12A • Sacrifice
🍬🍬 ------------------------------
Meeting you was fate, becoming your friend was choice, but falling in love with you was completely out of my control
------------------------------ 🍬🍬
-- happy reading --
مرنتىن نىاكار
*bantuin cek typo belum sempat edit mataku tinggal 5 watt
STOP, selalu menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dalam hidup. Semua semata karena sebuah tanggung jawab atas apa yang terjadi dalam diri seseorang. Tidak pernah terpikir sekecil pun dalam benak Hawwaiz untuk melibatkan Vira karena tanggung jawab itu. Apa pun itu, dia telah berjanji dalam hatinya untuk menerima semua konsekuensinya sendiri.
"Sebenarnya Adik ingin pulang untuk bertemu kalian dan menemui Om Arfan untuk meminta maaf secara langsung, Dad. Namun, ternyata kalian lebih dulu sampai di sini," kata Hawwaiz setelah semua amarah Ibnu mereda.
Ibnu mendengkus kasar. Hawwaiz memang harus pulang dan meminta maaf kepada Arfan, tapi sekarang mungkin bukan waktu yang tepat. Biarkan keadaan mereda untuk beberapa saat baru setelahnya Hawwaiz bisa menemui Arfan dengan pikiran yang tenang dan situasi yang lebih baik. Hatinya masih belum tega membiarkan putra bungsunya menghadapi semua ini sendirian meski sesungguhnya Hawwaiz telah mempersiapkan hati untuk menerima semuanya.
Ibnu beranjak dari tempat duduknya. Membiarkan sang putra bicara berdua kembali bersama bundanya.
"Kamu tahu, sebenarnya Daddy telah setuju jika kamu memutuskan untuk menikahi Vira sekarang," kata Qiyya.
Kabar yang seharusnya membuat Hawwaiz bahagia justru membuat hatinya semakin nyeri. Bahagia yang dia rasakan tidak sebanding dengan penyesalannya dan sakit hati yang dirasakan keluarga Vira. Kebodohan yang harus dibayar mahal olehnya.
"Apa Adik masih memiliki muka untuk mengatakan semua itu pada Vira, Bunda?" Hawwaiz menyembunyikan sedihnya kembali.
Qiyya mencoba tersenyum walau hatinya juga sama remuknya seperti yang dirasakan sang putra.
"Jangankan untuk menemui Vira, meneleponnya saja rasanya sudah tidak memiliki muka. Adik malu, sama kalian, lebih-lebih sama Allah," adu Hawwaiz.
Bersamaan dengan itu, gawai Hawwaiz berbunyi. Nama Vira terlihat menghiasi layarnya. Sudah sejak kedatangan orang tuanya dua hari yang lalu Hawwaiz mengabaikan pesan dan panggilan dari Vira.
"Mengapa tidak dijawab. Itu Vira, kan, yang menelepon?" tanya Qiyya.
Hawwaiz mendesah sesaat lalu menatap Qiyya sebelum menerima panggilan dari Vira dan meminta untuk me-loud speaker panggilan dari wanita yang paling dicintainya itu.
"Hallo—" sapanya dengan suara parau.
"Aku salah apa sama kamu, Bi? Setelah kamu sakit sepertinya menjauhiku, jarang sekali membalas pesanku. Okelah kalau kamu mau di Oxford dulu, fokus sama kuliah dan mengenai musim dingin aku bisa paham. Namun, mengapa sikapmu juga mengikuti perubahan musim ini padaku. Apa kamu memang sengaja ingin kita semakin jauh?" protes Vira.
"El, aku—" Hawwaiz menghela napasnya ketika menatap sang bunda yang hanya diam mendengarkan interaksi keduanya.
"Aku nggak habis pikir, mengapa harus seperti ini. Aku jadi nggak fokus satu bulan terakhir ini, seolah-olah semua tentang kita mengantung tanpa kejelasan. Maaf ya, Bi, seminggu yang lalu aku keceplosan bilang sama Mimi kalau kita—" Vira menggantung kalimatnya.
"Aku takut, Bi. Pipi juga nggak mau ngomong sama aku. Kalau kamu ikutan menjauh lalu aku sama siapa?" Vira mulai terisak dalam tangisnya.
Hawwaiz mulai bingung, apa yang harus dia lakukan. Jika menuruti ingin saat itu juga dia pastikan meluncur ke London, tapi rasanya itu sudah tidak mungkin lagi setelah semua janji yang telah dia ucapkan pada dirinya sendiri.
Melihat sang putra kebingungan, akhirnya Qiyya mengambil kembali perannya sebagai orang tua yang harus bersikap bijaksana. "Bunda boleh bicara dengan Vira, Sayang?"
Hawwaiz mengangguk lalu menyerahkan gawainya.
"Tante Qiyya ada di Oxford, Bi?" tanya Vira yang terdengar terkejut mendengar suara Qiyya.
"Hallo, Vira. Ini Tante yang bicara," sapa Qiyya.
"Tante, maaf saya tidak tahu kalau Tante ada di Oxford sekarang. Berarti Om Ibnu juga ada di sana?" tanya Vira dengan terbata.
"Iya, Tante dan Om kemari karena harus menemui Hawwaiz setelah menerima cerita tentang kalian dari pipimu," jawab Qiyya dengan tenang.
"Astagfirullah, saya minta maaf, Tante. Semua itu bukan hanya salah Bilal, tapi saya juga salah. Jika saya tidak memaksa, tidak mungkin Hawwaiz melakukan semua itu. Tante, tolong jangan hanya menyalahkan Bilal," pinta Vira di antara isak tangisnya.
Qiyya menatap putranya kembali. Ternyata keduanya berusaha untuk saling melindungi. Hawwaiz yang menerima kesalahannya seorang diri, sementara Vira meminta untuk membagi salah itu padanya.
"Vir, Tante bisa paham apa yang kalian rasakan sekarang. Namun, sekarang sebaiknya Vira bicara dengan Mimi ya. Apa yang harus Vira lakukan. Tante juga sedang bicara dengan Hawwaiz. Semoga keputusan kita akan menjadi pilihan terbaik untuk semuanya," pungkas Qiyya.
"Iya, Tan. Sekali lagi saya minta maaf. Tolong sampaikan juga permintaan maaf saya kepada Om Ibnu," tutup Vira.
Kemandirian yang selalu Hawwaiz pegang teguh ternyata justru merepotkan orang tua yang harusnya kini bisa menikmati masa senja mereka dengan melihat putranya bahagia tanpa kesalahan. Hawwaiz semakin bersalah ketika Ibnu datang menghampiri dan mengajaknya bicara tanpa nada tinggi.
"Kalau nanti kamu sudah siap menemui Om Arfan, Daddy dan Bunda yang akan mengantar. Sebagaimana dulu kami mengantarkan Mas Hanif menemui Om Ghulam dan Tante Omaira." Ibnu menepuk pundak Hawwaiz yang sedang melamun setelah kepergian sang bunda.
"Dad—" kata Hawwaiz.
"Om Arfan pasti akan marah sama kamu, tapi Daddy selalu mengajarkan pada anak-anak Daddy untuk bertanggung jawab atas semua keputusan yang kalian ambil."
Hawwaiz menggeleng lemah. Dia menolak bukan karena tidak ingin bertanggung jawab atau tidak mencintai Vira. Hawwaiz hanya ingin memantaskan dirinya terlebih dulu.
"Daddy benar, Adik memang harus menyelesaikan pendidikan dulu. Mengenai minta maaf pada Om Arfan, itu pasti akan Adik lakukan seperti kata Bunda. Setelah semuanya kembali kondusif, supaya Daddy juga nggak khawatir. Meskipun harusnya itu dilakukan langsung," kata Hawwaiz.
"Kamu yakin dengan ucapanmu?" tanya Ibnu.
Hawwaiz kembali menunduk. Beberapa hari terakhir ini dia mencoba merenungi apa yang telah dilakukannya. Dia memang harus menyelesaikan sesuatu yang telah dimulai satu persatu.
"Daddy mengizinkan Adik untuk menemui Vira dan menjelaskan semuanya?" tanya Hawwaiz sedikit ragu.
"Undang Vira kemari, supaya Daddy dan Bunda bisa ikut menjelaskan semuanya," kata Ibnu.
Perintah yang tidak akan disia-siakan oleh Hawwaiz. Dia segera mengirimkan pesan pada Vira supaya bisa datang ke Oxford memenuhi undangan kedua orang tuanya.
"Bi, kamu nggak sedang bercanda, kan?" kata Vira yang memilih menelepon Hawwaiz daripada membalas pesannya.
"Daddy sendiri yang bicara padaku, kamu bisa kan akhir pekan ini? Nanti aku jemput di stasiun Oxford," tanya Hawwaiz.
Vira lebih dulu memastikan jadwalnya sebelum Hawwaiz bertanya. Dia tidak akan melewatkan kesempatan itu. Jadwal di kantornya juga tidak terlalu padat. Pimpinan baru yang juga berasal dari Indonesia cukup bersahabat dengan agenda akhir pekan.
"Oke, aku datang. Semoga Pak Heffry nggak memberi pekerjaan tambahan akhir pekan ini," jawab Vira.
"Heffry?" Hawwaiz mengerutkan kening. Mencoba mengingat nama teman Vira yang terasa asing di telinganya.
"Eh, iya, itu pimpinan baru. Baru juga tiga minggu dinas di London. Orangnya baik banget, masih muda lagi, sudah jadi eksekutif," jelas Vira.
"Tampan?" tanya Hawwaiz tanpa jeda.
Decehan ringan keluar dari bibir Vira, lalu Hawwaiz tersenyum kecut setelahnya. Bagaimana bisa menjauh, hanya mendengar Vira menyebutkan kelebihan pria lain saja hatinya sudah terbakar api cemburu.
Hawwaiz meletakkan gawainya lalu kembali bercengkerama bersama orang tuanya. Jika salju tidak turun deras malam itu, Hawwaiz berencana mengajak Ibnu dan Qiyya menikmati makan hangat yang terkenal di Oxford saat musim dingin tiba. Tidak hanya bertiga, Revan juga turut serta bersama mereka.
Percakapan yang begitu hangat mewarnai makan malam yang masih terlalu sore di Oxford. Namun, ternyata Ibnu sangat menikmati kebersamaan itu. Dia bahkan berniat untuk menambah porsi makannya. Jika bukan karena Qiyya memintanya berhenti, mungkin Hawwaiz pun akan merelakan makanannya dimakan oleh Ibnu.
"Musim dingin memang membuat nafsu makan bertambah, Om. Tenang saja, bos kecil kita tidak akan kehabisan pound sterling atau euro di sini, Om," gurau Revan.
"Kalian ini, ada-ada saja. Pantas saja Hawwaiz kerasan tinggal di sini sampai mengubah visanya. Ternyata tinggal dengan orang satu server dengannya," puji Ibnu.
Hawwaiz hanya menggeleng perlahan. Melihat senyuman Ibnu sore ini membuat hatinya sedikit tenang. Benar kata Hanif, tidak satu pun orang tua di dunia ini yang menginginkan anak-anaknya menderita. Kesadaran yang begitu terlambat, dan Hawwaiz tidak mungkin kembali ke masa lalu lagi.
"Sesuatu yang pantas diperjuangkan harus mengeluarkan effort yang luar biasa, Om. Saya kenal baik siapa putra Om Ibnu." Revan tersenyum ramah.
"Berarti Om yang kurang bisa menyelaminya. Maklum sudah setengah tua, Rev," kelakar Ibnu.
"Ah, Om Ibnu bisa saja," balas Revan.
"Daddy apaan sih? Akrab banget sama Revan, sudah seperti ketemu sama anak yang hilang saja," timpal Revan.
Revan tertawa bersamaan dengan suara Qiyya yang terdengar ikut menanggapi gurauan mereka.
"Kalau begitu Bunda sedikit tenang meninggalkan kamu di sini, Dik. Ada saudara angkat yang akan selalu menjagamu selama kami tidak ada." Qiyya terkekeh bersamaan dengan Revan dan Ibnu. Sementara Hawwaiz memilih untuk tidak menanggapinya.
Akhirnya percakapan hangat itu berakhir dengan permohonan serius Ibnu kepada Revan setelah Qiyya dan Hawwaiz memilih untuk membeli makanan ringan di minimarket sebelah cafe tempat mereka makan malam.
"Pasti Hawwaiz pernah bercerita tentang Vira padamu, Rev, meski tidak semuanya. Karena Om kenal siapa Hawwaiz," kata Ibnu membuka obrolan serius bersama Revan.
"Benar, Om. Bahkan kemarin waktu Hawwaiz hipotermia di London, Vira yang membawa Hawwaiz ke rumah sakit," jawab Revan.
"Hipotermi di London?" Ibnu bergumam.
Revan kaget melihat ekspresi Ibnu. Dia tidak salah bicara, tapi mungkin Hawwaiz sengaja menyembunyikan sakitnya dari mereka.
"Kapan itu?" tanya Ibnu lagi.
"Om Ibnu benar-benar tidak tahu?" Revan ganti bertanya.
Ibnu mendesah perlahan kemudian menggelengkan kepalanya. Semenjak hubungannya dengan Hawwaiz meruncing, bungsunya itu hampir tidak pernah bercerita sedikit pun tentang kesulitan selama hidup di Oxford.
"Semenjak itu Hawwaiz menjadi lebih pendiam, muram dan sering melamun," adu Revan.
Ibnu meraih tangan Revan dan menatap pemuda itu dalam-dalam. Seorang ayah yang selamanya akan tetap menganggap putra-putrinya sebagai anak yang harus dijaga.
"Om tahu kamu sahabat Hawwaiz yang baik. Kedatangan kami ke Oxford memang untuk memperoleh kejelasan atas sesuatu yang nggak bisa Om ceritakan kepadamu. Intinya, Om titip Hawwaiz selama di sini, Rev."
Revan mengerutkan keningnya. Selama ini justru Hawwaiz yang jauh lebih mandiri dibandingkan dirinya. Hanya merasa heran mengapa Ibnu sampai sekhawatir itu pada sahabatnya.
"Om Ibnu tidak perlu khawatir, Hawwaiz itu selalu bertanggung jawab dengan apa yang telah dia putuskan," jawab Revan.
Ibnu menghela napas.
"Tolong, dampingi Hawwaiz setiap kali ingin menemui Vira di London. Om yakin Revan tahu apa yang menjadi alasan kami." Ibnu mengusap lengan Revan lalu tersenyum penuh harap.
"InsyaAllah, Om. Semoga Hawwaiz tidak pergi diam-diam ke London."
Harapan yang tersemat dalam hati semoga putranya tidak akan mengingkari janji yang telah diucapkannya sendiri. Dia tidak tahu lagi harus bicara apa nantinya kepada besan sekaligus orang tua Vira jika Hawwaiz kembali mengulang kesalahan yang sama.-------------------------------🍬🍬
-- to be continued
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Blitar, 15 Maret 2024
*sorry for typo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top