12 • Sacrifice
STOP, selalu menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dalam hidup. Semua semata karena sebuah tanggung jawab atas apa yang terjadi dalam diri seseorang. Tidak pernah terpikir sekecil pun dalam benak Hawwaiz untuk melibatkan Vira karena tanggung jawab ini. Apa pun itu, dia telah berjanji dalam hatinya untuk menerima semua konsekuensinya sendiri.
"Sebenarnya Adik ingin pulang untuk bertemu kalian dan menemui Om Arfan untuk meminta maaf secara langsung, Dad. Tapi ternyata kalian lebih dulu sampai di sini," kata Hawwaiz setelah semua amarah Ibnu mereda.
Ibnu mendengkus kasar. Hawwaiz memang harus pulang dan meminta maaf kepada Arfan, tapi sekarang mungkin bukan waktu yang tepat. Biarkan keadaan mereda untuk beberapa saat baru setelahnya Hawwaiz bisa menemui Arfan dengan pikiran yang tenang dan situasi yang lebih baik. Hatinya masih belum tega membiarkan putra bungsunya menghadapi semua ini sendirian meski sesungguhnya Hawwaiz telah mempersiapkan hati untuk menerima semuanya.
Ibnu beranjak dari tempat duduknya. Membiarkan sang putra bicara berdua kembali bersama bundanya.
"Kamu tahu, sebenarnya Daddy telah setuju jika kamu memutuskan untuk menikahi Vira sekarang," kata Qiyya.
Kabar yang seharusnya membuat Hawwaiz bahagia justru membuat hatinya semakin nyeri. Bahagia yang dia rasakan tidak sebanding dengan penyesalannya dan sakit hati yang dirasakan keluarga Vira. Kebodohan yang harus dibayar mahal olehnya.
"Apa Adik masih memiliki muka untuk mengatakan semua itu pada Vira, Bunda?" Hawwaiz menyembunyikan sedihnya kembali.
Qiyya mencoba tersenyum walau hatinya juga sama remuknya seperti yang dirasakan sang putra.
"Jangankan untuk menemui Vira, meneleponnya saja rasanya sudah tidak memiliki muka. Adik malu, sama kalian, lebih-lebih sama Allah," adu Hawwaiz.
Bersamaan dengan itu, gawai Hawwaiz berbunyi. Nama Vira terlihat menghiasi layarnya. Sudah sejak kedatangan orang tuanya dua hari yang lalu Hawwaiz mengabaikan pesan dan panggilan dari Vira.
"Mengapa tidak dijawab. Itu Vira, kan, yang menelepon?" tanya Qiyya.
Hawwaiz mendesah sesaat lalu menatap Qiyya sebelum menerima panggilan dari Vira dan meminta untuk me-loud speaker panggilan dari wanita yang paling dicintainya itu.
"Hallo—" sapanya dengan suara parau.
"Aku salah apa sama kamu, Bi? Setelah kamu sakit sepertinya menjauhiku, jarang sekali membalas pesanku. Okelah kalau kamu mau di Oxford dulu, fokus sama kuliah dan mengenai musim dingin aku bisa paham. Tapi mengapa sikapmu juga mengikuti perubahan musim ini padaku. Apa kamu memang sengaja ingin kita semakin jauh?" protes Vira.
"El, aku—" Hawwaiz menghela napasnya ketika menatap sang bunda yang hanya diam mendengarkan interaksi keduanya.
"Aku nggak habis pikir, mengapa harus seperti ini. Aku jadi nggak fokus satu bulan terakhir ini, seolah-olah semua tentang kita mengantung tanpa kejelasan. Maaf ya, Bi, seminggu yang lalu aku keceplosan bilang sama Mimi kalau kita—" Vira menggantung kalimatnya.
"Aku takut, Bi. Pipi juga nggak mau ngomong sama aku. Kalau kamu ikutan menjauh lalu aku sama siapa?" Vira mulai terisak dalam tangisnya.
Hawwaiz mulai bingung, apa yang harus dia lakukan. Jika menuruti ingin saat ini juga dia pastikan meluncur ke London tapi rasanya itu sudah tidak mungkin lagi setelah semua janji yang telah dia ucapkan pada dirinya sendiri.
Melihat sang putra kebingungan, akhirnya Qiyya mengambil kembali perannya sebagai orang tua yang harus bersikap bijaksana. "Bunda boleh bicara dengan Vira, Sayang?"
Hawwaiz mengangguk lalu menyerahkan gawainya.
"Tante Qiyya ada di Oxford, Bi?" tanya Vira yang terdengar terkejut mendengar suara Qiyya.
"Hallo, Vira. Ini Tante yang bicara," sapa Qiyya.
"Tante, maaf saya tidak tahu kalau Tante ada di Oxford sekarang. Berarti Om Ibnu juga ada di sana?" tanya Vira dengan terbata.
"Iya, Tante dan Om kemari karena harus menemui Hawwaiz setelah menerima cerita tentang kalian dari pipimu," jawab Qiyya dengan tenang.
"Astagfirullah, saya minta maaf, Tante. Semua itu bukan hanya salah Hawwaiz. Tapi saya juga salah. Jika saya tidak memaksa, tidak mungkin Hawwaiz melakukan semua itu. Tante, tolong jangan hanya menyalahkan Hawwaiz," pinta Vira di antara isak tangisnya.
Qiyya menatap putranya kembali. Ternyata keduanya berusaha untuk saling melindungi. Hawwaiz yang menerima kesalahannya seorang diri, sementara Vira meminta untuk membagi salah itu padanya.
"Vir, Tante bisa paham apa yang kalian rasakan sekarang. Namun, sekarang sebaiknya Vira bicara dengan Mimi ya. Apa yang harus Vira lakukan. Tante juga sedang bicara dengan Hawwaiz. Semoga keputusan kita akan menjadi pilihan terbaik untuk semuanya," pungkas Qiyya.
"Iya, Tan. Sekali lagi saya minta maaf. Tolong sampaikan juga permintaan maaf saya kepada Om Ibnu," tutup Vira.
Kemandirian yang selalu Hawwaiz pegang teguh ternyata justru merepotkan orang tua yang harusnya kini bisa menikmati masa senja mereka dengan melihat putranya bahagia tanpa kesalahan. Hawwaiz semakin bersalah ketika Ibnu datang menghampiri dan mengajaknya bicara tanpa nada tinggi.
"Kalau nanti kamu sudah siap menemui Om Arfan, Daddy dan Bunda yang akan mengantarkannya. Sebagaimana dulu kami mengantarkan Mas Hanif menemui Om Ghulam dan Tante Omaira." Ibnu menepuk pundak Hawwaiz yang sedang melamun setelah kepergian sang bunda.
"Dad—" kata Hawwaiz.
"Om Arfan pasti akan marah sama kamu, tapi Daddy selalu mengajarkan pada anak-anak Daddy untuk bertanggung jawab atas semua keputusan yang kalian ambil."
Hawwaiz menggeleng lemah. Dia menolak bukan karena tidak ingin bertanggung jawab atau tidak mencintai Vira. Hawwaiz hanya ingin memantaskan dirinya terlebih dulu.
"Daddy benar, Adik memang harus menyelesaikan pendidikan dulu. Mengenai minta maaf pada Om Arfan, itu pasti akan Adik lakukan seperti kata Bunda. Setelah semuanya kembali kondusif, supaya Daddy juga tidak khawatir. Meskipun harusnya itu dilakukan langsung," kata Hawwaiz.
"Kamu yakin dengan ucapanmu?" tanya Ibnu.
Hawwaiz kembali menunduk. Beberapa hari terakhir ini dia mencoba merenungi apa yang telah dilakukannya. Dia memang harus menyelesaikan sesuatu yang telah dimulai satu persatu.
"Daddy mengizinkan Adik untuk menemui Vira dan menjelaskan semuanya?" tanya Hawwaiz sedikit ragu.
"Undang Vira kemari, supaya Daddy dan Bunda bisa ikut menjelaskan semuanya," kata Ibnu.
Perintah yang tidak akan disia-siakan oleh Hawwaiz. Dia segera mengirimkan pesan pada Vira supaya bisa datang ke Oxford memenuhi undangan kedua orang tuanya.
"Bi, kamu tidak sedang bercanda, kan?" kata Vira yang memilih menelepon Hawwaiz daripada membalas pesannya.
"Daddy sendiri yang bicara padaku, kamu bisa kan akhir pekan ini? Nanti aku jemput di stasiun Oxford," tanya Hawwaiz.
Vira lebih dulu memastikan jadwalnya sebelum Hawwaiz bertanya. Dia tidak akan melewatkan kesempatan itu. Jadwal di kantornya juga tidak terlalu padat. Pimpinan baru yang juga berasal dari Indonesia cukup bersahabat dengan agenda akhir pekan.
"Oke, aku datang. Semoga Pak Heffry tidak memberi pekerjaan tambahan akhir pekan ini," jawab Vira.
"Heffry?" Hawwaiz mengerutkan kening. Mencoba mengingat nama teman Vira yang terasa asing di telinganya.
"Eh, iya, itu pimpinan baru. Baru juga tiga minggu dinas di London. Orangnya baik banget, masih muda lagi, sudah jadi eksekutif," jelas Vira.
"Tampan?" tanya Hawwaiz tanpa jeda.
Decehan ringan keluar dari bibir Vira, lalu Hawwaiz tersenyum kecut setelahnya. Bagaimana bisa menjauh, hanya mendengar Vira menyebutkan kelebihan pria lain saja hatinya sudah terbakar api cemburu.
Hawwaiz meletakkan gawainya lalu kembali bercengkerama bersama orang tuanya. Jika salju tidak turun deras malam ini, Hawwaiz berencana mengajak Ibnu dan Qiyya menikmati makan hangat yang terkenal di Oxford saat musim dingin tiba. Tidak hanya bertiga, Revan juga turut serta bersama mereka.
Percakapan yang begitu hangat mewarnai makan malam yang masih terlalu sore di Oxford. Namun, ternyata Ibnu sangat menikmati kebersamaan itu. Dia bahkan berniat untuk menambah porsi makannya. Jika bukan karena Qiyya memintanya berhenti, mungkin Hawwaiz pun akan merelakan makanannya dimakan oleh Ibnu.
"Musim dingin memang membuat nafsu makan bertambah, Om. Tenang saja, bos kecil kita tidak akan kehabisan pound sterling atau euro di sini, Om," gurau Revan.
"Kalian ini, ada-ada saja. Pantas saja Hawwaiz kerasan tinggal di sini sampai mengubah visanya. Ternyata tinggal dengan orang satu server dengannya," puji Ibnu.
Hawwaiz hanya menggeleng perlahan. Melihat senyuman Ibnu sore ini membuat hatinya sedikit tenang. Benar kata Hanif, tidak satu pun orang tua di dunia ini yang menginginkan anak-anaknya menderita. Kesadaran yang begitu terlambat, dan Hawwaiz tidak mungkin kembali ke masa lalu lagi.
"Sesuatu yang pantas diperjuangkan harus mengeluarkan effort yang luar biasa, Om. Saya kenal baik siapa putra Om Ibnu." Revan tersenyum ramah.
"Berarti Om yang kurang bisa menyelaminya. Maklum sudah setengah tua, Rev," kelakar Ibnu.
"Ah, Om Ibnu bisa saja," balas Revan.
"Daddy apaan sih? Akrab banget sma Revan, sudah seperti ketemu sama anak yang hilang saja," timpal Revan.
Revan tertawa bersamaan dengan suara Qiyya yang terdengar ikut menanggapi gurauan mereka.
"Kalau begitu Bunda sedikit tenang meninggalkan kamu di sini, Dik. Ada saudara angkat yang akan selalu menjagamu selama kami tidak ada." Qiyya terkekeh bersamaan dengan Revan dan Ibnu. Sementara Hawwaiz memilih untuk tidak menanggapinya.
Akhirnya percakapan hangat itu berakhir dengan permohonan serius Ibnu kepada Revan setelah Qiyya dan Hawwaiz memilih untuk membeli makanan ringan di minimarket sebelah cafe tempat mereka makan malam.
"Pasti Hawwaiz pernah bercerita tentang Vira padamu, Rev, meski tidak semuanya. Karena Om kenal siapa Hawwaiz," kata Ibnu membuka obrolan serius bersama Revan.
"Benar, Om. Bahkan kemarin waktu Hawwaiz hipotermia di London, Vira yang membawa Hawwaiz ke rumah sakit," jawab Revan.
"Hipotermi di London?" Ibnu bergumam.
Revan kaget melihat ekspresi Ibnu. Dia tidak salah bicara tapi mungkin Hawwaiz sengaja menyembunyikan sakitnya dari mereka.
"Kapan itu?" tanya Ibnu lagi.
"Om Ibnu benar-benar tidak tahu?" Revan ganti bertanya.
Ibnu mendesah perlahan kemudian menggelengkan kepalanya. Semenjak hubungannya dengan Hawwaiz meruncing, bungsunya itu hampir tidak pernah bercerita sedikit pun tentang kesulitan selama hidup di Oxford.
"Semenjak itu Hawwaiz menjadi lebih pendiam, muram dan sering melamun," adu Revan.
Ibnu meraih tangan Revan dan menatap pemuda itu dalam-dalam. Seorang ayah yang selamanya akan tetap menganggap putra-putrinya sebagai anak yang harus dijaga.
"Om tahu kamu sahabat Hawwaiz yang baik. Kedatangan kami ke Oxford memang untuk memperoleh kejelasan atas sesuatu yang nggak bisa Om ceritakan kepadamu. Intinya, Om titip Hawwaiz selama di sini, Rev."
Revan mengerutkan keningnya. Selama ini justru Hawwaiz yang jauh lebih mandiri dibandingkan dirinya. Hanya merasa heran mengapa Ibnu sampai sekhawatir itu pada Hawwaiz.
"Om Ibnu tidak perlu khawatir, Hawwaiz itu selalu bertanggung jawab dengan apa yang telah dia putuskan," jawab Revan.
Ibnu menghela napasnya.
"Tolong, dampingi Hawwaiz setiap kali ingin menemui Vira di London. Om yakin Revan tahu apa yang menjadi alasan kami." Ibnu mengusap lengan Revan lalu tersenyum penuh harap.
"InsyaAllah, Om. Semoga Hawwaiz tidak pergi diam-diam ke London."
Harapan yang tersemat dalam hati semoga putranya tidak akan mengingkari janji yang telah diucapkannya sendiri. Dia tidak tahu lagi harus bicara apa nantinya kepada besan sekaligus orang tua Vira jika Hawwaiz kembali mengulang kesalahan yang sama.
☼☼
SEBAGAIMANA waktu yang telah disepakati, Vira dijemput Hawwaiz di stasiun kereta. Meski sedikit takut dalam hatinya, gadis itu tetap berusaha bersikap sewajarnya di hadapan kedua orang tua Hawwaiz nantinya.
Semburat wajah lelah dan terlihat masih pucat, Hawwaiz tiba di stasiun bersama Revan. Meski demikian senyumnya terlihat mencuat manakala kedua manik matanya melihat dari jauh Vira tersenyum semringah, mengenakan mantel yang dia belikan beberapa waktu lalu. Tangannya melambai setelah jarak mereka cukup dekat untuk saling menyapa.
"Eh, sama Revan juga?" tanya Vira mengangguk ramah kepada Revan yang berdiri di samping Hawwaiz.
Menghalau segala keresahan yang kini berkecamuk di antara rasa bersalahnya kepada pria yang sangat Vira cintai. Bisu yang akhirnya membalut segala gundah yang membawa kata di ujung bibirnya.
"Maafin aku, Bi," kata Vira saat dia telah berdiri tepat di depan Hawwaiz.
Hawwaiz tersenyum sekilas tanpa suara, selebihnya dia juatru lebih memilih menjaga jarak aman sampai dengan sebuah taksi tiba di depan mereka.
Vira mendesah perlahan, pertama kalinya berkunjung ke Oxford justru di musim dingin yang membuatnya tidak bisa menikmati sudut kota dengan sempurna. Namun, dia tidak memiliki nyali untuk bertanya lebih lanjut tentang beberapa pemandangan yang memukau matanya.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Hawwaiz tiba-tiba.
Gelengan kepala Vira membuat Hawwaiz meminta sopir taksi menghentikan mobil mereka di sebuah cafe yang ditunjuk Hawwaiz. Ketiganya masuk dan memesan makanan yang tersedia di sana.
"Om Ibnu dan Tante Qiyya--?" tanya Vira kikuk.
"Daddy dan Bunda masih di hotel, setelah ini aku antar kamu bertemu dengan mereka," jawab Hawwaiz lalu menyilakan Revan dan Vira menikmati sarapan yang telah tersedia.
Revan masih dengan mode silent. Menyimak percakapan mereka tanpa berniat nimbrung dalam urusan mereka. Sejak awal dia mengerti, Revan tidak ingin banyak bertanya. Kapasitasnya hanya sebagai seorang sahabat yang harus ada ketika sahabatnya membutuhkan bantuan.
"Sori, Rev. Karena masalahku sama Vira, kamu jadi ikut terkena getahnya," kata Hawwaiz setelah mereka selesai makan saat berada di restroom berdua.
"Selama aku bisa membantu kenapa nggak sih, Iz. Aku nggak ngerti detailnya seperti apa dan kamu nggak perlu cerita ke aku. Om Ibnu adalah orang yang paling tepat untuk mengetahui semuanya." Revan menepuk bahu Hawwaiz lalu mengajaknya kembali ke meja makan.
Hawwaiz mengangguk.
Di mata Hawwaiz, tidak ada yang berbeda dari sikap Vira. Rasa rindu berbalut cinta itu terlihat begitu jelas melalui pancaran matanya. Senyumnya pun merekah mewakilkan hatinya yang teramat bahagia bisa melihat Hawwaiz kembali setelah sekian lama tidak bersua. Meski rasa ragu seolah membayang dalam perjalanan kisah mereka selanjutnya. Bukan tentang perasaannya kepada Vira tapi dengan sikap orang tua gadis itu setelah dia melakukan kesalahan besar.
"Iz, sepertinya aku antar sampai di sini ya. Ada Om Ibnu dan Tante Qiyya di atas. I'm sure you know what to do," kata Revan ketika mereka sampai di lobi hotel tempat Ibnu dan Qiyya menginap.
Hawwaiz menghela napas panjang lalu mengucapkan terima kasih sebelum mereka berpisah. Selanjutnya dia mengajak Vira naik dengan elevator untuk menemui Ibnu dan Qiyya.
"Om Arfan dan Tante Nia baik-baik saja kan, El?" tanya Hawwaiz.
Vira menatap Hawwaiz sejenak tapi pemuda itu memilih untuk berdiri di pojokan tanpa sedikit pun menatapnya.
"Aku minta maaf, Bi. Mungkin jika aku nggak kelepasan bicara pada Mimi, cerita kita--" Vira kembali menundukkan kepalanya.
"Orang tua kita nggak tahu, tapi Allah tahu kita telah berbuat salah," jawab Hawwaiz.
"Aku tahu itu," kata Vira.
"Tapi tetap saja aku yang bersalah, dan sekarang aku juga segan bertemu dengan orang tuamu." Vira menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.
"Mereka tidak akan menelanmu," gurau Hawwaiz.
"Aku serius, Bi. Ish!" Vira memberengut.
Hawwaiz tertawa sejenak memperhatikan reaksi Vira tapi secepatnya dia beristigfar. Takut terbawa suasana yang akan membuat kontrol emosinya menipis.
"Padahal kemarin baru saja menyelesaikan urusan Mbak Ayya dan Kak Aftab, sekarang kita." Vira menautkan jari jemarinya.
"Kita hadapi bersama. Daddy pasti marah, tapi tentu saja marahnya ke aku bukan ke kamu." Hawwaiz meminta Vira mengikutinya setelah pintu elevator terbuka sempurna.
Hanya dalam hitungan detik, akhirnya senyum keibuan milik Qiyya tampak dibalik pintu. Ibu lima anak itu menyilakan putra bungsu dan tamu yang ditunggunya masuk ke kamar. Berbeda dengan itu, Ibnu terlihat hanya menatap Vira dengan wajah datarnya dari sofa.
"Duduk, Vir. Tunggu sebentar, Tante buatkan minuman hangat," sambut Qiyya.
Suite room yang disewa Ibnu ini sangat memungkinkan bagi Qiyya untuk menjamu tamunya dengan baik meski tidak sempurna.
"Terima kasih, Tan. Nggak perlu repot-repot." Vira tersenyum ke arah Ibnu padahal dalam hati sudah ketar-ketir melihatnya.
"Jangan nyeremin gitu lah, Dad. Bikin takut anak orang lho," Hawwaiz mencoba mencairkan suasana tapi suara Ibnu lebih mendominasi untuk membuat suasana kembali serius.
"Duduk, Vir. Pasti capek naik kereta sendiri ke kota yang mungkin belum pernah dikunjungi." Ibnu menekankan kata mungkin yang langsung membuat Hawwaiz menatapnya dengan tajam.
"Vira memang belum pernah ke Oxford, Dad," jawab Hawwaiz.
"Vira ini temannya Kak Al, Dik. Nggak sopan kamu panggilnya seperti itu!"
Hawwaiz menghela napas panjang. Dia ingin menimpali tapi Qiyya lebih dulu datang dan mengambil alih kalimat Hawwaiz selanjutnya.
"No problem, Dad, selama Vira nggak mempermasalahkan itu. Toh kita semua juga sudah tahu apa yang diinginkan mereka." Qiyya meletakkan cangkir berisi teh panas di atas meja.
"Diminum dulu, Vir."
Sampai kapan pun bahasa ibu memang jauh lebih halus dibandingkan apa pun di dunia ini. Percakapan pembuka yang terkesan hangat meskipun gestur Vira terlihat sangat kaku. Qiyya bukannya tidak melihat itu tapi mereka memang harus bicara.
"Jadi, kami mengundangmu kemari karena ingin mendengar langsung. Apa rencana kalian sekarang?" Tak ingin menunda waktu terlalu lama, Ibnu segera masuk ke percakapan inti mereka.
Vira menatap Hawwaiz dan Qiyya secara bergantian.
"Sebelumnya, saya minta maaf, Om. Kejadian itu tidak sepenuhnya salah Hawwaiz." Vira mulai bicara meski dengan kalimat terbata.
"Justru orang yang paling disalahkan adalah saya," lanjutnya.
"El--" Hawwaiz terlihat keberatan dengan kalimat terakhir yang Vira ucapkan.
"Jika saya tidak menantangnya, mungkin Hawwaiz--" Vira menatap Hawwaiz sesaat.
"Elvira cukup!" Hawwaiz memotongnya dengan nada sedikit tinggi.
"Bi, bukankah kita tidak lagi memiliki pilihan selain jujur?" kata Vira.
Ibnu mendesah, konfrontasi hari ini cukup memberikan gambaran bahwa apa yang disampaikan oleh Hanif dan Ayya tentang putra bungsunya memang benar adanya. Tatapan Hawwaiz terlihat memuja Vira sedemikian rupa.
"Tidak perlu berdebat di depan Daddy dan Bunda!" tegas Ibnu.
"Kalian berdua memang salah, tidak perlu memperebutkan siapa yang paling bersalah." Kepalan tangan Ibnu menunjukkan dia sedang menguasai emosinya.
Qiyya pun akhirnya mengambil peran. Bibirnya bergetar mengondisikan suasana supaya tetap nyaman untuk semuanya.
"Maksud Daddy, kami datang kemari karena sayang dengan kalian berdua. Meski jujur juga terdorong atas rasa kecewa. Hawwaiz, Vira, Daddy dan Bunda nggak pernah mempermasalahkan benih cinta itu tumbuh di antara kalian. Tapi satu hal yang harus selalu diingat, kalian harus bisa menahan semuanya dengan baik," kata Qiyya.
"Tidak ada istilah pacaran dalam Islam, Dik," tambah Ibnu.
"Adik juga tidak ingin pacaran, Dad. Itu sebabnya—" Hawwaiz menghentikan kalimatnya segera ketika menatap sorot mata Ibnu yang tidak lagi bersahabat.
"Nyatanya kamu belumlah cukup dikatakan dewasa. Orang dewasa selalu menggunakan logikanya berdasarkan hukum sebab akibat. Dan dengan kalian melakukan itu, sudah cukup membuktikan kepada kami bagaimana sifat kekanak-kanakanmu itu. Sebagai calon dokter yang kami didik dengan baik sedari kecil, harusnya kamu mengerti maksud Daddy memintamu untuk menyelesaikan kuliahmu terlebih dulu sebelum menikah." Ibnu memilih berdiri dan mengamati pemandangan Oxford yang hampir semua tertutup salju dari sudut jendela yang ada di kamar itu.
"Dad, ini bukan sebuah intimidasi untuk kami berdua, kan?" Hawwaiz ikut berdiri lalu berjalan mendekati Ibnu.
"Jangan terlalu naif untuk memberikan penilaian pada diri kita sendiri, Dik." Ibnu menepuk bahu putra bungsunya lalu membiarkan Hawwaiz kembali berpikir.
Kata dewasa yang selama ini didengungkan Hawwaiz membuat Ibnu memberikan penawaran lain secara tersirat melalui tatapan matanya.
"Terima kasih untuk kesempatannya, Dad. Adik janji nggak akan salah melangkah lagi." Hawwaiz merangsek ke pelukan Ibnu ketika pria paruh baya itu membuka lengannya.
Qiyya akhirnya bisa tersenyum lega dan berpindah tempat duduk tepat di samping Vira.
"Om Ibnu ...." Jujur Vira sangat bingung dengan perubahan sikap Ibnu yang sangat mencolok mata dengan sedikit kata yang terucap.
"Itulah mereka berdua, Vira. Mereka seolah tahu tanpa harus banyak bicara. Harusnya kami selalu ada di sampingnya supaya dia tidak salah melangkah. Maafkan kami berdua ya, maafkan anak bungsu Tante juga." Qiyya tersenyum meski titik-titik air mata melelah dari sudut matanya.
"Tante dan Om Ibnu Ibnu tidak pernah salah. Kami yang keliru mengartikan rasa sayang dan cinta kalian. Maafkan Vira, Tante." Vira justru memilih menundukkan kepalanya.
Suasana haru itu kembali berbalut dengan percakapan hangat yang mengerucutkan satu keputusan besar untuk Hawwaiz dan Vira. Sepakat untuk menyelesaikan program terdekat dengan masa depan mereka. menganggap sebagai hukuman atau justru sebuah tantangan yang mempertaruhkan kedewasaan mereka dalam bersikap.
Hawwaiz dan Vira mulai menghitung dengan cermat, mengatur strategi agar bisa menyelesaikan tugas mereka dengan baik secepatnya. Sampai akhirnya suara gawai milik Vira memecah fokus mereka.
"Siapa?" tanya Hawwaiz.
"Pipi," jawab Vira sembari menekan button hijau setelah melihat anggukan kepala Qiyya.
Panggilan video yang akhirnya membuat Arfan seketika memberikan pertanyaan tegas dan mengabaikan sapa dan senyuman manis putrinya.
"Kamu ngapain ada di hotel?"
Vira menghela napasnya sejenak sebelum menjawab pertanyaan pipinya.
"Hari ini Adik ke Oxford, Pi. Om Ibnu dan Tante Qiyya datang kemari," jawab Vira jujur.
"Siapa yang memberimu izin? Pipi nggak mau kamu semakin banyak alasan, kembali ke London segera," perintah Arfan.
Meski tidak berdekatan, tapi telinga Ibnu, Qiyya dan Hawwaiz masih bisa mendengar suara Arfan dengan jelas. Tangan Ibnu segera memainkan perannya sebagai orang tua ketika Hawwaiz berniat menjelaskan pada Arfan.
"Dad—" Hawwaiz memohon.
"Biar Daddy yang menjelaskan kepada Om Arfan." Ibnu segera berdiri dan mendekati Vira agar memberikan gawainya agar bisa bicara dengan Arfan.
Setelah wajah Afran dan Ibnu saling bertatap melalui layar, tanpa senyuman Arfan angkat suara. "Maaf, tapi aku nggak suka dengan cara Mas Ibnu meminta putriku menemui kalian di Oxford. Dulu, aku dan Kania tidak pernah meminta Ayya menemui kami berdua meski kami tahu Aftab tersakiti dengan keadaan mereka. Biarkan Vira kembali ke London sekarang, asalamualaikum."
Setelahnya, layar gawai milik Vira menunjukkan beranda tanpa suara. Ibnu tersenyum, mengangguk lalu mengucapkan maaf kepada Vira sebelum dia menyerahkan benda pipih itu ke tangan putri dari salah satu besannya.☼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top