keliru mengartikan rasa sayang dan cinta kalian. Maafkan Vira, Tante." Vira justru memilih menundukkan kepalanya.

Suasana haru itu kembali berbalut dengan percakapan hangat yang mengerucutkan satu keputusan besar untuk Hawwaiz dan Vira. Sepakat untuk menyelesaikan program terdekat dengan masa depan mereka. Menganggap sebagai hukuman atau justru sebuah tantangan yang mempertaruhkan kedewasaan mereka dalam bersikap.

Hawwaiz dan Vira mulai menghitung dengan cermat, mengatur strategi agar bisa menyelesaikan tugas mereka dengan baik secepatnya. Sampai akhirnya suara gawai milik Vira memecah fokus mereka.

"Siapa?" tanya Hawwaiz.

"Pipi," jawab Vira sembari menekan button hijau setelah melihat anggukan kepala Qiyya.

Panggilan video yang akhirnya membuat Arfan seketika memberikan pertanyaan tegas dan mengabaikan sapa dan senyuman manis putrinya.

"Kamu ngapain ada di hotel?"

Vira menghela napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan pipinya.

"Hari ini Adik ke Oxford, Pi. Om Ibnu dan Tante Qiyya datang kemari," jawab Vira jujur.

"Siapa yang memberimu izin? Pipi nggak mau kamu semakin banyak alasan, kembali ke London segera," perintah Arfan.

Meski tidak berdekatan, tapi telinga Ibnu, Qiyya dan Hawwaiz masih bisa mendengar suara Arfan dengan jelas. Tangan Ibnu segera memainkan perannya sebagai orang tua ketika Hawwaiz berniat menjelaskan pada Arfan.

"Dad—" Hawwaiz memohon.

"Biar Daddy yang menjelaskan kepada Om Arfan." Ibnu segera berdiri dan mendekati Vira agar memberikan gawainya agar bisa bicara dengan Arfan.

Setelah wajah Afran dan Ibnu saling bertatap melalui layar, tanpa senyuman Arfan angkat suara. "Maaf, tapi aku nggak suka dengan cara Mas Ibnu meminta putriku menemui kalian di Oxford. Dulu, aku dan Kania nggak pernah meminta Ayya menemui kami berdua meski kami tahu Aftab tersakiti dengan keadaan mereka. Biarkan Vira kembali ke London sekarang, asalamualaikum."

Setelahnya, layar gawai milik Vira menunjukkan beranda tanpa suara. Ibnu tersenyum, mengangguk lalu mengucapkan maaf kepada Vira sebelum dia menyerahkan benda pipih itu ke tangan putri dari salah satu besannya.☼-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 15 Maret 2024
*sorry for typo

Kok lama updatenya, iya karena ada hal yang harus diselesaikan di dunia nyata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top