06 • Battle Bro
🍬🍬 ------------------------------
We can lead a heart love but we can't make it fall in
------------------------------ 🍬🍬
-- happy reading --
مرنتىن نىاكار
KEINGINAN hidup setiap orang tidak akan pernah sama. Tujuan setiap masing-masing individu jelaslah berbeda, tapi ada satu hal yang pasti diinginkan oleh setiap insan, bahagia. Bahagia Hawwaiz ternyata sesederhana saat mendengar abang gantengnya akan berkunjung bersama keluarga kecilnya.
Hafizh pada akhirnya memiliki kesempatan untuk merangkai memori, membawanya dalam setapak kenangan yang sebentar lagi akan diwujudkan. Namanya terpilih menjadi salah satu peserta event internasional dan mewakili Indonesia di Inggris.
Stasiun Oxford menjadi tempat bertemunya mereka karena Hawwaiz menjemput Hafizh dan keluarga kecilnya di sana. Sore harinya bersama dengan Hafizh, Hawwaiz berjalan mengelilingi sudut-sudut sejarah yang ingin diulang oleh abangnya. Hingga terdampar di sebuah restoran Turki untuk menikmati sajian makan malam mereka.
Hafizh sangat menikmati makan malamnya, tapi Hawwaiz masih juga memainkan tab miliknya.
"Abang kemari ngapain kamu mainan tab?" tanya Hafizh.
Kemudian Hawwaiz menunjukkan salah satu foto yang dilihatnya kepada Hafizh. "Suatu saat ingin mengajak seseorang ke sini."
"Seseorang?" kata Hafizh mulai curiga kemudian dia mulai detail memperhatikan dibelahan bumi mana foto yang ditujukan oleh Hawwaiz itu. "Is this one state of Aussie?"
"Yes," jawab Hawwaiz.
"Then someone? Why I feel so confused hear your statement before, am I wrong if I think she is a spesial one for you?" tanya Hafizh disambut tawa lirih Hawwaiz.
"Itu nggak mungkin ketika Mbak Ayya masih betah menjomlo," jawab Hawwaiz.
"What does it mean?" tanya Hafizh.
"Aku ingin menikah muda, Bang. Karena aku ingin dan aku sudah merasa mampu. Apa aku salah?"
"Jangan macam-macam, menikah itu nggak seindah bayanganmu walau juga ada indahnya karena fantasi kita bakalan tersampai. Namun, lebih daripada itu, tanggung jawab besar menanti setelah kalimat ijab kabul kita ucapkan di hadapan Allah." Hafizh menjelaskan sedikit bagaimana pengalamannya tanpa berniat menakuti adiknya.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Meski Hafizh dan Hawwaiz bersaudara, tapi pemikiran mereka dalam hal itu jauh berbeda.
"Daddy sudah tahu hal ini?" tanya Hafizh.
"Belum, tapi sebentar lagi akan tahu."
"Memang siapa wanita yang ingin kau miliki? Jangan bilang dia sekarang lagi di Aussie atau bule yang nggak sejalur dengan kita."
"Nope, kamu keliru. Dia orang pribumi. InsyaAllah nasab dan agamanya baik. Untuk cantik dan kaya, itu relatif," jawab Hawwaiz.
Hafizh tertarik mengorek lebih jauh, tapi adiknya lebih pandai berkelit.
Tidak ada percakapan berat setelahnya sampai keesokan hari Hanif menelepon ketika Hafizh dan Hawwaiz berada di perpustakaan yang sama. Membawa berita yang seketika membuat kaki Hafizh bergetar hebat. Andai dia tahu kejadiannya akan seperti itu, jelas Hafizh memilih tidak berangkat. Sekarang sudah sampai di Inggris, lima hari lagi inti acara yang harus diikuti. Parahnya jika mangkir harus mengembalikan seluruh biaya akomodasi yang jumlahnya tidak sedikit.
Allah, mengapa bisa semua kejadian begitu beruntun? Ayya kecelakaan, Daddy mereka harus dilarikan ke rumah sakit karena drop dan tidak sadarkan diri.
Hawwaiz yang kala itu juga sedang membaca beberapa literatur menghentikan aktivitasnya dan mendekati Hafizh yang sedang bertelepon dengan Hanif dan om mereka. Satu-satunya orang yang bisa diandalkan.
"Kak Azza juga mau melahirkan, Mas Hanif berarti nggak bisa langsung terbang ke Malinau." Hawwaiz berseru.
Hawwaiz dan Hafizh hanya bisa memandang tanpa sepatah kata pun terucap. Hingga bibir Hawwaiz bergetar dan bersuara, "jika semuanya nggak mungkin. Biar aku yang berangkat ke sana."
Hafizh menggeleng lemah, "Itu jelas lebih nggak mungkin lagi. Tiga minggu lagi kamu akan ujian akhir. Dan sebentar lagi kamu akan wisuda doktermu."
"Tapi Mbak Ayya lebih penting, aku bisa mengulangnya tahun depan," jawab Hawwaiz.
Perdebatan kecil dengan Hafizh membuat Hawwaiz mengangkat telepon untuk menghubungi Vira. Biar bagaimanapun, Aftab harus tahu masalah ini. Ketika Hafizh menolak, Hawwaiz justru menceramahi abangnya banyak hal. Sampai akhirnya Hafizh memilih menelepon Aftab melalui gawainya sendiri.
"Bi, Kak Aftab berangkat ke Malinau." Vira kini yang menghubungi Hawwaiz ketika Aftab telah memastikan keberangkatannya kepada Vira berangkat ke Malinau.
"Bang Hafizh yang meneleponnya tadi."
"Apa?" tanya Vira tidak percaya.
Masalah Ayya telah terpecahkan. Hawwaiz bisa bernapas sedikit lega meski dia belum tahu bagaimana kondisi kakaknya. Jika mengetahui Ibnu sampai ngedrop dan tidak sadarkan diri pasti luka Ayya berat.
Vira juga mengatakan bahwa kedua orang tuanya juga akan berangkat ke Malinau menemani pengobatan Ayya. Hawwaiz hanya bisa berdoa Ayya bisa menjalani semuanya dengan kesabaran. Agenda bersama Hafizh menikmati Oxford tidak bisa terlaksana dengan baik sampai mereka tahu keputusan Ibnu untuk menikahkan Ayya dan Aftab.
Pernikahan Ayya dan Aftab dibuat online dengan wali nikah kakak Hanif atas restu Ibnu. Hawwaiz memberanikan diri menggoda Vira di depan keluarga mereka. Mungkin semua akan mengira dia bercanda, tapi tepat satu minggu sesuai dengan janji yang dibuat oleh Arfan, Hawwaiz menemuinya di salah satu penginapan seperti yang diberitahukan pipi Vira.
"Om, gimana kabarnya?" tanya Hawwaiz setelah mencium tangan kanan Arfan seperti biasa.
"Baik alhamdulillah, kamu bagaimana? Kuliah masih lancar?" tanya Arfan kembali.
"Lancar, Om. Ini juga sedang persiapan UAS makanya tidak bisa lama-lama ngobrol sama Om Arfan. Supaya Om juga bisa istirahat." Hawwaiz membuka pembicaraan ringan.
"Gimana, Om, rasanya? Lega atau masih ada yang mengganjal? Kak Aftab kan—"
"Lega, kakakmu itu punya ilmu apa sampai bisa mengalihkan dunia Aftab sebegitunya." Arfan menggelengkan kepala.
"Tapi Mbak Ayya mungkin tidak akan sempurna lho, Om." Hawwaiz mencoba memancing.
"Jika dibalik, misalnya kamu dan Vira, jika Vira tidak lagi sempurna. Apa yang akan kamu lakukan sebagai seorang pria yang mencintainya?" tanya Arfan.
"Saya memang mencintai Elvira, Om." Hawwaiz menatap manik mata Arfan yang tampak terkejut mendengar ucapannya.
"Maksud Om, sebagai pria, kita memang harus mau menerima wanita yang dicintai apa adanya. Ksatria memang harus seperti itu, kamu nanti juga harus sama. Apa pun yang bisa kamu perjuangkan, perjuangkanlah."
Hawwaiz mengangguk tanda mengerti. "Jadi Om tidak keberatan kan intinya mendapatkan besan Bunda dan Daddy?"
"Mengapa harus keberatan, dulu kami teman satu sekolah waktu SMA, Om tahu sekali bundamu seperti apa."
"Misalnya pilihan besannya Om Arfan dan Tante Nia hanya Daddy dan Bunda, apa yang akan Om lakukan?" tanya Hawwaiz lebih dalam.
"Kenyataannya kan, besan Om ya kedua orang tuamu."
"Tapi saya dan Mbak Vira tidak serta merta menjadi mahram karena pernikahan kedua kakak kami. Jika Allah menuliskan takdir Om Arfan dan Tante Nia hanya memiliki besan Daddy dan Bunda—"
Arfan mengerutkan keningnya mulai berpikir ke mana Hawwaiz akan membawa arah pembicaraan mereka.
"Maksud kamu?" Karena tidak ingin mengira-ngira, Arfan langsung memberikan pertanyaan yang langsung pada intinya.
"Maaf, Om, jika ini dianggap suatu kesalahan. Namun, sama seperti Kak Aftab yang menginginkan Mbak Ayya untuk menemani hidupnya. Saya pun juga menginginkan seorang wanita yang akan menemani kehidupan saya."
"Bagus, kalau kamu sudah berpikir seperti itu mulai sekarang bisa mempersiapkan diri. Sudah ada calonnya, Iz?" tanya Arfan yang mulai mengerti bahwa Hawwaiz juga ingin menikah.
Arfan hanya berpikir mungkin Hawwaiz kesulitan bicara dengan orang tuanya dan ingin meminta tolong padanya. Bukan perkara yang sulit, pemuda itu sudah seperti anaknya sendiri.
"Tidak perlu minta maaf, kodratinya manusia juga seperti itu. Sunah nabi melengkapkan setengah agama ya dengan menikah. Kamu ingin minta tolong Om untuk mengatakannya kepada orang tuamu akan hal ini?"
"Bukan begitu, Om," jawab Hawwaiz.
"Lalu? Masalahnya apa? Kalau memang sudah ada calonnya dan kamu sudah merasa siap, kuliah juga tidak ada peraturan untuk melarangmu menikah, kan?" kata Arfan.
"Masalahnya adalah wanita yang saya sukai—"
"Orang tuamu tidak menyukainya?" tanya Arfan yang membuat Hawwaiz menggeleng.
"Dia tidak cantik?"
Sekali lagi Hawwaiz menggeleng.
"Dia tidak menyukaimu?" tanya Arfan lagi.
"Dia tidak pernah mengatakan menyukai saya, Om. Meski saya selalu mengatakan bahwa saya akan memperjuangkannya," jawab Hawwaiz akhirnya.
"Dia menolakmu?"
Hawwaiz masih menggeleng.
"Artinya dia juga sama menginginkan, tapi tidak bisa menjawab?"
Hawwaiz mengangguk lalu menggeleng.
"Lho maksud kamu apa, Iz?" tanya Arfan.
"Dia masih ada ikatan dinas dengan perusahaan tempatnya bekerja yang tidak memperbolehkan menikah selama satu tahun setelah menjadi pegawai." Hawwaiz menjawab sambil memainkan jemari tangannya.
"Wah itu seperti Vira. Padahal kalau melihat kedua sahabatnya, Vira memang sudah waktunya untuk menikah. Namun, menikah itu bukan siapa cepat." Arfan menghela napas perlahan, mengingat putrinya yang masih betah menyandang predikat jomlo.
"Memangnya Om Arfan memberikan kriteria khusus pada pria yang akan jadi suami Mbak Vira?" tanya Hawwaiz.
"Pria saleh, yang bertanggung jawab, lainnya bonus. Apalagi kalau bisa gantengnya seperti kamu, pinternya juga seperti kamu, semua itu bonus untuk kami dan Vira tentunya." Arfan menepuk pundak Hawwaiz.
"Jika memang calonnya Mbak Vira itu saya, kira-kira Om Arfan menerima atau tidak?"
Ini hanyalah pertanyaan yang keluar dari bibir Hawwaiz. Namun, mengapa terdengar seperti petir yang menyambar ke ulu hati seorang ayah yang begitu mencintai putrinya? Apakah ini pertanda bahwa putrinya sedang dilamar seseorang?
Yang duduk bersamanya kini adalah Hawwaiz, putra bungsu sahabat dan juga besannya seminggu yang lalu. Mahasiswa kedokteran yang masih harus berjuang untuk menyelesaikan studinya di negeri orang. Apakah telinganya tidak salah mendengar? Atau mungkin Arfan salah mengartikan maksud perkataannya.
"Om Arfan—" kata Hawwaiz lagi.
Arfan hanya menatap Hawwaiz dalam-dalam. Dan ketika mata mereka bertemu di satu titik, bibir Hawwaiz bergerak kembali. "Saya memang masih kuliah, secara usia jelas saya lebih muda dari Vira, tapi sama seperti Kak Aftab yang mencintai Mbak Ayya dengan tulus, saya juga memiliki ingin untuk mencintai Vira seperti itu. Saya mencintai putri, Om."
Tidak pernah Arfan sangka, dia salut dengan keberanian Hawwaiz. Namun, kini hanya bisa menggeleng lemah. Pikirannya masih buntu menerima kenyataan bahwa putra bungsu besannya memiliki perasaan kepada putri bungsunya.
Mungkinkah Allah hanya memberinya kesempatan untuk memiliki satu orang besan seumur hidup. Arfan menyeruput teh miliknya yang telah dingin. Dia menunduk demikian halnya dengan pemuda yang baru mengakui perasaannya dengan sangat jentelmen di hadapannya.☼-------------------------------🍬🍬
-- to be continued
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Blitar, 20 Maret 2023
*sorry for typo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top