08 • Strunggle Love

🍬🍬 ------------------------------
Butterfly is not a beauty without caterpillar
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

BENAR orang bijak berkata, sejatinya cinta hanya bisa diraih dengan pelaku cinta yang berupaya untuk menemukannya. Tidak berbeda jauh dengan keterkejutan keluarga Arfan dengan berita yang diperoleh dari pangeran bungsu dari keluarga Asy Syafiq. Keluarga Ibnu juga terguncang oleh keinginan Hawwaiz yang bermaksud untuk mengambil langkah berbeda dengan kedua kakak lelakinya.

Hanif menghela napasnya dengan kasar. Hingga sore menjelang dia berangkat untuk praktik pribadi, Hawwaiz belum juga belum membalas pesannya. Padahal sudah centang dua berwarna biru. Akhirnya tak sabar hati Hanif menghubungi Hafizh untuk berbicara masalah ini.

"Australia? Dia berkata seperti itu kepadamu?" tanya Hanif.

"Wallahi," jawab Hafizh.

"Meskipun artis dan merasa mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup, tapi memutuskan untuk menikah dengan usianya sekarang?" Hafizh jadi ikut kepikiran dengan apa yang disampaikan oleh kakaknya. "Mas Hanif tahu siapa wanita yang dimaksud Hawwaiz?"

"Vira."

"What?!" Hafizh meninggikan suaranya. Satu-satunya wanita yang dia kenal dengan nama itu adalah sahabat adik kembarnya yang juga merupakan adik dari adik iparnya, Aftab Aldebaran. "Elvira Aldebaran?" tanya Hafizh memastikan.

"Menurutmu?"

"Astaghfirullah, mengapa harus Vira? Apa tidak ada gadis yang lain?"

"Kamu masih bermasalah dengan Aftab?" tanya Hanif memastikan.

Hafizh diam bukan karena masih bermasalah dengan Aftab, tapi hanya merasa janggal dengan hubungan keduanya dan kemungkinan orang tua mereka merestui hubungan itu setelah pernikahan Aftab-Ayya.

Selebihnya Hanif memilih menghubungi Ayya dan meminta kepadanya supaya menasihati adiknya agar tidak bicara sembarang kepada daddy mereka mengingat kesehatannya yang masih belum stabil.

Saat telepon Hanif berakhir, Hawwaiz masih bercengkerama bersama kakak ipar. Aftab sendiri tidak mungkin bisa melarang Hawwaiz, karena Aftab tahu siapa yang berdiri dibalik abang ipar meneleponnya untuk mengabarkan kondisi kecelakaan Ayyana di Malinau.

"Dik, tuh Mas Hanif baru telepon Mbak Ayya. Jangan menelepon Daddy dulu," pesan Aftab.

"Aku juga paham Kak, makanya aku memberi kabarnya kepada kalian dan Mas Hanif. Itu saja pasti beritanya nanti akan sampai ke Bang Hafizh dan Kak Al." Hawwaiz memberikan jawabannya.

Sementara di tempat lain, perasaan Vira menjadi tidak tenang. Sejak mulai merasakan hatinya jatuh untuk siapa, sejak itu pula dia merasa ketakutan sendiri. Takut ketika hatinya mencinta dan sulit dihentikan keluarga Hawwaiz justru akan menentangnya sepertihalnya cerita Aftab Ayya.

Tiba-tiba dia kembali mengingat percakapan dengan Hawwaiz kala Almira baru saja sah menyandang nyonya Kamajaya Bayuaji.

"Kenapa El diam saja, ingin juga?" tanya Hawwaiz berbisik saat mereka bertugas untuk membawakan mahar dan cincin kawin untuk Almira dan Kama.

"Bi, jaga bicaramu."

"Wanita mah sukanya begitu, malu-malu mau. Seperti Kak Al tuh, awalnya nggak mau lama-lama bucin juga dengan Mas Kama."

"Aku nggak seperti itu." Vira menjawabnya seketika.

"Yakin? Penawaran nggak akan datang dua kali, El," jawab Hawwaiz.

Vira hanya diam, tertunduk, tanpa berniat menjawab gurauan Hawwaiz. Tidak ingin menjadi perhatian tamu undangan karena rona pipinya semakin terlihat akibat gombalan Hawwaiz yang mulai akrab di telinga dan menghangatkan hatinya.

"Berhitung yuk," kata Hawwaiz yang memilih untuk duduk di samping Vira saat menikmati makan siang setelah wawancara di Surabaya.

"Seperti anak TK saja, dasar bocah."

"Emang angka mulai berapa sih?" tanya Hawwaiz sambil mencomot snack di piring yang ada di tangan Vira.

"123, dih." Meski menjengkelkan bibir Vira masih juga menimpali pertanyaan nggak berbobot yang Hawwaiz utarakan dan itu membuat Hawwaiz tersenyum penuh kemenangan.

"Kalau kata diawali huruf?" Hawwaiz tersenyum tipis.

"ABCDE lah." Vira memutar bola matanya saat melihat Hawwaiz masih dengan santai mengambil makanannya kembali.

"Tapi kalau kita, itu hanya ada aku, kamu dan anak-anak kita nanti, El." Hawwaiz mengerlingkan sebelah matanya yang tertutup oleh kacamata hitam tapi masih bisa dilihat Vira bagaimana bola mata itu bergerak dengan indah.

"Bilal, ish!!"

"Diberitahu kamu itu sudah seperti lempeng bumi," imbuh Hawwaiz masih dengan senyum di bibirnya

"Maksudmu apa aku seperti lempeng bumi, hitam, kasar?" tanya Vira seakan tidak terima, walau kulitnya tidak seputih milik Hawwaiz tapi bukan berarti Vira seeksotis warna tanah yang ada.

"Mengapa jadi sensitif perkara warna kulit sih! Nanti perawatan bisa diputihkan kulitnya. Tapi untuk apa? Bagusan juga asli seperti ini lebih eksotis. Vira Aldebaran si lempeng bumi, bergeser sedikit saja sudah menggoncang hatiku."

"Bilal—?!"

"Lain kali jangan pake blush on banyak-banyak, biar kalau merona seperti ini nggak kelihatan merah sekali." Hawwaiz kemudian memilih meninggalkan Vira yang menikmati sisa-sisa recehannya seorang diri dengan hati berdebar.

Tangan Vira bergerak membuka galeri yang ada di gawainya. Beberapa foto mereka yang diambil wefie oleh Hawwaiz. Mereka duduk berjauhan tapi posisi Hawwaiz terlihat sangat berdekatan di foto itu. Jika orang tua mereka tahu mungkin tidak akan menunggu tahun depan, saat ini Pipi Arfannya ataupun Daddy Ibnunya Hawwaiz dipastikan akan langsung bertindak.

Tidak ada wajah tanpa senyuman di album foto mereka selama di Jepang tiga bulan yang lalu.

"Ya Rabb, hati ini mengapa menjadi semakin merindukan gombalan recehnya Bilal." Vira mencoba memejamkan mata namun yang ada dia hanya berbolak balik miring ke kiri dan ke kanan. Sampai gawainya bergetar hingga menampilkan sebuah chat di group yang baru beberapa hari dibuat oleh Hawwaiz.

R • E • S • T • U 👫

My Bi
El, jangan tidur malam-malam
Besok pagi kerja harus berangkat lebih pagi kan?
Jangan lupa vitaminnya diminum

me
sudah, ondewe bobok

Kakak
Sayang mau dikelon di mana? @Mbak Ayya

Mbak Ayya
Mas, apaan sih ada dua balita di sini nanti kalau mereka pengen bagaimana?

My Bi
Kak @Kakak, aku ke Aussie ya
Kemarin di Malinau kalian dinikahkan Mas Hanif kan?

Nah sekarang gantian aku biar ga ada yang namanya balita lagi

Mbak Ayya
Tuh kan, ngiri jatuhnya jadi marah

My Bi
Apaan sih Mbak?
Paham yang sudah halal mah mau kelon di mana saja sah-sah saja
Hati-hati lukanya kakak ipar, jangan main hajar kakakku saja. Jangan sampe besok pagi jinabatnya tayamum karena belum boleh kena air.

Mbak Ayya
Dik Hawwaiz, bicaranya!!!

Kakak
Sudah Sayang,
Dik Hawwaiz belajar dulu jangan mikir tayamum mulu., Vira juga tidur sudah malam..

Vira hanya tersenyum tanpa berniat untuk membalasnya. Tahu dengan persis kalau sudah seperti itu Hawwaiz pasti tidak akan menyembunyikan jati dirinya di hadapan kakak-kakak mereka. Terlebih karena baik Hawwaiz ataupun Vira telah mengakui semuanya di hadapan Aftab dan Ayya jadi percuma saja berpura-pura.

Jakarta masih diguyur rintik hujan sedari sore tadi. Vira yang biasanya terlelap tanpa selimut malam ini sepertinya membutuhkan jasa kain penghangat tubuh itu. Dingin, semakin menusuk karena rindunya yang jelas tak akan bertepuk sebelah tangan bersamanya yang kini mungkin sedang bergelung dengan buku-buku tebal di benua biru untuk masa depannya.

☼☼

AWAN putih masih berarak menutupi angkasa yang membiru, cerah dengan matahari yang mengintip malu-malu dibaliknya menjadikan hari semakin haru mengiring perjalanan seluruh insan untuk memulai aktivitasnya. Namun, sepertinya putra mahkota keluarga Asy Syafiq masih ragu untuk bicara dan mengambil keputusan apa yang harus dia lakukan untuk kebaikan keluarga besarnya.

"Mas, something wrong with you?" Qiyya yang pagi ini telah sampai di kediaman Hanif dan menemukan putra sulungnya sedang tidak fokus dengan kegiatannya sampai harus mengalami kecelakaan kecil di dapur.

"No, Bunda," jawab Hanif.

"Kamu boleh membohongi orang lain. Tapi matamu tidak bisa membohongi Bunda. Look at me, Bunda ini ibumu. Jelas Bunda tahu banyak apa yang tersembunyi di dalam hatimu. Ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan kepada Bunda? Kamu dan Azza tidak sedang berseteru kan?"

"Bunda, we are okay." Hanif masih menghindari tatapan Qiyya.

"Lalu?" Qiyya menuntut jawaban.

Hanif mendesah perlahan. Mungkin ini saatnya, tapi dia tidak sepenuhnya yakin.

"Mas Hanif, masih mendengar Bunda?" kata Qiyya.

"Bun—" Hanif memegang kedua bahu bundanya, menatapnya dalam-dalam lalu menarik kedua tangan wanita yang telah menjadi istri Daddy Ibnunya dan merawatnya sedari kecil. Menggenggam kedua telapak tangan itu lalu menciumnya dengan penuh sayang.

"Maafkan Mas, Bunda. Jika sampai saat ini belum bisa menjadi anak dan kakak yang baik untuk semuanya."

"Hei, katakan kepada Bunda. Ada apa? Ayya dan Aftab?" Qiyya langsung menduga terjadi sesuatu tentang putrinya yang kini berada di Perth bersama menantunya untuk menjalani pengobatan tapi Hanif menggeleng lemah.

"Ini bukan tentang Ayya," jawabnya.

"Lalu—?" Qiyya semakin tidak mengerti. Terlebih setelah Hanif memilih menekuk lututnya di depannya.

"Bunda sudah cukup lelah merawat Daddy kemarin, memikirkan tentang Ayya yang bahkan sampai sekarang kalian belum bisa bertemu dengannya karena Mas yang belum bisa memberikan izin mengingat kondisi Daddy belum stabil."

"Mas, kamu tahu Bunda, kan? Tidakkah kamu mengetahui kalau bundamu ini wanita yang kuat?"

"Mas Hanif sayang Bunda, Bunda harus tetap sehat dan kuat untuk kami semua." Air mata Hanif mulai membayang di pelupuk matanya.

"Katakan kepada Bunda, apa yang sedang mengganggu pikiranmu. Bunda tidak ingin karena masalah ini nanti justru membuatmu tidak fokus dengan pekerjaanmu. Daddy tidak bisa maksimal bekerja dan kamu yang kini sebagai kepanjangan tangan beliau."

"Dik Hawwaiz." Akhirnya kata itu keluar juga dari bibirnya.

"Kenapa dengan adik bungsumu itu?" tanya Qiyya terkejut.

Hanif kemudian menyerahkan gawai miliknya dan memperlihatkan percakapannya terakhir dengan Hawwaiz.

"Anak bungsu Bunda sudah merasa dewasa. Dia ingin menikahi wanita." Hanif masih menangkup salah satu tangan bundanya. Seakan memberikan kekuatan supaya kabar yang diterima tidak terlalu mengejutkan.

"Adikmu?!" kata Qiyya tidak percaya.

"Bunda," Hanif menggigit bibir bawahnya.

"Ceritakan pada Bunda, dengan siapa adikmu jatuh cinta." Hanif berdiri dan menarik kursi di samping Qiyya. Menceritakan apa yang dia dengar dari pengakuan adiknya.

Mencari diksi yang sesuai untuk bisa diterima Qiyya dengan baik tanpa menciptakan asumsi lain yang akhirnya akan menimbulkan kesalahpahaman.

"Hawwaiz," Qiyya memijit pelipisnya sambil menggelengkan kepalanya.

Mengingat kekonyolan yang diciptakan putranya saat bersama dengan Vira dan juga caranya untuk berusaha melindungi sahabat salah satu putrinya itu membuat Qiyya harus kembali menelan ludah. "Jadi selama ini yang dimaksudkan adikmu itu bukan bercanda? Mengapa Bunda sampai tidak bisa membaca apa yang ada di dalam hatinya?"

"Mas tidak tahu dik Hawwaiz memiliki hubungan sejauh apa Bunda, tapi menurut Mbak Ayya mereka memang sudah memiliki kesepakatan."

"Apa tidak ada wanita yang lain, mengapa harus Vira?"

"Bunda tidak menyukainya?" tanya Hanif.

"Bukan masalah suka atau tidak suka, Mas. Vira anak yang baik, hanya saja Aftab dan Ayya lalu Hawwaiz dan Vira? Bunda tidak masalah, tapi bukan tidak masalah untuk Om Arfan dan Tante Kania, Mas. Bunda takut adikmu tidak bisa menerima penolakan."

Hanif mengusap mukanya kasar, siang ini dia harus menggantikan daddynya untuk melakukan operasi besar dan percakapan berat di pagi hari ini bersama Qiyya bisa jadi mempengaruhi emosinya jika tidak segera diselesaikan.

"Bun, siang ini Mas ada operasi besar menggantikan Daddy."

"Ya sudah, fokus ke pekerjaanmu dulu, Mas. Masalah Hawwaiz nanti Bunda tanyakan dulu kepada adikmu, maunya apa dia."

"Tapi Daddy—"

"Bunda tahu, Daddy juga harus tahu. Biar Bunda yang menyampaikan kepada beliau dengan cinta." Qiyya tersenyum menatap putranya.

"Bunda," Hanif memeluk Qiyya. "Terima kasih telah menjadi istri terbaik untuk Daddy, terima kasih untuk seluruh cinta kepada kami semua," ucapnya.

"Itu sudah menjadi kewajiban Bunda untuk bertanya kepada semua anak-anak Bunda," jawab Qiyya.

"Jadi Bunda menyetujuinya?" tanya Hanif.

Qiyya hanya tersenyum kemudian menepuk pundak putra sulungnya. Begitu adilnya cinta Allah kepada hambanya, saat Qiyya menginginkan cinta anak kepada seorang ibu, Allah mengirimkannya dalam bentuk Hanif dan Hafizh. Tidak ada yang berubah bahkan sampai mereka dewasa, cinta itu tetap merekatkan hubungan antara mereka.

Setelah kembali dari rumah putranya, Qiyya menekan pelipis kepalanya. Ada ragu menyampaikan berita besar ini kepada suami tercintanya. Ibnu memang telah kembali menjalankan aktivitasnya di rumah sakit tapi jelas tidak sesibuk biasanya karena recovery dari kesembuhannya sedikit membutuhkan waktu lama daripada biasanya.

Tak berbeda jauh dari perasaan sang ibunda, di lempeng benua yang berbeda, ada hati seorang kakak yang sedang resah memikirkan nasib adik-adiknya.

"Mas, itu Dik Hawwaiz dan Vira?" Ayya bertanya kepada Aftab sesaat sebelum operasi kakinya dilakukan.

"Pipi belum membuka omongan tentang mereka. Nggak usah mikir mereka, biarkan saja dulu. Yang terpenting sekarang adalah operasi kamu berjalan lancar."

Sejauh ini memang baru Ayya dan Aftab yang bersentuhan langsung dengan mereka berdua. Meski Hanif dan Hafizh telah mengetahui cerita itu langsung dari Hawwaiz tapi keduanya tidak pernah menghubungi Vira untuk mempertanyakannya.

Kini pemuda itu kembali merenung. Hawwaiz sedang berpikir langkah apa yang harus dia lakukan setelah membuat pengakuan besar dalam hidupnya. Tidak ingin memasungkan hati dengan rasa yang keliru, Hawwaiz semakin membulatkan niat untuk menyegerakan sesuatu yang memang harus disegerakan.

Hawwaiz tersenyum tipis, sambil memainkan bolpoin yang ada di jari tangan kanannya. Harusnya hari ini dia bisa fokus belajar masalah anatomi tubuh manusia namun mengapa justru yang terbayang hanya wajah Vira seorang.

"Apa aku sekarang sudah gila?" kata Hawwaiz lirih kemudian menutup bukunya kembali.

Berharap Vira adalah tulang rusuk yang berserak miliknya dan dititipkan Allah melalui ciptaan-Nya di keluarga Aldebaran. Melengkapkan kehidupan lahir dan batinnya sebagai pelengkap hidup dengan saling menyempurnakan sesuai dengan filusuf sejatinya cinta dengan mengungkapkan ketiadaan syarat di antaranya.

Antara hati dan cinta.

Hingga lamunan itu terkesiap saat gawainya bergetar dan nama Bunda terlihat jelas di sana.

"Asalamualaikum, Bunda."

"Waalaikumsalam. Lagi sibuk apa, Dik?" tanya Qiyya.

"Sebenarnya lagi membaca literatur, Bun. Lusa ada quiz jadi harus lebih sering dibaca ulang."

"Tapi nggak bisa masuk ke otak karena sedang mikir sesuatu, benar?" tanya Qiyya membuka percakapan ke inti masalah yang mengharuskan dia bicara tentang Vira.

"Bunda bagaimana kabarnya? Daddy sudah beraktivitas seperti biasa? Jangan lupa vitamin yang diberikan Mas Hanif kemarin."

"Dik, Bunda sedang bertanya lho." Qiyya kembali mengembalikan topik percakapan mereka.

"Daddy dan Bunda alhamdulillah sehat. Kamu dengan Mbak Vira apa kabarnya?" Qiyya bertanya dengan wajah yang serius.

"Bunda—"

"Mengapa Bunda harus tahu dari kakak-kakakmu?" tanya Qiyya lagi.

"Maafin Adik, Bun." Hawwaiz menghela napasnya beberapa saat.

"Maksudnya bukan seperti itu. I think our family had been passed a big problem about Mbak Ayya and we know—" Hawwaiz menatap sang bunda dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kondisi Daddy belum memungkinkan untuk bisa mengetahui berita yang sepertinya nggak jauh berbeda dengan berita Mbak Ayya kemarin," lanjutnya.

"Jika sudah tahu seperti itu, mengapa masih kamu lakukan pada kami, Dik?"

"Bunda, masalahnya—" Belum sampai Hawwaiz menyelesaikan kalimatnya, Qiyya telah terlebih dulu memotong ucapannya.

"Jika kamu sayang kepada Bunda dan Daddy, pasti nggak akan tega melakukan semua ini kepada kami."

Tidak ada kalimat bantahan selanjutnya. Air mata Qiyya yang mengalir cukup membuat Hawwaiz bungkam. Mungkin caranya keliru, tapi Hawwaiz tahu tidak akan pernah ada yang salah dengan cintanya pada Vira.

"Menikah itu bukan hanya untuk hari ini dan besok lho, Dik," kata Qiyya setelah mereka terdiam beberapa saat.

"Adik tahu itu," jawab Hawwaiz.

"Dan menikah itu untuk selamanya, ibadah terpanjang dalam kehidupan kita," jelas Qiyya.

"Itu pun Adik juga mengerti, Bunda."

"Jangan suka memberi harapan palsu kepada wanita. PRmu masih banyak di depan. Sarjanamu, koas, belum lagi harus ujian penyetaraan untuk bisa praktik di Indonesia. Lalu bagaimana kamu akan membimbing keluargamu dengan tugas yang masih banyak di depan mata," kata Qiyya.

Perdebatan kecil mewarnai percakapan ibu dengan anak bungsunya itu. Hawwaiz mulai membandingkan antara dirinya dengan sang kakak tertua, tapi sebagai seorang ibu yang bijaksana Qiyya berusaha membuka kewarasan putranya untuk tetap berpikir menggunakan logikanya.

Qiyya mendengkus kasar sembari mengucapkan kalimat istigfar berulang kali. Putranya memang sudah sangat jauh berhubungan dengan anak sahabat sekaligus besannya. Rasa pening di kepala Qiyya semakin berdenyut tapi saat dia ingin bertanya lagi tiba-tiba tubuhnya harus berjingkat ketika suara Ibnu menyapa gendang rungunya.

"Sayang, malam-malam teleponan dengan siapa mesra banget. Kenapa harus keluar kamar?" Ibnu mencium kepala Qiyya yang tidak tertutup oleh kain yang selalu menjadi penghalang mata selain miliknya dan anak-anak yang bisa melihatnya.

"Mendusin Mas?" tanya Qiyya mengabaikan Hawwaiz sejenak.

Ibnu menuangkan air minum di gelas lalu menenggaknya.

"Telepon adik ini lho," jawabnya.

"Oh si boy, mana sini coba Mas yang bicara." Ibnu menarik gawai Qiyya lalu bercakap dengan putra bungsunya. Sesekali Qiyya melihat ada senyum yang menghias bibir suaminya.

Ya, Hawwaiz tetaplah Hawwaiz yang selalu bisa membuat mood daddynya menjadi baik.

"Boleh dong, siapa yang bilang pria dilarang untuk jatuh cinta. Tapi ini sudah malam di sini Boy, besok Daddy kasih tipsnya. Tapi ingat sementara waktu tetaplah menjaga pandangan, menjaga hati dan menjaga sikapmu di sana. Kalau nggak kuat salat dan puasa sebagai penghalangnya. Daddy pengen dininabobokin bundamu lagi. Daddy tutup dulu ya."

Jam dinding memang telah menunjukkan waktu tengah malam dan Ibnu tidak ingin Qiyya mengeluh tidak bisa tidur semalaman karena berangkat tidurnya sangat terlambat.

"Something wanna say?" tanya Ibnu saat melihat istrinya hanya diam menatapnya dalam-dalam.

Qiyya menggeragap lalu menggeleng perlahan tapi bibirnya berucap dengan jelas. "I love you, Mas."

"I know the truth that you love me, and you know that I do love you too. But now, I don't think that is what you have in mind." Ibnu mengusap kepala Qiyya kemudian menuntunnya untuk kembali ke kamar. "Kita telah bersama sekian lama, aku pasti tahu apa yang kamu rasakan sebagaimana kamu selalu mengerti semua tentangku. Ceritakanlah, bagilah semuanya kepada sahabat, teman tidur atau suamimu. Kamu ingin aku berada di posisi yang mana, hmm?"

"Something like a pillow talk?" tanya Qiyya sambil tersenyum.

"As ever, as long as you needed me, I will always stand beside you." Ibnu pun membalasnya dengan tatapan yang sama, tidak berubah semenjak kata sah melingkupi hubungan mereka.

"How do I not adore you." Qiyya menelusupkan tangannya di antara lengan kokoh milik Ibnu untuk memeluk suaminya.

"So, let me know what's on your mind?" bisik Ibnu.

"Aku ingin tidur dipeluk semalaman sama kamu, Mas."

Ibnu tertawa tapi dia menuruti ucapan Qiyya. Mengerti istrinya butuh waktu untuk bicara jujur dan mungkin malam ini tidak akan cukup untuk membicarakan itu. Satu feeling Ibnu, sepertinya memang terkait dengan putra bungsu mereka.

☼☼

INGIN mengetahui seberapa tuluskah seseorang kepada kita? Mungkin ada kalanya kita tidak bicara menggunakan bibir melainkan dengan mata yang selanjutnya bisa bersambung dalam bahasa kalbu. Qiyya masih belum bisa percaya Hawwaiz menyimpan dengan demikian rapi tentang perasaannya kepada Vira.

Sementara Ibnu yang baru saja kembali dari rumah sakit melihat Qiyya termenung sendirian bahkan salam yang diucapkannya luput untuk dijawab sang istri.

"Asalamualaikum, bidadari surganya Mas Ibnu."

Qiyya yang tersentak mendengar suara Ibnu mencoba untuk menguasai diri. "Eh, Mas Ibnu. Waalaikumsalam, maaf Qiyya—"

"Melamunkan apa?"

"Ah bukan apa-apa, mandi dulu Qiyya siapin pakaian gantinya."

Ibnu menghela napasnya, menikahi wanita yang telah menjadi ibu dari 5 anaknya ini telah membuat Ibnu mengerti apa yang dirasakan istrinya. Jika Qiyya menghindar untuk menjawab itu artinya memang wanitanya sangat mempertimbangkan untuk menceritakan kepadanya.

Namun, tidak akan selesai suatu masalah jika hanya berdiam diri tanpa berusaha untuk menyelesaikannya. Akhirnya jujur menjadi keputusan yang membuat dua orang tua itu bicara untuk sebuah kesepakatan demi kebaikan bersama.

"Mas tidak setuju. Hawwaiz harus menyelesaikan kuliahnya terlebih dulu. Tanggung jawab sebagai kepala keluarga itu berat, jika dia belum bisa menunaikan janjinya kepada kita mengapa harus membuat tujuan baru yang sangat jauh dari cita-citanya dulu?" kata Ibnu.

"Mas tapi apa kita tidak salah sebagai orang tua kalau menghalangi niatnya beribadah?" Qiyya memberikan pendapatnya.

"Akan jauh lebih salah jika kita memberikan jalan tapi kita sendiri belum yakin dengan kedewasaan bungsu kita. Ini pasti hanya keinginan sesaatnya saja. Hawwaiz belum sedewasa itu untuk mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya.

"Kita memang tidak bisa mengubah qodar, tapi untuk saat ini biarkan Hawwaiz menyelesaikan apa yang menjadi tanggungjawabnya berada di Oxford," pungkas Ibnu.

Qiyya terdiam. Dia tahu persis bagaimana sikap tegas suaminya. Dan kalimat terakhir yang dia dengar dari bibir Ibnu adalah keputusan yang tidak mungkin bisa dirubahnya. Kini dia hanya bisa menatap punggung suaminya. Meski sudah berusia menjelang senja tapi bahu itu masih sama kokohnya seperti dulu dan masih senyaman pertama kali dirinya bersandar di sana.

Keputusan tetaplah keputusan dan Ibnu ingin sang putra mematuhinya.

Keesokan harinya ketika Ibnu sedang terlibat dalam percakapan melalui telepon dengan putra bungsunya terlihat beberapa kali mengerutkan kening.

"Daddy, Adik tidak ingin berzina." Hawwaiz mengiba.

"Puasa, dan fokuslah pada tujuan awalmu berangkat ke Oxford." Lagi-lagi kalimat tegas seorang ayah yang sangat mencintai putranya itu terdengar kembali.

"Adik sudah melamar Vira pada Om Arfan, Dad. Mungkin itu yang bisa kalian pertimbangkan kembali." Akhirnya setelah sekian detik tanpa suara bibir Hawwaiz bergetar mengatakan kebenarannya.

"Bilal Hawwaiz!" Ibnu menggeram lirih. Setelahnya tak lagi ada suara karena dia memilih untuk menutup sambungan telepon itu sepihak.

Bibir Hawwaiz seketika terkatup, matanya terpejam dan jemari tangannya terkepal. Bahkan buku-buku jarinya terlihat mulai memutih. Dia pikir daddynya akan setuju jika berkenaan dengan khalwat seorang pria dan wanita, menikah adalah solusi untuk menghilangkannya. Namun, nyatanya Hawwaiz menemukan kenyataan baru bahwa sang daddy tidak memberikan persetujuan dirinya meminang Vira.

"Bi, ini salah kita." Vira mulai bicara saat Hawwaiz memilih untuk menghubunginya sendiri tanpa kakak mereka.

"Apa pun yang terjadi tetaplah percaya kepadaku. Ini hanya soal waktu, aku akan memperjuangkannya."

"Bi, fokus kuliahmu dulu. Aku tidak akan ke mana-mana. Dari awal kita sudah membicarakan ini bukan, aku yakin kedua orang tuamu tidak akan mudah menerima keputusan ini."

"Tapi ini hidupku, El," tolak Hawwaiz.

"Aku tahu, tapi kita butuh mereka. Percayalah tidak ada satu orang tua pun di dunia ini yang menginginkan anaknya tidak bahagia, demikian juga dengan Om Ibnu dan Tante Qiyya."

"Tapi aku malu pada pipimu."

"Nanti aku yang akan bilang kepada Pipi terlebih dulu, baru setelahnya kamu bicara kepadanya."

"El—"

"Ya?"

"I believe that God created you for me to love. He picked you out from all the rest cause He knew I'd love you the best." Hawwaiz memelankan suaranya. Ya tentu saja, suara yang jelas berasal dari hatinya.

"Yes, I'm sure."

"And if I have a chance to say everytime I just wanna say I love you, that's all."

"Ok, I feel you. But more important than that. Selesaikan kuliahmu dengan baik terlebih dahulu."

"Kamu bersedia menungguku?" Hawwaiz tidak mendengar suara Vira hanya tawa dari bibir Vira yang menggema. "El ....?"

"Yes, I will."

Helaan napas lega, setidaknya wanita yang ingin diperjuangkan selalu mendukungnya.

"Aku pasti bisa, Dad." Lirih ucapan Hawwaiz bersamaan dengan matanya yang kini mulai menjelajah kata demi kata dalam buku yang ada di hadapannya.

Dokter adalah cita-citanya, Hawwaiz tidak akan pernah melupakan itu. Dia tahu bagaimana caranya untuk meraih dan menjalani tugasnya sebagai seorang mahasiswa. Sedangkan Vira adalah tujuan akhir dari rasa bahagianya, baginya tidak akan menjadi istimewa kala gelar dokternya ada tanpa Vira ada juga di sampingnya.

Mencoba untuk menghitung waktu dan memperhitungkannya dengan matang. Musim dingin kali ini akhirnya mengharuskannya kembali ke Indonesia untuk bicara pada kedua orang tuanya secara langsung. Karena perkuliahan akan lebih banyak dilakukan dalam sesi daring.

"Your attention please, passengers of Garuda Indonesia on flight number GA328 to Surabaya, Indonesia please boarding from door A12, thank you." Suara announcer terdengar nyaring memanggil Hawwaiz segera memasuki pesawat.

Berada selama 19 jam di atas udara, melintasi benua dan tentunya membawa sebuah harapan untuk bisa segera tersampai dengan baik. Sengaja Hawwaiz tidak bertemu dengan Vira terlebih dulu, karena tujuannya kembali ke Indonesia adalah untuk memperjuangkannya di hadapan kedua orang tuanya.

"Kamu yakin, Bi?" tanya Vira ketika mereka terhubung dalam panggilan suara.

"Sejak kapan kamu mulai meragukanku?" jawab Hawwaiz.

"Bukan masalah meragukanmu, kamu hanya punya waktu 5 hari untuk berbicara dengan keluargamu. Apa Om Ibnu bisa berubah pikiran?"

"Setidaknya Daddy tahu bahwa aku bersungguh-sungguh atas permintaanku," jawab Hawwaiz.

Percakapan singkat terakhir sebelum Hawwaiz masuk ke pesawat yang akan melesatkannya melintasi benua yang berbeda.

Angannya kembali mengudara, bersama raga yang kini juga mengangkasa membelah sebagian bumi di jagad raya. Mengenai jarak, konsekuensi tertinggi atas sebuah hubungan, menepis rindu yang sejatinya indah dengan ujung sebuah temu. Namun, setidaknya doa menjadikan alat untuk bisa saling memeluk dari jauh.

Dan benar saja, sesuai dengan jadwal setelah lelah dengan kata bosan di udara dan kaki mungkin sudah mulai berubah. Pengumuman seorang pramugari membuat Hawwaiz bersiap untuk merapikan dirinya.

Hawwaiz menghidupkan kembali gawainya dan mengabarkan kepada Vira kalau dia baru saja mendarat di Juanda. Keluar bandara melalui pintu kedatangan dan segera masuk ke dalam bis bandara menuju ke terminal Bungurasih yang akan segera membawanya pulang ke Blitar.

Tidak ada kemewahan penjemputan karena seluruh keluarganya tidak ada yang mengetahui bahwa kini dia telah berada di Indonesia kembali.

"Datang dari Jakarta, Mas?" Suara driver yang memecah keheningan saat Hawwaiz telah berada di sebuah mobil yang membawanya ke Blitar. Pada akhirnya Hawwaiz memilih untuk menggunakan jasa taksi tanpa argo dibandingkan harus berdesakan di dalam bis.

"Oh, dari London, Pak," jawab Hawwaiz.

"Inggris?" tanya driver lagi.

"Iya, lagi libur kuliah nyempetin untuk mudik ke kampung." Hawwaiz tersenyum sekilas.

"Wah, masnya kuliah di Inggris? Luar biasa banget nih." Driver memberikan jempolnya untuk Hawwaiz.

"Banyak juga orang Indonesia yang ada di sana, Pak." Hawwaiz menimpali.

"Saya pikir masnya tadi artis ibukota terus pulang kampung begitu. Lagian kalau melihat koper bawaannya juga nggak ada yang percaya kalau baru saja pulang dari luar negeri."

Hawwaiz tertawa lirih, benar kata driver tersebut dengan travel bag yang bisa dimasukkan ke kabin pesawat tidak menandakan bahwa Hawwaiz baru saja melalui perjalanan sangat jauh.

Ketika sudah mendekati kota Blitar, Hawwaiz sengaja menelepon sang daddy dan ketika Ibnu menjawab dia ada di rumah sakit, Hawwaiz pun memilih langsung menemui daddynya di sana. Bertepatan waktu makan siang telah tiba, dia yakin Ibnu pasti akan menikmati bekal yang dibuat oleh bundanya setiap hari.

"Dokter Ibnu maaf, ada tamu." Asisten Ibnu membuka pintu ketika dokter senior itu membuka beberapa map rekam medis pasiennya.

"Tamu? Saya tidak ada janji dengan siapa pun hari ini setelah praktik dan visite pasien."

"Tapi tamu Dokter kali ini sangat luar biasa. Tidak perlu membuat janji bila ingin bertemu." Reza–asisten Ibnu–kembali tersenyum ramah yang membuat Ibnu berpikir siapa gerangan yang ingin bertemu dengannya, "Mas Hawwaiz," lanjut Reza.

"Hawwaiz?" Ibnu langsung memberikan map yang ada di tangannya kepada Reza lalu melangkah keluar dari ruangannya.

Pantas saja Hawwaiz menolak untuk melakukan panggilan video karena dia tidak ingin Ibnu mengetahui kepulangannya kali ini. Surprise yang berhasil mengejutkan ayah lima anak itu.

"Dik ...." sapa Ibnu setelah melihat senyum merekah di bibir putra bungsunya.

"Dad, how are you? I miss you so bad." Hawwaiz segera berjalan menyambut Ibnu yang telah membuka tangannya untuk saling memeluk.

"Hi, what are you doing here?" bisik Ibnu.

"Of course I meet you," jawab Hawwaiz.

Ibnu mengeratkan pelukannya pada Hawwaiz lalu mencium kedua pipi putra yang selalu dianggapnya sebagai anak kecil.

Ibnu menghela napasnya perlahan, "My youngest child, now your height has beat me."

Hawwaiz tertawa pelan. Bukan sekarang harusnya, sudah sejak SMA tinggi Hawwaiz juga telah melebihi tingginya Ibnu, bahkan sedikit melebihi tingginya Hanif dan Hafizh.

"Dad ...."

"Apa uang sakumu kurang sampai harus kembali sebelum waktunya? Anak nakal, mengapa tidak memberitahu Daddy kalau akan kembali ke Indonesia?" Ibnu menjitak kepala Hawwaiz.

"Just wanna surprising you." Hawwaiz tertawa lebar.

"Dasar!" balas Ibnu mengusap kepala Hawwaiz dengan kasar.

"Have you finished your work today, Dad?"

Ibnu menatap putranya dengan penuh cinta lalu tertawa bersama dan memberikan kotak makan yang dibawakan Qiyya kepada sang putra.

"Daddy tahu ke mana arah bicaramu, makan ini dulu. Daddy selesaikan pekerjaan dulu sebelum kita pulang untuk menemui Bunda."

"Dad, don't say to Mas Hanif if I'm here now. He doesn't know about it too."

"Naughty!" Ibnu lalu meninggalkan Hawwaiz yang memilih menghabiskan jatah makan siangnya sendirian.

Tanpa berkata pun sesungguhnya Ibnu telah tahu apa yang membawa putranya pulang di luar jadwal yang seharusnya. Pembicaraan terakhir bersama Ayya, Aftab dan juga Qiyya telah menjelaskan sejauh apa keinginan pemuda itu untuk segera menghalalkan Vira.

"Mas, Qiyya hanya khawatir jangan sampai kejadian Mbak Ayya terulang lagi pada Adik." Qiyya mengutarakan kegundahannya.

Mencintai dalam diam itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menganggap semua yang terjadi seolah tidak apa-apa sementara hati harus menekan egonya untuk bisa bersikap biasa walau bergejolak di dalam sana.

"Dad, meski masih kecil adik kami itu tidak kalah dewasanya dari Mas Hanif ataupun Bang Hafizh. Percaya pada kami." Kalimat Ayya pun bergaung di telinga Ibnu kembali.

Ini bukan tentang setuju atau tidak setuju. Ibnu hanya ingin yang terbaik untuk kelima anaknya. Fokus pada cita-cita awal, menyelesaikan satu persatu lalu menggapai yang lain sebagai tujuan selanjutnya. Terkadang dalam berlayar, kapal pun harus singgah di dermaga untuk mengisi bahan bakar. Tidak selalu berpedoman sekali mendayung dua-tiga pulau langsung terlampaui. Jika tanpa perhitungan yang matang yang ada bukan mencapai tujuan malah terkapar di tengah lautan.

☼☼

BAK berhadapan dengan seseorang yang mengenakan toga layaknya hakim atau jaksa ketika sidang pidana digelar di pengadilan negeri, detak jantung di dada Hawwaiz jelas berdetak lebih cepat dari biasanya. Bagaimana tidak, menghadap seorang dokter bedah yang bergelar daddy dan kakak tertua di ruang keluarga di rumah yang sedari kecil menjadi tempat tinggalnya dengan raut wajah serius.

Ibarat kata Ibnu adalah hakimnya, Hanif juga bersiap sebagai jaksanya lalu sekelebat sosok Qiyya berjalan menghampiri mereka dan duduk di sebelah Hawwaiz, mengusap pundaknya seolah memberikan kekuatan kepadanya layaknya seorang advokat yang bersiap untuk membelanya. Bukan, bukan advokat, lawyer atau apalah itu namanya. Bundanya tetaplah seorang psikolog yang siap menampung semua air matanya yang mungkin akan jatuh tidak lama lagi.

"Okay Boy, let me know. Sejak kapan kamu menyadari perasaanmu itu?" tanya Ibnu mengawali sesi interogasinya kepada Hawwaiz.

"Sejak pernikahan Kak Al." Hawwaiz menjawabnya singkat

"Apa yang membuatmu sadar?"

"Come on Dad, the feel can not be driving. As Daddy with Bunda, jika Adik tanya kapan perasaan itu tiba-tiba muncul? Apakah semuanya bisa ditolak? Sepertinya akan terasa sangat sulit. Mas Hanif saja sampai mengurung diri di kamar tanpa suara."

"Bilal Hawwaiz, This is not about Daddy or Mas Hanif, but this is about you, Bilal Hawwaiz Asy Syafiq. Do you understand?!"

"Yes I see, what's your meaning. That's all about me, tapi sebagai contoh real dan konkretnya tidak ada salahnya, kan, mencoba untuk flashback bagaimana dulu cerita Daddy dan Bunda bersatu demikian juga dengan Mas Hanif dan Kak Azza."

"Maksud kamu apa Dik? Mas Hanif menikahi Kak Azza itu juga sudah menyelesaikan sekolah dokternya, bahkan sudah bekerja waktu itu. Apalagi Daddy menikah dengan Bunda," kata Ibnu.

"Ini bukan tentang menikah, Dad, ini tentang perasaan. Mas Hanif bahkan menyukai Kak Azza sejak pertama kali akan berangkat kuliah, setelah SMA. Seperti itu, kan, Mas pengakuanmu kepada kami dulu?" Hawwaiz bertanya kepada Hanif yang dibalas anggukan oleh kakaknya.

Meski pada waktu itu Hawwaiz masih dalam masa remaja tapi bukan berarti dia tutup mata bagaimana cinta itu tumbuh di hati kakak sulungnya. Bahkan dia yang juga memiliki andil untuk bisa membuat sang kakak tersenyum kembali meski itu hanya samar dan sangat tipis ketika lamarannya ditolak oleh keluarga Azza karena mereka telah menerima pinangan dari orang lain.

"Dik, listen to me. Dulu, Mas Hanif memang menaruh rasa suka kepada Kak Azza sejak pertama kali bertemu. Namun, selama tujuh tahun masmu ini menyimpannya rapat-rapat sampai pada saatnya tiba baru Mas ungkapkan semuanya. Masa depanmu masih panjang, mencintai itu nggak salah tapi akan menjadi keliru jika saja cinta itu berjalan nggak pada tempat semestinya," jelas Hanif.

"Yes, because of that. Itu sebabnya mengapa Adik ingin menyegerakan karena nggak ingin salah menempatkan cinta yang nggak berada di tempat seharusnya," jawab Hawwaiz.

"Lalu tanggung jawabmu yang lain?" tuntut Ibnu.

"Pasti ada jalan untuk itu, Dad, hanya berniat nggak ingin membuat Allah marah atas sikap yang telah Adik ambil."

"Siapkan dirimu dulu, perbaiki semuanya dulu, pria itu nantinya akan menjadi imam, memberikan contoh, melindungi istri dan anak-anakmu, memberikan suaka kepada keluarga, dan penghidupan yang layak. Percaya Daddy, semua itu tidak mudah," nasihat Ibnu.

"Namun bukan berarti sulit kan, Dad?" sanggah Hawwaiz.

"Tidak sulit ketika kamu tidak lagi kalah dengan egomu sebagai seorang manusia yang menginginkan kemandirian dan legitimasi diri untuk beraktualisasi." Ibnu tersenyum tipis kepada putranya.

"Dad ...." Hawwaiz tahu, dia tidak akan menang beradu argumen dengan Ibnu.

"I have been in your position, but you never on me. Believe that, selesaikan kuliahmu dulu," putus Ibnu.

Qiyya masih bungkam, masih mengusap pundak Hawwaiz dengan penuh rasa cinta. Perdebatan antara ayah dan anak yang tidak ada ujung temu dengan sebuah kesepakatan. Hawwaiz berusaha meyakinkan dan Ibnu tetap teguh pada prinsipnya hingga akhirnya suara Qiyya terdengar lirih.

"Tidak ada satu pun orang tua di dunia ini yang menginginkan anak-anak mereka tidak mulia dan bahagia hidupnya. Percayalah anaknya Bunda yang paling istimewa, ketidaksetujuan Daddy bukan karena calon yang kamu pilih tapi supaya kamu bisa bertanggung jawab atas apa yang dulu pernah menjadi pilihanmu. Pantaskanlah dirimu terlebih dulu menjadi seorang imam, fokus kuliah baru setelahnya kami siap memintakan Vira untukmu. Itu yang bisa Bunda janjikan."

Hawwaiz memilih untuk bangkit tanpa bersuara. Andai membangkang orang tua itu tidak berdosa mungkin saat ini, hal itu yang akan dilakukannya. Sayangnya sedari kecil dia dididik dan diasuh untuk menjadi anak yang selalu hormat kepada orang tuanya. Wajar dalam menyampaikan pendapat tapi tetap pada tatanan kesopanan.

"Dik, where will you go?" Hanif bertanya melihat adiknya berniat untuk meninggalkan mereka.

"Is it still important for you, Mas?" jawab Hawwaiz.

"Hawwaiz, sit down!" Suara Ibnu kembali terdengar.

"Sorry, Dad, but I wanna alone," kata Hawwaiz lirih.

Helaan napas menjadi akhir dari pertemuan keluarga tanpa rencana itu.☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 9 februari 2024
*sorry for typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top