11 • Contemplation
HELAAN napas lega kembali dikeluarkan manakala dokter mengatakan bahwa Hawwaiz telah melewati masa kritisnya dan kembali tersadar. Beberapa hal yang dipesankan kepada Vira adalah tidak diperkenankannya membicarakan hal-hal yang terlalu berat untuk bisa diterima Hawwaiz saat ini. Kondisi tubuhnya membutuhkan totaly rest. Khawatir terjadi overload fisik ataupun mental yang akan mempengaruhi jiwa, sang dokter menyarankan untuk memberikan stimulus positif yang bisa membuatnya tenang.
"Mr. Hawwaiz's physical condition is very bad. Please don't burden his mind with even worse things, or else more scared things will be happen."
"I do understand, Doctor. Thanks for the information, noted for it," jawab Vira.
Hawwaiz masih berbaring dengan mata tertutup ketika Vira kembali ke ruang perawatannya. Kali ini tidak lagi pingsan tapi efek dari obat yang disuntikkan membuatnya tertidur. Vira memilih membersihkan dirinya terlebih dahulu. Peristiwa semalam telah menguras segalanya. Pembelajaran berharga ini bukan hanya untuk Hawwaiz tapi juga untuk Vira.
Hanya ingin melihat sejauh apa keseriusan Hawwaiz kepadanya, membuktikan bahwa apa yang dituduhkan kedua orang tua kepada kekasih hatinya tidaklah benar. Nyatanya menantang kesombongan manusia itu laksana melukai diri sendiri. Itu sebabnya mengapa setiap hamba dilarang untuk bersikap sombong, don't ever feel arrogant in front of Allah because in fact pride is only his.
Pada saat lamunan itu sedang berkelana dan beputar dalam otak Vira yang kini hanya mampu duduk termenung di sofa sambil sesekali memperhatikan Hawwaiz karena mengubah posisi tidurnya, ketukan pintu yang meraba indra perungunya membuatnya bangkit dan melihat siapa yang datang.
"Maaf, kamar rawatnya Hawwaiz?"
Vira masih bergeming di tempatnya. Ketika mendapati seorang pria asing berdiri dibalik pintu yang dia buka.
"Iya, maaf Anda siapa?" Vira menggeragap.
"Perkenalkan saya Revan Adhyatama, teman seflat Hawwaiz. Tadi dia sempat mengabari saya kalau sedang di rawat di sini. Anda tentu Vira, kan?"
Vira mengangguk membenarkannya. Hawwaiz sering bercerita tentang Revan padanya.
"Boleh saya masuk, Vir?" tanya Revan.
"Oh tentu, silakan, tapi Hawwaiz masih tidur." Vira tersenyum mengangguk.
"Ini bagaimana ceritanya Hawwaiz bisa sampai hipotermia, apa waktu terjadi badai semalam dia sedang berada di luar?"
Revan merasa ganjil dengan keadaan yang menimpa Hawwaiz. Sahabatnya itu selalu prepare, selalu mengingatkan teman-temannya. Dia yang selalu memperhatikan lingkungan sekitar terlebih untuk kesehatan mengapa bisa sampai kecolongan seperti sekarang ini.
Vira tidak mungkin menjawab jujur walau apa pun alasannya. Dia hanya bisa menjelaskan bahwa Hawwaiz kecapekan dan kebetulan udara di luar mulai dingin dan saat mandi Hawwaiz tak sadarkan diri.
"Hawwaiz memang sangat sibuk beberapa bulan belakang, terlebih dua bulan belakangan ini." Revan mengingat semua kegiatan Hawwaiz belakangan ini.
"Saya saja hampir tidak pernah menemui di flat. Entah hal mendesak apa yang membuatnya menjelma menjadi orang gila yang tak kenal waktu bahkan untuk merawat dirinya sendiri saja tidak terpikirkan," lanjutnya.
"Dia tidak pernah cerita mengapa berubah sedemikian drastis?" tanya Vira.
"Dari awal mengenal Hawwaiz memang sudah terlihat kalau dia pekerja keras dan disiplin. Bahkan karena sikapnya, kami yang berada dalam lingkar pertemanan ikut terbawa arus," jawab Revan.
"Bagus berarti." Vira menekankan ucapannya.
"Iya, hanya workerholic akhir-akhir ini membuat kami was-was sebagai teman dan sahabat. Dan benar saja tumbang juga akhirnya di sini."
Tidak ada yang berbeda dengan pengakuan Hawwaiz padanya. Vira tersenyum dalam hati, Hawwaiz memang melakukan semua untuk bisa membuktikan janjinya kepada orang tua mereka. Revan masih bercerita tapi tak berapa lama kemudian harus terhenti karena Hawwaiz terbangun dari tidurnya.
"Iz, bisa tumbang juga?" tanya Revan sesaat setelah berdiri dari tempat duduknya.
"Thanks sudah sempetin kemari, Rev."
"Bikin khawatir aja sih! Untung ada Vira yang menemani kamu. Sudah tahu di negeri orang pake sakit segala. Ngejar apaan sih kerja sebegitunya?"
Hawwaiz hanya bisa tersenyum kecut, mengejar apalagi kalau bukan demi wanita yang kini tengah berdiri di antara mereka.
Vira telah memberitahukan pesan dokter kepada Revan untuk membuat Hawwaiz tidak tertekan dengan apa pun sehingga percakapan mereka kali ini pun juga masuk dalam kategiri percakapan ringan. Beberapa tingkah yang dibuat Revan berhasil membuat Hawwaiz tertawa hingga suasana kembali menjadi cair sebelum akhirnya Hawwaiz bersuara yang membuat suasana menjadi dingin kembali.
"El, Revan sudah ada di sini. Sebaiknya kamu kembali di flat. Istirahat, besok harus bekerja kan? Kalau memang aku harus totaly bedrest, nanti aku minta ke dokter untuk bisa memindahkan ke Oxford saja supaya tidak terlalu merepotkanmu," kata Hawwaiz yang langsung mendapat persetujuan Revan.
Sejak kapan Vira menjadi repot karena keberadaan Hawwaiz? Bukankah selama ini justru Hawwaiz yang selalu repot mengurusi dan menjaganya. Memastikan Vira tidak kurang apa pun di London. Termasuk juga melindungi dirinya sampai akhirnya perasaan sombong itu datang lalu menantang adrenalin dan bodohnya Hawwaiz terpancing untuk melakukan lebih.
"Bi, aku-"
"Aku tidak apa-apa, kamu kembali saja ke flat. Nanti kita bicarakan setelah aku keluar dari rumah sakit. Ada Revan juga di sini."
"Tapi, Bi-" rengek Vira.
"Nurut ya, jangan jadi pembangkang. Cukup aku saja yang menyandang predikat itu, jangan kamu." Hawwaiz masih juga tertunduk, seolah membatasi pandangannya kepada Vira. "Go back, I will be okay later."
"Bilal ...."
Revan yang merasa bingung dengan apa yang keduanya bicarakan berniat untuk meninggalkan berdua supaya percakapan Hawwaiz dan Vira bisa leluasa. "Eh aku keluar saja ya?"
Tangan Hawwaiz lebih cepat menangkap lengan Revan dan memberikan isyarat untuk tetap tinggal.
"Trust me, please," kata Hawwaiz pada Vira.
Meski dengan perasaan berat akhirnya Vira berkata, "I'm willing to go home, but you have to promise to get well and do what the doctor says."
"I have," jawab Hawwaiz.
"Revan, please take care of Hawwaiz."
"Don't worry, I will and I will let you know later." Revan tersenyum mengantarkan kepergian Vira hingga dia menghilang di balik pintu.
Setelahnya Revan enggan untuk bertanya pada Hawwaiz tapi justru Hawwaiz yang merasa asing dengan sikap temannya itu. Sejak kapan dia bisa secuek bebek dan hilang rasa keponya.
"What's wrong with you?" tanya Hawwaiz.
"Me? Anything wrong?" Bukannya menjawab Revan justru bertanya balik kepada Hawwaiz.
"Tumben cuek bebek, biasanya kepo." Hawwaiz melempar gulingnya ke arah Revan. Namun, yang bersangkutan hanya tertawa mengabaikan pertanyaan Hawwaiz.
Revan tahu ada yang telah terjadi antara Vira dan Hawwaiz tapi dia tidak ingin ambil bagian untuk masuk ke dalam urusan mereka. Biar saja itu menjadi urusan mereka dan hanya mereka berdua yang harus menyelesaikannya.
Talk by a man, tidak ada yang diragukan lagi bagaimana bromance keduanya. Semua juga setuju Revan memang teman satu flat yang paling dekat dengan Hawwaiz, selain sama-sama berasal dari Indonesia keduanya memang tidak pernah hitung-hitungan soal tolong menolong. Mungkin karena keduanya dibesarkan dalam koridor budaya yang sama sehingga tidak terlalu kentara perbedaannya dibandingkan dengan teman-teman mereka yang berasal dari negara yang berbeda.
"I will be back to Indonesia after exam." Hawwaiz berkata setelah suasana hening melingkupi mereka.
"Back? Didn't you intend to stay here for a long time even you have changed your visa type?" Revan kembali dibuat terkejut oleh Hawwaiz.
Hawwaiz menghela napas kasar, "Ada yang ingin aku sampaikan kepada Daddy yang nggak mungkin melalui. I have to meet him."
"Pasti ini masalah kamu dan Vira. Benar begitu?"
"Sok tahu!" Hawwaiz memutar bola matanya jengah.
Sebagai calon psikolog, tentu saja Revan bisa membaca gelagat aneh yang ditunjukkan sahabatnya.
"Aku tahu kamu berusaha untuk menutupi sesuatu yang nggak perlu aku ketahui. Apa pun itu masalahmu, Iz, sebagai teman aku hanya bisa mendukung dan berdoa yang terbaik untuk kamu. Dan jika kamu butuh bahu untuk membagi sesuatu, kamu tahu kedua bahuku masih tetap kokoh untuk itu." Kali ini Revan berbicara dengan raut wajah yang cukup serius.
"Thanks, tapi kali ini aku butuh Daddy," jawab Hawwaiz.
Revan tersenyum lalu menepuk bahu Hawwaiz. "Dokter bilang, kamu dilarang memforsir tenaga terlebih berpikir terlalu berat kalau kamu tidak ingin terjadi sesuatu yang lebih mengerikan daripada ini."
"Maksudmu?" Hawwaiz mengernyitkan kening.
"Penyumbatan darah di pembuluh misalnya," jawab Revan dengan entengnya.
"Astagfirullah," desis Hawwaiz.
"Know that, God still writing your story so quit trying to steal the pen." Revan kembali tersenyum dan mengusap lengan Hawwaiz.
Hawwaiz mengangguk dan membenarkan ucapan sahabatnya, "Thanks Brow but sorry for now I can't tell you what happening is."
Revan hanya mengangguk.
Akhirnya, pertemuannya kembali dengan dokter rawat membuat Hawwaiz meminta agar bisa dipindahkan ke Oxford mengingat semua kegiatannya nanti akan berpusat di sana. Dan Hawwaiz pun meminta Revan agar tidak memberitahukan pada Vira.
☼☼
SEMINGGU berlalu dari peristiwa memalukan itu Hawwaiz telah keluar dari rumah sakit. Musim dingin kali ini seolah mengambil perannya dengan begitu cepat, entahlah. Sepertinya musim dingin kali ini adalah musim dingin terberat yang harus dilalui Hawwaiz walaupun kegiatan kampusnya tidak terlalu padat.
"Jangan terlalu dipaksa kalau masih belum memungkinkan untuk melakukannya. Hidup itu harus seimbang, Brow. Ambisi itu perlu kok, baik malah, karena kita memiliki target hidup yang jelas, hanya saja terlalu berambisi itu akan menyakitimu terlebih orang-orang disekitarmu. Nih teh jahe kiriman dari Indo." Revan mengulurkan mug panas pada Hawwaiz.
Hawwaiz yang sedang bercengkerama dengan buku-buku tebalnya tapi Revan tahu bahwa pusat pikiran sahabatnya tidak bertumpu pada bacaan yang ada di hadapannya. Meski sebuah kacamata baca miliknya sudah bertengger manis mempertegas garis hidung yang dimilikinya diatas rata-rata kebanyakan orang Indonesia.
"Eh-" Hawwaiz tersentak lalu menengokkan kepala ke arah Revan yang telah berdiri di dekatnya dengan senyuman yang menurutnya sangat mengintimidasi. Dia tidak berusaha untuk mengetahui apa yang kini sedang Hawwaiz rasakan tapi setiap kalimat yang keluar dari bibir teman seflatnya ini langsung menghujam hatinya, tepat pada inti masalah. "Sok iyes lu, but thanks for this." Hawwaiz meraih mug dan menyeduhnya perlahan setelah bibirnya berkomat kamit membaca doa.
"Emang iyes, but you aren't aware."
"Am I?"
Melihat kening Hawwaiz yang mengerut jelas sudah bahwa dia sedang serius, tapi sekali lagi Revan hanya menggeleng. Tangannya dengan cepat menunjuk buku tebal di pangkuan Hawwaiz. "You aren't Mother Shipton who can read a book upside down like this."
Seketika Hawwaiz memperhatikan bukunya dengan saksama. Benar kata Revan, sejak kapan dia memiliki ilmu sihir yang membuatnya bisa membaca dengan cara terbalik seperti sekarang.
"Tidak perlu cerita kalau memang tidak ingin cerita. Kamu tahu ke mana harus menceritakan apa yang kamu alami dalam beberapa hari kemarin. Trust me, I see you now but really I don't see the real you are, where our Hawwaiz was gone?"
Hawwaiz menghela napasnya dalam-dalam. "I had made one biggest mistake of my life-" Hawwaiz menimbang kalimat selanjutnya tapi akhirnya dia uarakan juga.
"I'm scared, even really scared. I will lose something even before I have it."
"Hei, sepertinya yang ada di hadapanku ini memang bukanlah seorang Hawwaiz Asy Syafiq. Come on, Brow, kamu sering mengingatkanku dulu, selalu berbaik sangka kepada Allah. Whatever happens to us, that is His way of showing how much He love us as His servants, remember?"
Hawwaiz diam bahkan dia kini sedang menunduk untuk menyembunyikan sesuatu.
"Sejak kapan kamu melupakannya?" Revan menepuk bahu Hawwaiz sedikit keras namun membuatnya menjadi tahu apa yang sedang disembunyikan Hawwaiz darinya.
"Cry, don't cover it up. It can reduce your stress, get rid of negative energy and replace it with positive energy." Revan kembali menepuk pundak Hawwaiz lalu bergegas pergi meninggalkannya, bukan karena dia tidak peduli tapi justru karena dia sangat peduli dan memberikan waktu kepada Hawwaiz untuk self healing. Penyembuhan diri, dari banyaknya peristiwa, puluhan janji bahkan dengungan semangat seolah terhempas seketika hanya karena sebuah kesalahan.
"Thanks, Brow."
"Sekadar saran, knowing you and who people arround you. Believe that tempat ternyaman untuk self healing itu adalah bersama keluarga. Arrange your schedule, go back to Indonesia, minta maaf kepada orang tuamu, mungkin itu akan sedikit mengurangi beban yang kini sedang menghimpit hatimu."
Sekali lagi Revan benar. Hawwaiz semakin tergugu mendengar penuturan sahabatnya. Hanya bisa berharap semoga waktu segera berganti dan pagi kembali menyapa walau di luar nampak keputihan karena salju mulai turun.
Gawai Hawwaiz bergetar saat matanya baru saja terpejam. Tidak ada nama lain yang biasa menghubunginya sepagi ini selain keluarga dan juga nama wanita yang dia tempatkan dekat di antara jantung dan hatinya, Elvira Aldebaran.
"Hallo-" Suara serak khas orang bangun tidur terdengar disambut dengan receh suara wanita yang mulai cerewet untuk membangunkannya.
"Bi, bangun sudah menjelang Subuh."
"Rabbi, aku baru bisa memejamkan mata, El, a half hour more please."
"Hei kamu baru sembuh dari sakit dan baru bisa memejamkan mata sepagi ini? So what did you do last night?" Tidak ada jawaban bahkan hanya terdengar embusan napas teratur yang menandakan bahwa Hawwaiz telah tertidur kembali.
Semua masih berjalan normal, walau banyak yang telah berubah. Hawwaiz telah memutuskan untuk membatasi pertemuan atau bahkan komunikasi dengan Vira dan musim menjadi alasan utama. Sampai-sampai Vira juga tidak tahu jika Hawwaiz telah memiliki tiket untuk pulang ke Indonesia.
Hawwaiz telah bersiap dengan pakaian tebal dan sebuah tas ransel di pundaknya. Siang ini dia berniat berangkat ke London meski jadwal pesawatnya ke Indonesia malam hari. Revan pun telah bersiap untuk mengantarkan Hawwaiz sampai di bandara. Namun, ketika mereka bersiap melangkah keluar flat. Tiba-tiba suara bel membuat Revan bergegeas untuk membukakan pintu.
Kedua mata Revan memandang tidak percaya pada kedua tamu yang sepertinya memiliki ikatan batin yang sangat kuat dengan sahabatnya. Baru saja Hawwaiz berencana pulang, tapi kedua orang tuanya lebih dulu tiba di Oxford dengan wajah lelah.
"Om Ibnu, Tante Qiyya? Ya Rabbi, ini seperti mimpi. Silakan masuk, saya baru saja mau mengantarkan Hawwaiz ke Bandara karena dia berniat pulang ke Indonesia," sapa Revan.
Senyuman Qiyya lebih mendominasi menyambut sapaan Revan. Ibnu hanya mengangguk lalu segera masuk ke flat dengan wajah berang dalam lelahnya. Mendapati sang putra berdiri tak jauh dari Revan berdiri membuat Ibnu dengan mudah mendekatinya.
Plakk!!
"Ini untuk Vira," kata Ibnu setelah menampar pipi kiri Hawwaiz.
Belum sampai Hawwaiz meraba pipi kirinya yang memanas pipi kirinya juga merasakan lagi tamparan sama kerasnya, Plakk!!
"Dan ini untuk Om Arfan," tutupnya.
Tamparan keras dari tangan kekar seorang ayah membuat Revan dan Qiyya tidak pernah percaya dengan apa yang mereka lihat. Memendam amarah, melampiaskan yang akhirnya berujung dengan air mata yang mengalir di kedua pipi Ibnu membuat Hawwaiz bersujud seketika di hadapan Ibnu. Tanpa perlu dia tanyakan, Hawwaiz telah mengerti apa yang membawa daddynya harus jauh-jauh menempuh perjalanan sampai ke Oxford.
"Mas, istigfar, kita harus bertanya dulu kepada Adik. Apa benar kejadiannya seperti itu?" Qiyya berusaha menenangkan sang suami.
Revan yang mulai mengerti duduk perkaranya segera mengambil posisi untuk meninggalkan flat segera dan meminta pada teman satu flat mereka agar tidak kembali ke flat sementara waktu. Hawwaiz membutuhkan privasi bersama keluarganya.
"Maafkan Adik, Dad," ucap Hawwaiz menunduk.
"Sejak kapan Daddy mengajarimu bersikap tidak sopan kepada wanita? Sejak kapan, Hawwaiz?!" Ibnu membentak dengan kencang.
Air mata Hawwaiz kembali mengalir. Tidak ada yang bisa dia katakan untuk membela diri. Semua yang terjadi memang salahnya.
"Daddy malu, sangat malu. Mau taruh di mana muka Daddy di depan Om Arfan, hah?!" Ibnu mengembuskan napasnya dengan kasar.
"Dik, jawab Bunda. Apa kalian telah melakukan perbuatan terlarang itu? Sama seperti yang dikatakan Om Arfan dan Tante Nia," tanya Qiyya.
Hawwaiz masih membeku. Dia kehilangan semua kosakata hanya sekadar untuk menjawab pertanyaan sang bunda. Nyalinya semakin menciut ketika melihat amarah yang masih menyala di wajah daddynya.
"Kamu tidak punya mulut untuk menjawab pertanyaan bundamu?" kata Ibnu.
Hawwaiz masih bungkam. Jujur atau dusta, sebuah pilihan yang sejatinya menjelaskan seperti apa pribadi seseorang. Meski terkadang kejujuran itu terasa begitu menyiksa dan menyakitkan tapi tidak sedikit dari sekian milyar orang di dunia ini memilih bertahan dengan sikap jujur dan tidak mendustai hati nurani. Hawwaiz pun dididik dengan pelajaran itu selama ini oleh orang tuanya.
"Apa air matamu itu akan mengembalikan dan merubah semuanya kembali seperti dulu?" kata Ibnu.
"Dik, jawab Daddy. Bunda nggak percaya dengan tuduhan Om Arfan dan Tante Nia. Karena Bunda tahu kamu, dan insyaAllah kami mendidik kamu dengan benar." Qiyya mengusap kepala Hawwaiz dengan sayang.
Sentuhan kasih seorang ibu yang justru membuat hati Hawwaiz semakin terluka. It takes strength and courage to admit the truth. Hawwaiz menatap Qiyya sesaat lalu menundukkan kepala tepat di pangkuan sang ibunda.
"Maafin Adik, Bun. Adik memang telah melakukan kesalahan itu," jawab Hawwaiz terbata.
Seketika Ibnu mengusap wajahnya dengan kasar, lantunan kalimat istigfar menjadi bunga di bibir Qiyya bersamaan dengan derasnya air mata yang mengalir di belah pipinya. Masih tidak bisa percaya dengan apa yang telah didengarnya dari bibir sang putra. Qiyya kembali mengguncang bahu Hawwaiz yang juga sudah bersimbah air mata.
"Maafin Adik, Bun. Adik tidak bisa menahannya saat terdesak. Adik-" Hawwaiz tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Tidak ada yang bersuara setelah itu. Semua hanyut dalam pemikirannya masing-masing. Meski demikian Qiyya berusaha untuk tetap tenang supaya Ibnu tidak semakin gusar yang akan mempengaruhi kesehatannya kembali. Berita tentang Hawwaiz telah membuat tekanan darah Ibnu melonjak. Bahkan Hanif mewanti-wanti Qiyya untuk tetap menjaga kondisi Ibnu selama jauh dari pantauannya.
"Apa yang nanti akan aku jawab sebagai pertanggungjawaban kepada Allah," Ibnu berkata lirih.
Qiyya membagi hatinya. Tangan kanannya mengusap pundak Ibnu yang duduk di sampingnya. Sementara tangan kirinya masih mengusap kepala Hawwaiz yang ada di pangkuannya.
"Maafkan Adik," kata Hawwaiz dengan bibir bergetar.
Ibarat mati pun Hawwaiz telah merelakan semua. Namun, Ibnu masih memakai logikanya dalam bertindak. Menghajar Hawwaiz sampai babak belur pun tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada dia justru akan mendekam dalam penjara.
Ingatannya kembali pada ucapan Qiyya dan Hanif tentang keinginan putra bungsunya. Hawwaiz memang berbeda dengan keempat saudaranya yang lain. Ibnu kembali menyelami rasa. Andai Hawwaiz bisa lebih bersabar hati. Ibnu sebenarnya telah menekan ego, bersedia menerima pendapat Hanif dan Qiyya untuk memberikan restunya. Namun, kedatangan Arfan ke rumahnya beberapa hari yang lalu dengan luapan amarah luar biasa jelas mengikis semua rasa yang ada di dalam hatinya.
Kini, kedua matanya sedang menangkap sang putra menyesali semua perbuatannya. Sejak setengah jam yang lalu, Hawwaiz meletakkan kepalanya di pangkuan Qiyya. Sambil terisak dia mengakui semua perbuatan yang dilakukan pada Vira.
"Bunda ingin bercerita, kamu mau mendengar?" Qiyya masih mengusap kepala Hawwaiz dengan sayang.
Hawwaiz menatap wajah Qiyya sekilas lalu mengedipkn mata untuk mengiyakan.
"Dua tahun yang lalu Bunda berkenalan dengan seseorang. Allah mempertemukan kami berdua dalam keadaan yang sarat akan rasa sayang dan cinta. Semua orang menyambut bahagia pertemuan itu. Terlebih Dokter Zaqibnu Asy Syafiq, daddy dari bayi yang Bunda lahirkan ke dunia," cerita Qiyya yang membuat Hawwaiz kembali menatapnya.
Pemuda itu tahu siapa bayi yang dimaksud Qiyya tanpa harus menyebutkan namanya.
"Kami berdua selalu berdoa untuk kebaikannya. Bilal Hawwaiz, muazin sahabat nabi yang paling setia bahkan telah terdengar terompahnya di surga ketika nabiyullah melaksanakan mi'raj ke Shidratul Muntaha. Bunda dan Daddy berharap Bilal kami juga seperti Bilal bin Rabah yang setia menjaga dirinya dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana Bilal bin Rabah yang selalu menjaga wudhunya, menjadi titisan embun di pagi hari yang menyejukkan hati." Qiyya menghela napasnya.
"Hawwaiz kami itu laksana sinar matahari pagi. Semangatnya memberikan penghidupan kepada setiap makhluk yang ada di bumi ini. Bilal Hawwaiz yang selalu menganggap Bunda Qiyya sebagai cinta pertamanya, Bilal Hawwaiz yang selalu menyebut Daddy Ibnu sebagai superheronya. Bilal Hawwaiz yang selalu menghadirkan senyuman dalam setiap kesempatan, baik untuk Mas Hanif, Bang Hafizh, Kak Al ataupun Mbak Ayya. Bilal Hawwaiz yang-"
Hawwaiz segera pangkit dari tidurnya dan memotong kalimat Qiyya dengan cepat.
"Bilal Hawwaiz yang telah melakukan dosa besar karena tidak menjaga birrul walidain. Durhaka kepada kalian hingga akhirnya Allah menegurnya langsung. Dengan apa adik harus meminta ampun kepada kalian supaya Allah mengampuni dosa yang telah adik lakukan, Bunda?" Hawwaiz terguguk.
"Belum lagi dosa kepada keluarga Om Arfan," Hawwaiz kembali menunduk menahan air matanya.
Qiyya masih diam tanpa jawaban tapi tangannya dengan halus menarik Hawwaiz dan merengkuhnya dalam pelukan.
"Tidak perlu disembunyikan, menangislah untuk mengurangi apa yang kini membebani hatimu. Sini peluk Bunda," lagi-lagi tangisan itu luruh. Bahu yang kini tidak kokoh lagi tapi tetap terasa nyaman sebagai tempat untuk bersandar. Bahu yang masih dengan wangi yang sama dari Hawwaiz kecil hingga kini.
Ibnu memilih untuk menjauh. Menepi sejenak dari percakapan ibu dan putranya yang mungkin akan terasa berbeda jika dia harus memaksakan untuk bersama mereka. Menyerahkan sepenuhnya ke tangan Qiyya untuk menasihati putra bungsu mereka dengan bahasa ibu yang mungkin jauh lebih mnentramkan hati.☼
Blitar, 26 September 2023
Jika kalian masih ingat cerita yang lama pasti masih ingat dimana letak perbedaannya mulai dari part ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top