03 • Love is Love
🍬🍬 ------------------------------
Other things may change us, but we start and end with the family
------------------------------ 🍬🍬
-- happy reading --
مرنتىن نىاكار
BERTEMU kembali dengan cinta pertama adalah hal yang paling membuat haru. Saat selesai memarkirkan mobil lalu masuk ke rumah, orang pertama yang ingin dijumpai Hawwaiz adalah Qiyya. Bukan karena dia terlahir sebagai anak bungsu tapi bagi Hawwaiz, Qiyya adalah bidadari berwujud manusia sebagai penyelamat hidupnya. Dia bahkan bersedia untuk menggantikan dengan apa pun asal bisa selalu mendapat perhatian dan cinta bundanya.
Tak heran jika air mata sebagai pengganti rasa haru itu saat kedua cinta itu bertemu dalam sebuah pelukan. Melihat pemandangan di depannya Vira mendadak menjadi baper, Hawwaiz bahkan melupakan tas ransel dan kopernya.
"Vira, makasih lho. Maaf, Tante tidak bisa menjemput Adik."
Meski risih dengan panggilan adik untuknya di depan Vira, Hawwaiz tidak ingin memedulikannya. Dia hanya ingin memeluk bundanya lebih lama.
"Sama-sama, Tante. Kebetulan juga yang paling dekat untuk menjemput dan longgar waktunya Vira." Vira kemudian memanggil Hawwaiz untuk menyerahkan tas ransel dan koper miliknya yang sengaja dia bawakan. "Bi, tasmu."
"Bi--?" Qiyya bergumam lirih sedikit bingung, Qiyya pikir Vira memanggil bibi yang membantu di rumah. Namun, saat Hawwaiz dengan tangan terbuka menerima pemberiannya akhirnya Qiyya tahu bahwa yang dimaksud Vira adalah si bungsunya.
"Bunda kenapa kok melihat Adik seperti itu?" Hawwaiz menatap Qiyya yang menatapnya dengan senyum tertahan.
"Apakah ini artinya bungsunya Bunda--" kata Qiyya terpotong. Masih dengan senyum yang sama dia menatap Vira yang membuat putri sahabatnya itu bingung dengan sikap yang ditunjukkan ibu dan anak yang baru saja bertemu itu.
"bungsunya Bunda juga sudah dewasa?" Qiyya menyelesaikan kalimatnya dengan mengusap punggung Hawwaiz.
Hawwaiz tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya. Hafal sekali perangai bundanya jika sudah dalam mode menyelidik seperti ini. "Bilal, Bunda, jangan ngadi-ngadi." Lalu Hawwaiz memilih untuk meletakkan koper dan tas ranselnya di kamar.
"Vira nginep di sini, kan? Tadi Almira pesannya seperti itu," kata Qiyya setelah Hawwaiz tidak ada.
"Iya, Tante, tapi Almira sendiri ke mana?" Vira mencari keberadaan sahabatnya.
"Tadi dia dan Mas Hanif ke lokasi melakukan pengecekan final tempat resepsi mereka besok bersama WO," jawab Qiyya menyilakan Vira duduk.
"Jadi Vira bisa bantu apa ini, Tante?" Vira mengangguk ketika Qiyya mempersilakan menikmati minuman yang dibawakan asisten rumah tangga sahabatnya.
Tiba-tiba Hawwaiz turun dari tangga. "Daddy masih di rumah sakit, Bun?"
Qiyya hanya bisa mengangguk, sebenarnya sebagai dokter senior harusnya Ibnu memiliki banyak waktu luang bersama keluarga ditambah karena dia juga akan mantu salah satu putrinya dalam waktu yang tinggal menghitung jam mundur. Namun, saat terjadi kerumitan operasi yang membutuhkan penanganan lebih detail, sebagai dokter senior justru Ibnu adalah kunci sebagai orang yang seringkali ketiban sampur untuk membantu kesembuhan pasien.
"Mbak Vira tidur di mana, Bund?" Tak ingin bundanya curiga dengan panggilannya kepada sahabat kakaknya, Hawwaiz memilih menggunakan mode aman.
"Mbak Ayya datang juga dengan Kesha dan Sekar sore nanti. Kamarnya Kak Al mulai malam nanti harus dikosongkan karena mau di dekor."
"Kamar tamu kosong berarti?" tanya Hawwaiz. Qiyya bingung mau menjawabnya karena kamar tamu, kamar Hanif dulu dan juga kamar Hafizh sudah ada penghuninya yaitu saudara-saudara mereka yang berasal dari luar kota. "Kalau sudah penuh semua, pakai kamar Adik saja. Tadi sudah Adik rapikan. Lagian itu kakak, Mbak Ayya, sama dua temannya lagi sekamar sepertinya kepenuhan juga, Bund."
Qiyya membenarkan juga pertimbangan bungsunya, "Adik tidur di mana?"
"Sama Bunda lah, padahal maunya sama Mbak Vira tapi jelas nggak boleh, kan?" Receh yang membuat mata Qiyya membulat mendengar lelucon putranya sementara si empu yang disebut namanya langsung memerah. "Nanti Adik bisa nginep di rumah Mas Hanif atau di rumah Akung, Bund," jawab Hawwaiz yang serius sambil mencium pipi kanan Qiyya.
"Vira nginep di rumah Eyang saja, Tante. Lagian besok pagi Pipi dan Mimi juga ke sini," sambung Vira.
"Tapi jauh lho, Vir. Nanti Almira mau bikin acara apa gitu untuk kalian yang jadi bridesmaid dan groomsmennya," kata Qiyya.
"Oh iya, Dik, setelan jas kamu untuk resepsi Kakak sudah disiapkan di kamar Bunda dicoba dulu sana," lanjutnya.
Hawwaiz kemudian berjalan ke ke kamar Ibnu berniat mencoba pakaiannya untuk acara istimewa kakaknya. Tidak banyak yang berubah dari tubuhnya sejak dua tahun yang lalu. Hanya lingkar pinggangnya yang sedikit mengecil karena Hawwaiz tidak lagi mengkonsumsi nasi sebagai makanan utamanya setiap hari. Tak berapa lama kemudian dia keluar dengan pakaian formal lengkap.
Jika tidak mengenal siapa Hawwaiz pasti semua setuju jika kini dia terlihat seperti eksekutif muda yang memesona.
"Mbak Vira, nama lengkapmu siapa?" tanya Hawwaiz kepada Vira yang masih berbincang bersama bundanya.
"Elvira Maritza Aldebaran." Bersamaan dengan jawaban Vira suara Qiyya menggema bertanya kepada Hawwaiz.
"Gimana Dik, pas atau masih perlu dipermak lagi?"
Bukannya menjawab pertanyaan bundanya Hawwaiz justru meminta pendapat kepada Vira tentang penampilannya. Mendapat pertanyaan seperti itu, jujur saat pertama kali memandang Hawwaiz dengan setelan formal itu, Vira hanya memiliki satu kata untuk memberikan penilaian atas penampilan Hawwaiz, perfecto.
"Bagus kok," jawab Vira.
"Nama lengkap Om Arfan itu siapa, Bund?"
"Ngapain kamu nanya nama lengkap pipinya Mbak Vira?"
"Arfan Aldebaran," jawab Vira yang semakin bingung. Pasti adik sahabatnya ini akan berbuat sesuatu di depan bundanya yang membuat dia malu. Sayangnya bibirnya telah menjawab pertanyaan yang Hawwaiz lontarkan.
"Saya terima nikah dan kawinnya Elvira Maritza Aldebaran binti Arfan Aldebaran dengan mas kawin tersebut, dibayar diutang," kata Hawwaiz sambil membenarkan dasi kupu-kupu di depan sebuah cermin.
Mendengar semua itu, mau tidak mau Qiyya tersenyum lebar dengan kekonyolan putra bungsunya. Sejak kecil Hawwaiz memang paling suka menggoda kakak-kakaknya. Jadi Qiyya hafal sekali dengan perangai anak bungsunya. Sementara Vira yang mendengar langsung recehan Hawwaiz di depan bundanya menjadi salah tingkah. Bisa-bisanya bocah tengil itu menggodanya tepat di depan wanita yang telah melahirkannya ke dunia.
"Tuh Mbak Vira jadi salah tingkah kamu godain. Lagian masa diutang sih Dik. Seperti rumah aja dicicil." Qiyya masih tersenyum melihat cengiran Hawwaiz. "Ditanya bagaimana bajunya malah GR akad. Lagian Mbak Vira apa ya mau nikah sama kamu, bobok saja masih minta dikelon Bunda."
Kali ini justru Vira yang terlihat tertawa lepas, melihat bagaimana bibir Hawwaiz yang sudah maju beberapa senti karena rahasianya di bongkar oleh sang bunda. "Bunda, ish. Dua tahun lho Adik tidur sendirian di Oxford."
Selanjutnya Hawwaiz memilih mengajak Vira menemui Almira dan Hanif di tempat acara pernikahan kakak kembarnya. "Bund, adik ke kebon kopi saja nyusul mereka. Sudah kangen banget juga sama Mas Hanif. Adik saja lho yang belum bertemu si kembar junior dan adiknya, ini malah Kak Azza sudah prepare lagi."
"Jangan hanya berdua," kata Qiyya.
"Iya ini sama Elram, dia ondewe kemari."
Lima menit kemudian Elram datang dan bertugas mengendalikan kemudi, mengingat Hawwaiz juga baru saja sampai. Elvira berjalan di belakang Hawwaiz tetapi tampak bingung lagi setelah tahu Hawwaiz membuka pintu penumpang di belakang bukan pintu di samping kemudi.
"Lho kamu ngapain duduk belakang, Bi?"
"Kan ceritanya jadi tuan dan nyonya hari ini." Hawwaiz lalu tersenyum dan menyilakan Vira masuk kemudian menutup pintunya setelah dia duduk manis. Setelahnya barulah Hawwaiz membuka pintu di samping kemudi dan duduk di samping Elram yang sudah bersiap untuk melajukan mobil yang mereka tumpangi.
"Gimana perjalanannya, Mas?" tanya Elram.
"Alhamdulillah lancar, cuma di Brunei tidur di kursi," jawab Hawwaiz.
"Wah kerasa pasti tuh," kata Elram.
"Iya, tapi langsung ilang lelah dan pegelnya setelah mendarat di Juanda." Hawwaiz tersenyum.
"Ya bentar lagi juga ketemu keluarga, kan?"
"Salah satunya," jawab Hawwaiz yang disambut kernyitan di kening Elram.
"Memang ada salah lainnya?" tanya Elram.
"Ada dong, karena yang jemput istimewa," bisik Hawwaiz yang masih cukup didengar Vira di belakang.
"Lah emang siapa yang jemput? Bukannya tadi bareng sama Mbak Fiza?" Hawwaiz tersenyum, tapi sekilas dia melihat rona merah di pipi Vira dari spion tengah yang sengaja dia betulkan dan mata mereka bertemu di satu titik yang sama.
Hawwaiz memilih balik bertanya bagaimana kuliah adik sepupunya meskipun Elram satu tingkat di atasnya. Namun, sama sepertinya yang menghindar dari pertanyaan Elram sebelumnya kini adik sepupunya justru bertanya selera Hawwaiz tentang wanita.
"Aku nggak seberapa suka bule," jawab Hawwaiz.
"Pengen yang lokal saja, bisa dekat dengan Bunda. Sama seperti Mas Hanif dan Bang Hafizh tuh, istri mereka kalau sama Bunda nggak berjarak," lanjutnya.
"Bener juga sih, Kak Azza dan Kak Fatia memang kelihatan kalau sayang banget sama Bude Qiyya. Bude juga nggak banyak maunya, Mas. Makanya siapa pun yang berada di dekatnya bisa sesayang itu. PRmu itu nanti Mas Hawwaiz untuk memberikan menantu terakhir yang akan menjadi kesayangan Bude."
Sebelum menjawab Hawwaiz berdehem sejenak. "El, tuh kata Elram jadi next mantu kesayangan Bunda. Are you ready to be?"
"Bi--"
"Mas, jadi kalian?" Suara Elram dan Vira terdengar bersamaan. Namun, Hawwaiz hanya tersenyum bahkan hanya bisa nyengir mendengar pertanyaan sepupunya.
"Jangan percaya Elram, masmu ini memang paling suka ngejahili teman-teman kakak-kakaknya." Suara Vira akhirnya menjadi jawaban atas pertanyaan Elram.
Namun, bukannya mengiyakan pernyataan Vira, Hawwaiz hanya tersenyum sekilas lalu menolehkan kepalanya ke belakang dan memandangnya sekilas. Elram juga masih mencie-cie sepupunya tapi Hawwaiz masih saja diam dan tersenyum tipis.
"Jadi karena ini, Mas, nggak suka melirik bule aneka model." Elram tertawa dan Hawwaiz baru menjawab setelah sepupunya menyebutkan nama Ibnu di sela olokan mereka. "Kalau sampai Pakde Ibnu tahu pasti sekalian sama acaranya Kak Al."
"Kalau perlu." Seolah menantang tapi kemudian Hawwaiz meluruskannya. "Kuliah dulu yang bener baru menikah tuh seperti Kak Al, Mas Hanif dan Bang Hafizh."
"Yakin kuat?" tanya Elram.
"Kuat nggak ya, El?" kata Hawwaiz yang balik bertanya kepada Vira.
"Apaan sih, Bi!"
"Idih, pasangan cute banget sih kalian. Panggilan saja beda lho sama yang lain," kata Elram masih dengan mode menggoda.
"Sudah jangan digodain, kasihan tuh, nanti ngambek aku disuruh nikahin sekarang, repot." Hawwaiz kini terbahak.
Vira terlihat memutar bola matanya, sumpah demi apa pun Hawwaiz sangat menyebalkan tapi Vira tidak bisa marah karena sesungguhnya Hawwaiz itu adalah anak yang lucu, konyol tapi sangat perhatian.
Hawwaiz segera menelepon Hanif ketika mereka telah berjalan memasuki area pernikahan Almira, tidak berapa lama kemudian muncullah sosok pria dewasa yang sudah Hawwaiz rindukan kepulangannya.
"Masyaallah, adikku sudah sebesar ini." Seperti sedang berkaca Hanif berbicara berhadapan dengan Hawwaiz setelah mereka saling memeluk untuk menumpahkan kerinduan.
"Uncle Haaz--" suara Habeel dan Hafsha seketika langsung terdengar saat keduanya berlari mendekat untuk berhambur siapa yang lebih dulu sampai dan pertama kali dipeluk oleh paman yang selama ini hanya mereka lihat melalui layar gawai.
Hawwaiz berjongkok dan merentangkan kedua tangannya, menyambut dua ponakan yang selalu dia rindukan. "Uncle Haaz, why do you come so late? We miss you so much."
"I miss you so much too," jawab Hawwaiz mencium kedua ponakannya secara bergantian.
.....
Lebih dari lima tahun berlalu dan ini adalah kali pertama bagi dua orang kembar beda generasi itu bisa saling bertatap muka tanpa batasan lagi. Rasa rindu, haru, cinta dan sayang membuat keduanya larut dalam pelukan yang begitu membiru. Benar kata orang, Hanif seperti flashback 10 tahun ke belakang. Seperti melihat dirinya sendiri 10 tahun yang lalu.
"Adikku sudah sebesar ini. Bagaimana di sana?" Setelah Habeel dan Hafsha kembali bermain bersama pengasuhnya, Hanif bisa berbincang santai dengan Hawwaiz.
"Nothing compare with anything."
"Happy to see you like now, semakin dewasa dan tidak kalah gantengnya dari kami."
"Wah kemajuan nih, Mas Hanif sudah bisa bercanda juga ya." Hawwaiz tersenyum kemudian mengikuti kedua kakaknya untuk melihat sampai di mana panitia menyiapkan tempat untuk acara Almira keesokan harinya.
"Who's that woman with you?" tanya Hanif, karena dia melihat adiknya datang dengan sepupu mereka dan juga satu wanita yang dekat dengan Almira karena keduanya saling memeluk dan berciuman.
Mata Hawwaiz mencari keberadaan Vira kemudian memastikan kepada Hanif, "she?"
"Yes, who's she?" Hanif melihat adiknya tersenyum mendengar pertanyaannya.
"Adikku memang sudah dewasa sekarang. Jaga hati dan sikap, wanita itu untuk disayangi dan dicintai."
"Ish, Mas Hanif nggak asyik. Temannya Kakak itu, kebetulan tadi ke rumah terus sekalian Adik ajak kemari makanya ngajak Elram juga biar tidak berdua-dua," jawab Hawwaiz.
Semua percakapan itu tercipta di sela-sela penjelasan humas vendornya juga mengiring mereka.
"Sudah berapa persen yang sudah siap ini dari yang seharusnya, Pak?" tanya Hawwaiz.
"Semua sudah 80%, Mas. Tinggal menambahkan beberapa ornamen bunga hidup yang bisanya kita pasang nanti malam supaya tidak layu."
"Selera Kak Al memang patut diacungi--" Hawwaiz mengacungkan dua jempol tangannya. "Jadi pengen cepet halal juga."
Hanif yang mendengar gurauan adiknya hanya bisa tersenyum. Bukan sesuatu yang baru mendapati Hawwaiz dengan selera humor yang melebihi batas normal. Dia kemudian berjalan meninggalkan adiknya karena Habeel dan Hafsha sedari tadi memanggilnya untuk mendekat pada mereka.
Sepeninggal Hanif, Hawwaiz segera minta izin kepada pegwai vendor yang membersamainya untuk mengambil beberapa video. Beberapa kali juga meminta Elram untuk mengambilkan video dan gambarnya.
"Mana bayarannya? Ada gitu youtuber numpang konten gratis?" Almira berdiri di depan Hawwaiz yang sedang merapikan peralatan shooting konten miliknya telah selesai dan mereka juga harus kembali ke rumah.
"Ini yang bayar juga Daddy, kan?" kata Hawwaiz ringan.
"Bukanlah, endors." Almira mengatakan dengan dua tanduk di kepala.
"Ya iyalah Daddy, siapa lagi." Hawwaiz lalu tertawa dan memberikan amplop berwarna coklat kepada kakaknya.
"Apa ini?" tanya Almira.
"Katanya suruh bayar untuk buat konten?" kata Hawwaiz. Vira yang memang sedari tadi lengket dengan Almira tentu saja melihat adegan drama kakak adik ini.
"Hei aku hanya bercanda." Almira menepuk lengan adiknya dengan amplop cokelat dan berniat untuk mengembalikan kepada Hawwaiz.
"Itu buat kamu kakakku sayang." Hawwaiz menolaknya dan memaksa Almira untuk menerima kembali. "Maaf aku nggak sempat beli kado sebagai hadiah pernikahanmu dengan Mas Kama. Hanya sedikit dan itu tidak bisa dipakai di sini. Oleh sebabnya, ajak Mas Kama untuk memakainya di tempatku."
Almira memicingkan mata melihat keseriusan adiknya,
"Hei aku serius, buka deh. Kakak akan tahu apa itu," kata Hawwaiz.
Almira segera membuka dan matanya membulat ketika melihat isinya. Memang tidak banyak, ada 15 lembar uang pound sterling dengan pecahan 50an dan 10 lembar lagi uang euro dengan pecahan yang sama.
"Dik--"
"Buat Kakak, semoga ada manfaatnya. Aku beneran nggak bisa beli--"
"Kamu datang saja Kakak sudah bahagia." Seketika Almira berhambur ke pelukan Hawwaiz. Meski dikata adik, tubuh Hawwaiz sama tingginya seperti Hanif dan Hafizh. Almira benar-benar terharu atas sikap adiknya. "Ini dari Daddy? Lalu kamu di sana bagaimana kalau semua kamu tabung dan diberikan kepadaku."
Hawwaiz tertawa lirih, dia meminta Vira untuk membawakan tripodnya lalu merangkul sang kakak untuk berjalan menuju ke mobil karena mereka memang harus segera pulang. "Mbak Vira, tolong bawain tripodku. Kakakku lagi mode on manja."
"Itu bukan dari Daddy, Kak. Itu uangku, percayalah. Halal kok tenang saja." Hawwaiz mengiring langkah kakaknya.
Tiba-tiba Habeel memanggil.
"Uncle Haaz--" Keponakan Hawwaiz yang satu ini sangat sadar kamera, karena wajah Habeel videogenik membuat Hawwaiz memakai keponakannya yang lucu nan imut itu untuk menjadi beberapa model untuk mengisi kontennya sore ini.
"Can I watch the video that we make on a screen after we arrive at home?" Mungkin maksudnya Habeel adalah video yang ada dirinya yang sempat diambil dan diarahkan oleh Hawwaiz tadi.
"No, not today."
"When?"
"After Uncle edit and merge with another video."
"Tomorrow? Tomorrow after?" Hawwaiz lalu meraih Habeel untuk digendongnya. "After Aunt Al's wedding."
"Promise?"
"Yes, I'm." Lalu Habeel memilih untuk pulang bersama pepo dan Elram sementara Almira pulang bersama Vira dan Hawwaiz.
"Kamu nggak capek, Dik?"
"Capeklah, tapi lunas setelah lihat senyum kalian. Lagian aku pulang hanya 10 hari, Kak. Besok kamu menikah, kapan lagi kita bisa dengan bebas seperti ini. Setelah menikah kamu pasti akan memilih banyak menghabiskan waktumu dengan Mas Kama."
Setelah sampai di rumah, Hawwaiz tentu saja langsung masuk ke kamar kedua orang tuanya. Tubuhnya meminta untuk segera beristirahat. Alarmnya dinyalakan, tidak lebih dari 30 menit dan semua telah mengembalikan kesegaran tubuhnya.
"Ya Rabbi, adikku sudah bangun." Suara Ayya yang langsung menghambur saat mendapati Hawwaiz yang telah segar setelah mandi.
"Mbak Ayya, miss you so much. Kapan datang kok nggak bangunin aku?"
"Kamu capek banget kelihatannya, sampai aku masuk ke kamar Bunda nggak bangun."
Hawwaiz tertawa lalu mengangguk, dia memang capek setelah sekian jam perjalananan kemudian langsung beraktivitas. "Hey, congratulate for your graduation last month."
"Thanks. But, I never to be able to as like Mas Hanif."
"Hey no, you are very spectacular and I'm proud of it. Be your own self and show to the world that you have a capability to compete in the market. Magna cumlaude is a wow factor to make anybody else seeing of you more than the others. Let's build your confident, we will always stand behind you, Beautiful." Hawwaiz yang kini memegang pundak kakaknya lalu memintanya untuk tersenyum dan tetap semangat. "Fight."
"I miss you so much, Boy." Keduanya saling memeluk.
"I have something for you," kata Hawwaiz saat mereka berdua masih saling berpelukan.
"What is that?"
"I bring that from England and that is special for you as spesial as you for me." Hawwaiz berucap lirih saat mata mereka saling berpandangan.
"Ya Allah, melting hati mbakmu, Dik." Suara Ayya menggema di ruangan. "Bunda, Bunda mengapa dulu melahirkan adik cowok seperti Hawwaiz sih? Harusnya tuh Adik dilahirkan orang lain saja dan gedenya buat jadi suami Mbak Ayya." Semua yang ada di ruangan menjadi tertawa akibat ulah Hawwaiz dan Ayya.
"Mbak, Mbak, ada-ada saja kalian ini. Kalau baru bertemu lengketnya minta ampun, giliran sudah lama bersama nggak ada yang mau ngalah. Untung Kakak Al sudah mau hengkang dari trio kwek-kwek kalian." Qiyya bergumam saat melihat kedua putra-putrinya sedang menumpahkan semua rindu.
Selanjutnya Ayya mengenalkan hawwaiz kepada sahabat dan sepupu sahabatnya. Hawwaiz yang memang dasarnya ramah cepat sekali akrab dengan sahabat kedua kakaknya.
"Eh maaf, nyela percakapan kalian." Vira yang baru turun dari tangga berbicara kepada Ayya, Kesha dan Hawwaiz. "Hawwaiz, kunci mobil aku, kamu yang bawa ya? Aku mau ambil pakaian dan yang lainnya. Masih di bagasi."
"Astagfirullah lupa, sebentar aku ambilkan. Permisi dulu Mbak Ayya--" Hawwaiz bergegas keluar. Vira mengikuti di belakangnya.
"Kamu belum mandi dari tadi, El?" tanya Hawwaiz.
"Iya belum, kamunya sampai tadi langsung tidur kan, Bi?"
"Capek, El."
"Ya sudah sini kopernya aku bisa bawa sendiri--" kata Vira yang terputus karena Hawwaiz lebih dulu menjawabnya.
"Aku bawain sampai atas." Hawwaiz menghela napasnya sebentar lalu berkata lagi. "Om Arfan itu manusia, Tante Kania juga manusia, kan?"
"Maksudmu apa bilang Pipi dan Mimi manusia apa bukan?" Vira langsung emosi mendengar ucapan Hawwaiz.
"Iya, mereka manusia kan tapi kok bisa ya melahirkan bidadari seperti kamu, jangan-jangan--"
"Bilal--!" Senyum sipu dan rona merah menghiasi pipi Vira yang berada di belakang Hawwaiz.
Vira masih mengikuti langkah Hawwaiz sampai mereka naik ke lantai dua.
"Tidur di kamarku saja, nanti ditemani Kak Al dulu, besok-besok ditemani yang punya kamar aslinya."
"Ish, ini anak." Hawwaiz memasukkan koper milik Vira ke dalam kamarnya, tentu saja Vira masih menunggu Hawwaiz keluar.
"Lho Vir, ngapain kamu di sini?" tanya Almira yang baru saja keluar dari kamar Ayya karena kamar miliknya sudah direstrict. "Kopermu mana?"
Belum sampai Vira menjawab, Hawwaiz sudah keluar membawa ransel di pundaknya. "Lho Dik, mau ke mana?"
"Aku nginep di rumah Mas Hanif. Sekalian nanti katanya mau latihan dance buat besok. Kakak tidur di kamar Adik saja tuh, sama Mbak Vira. Kopernya sudah Adik masukkan, Mbak Ayya nanti sama Mbak Kesha dan Mbak Sekar."
Almira mengangguk setuju kemudian kembali masuk ke kamar Ayya lagi.
"Water heaternya sudah nyala tuh El kalau mau mandi." Hawwaiz mengisyaratkan dengan kepalanya. "Bisa mandi sendiri kan, atau butuh bantuan?" Hawwaiz kembali tersenyum menggoda.
"Bi, jaga bicaramu. Jangan sampai ayam mati di tumpukan jerami." Vira menunduk.
"Ngapain sih mau mandi saja ngomongin ayam. Setelah mandi jangan pakai baju merah ini lagi." Hawwaiz menunjuk pakaian yang dikenakan oleh Vira saat ini. apa Hawwaiz sedang mengigau saat ini? Siapa yang mengenakan pakaian berwarna merah, Vira memakai blouse berwarna biru.
"Ini biru Hawwaiz, kenapa dibilang merah sih?" Sebenarnya salahnya Hawwaiz yang lupa akan warna-warna atau salah Vira yang masih menanggapi ucapan Hawwaiz?
"Sudah ganti ya, wah berarti benar dong kata orang kalau cinta itu buta." Senyum jahil Hawwaiz menandakan bahwa dia memang sedang menggoda habis-habisan sahabat kakaknya sebelum meninggalkan Vira yang masih mematung tidak percaya. Usianya lebih dewasa tapi rasanya dia sudah terlalu sering menelan gombalan receh yang Hawwaiz telorkan.
"Mobilmu aku bawa ke rumah Mas Hanif. Jangan rindu, biar Dilan saja yang tahu bagaimana beratnya rindu sebab ingin bertemu, karena besok pagi aku sudah ada di sini untukmu." Lalu Hawwaiz benar-benar melangkah meninggalkan Vira yang masuk ke kamar Hawwaiz dengan menggelengkan kepalanya. Dia juga harus segera membersihkan dirinya.
Ruangan yang khas dengan warna pria, abu-abu dan putih menjadi pemandangan pertama saat kaki Vira melangkah masuk ke kamar milik Hawwaiz. Ada harum tubuh dan parfum yang menyengat indra penciuman Vira satu hari ini. Apakah dia mulai menghafal bau itu di otaknya?
Vira mencoba menggelengkan kepalanya menghalau pikirannya yang sedang traveling ke mana-mana. Masuk kamar mandi dan menguncinya dari dalam, tapi mengapa justru ucapan Hawwaiz yang terngiang di telinganya. 'Bisa mandi sendiri kan, atau butuh bantuan?'☼
-------------------------------🍬🍬
-- to be continued
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Blitar, 19 Februari 2023
*sorry for typo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top