09B • Pengawal Hati

🍬🍬 ------------------------------
A hundred hearts would be too few to carry all my love for you
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

KATAKANLAH bahwa cinta itu buta dan tuli, atau bahkan lebih daripada itu. Kenyataannya memang terkadang hati tidak bisa bersinergi dengan logika saat cinta berbicara. Semua seakan bungkam di atas nama cinta. Adakah hal lain yang lebih sempurna kecuali membuat orang yang kita cintai bahagia? Rasanya tidak.

Ini bukan kali pertama sebuah kebersamaan tercipta kala jauh dari jangkauan orang tua. Namun, jujur saja jarak antara London - Oxford yang hanya memakan waktu tempuh selama satu jam perjalanan darat dengan kereta membuat senyum Hawwaiz tak pernah hilang. Ini bukan hanya persoalan hati, Hawwaiz lebih daripada tahu bagaimana seharusnya dia bersikap sebagai seorang muslim. Vira adalah harga mati perjuangannya.

"Bi, jangan sering-seringlah ke sini. Kamu juga harus belajar."

"This is a weekend, El. Aku sudah menyelesaikan tugasku," jawab Hawwaiz.

"Tumben kamu nggak kerja, weekend waktunya motret atau ngevlog. Mengapa sekarang jadi rutin ke London?" Vira mengingatkan Hawwaiz karena dalam satu bulan terakhir ini, jadwal rutin Hawwaiz adalah menghabiskan waktunya di London bersama Vira setiap weekend tiba.

"What question is? The answer is clear, it's because of you." Hawwaiz membela diri.

"But you have to study hard, remember what's your promise to your parents?" Vira tidak mau kalah.

"Don't worry, I will do my best. Tentang pekerjaan, bolehlah aku istirahat sebentar, menikmati weekend bersamamu. Toh aku pikir kamu juga tidak punya banyak eksplore London saat weekday so this time spesial for you."

"Tahu nggak sih Bi, kita itu seperti sedang bermain petak umpet dengan orang tuamu." Vira menutup muka dengan kedua telapak tangannya.

"Aku sudah beritahu Bunda sebelum berangkat kemari. Lagian sebulan ini aku ngevlog di sini seperti biasa dan kamu yang selalu jadi bintang tamunya, gimana keluargaku nggak tahu," jawab Hawwaiz.

"Emang sudah release up?"

Hawwaiz tertawa, mengenai hal yang satu ini Hawwaiz sedikit mengalami kendala waktu untuk pengeditan karena kebersamaannya dengan Vira tapi bukan berarti dia tidak lagi produktif, hanya sedikit berkurang.

"Belum semuanya, but it doesn't matter."

"Sekolah yang bener Bi, kerja juga yang bener, mau diberi makan apa nanti aku dan anak-anakmu kalau kamu nggak sungguh-sungguh." Pernyataan Vira ini jelas membuat hati Hawwaiz menghangat seketika.

"Tergantung kita nanti akan tinggal di mana, kalau di Indonesia ya pasti aku beri makan nasi lah, masa iya mau diberi batu kan nggak bisa di makan. Kalau kita tinggal di sini ya berarti anak-anakku makan roti," jawab Hawwaiz mengerling hangat.

"Itu mata bisa dikondisikan, Pak Dokter?" Vira memjutar bola matanya.

"Everything for you. Bukan cuma mataku kok yang bakalan jadi milikmu but all of me will be yours."

Vira mendesah, jika sudah berbicara seperti ini Hawwaiz akan berubah menjadi pria super romantis yang penuh dengan kalimat gombal tapi selalu dibuktikannya dalam perjalanan hidup mereka sampai di titik ini.

"Where you want to hang out today?" tanya Hawwaiz setelah dia selesai menyiapkan kamera.

"Just living in the flat and make time to cook some food for you. Do you have any idea what's meal I have to cook?"

Hawwaiz tersenyum lalu menjawabnya. "Masih ada stok bahan makanan yang bisa dimasak di flat? Atau aku perlu ke pasar?"

"Sepertinya masih, atau kamu mau lihat dulu?" Vira berjalan menuju lemari es miliknya.

Hawwaiz memeriksa beberapa stok bahan makanan. "Tunggu di flat, aku akan belanja yang lain untuk melengkapkannya."

"Bi, tapi rasanya ini sudah cukup untuk kita," kata Vira.

"Tunggu, jangan ke mana-mana." Hawwaiz berpesan kepada Vira untuk tidak meninggalkan flatnya.

Keputusan untuk belanja sepertinya merupakan hal yang karena disaat bersamaan kaki Hawwaiz melangkah meninggalkan flat yang disewa Vira, gawai yang ada di saku celananya berbunyi. Ada nama putra mahkota keluarga Asy Syafiq di sana. Dengan helaan napas berat Hawwaiz menerima panggilan dari kakak tertuanya. Menyiapkan telinga untuk mendengarkan petuah panjang dari sang kakak, karena mungkin Hanif telah melihat video yang diunggahnya ke media beberapa saat lalu.

"Where are you?" Kalimat pertanyaan Hanif pertama setelah salam yang diucapkan penuh dengan nada intimidasi.

"Di hatimu." Bukannya gugup, Hawwaiz tetaplah Hawwaiz yang santai tapi sangat serius.

"Ditanya beneran jawabannya—"

"Ya di Inggris, Mas. Mau di mana lagi?" balas Hawwaiz.

"London apa Oxford?" tanya Hanif tak sabar.

"Sejak kapan Mas Hanif berubah profesi menjadi polisi?"

Sebenarnya Hawwaiz tidak ingin bersitegang seperti ini dengan saudara atau pun kedua orang tuanya, tapi apa boleh buat, kondisi yang membuatnya memutuskan untuk berjuang. Hanya berjuang, tidak untuk melupakan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa. Hanif adalah kakak tertua, bisa dikatakan bahwa dia juga bisa dikatakan pengganti daddy mereka. Saat Hanif sudah berbicara maka itu sudah satu kata sepakat dari daddy mereka.

Dan seperti dugaannya, Hawwaiz harus mendengarkan nasihat panjang dari bibir Hanif.

"Jaga perasaan Daddy dan Bunda. Bagaimana kalau mereka jadi omongan keluarga besar karena vlog terbaru yang kamu tayangkan? Mas berkata demikian karena peduli sama kamu, Mas Hanif sayang kamu. Tolong, take down video itu dan jaga sikapmu di sana."

"Mas, thanks for reminding me, I accept it. Mengenai video, apa yang salah dengan video itu? Aku dan Vira sedang memasak ringan, anggap saja itu seperti sebuah tayangan fenomenal di televisi, Mas, masterkoki. Tidak ada adegan yang gimana-gimana, semuanya wajar." Hawwaiz mencoba menjelaskan.

"Mas tahu, tapi tayangan itu diambil di flat kalian bukan? Entah itu di dapur flatmu atau di flat yang ditempati oleh Vira. Atau jangan-jangan kalian tinggal—?"

"Hilangkan pikiran kotormu, Mas. Aku tinggal di Oxford, Vira tinggal di London, kami tinggal di dua kota yang berbeda bagaimana mungkin melakukan seperti yang ada dalam pikiranmu itu." Hawwaiz berbicara dengan nada tidak suka.

"Sori, tapi bagi kami yang nggak tahu bisa jadi kan berpikir seperti itu. Mas juga pernah tinggal di negara orang yang berbeda kulturnya dengan negara kita. Jangan hanya berdua di flat," jawab Hanif.

"Syuting video Mas? Itu juga ada teman-temanku, kami nggak hanya berdua. Mas pikir siapa yang pegang kamera kalau aku on cam as a tallent?"

"Dik ...."

"Mas Hanif, cobalah jangan hanya berdiri di sisi Daddy dan Bunda. Kalau Mas Hanif berada di posisiku, apakah cukup dengan puasa untuk memupus keinginan itu? Jika Mas Hanif bisa menikahkan Mbak Ayya, aku juga bisa terbang ke Perth sekarang dan meminta Kak Aftab menikahkan kami karena Om Arfan juga telah menyetujuinya." Hawwaiz meremas gawai yang kini ada di genggamannya. Dia sengaja mematikan sambungan telepon meski Hanif belum selesai bicara.

Melanjutkan lagi langkahnya menuju toserba yang menyediakan bahan makanan walau dengan perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tidak lagi bisa berpikir makanan apa yang akan dioleh oleh Vira, Hawwaiz memasukkan hampir semua jenis bahan makanan ke dalam troli belanja.

Sementara di tempat terpisah, Ibnu masih bercakap dengan Hanif dan Qiyya. Tema percakapan mereka masih sama, sepertinya Bilal Hawwaiz masih menjadi trending topic pembicaraan di keluarga Asy Syafiq.

"Dad, Mas hanya menyarankan saja. Keputusan tetap ada di tangan Daddy dan Bunda. Evaluasi saja bagaimana akademik Hawwaiz dari pertama kali masuk hingga satu tahun mendatang, jika tidak ada kendala rasanya kita juga salah menghalangi niatnya untuk menikah. Toh wanita yang dipilih juga bukan orang lain bagi kita," kata Hanif.

"Qiyya setuju dengan pendapat Mas Hanif, Mas," dukung Qiyya.

"Ini bukan masalah mampu atau tidak, ini berkaitan dengan prinsip. Dan Daddy akan tetap memegang itu, mulai dari Hanif, Hafizh, Almira, Ayyana dan terakhir Hawwaiz semua sama tidak ada yang Daddy bedakan." Ibnu menjawab, dia masih tetap pada pendiriannya.

"Masalahnya zaman selalu berubah, Dad, zaman Daddy berbeda dengan Mas Hanif, begitu juga dengan Hawwaiz. Apa Daddy tidak merasa khawatir dengan mereka? Daddy tetap teguh memegang prinsip di sini sementara mereka yang tinggal di Inggris bersama bukannya tidak mungkin jika—" Hanif menjeda, tidaklah layak menyuarakan kekhawatiran dari sebuah prasangka sementara prasangka itu berteman baik dengan setan.

"Astagfirullah," Hanif terdengar berdesis.

"Daddy lihat sendiri, kan, bagaimana Hawwaiz menatap Vira dalam vlognya? Meski hanya sekadar masak memasak biasa, sebagai pria, melihat dari kacamata pria, rasanya Daddy harus menyadari itu. Jika Mas Hanif yang menjadi muridnya Daddy saja sekali lihat langsung merinding apalagi Daddy sebagai dosennya?" Hanif menjelaskan kekhawatirannya.

Perdebatan masih cukup alot tapi Hanif dan Qiyya mulai menyadari apa yang menjadi alasan mereka harus setuju dengan Hawwaiz untuk menyegerakan.

Di tempat terpisah, Hawwaiz bergegas ke flat Vira setelah membayar semua barang belanjaannya. Melihat troli yang ada di depannya, dia baru menyadari bahan makanan yang dibelinya bisa diolah untuk makan orang satu RT.

"Bi, are you serious?" Vira menunjukkan keterkejutannya melihat barang belanjaan Hawwaiz. "Untuk apa sebanyak ini? Kulkas di flat juga nggak bakalan muat, Bi."

Bukannya menjawab Hawwaiz hanya bisa tertawa. Membiarkan Vira mengomel sepanjang jalan kenangan untuk sejenak waktu baru setelahnya dia bersuara kembali. "Gelap mata tadi langsung masuk-masukin aja. Eh ternyata banyak juga," jawab Hawwaiz.

"Terus segini banyak dibuat apa coba?"

Hawwaiz menggaruk kepalanya, berpikir sejenak lalu tersenyum kembali menatap Vira. "Masak aja seperlunya. Sisanya bisa kita bagi ke panti sosial dekat di sini."

Vira mengangguk lalu memilih bahan makanan yang bisa diolahnya segera. Hawwaiz mengepak sisanya untuk dikirim ke tempat yang disebutkan sebelumnya. Seperti sebelumnya, hari ini pun Hawwaiz bersiap menjadi talent di vlog masak-memasak bersama Vira dengan kamera statis miliknya.

☼☼

Waktu berlalu begitu cepat, Hawwaiz masih memperhatikan kalender dengan seksama dan menghitungnya mundur. Rasanya butuh strategi yang jitu untuk berani berperang di waktu yang tepat. Satu tahun dan sudah terpotong beberapa bulan. Cukup untuknya bisa membuktikan.

Langkah kakinya begitu cepat menyusur jalan di pedestrian yang ada di kota London. Hari ini bukan weekend, dia juga tidak sedang ingin bertemu dengan Vira tapi hari ini Hawwaiz harus mendapatkan informasi dengan cepat dan tepat untuk memutuskan langkah selanjutnya.

Membiarkan pepatah tetap menjadi pepatah, lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negara lain. Semua tidak lagi berlaku untuk Hawwaiz. Sepertinya dia mulai mengambil keputusan dengan jalan dan peruntungan yang lain.

Menjejakkan kaki di Westminster, kini tubuh kekarnya telah berada di depan bangunan kokoh menjulang, 30 Great Peter St. Setelah beberapa kali menimbang dan meminta pendapat Vira, juga dengan pekerjaan Vira yang rasanya akan sangat kecil kemungkinan dia dimutasikan ke cabang perusahaannya yang lain, maka hari ini Hawwaiz memutuskan untuk mendatangi Embassy of the Republic Indonesia. Berniat untuk merubah visa dari pelajar menjadi warga Indonesia yang akan menetap lama di sana.

"Seyakin itu, Bi? Bagaimana dengan Bunda dan Daddy?" tanya Vira pada suatu waktu.

Hawwaiz mendesah, berpikir tentang kedua orang tuanya yang sudah menapaki kerentaan tentu saja sangat berat. Namun, dia juga harus berpikir tentang masa depannya, inginnya yang dirasa tidak salah, juga tentang lahan pekerjaan yang lebih menjanjikan di Inggris.

"Aku akan penuhi janjiku padamu, El, tunggu sampai kontrak dinasmu selesai. Aku akan menunaikannya."

"Dengan apa?" tanya Vira kaget.

"Menikahimu. Apa lagi?" Hawwaiz justru terkejut dengan pertanyaan Vira yang masih memintanya untuk memberikan penjelasan.

"Bi, Om Ibnu dan Tante Qiyya—?"

"Percaya aku akan menikahimu itu saja yang perlu kamu tanamkan mulai sekarang."

"Aku juga ingin seperti Kak Azza dan Kak Fatia, Bi yang selalu mesra dengan Tante Qiyya." Vira tiba-tiba bungkam saat melihat tatapan tajam mematikan Hawwaiz.

"Listen to me!" Hawwaiz meminta Vira memperhatikannya dengan sepenuh hati. "I have decided to go forward, for me there is no turning back. Believe that I will marry you as soon as possible after the ban on marriage for you is over, with or without my parents."

"Bilal—" Bukannya menyukai, jujur Vira sangat terkejut mendengar pernyataan Hawwaiz. Kehidupan apa yang nanti akan mereka jalani tanpa restu kedua orang tuanya.

"Yes, with or without them." Hawwaiz mendesah kasar.

"Hey, that's not you. Where is your wisdom gone? Don't be crazy, my parents would also never approve if it was like that." Vira kembali meluruskan.

"We have Kak Aftab, we can go to Perth and ask him to marry us. Apa kamu lupa kalau mereka menikah juga dinikahkan oleh Mas Hanif di Malinau? I've been crazy, El, and all because of wanting you to be mine. Am I wrong?"

"I know, but that's a different case. Om Ibnu telah memberikan restunya, lalu Mas Hanif melaksanakan titahnya."

"Do I have to get an accident first, as Mbak Ayya, then Daddy will bless and marry us? No, not like that."

"Astagfirullah, Bilal. Istigfar, ucapan itu adalah doa, nauzubillahiminzalik."

"Ya karena itu, berkatalah dengan baik. We have to get married."

"Kalau kita berjodoh, kalau ternyata tidak?" sela Vira.

"No word not, we have to be mate." Seolah Hawwaiz tidak menerima penolakan meski sesungguhnya dia tahu bahwa jodoh ada di tangan Allah. Namun, tanpa usaha semuanya hanyalah isapan jempol belaka.

Percakapan terakhirnya dengan Vira yang membuat Hawwaiz akhirnya berada di gedung megah ini setelah dia menghubungi kakak tertuanya. Sekadar memberitahukan keinginannya untuk menetap di Inggris.

"Dik, kamu yakin tidak akan kembali ke Indo?" Pertanyaan Hanif yang ingin mengetahui keseriusan ucapan adiknya

"Iya Mas, sepertinya aku lebih nyaman tinggal di sini."

"Meski jauh dari kami?"

"Jauh itu hanya sebuah jarak, hati kita tetap dekat bukan? Aku pasti akan merindukan kalian," kata Hawwaiz.

"Apa karena Daddy yang belum memberikan izinnya kepadamu untuk menikahi Vira?" tanya Hanif.

"Sebenarnya apa kurangnya Vira, Mas. Daddy dan Bunda bahkan telah mengenal orang tua Vira dengan sangat baik. Mereka juga berhubungan baik hingga sekarang."

"Kamu jangan salah mengartikan sikap Daddy padamu," ucap Hanif.

Hawwaiz tahu, tidak ada pembeda antara dirinya dengan keempat saudaranya yang lain. Daddy mereka memberikan semua cinta dan sayang tepat pada porsinya.

"Aku menghormati Daddy, Mas. Itu sebabnya aku meminta ini dengan cara yang baik. Jika tidak, mungkin aku bisa membuat Vira hamil sebelum kami menikah. Supaya Daddy bersedia merestui kami."

Bukannya marah, Hanif justru terbahak mendengar ucapan adik bungsunya. Ucapan Hawwaiz menggelitik gendang telinganya, membayangkan seperti apa adiknya jika itu dilakukan, rasanya sangat tidak mungkin karena dia sangat hafal perangai Hawwaiz.

"Mas, apanya yang lucu?" tanya Hawwaiz.

"You are," Hanif kembali tertawa lalu segera mengakhiri dan memberikan nasihatnya kembali. "Don't think so weird anymore. Anyway, I'm also not sure Vira would be willing if you impregnate her right now."

"Hey, Mas Hanif lupa aku turunan siapa? Jika Mas Hanif bisa membuat kak Azza tekdung dalam satu malam, aku ...."

"Istigfar Dude, kamu belum waktunya. Menikah itu bukan melulu tentang seks, adikku."

"Siapa yang bilang?" kata Hawwaiz seolah membalikkan ucapan kakak sulungnya. "Menikah itu gerbang rezeki, Mas. Gerbang keberkahan hidup, gerbang penyempurna ibadah. Kenikmatan itu selain kebutuhan juga merupakan bonus, yang jelas aku merasa sangat mampu dan harus menyegerakannya karena aku membutuhkan bukan hanya tentang pemenuhan hasrat biologisku, tapi karena aku ingin hidup tenang tanpa harus berpikir ini dosa atau tidak."

"Tapi banyak hal yang harus kamu tahu, masalah akan jauh lebih kompleks setelah kalian menikah. Ambillah contoh Mas Hanif, kembar lahir dengan kondisi Mas yang belum sepenuhnya mendapat pendapatan tetap. Harus banting tulang, kerja sana-sini mencari tambahan guna memenuhi semua kebutuhan keluarga. Jangan dipikirkan enaknya saja."

"Tapi Mas Hanif mampu, kan? Mas Hanif sanggup, Mas Hanif bisa melalui semuanya dengan baik," kata Hawwaiz.

"Tentu, karena seluruh keluarga mendukung kami. Daddy, Bunda, Baba, Umma, saudara kami, semuanya. Izin dan restu itu paling utama adikku, percayalah. Daddy pasti akan merestui kalian, bersabarlah sejenak. Mas juga akan membantumu untuk bicara dengan Daddy," tutup Hanif

Hawwaiz menggelengkan kepalanya, dia harus mengisi beberapa form untuk pengajuan migrasi visa miliknya. Secepatnya Hawwaiz akan melengkapi semua persyaratannya dan menashihkan diri sebagai mukimin baru di Inggris.

Sama seperti halnya Hanif, Hawwaiz juga merubah mindset bahwa melakukan pekerjaannya kini bukan hanya sekadar menyalurkan hobi tapi juga karena niat untuk menutup kebutuhan dirinya sekaligus keluarganya kelak. Mandiri, Hawwaiz selalu menggaungkan kata itu agar tidak menggantungkan dirinya pada orang lain.

Meski setiap bulan masih menerima transfer dari orang tuanya, di saat yang sama pula, Hawwaiz mengirimkan sebagian hasil jerih payahnya untuk mereka. Tidak banyak dan tidak akan pernah sebanding dengan apa yang pernah diberikan Ibnu dan Qiyya dalam membesarkan dan membuatnya menjadi pria yang sepenuhnya harus bertanggung jawab, minimal untuk dirinya sendiri.

Tak lagi mengenal waktu, jam belajar, jam laborat, jam bekerja seolah menguras hampir seluruh tenaga yang Hawwaiz punya bahkan dengan alasan itu pula dia tak lagi bisa setiap akhir pekan berkunjung ke London untuk menemui kekasih hatinya.

"Hey, anaknya Bunda kok jadi tirus seperti ini, Dik?" Suara Qiyya saat mereka melakukan panggilan video.

"Iya Bun, belajar rajin, kerja keras, demi restu dan sebongkah berlian." Hawwaiz tersenyum. Melihat cinta pertamanya ini memandang dengan tatapan khawatir membuatnya serasa teriris sembilu, perih dan nyeri. "Bunda dan Daddy sehat kan? Maaf, Adik mungkin tidak bisa pulang untuk waktu yang lama."

"Kata Mas Hanif kamu telah merubah visamu, Dik?"

Hawwaiz mengangguk, tidak baik juga menutupi. Dia pun menginginkan seluruh keluarganya tahu bahwa dia sedang melakukan aksi protes atas kebijakan daddynya.

"Untuk apa?" tanya Qiyya.

"Adik ingin menetap di sini, Bun," jawab Hawwaiz.

"Berapa lama?" Qiyya menatapnya khawatir.

Hawwaiz menggelengkan kepalanya, tidak sanggup untuk menjawab saat meliat air muka Bundanya berubah seketika.

"Apa tidak bisa dibatalkan?"

"Adik sudah melangkah, Bun. Entahlah, mungkin—" Hawwaiz menjeda sementara Qiyya menuntut untuk kelanjutannya. "Selamanya."

"Dik—" Air mata Qiyya meluruh.

"Itu sebabnya, Adik juga harus menyiapkan dana yang lebih supaya bisa hidup yang layak di sini bersama keluarga Adik nantinya."

"Apa kamu tidak ingin dekat dengan Daddy dan Bunda?" Sebuah pertanyaan yang sama sepertinya untuk setiap orang tua yang memiliki anak jauh dari jangkauan mereka.

"Adik ingin, tapi bukankah Daddy tidak memberikan pilihan lain?"

"Maksud Daddy tidak seperti itu, Dik?" jelas Qiyya.

"Adik tidak ingin celaka dulu seperti Mbak Ayya baru Daddy menikahkan kami, Bun. Kemarin Daddy meminta adik untuk kembali ke Oxford guna menyelesaikan semuanya. Sekarang adik juga telah memutuskan akan menyelesaikan semuanya dan menetap di sini, selamanya."

"Bilal Hawwaiz!" Air mata Qiyya semakin deras mengalir.

Hati ibu mana yang tidak merasakan sakit, mengetahui putranya berniat menjauh dari keluarga karena tidak sependapat dengan daddynya.

Ya Allah, jika sifat orang tua menurun kepada anaknya. Mengapa keras hati menjadi garis turunan yang begitu jelas hingga membuat batas jarak semakin nyata di depan mata. Qiyya hanya sanggup bicara di dalam hatinya. Ucapan Hawwaiz benar-benar telah menusuk relung hati terdalamnya.

"Maafkan Adik, Bunda. Adik akan selalu menghormati kalian sebagai orang tua. Namun, untuk saat ini dan mungkin entah sampai kapan nanti berjauhan adalah solusi paling baik untuk kita."

Qiyya hanya bisa tergugu dan diam.

"Tolong sampaikan kepada Daddy. Tiga bulan lagi Vira akan menyelesaikan kontrak kerja dan otomatis diangkat menjadi pegawai tetap. Itu artinya larangan perusahaan untuknya menikah juga telah dicabut."

Qiyya memejamkan matanya, sepertinya waktu itu datang tidak akan lama lagi.

"Adik siap menanggung semuanya, Bun. Dengan atau tanpa kalian, Adik akan melangkah." Berat tapi harus Hawwaiz sampaikan segera. "Adik tidak akan meminta banyak dari Daddy dan Bunda. Cukup doakan kami dari sana, dan satu lagi, Bunda—"

Qiyya mengerjap.

"Ini tentang Vira," Hawwaiz kembali menjeda kalimatnya. Menghela napas dan mengembuskannya perlahan.

"Anggaplah ini mimpi atau harapannya. Dia ingin seperti Kak Azza dan Kak Fatia yang bisa mesra sekaligus bermanja sebagai seorang anak kepada ibunya." Hawwaiz menggigit bibirnya. Meski harus mengemis, Hawwaiz akan melakukannya demi Vira.

"Tolong kabulkan permintaan Adik yang satu itu, Bunda. Adik akan menerima semua amarah Daddy tapi tolong jangan bedakan Vira dengan kedua menantu kebanggaan Bunda yang lain. I beg you." Kini bukan hanya Qiyya yang tergugu tapi Hawwaiz juga telah meloloskan air matanya.

"Adik tutup ya Bun, maaf telah membuat Bunda menangis hari ini. Adik janji akan mengganti air mata Bunda dengan kabar bahagia dari kami." Hawwaiz mematikan layar gawainya.

Anginjelas tidak bisa membawa kabar berita, tapi ikatan batin antara orang tua dananak tidak akan terputus walau jarak telah menjadi saksi seberapa jauh merekaterpisah. Siapa yang sanggup, siapa yang ingin memilih, Hawwaiz pun tidak akanpernah bisa. Namun, sekali lagi hidup adalah tentang pilihan dan Hawwaiz telahmengambil keputusan.☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 22 September 2023
*sorry for typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top