02 • More Than That

🍬🍬 ------------------------------
Family is not an important thing. It's everything
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

EMBUSAN angin kembali menerpa wajah ganteng pria berusia 20 tahun, Hawwaiz As Syafiq. Udara tropis yang telah dua tahun ini ditinggalkan karena sebuah cita-cita dan harapan besar yang akan menempa untuk bisa menjadikannya manusia yang berguna untuk masa depannya nanti.

Juanda pagi ini menjadi saksi bagaimana rindu yang telah menumpuk menjadi pupuk untuk selalu mencintai pertiwi sebagai tujuan pulang mendarmakan bakti. Kacamata hitam yang senantiasa bertengger di hidung mancungnya juga menjadi saksi kala kedua bola matanya menemukan sosok yang telah berjanji untuk menjemputnya di bandara pagi ini. Karena persiapan pernikahan Almira, keluarga menunjuk Vira untuk menjemput si bungsu.

Lima belas setengah jam di udara, meskipun sempat transit di Brunei Darussalam selama hampir tiga jam namun tetap saja, pagi ini Hawwaiz belum sempat membasuh tubuhnya dengan air. Hanya sempat membasuh wajah setelah mendarat di bandara.

"Jadi standar aja nih penjemputannya? Nggak ada welcoming kiss atau apa gitu, dua tahun lho ini nggak ketemu?" Kalimat pertama dari Hawwaiz yang berjalan mendekat kepada wanita yang cukup dikenalnya dengan baik.

"Duh, gila lama-lama ini bocah ya!"

"Widih, meski bocah tinggiku lebih 25 centi daripada tinggimu." Hawwaiz masih tersenyum tanpa melepas kacamatanya.

"Ya elah, kalau itu memang kamunya seperti jerapah. Tapi yang mengherankan itu ya, wajah kamu itu mirip banget sama Om Ibnu dan Mas Hanif bahkan bisa dibilang kalau Tante Qiyya hanya mesin scanner, Bi. Tapi kelakuan jauh banget dari mereka."

"Nggak asyik tau jadi cowok cool itu, cepet tua. Lagian kamu ngatain Bunda mesin scanner, durhaka tau ngatain calon mertua sendiri," jawab Hawwaiz.

"Untung ya aku kenal kamu dari kicik, coba baru kenal sekarang pasti sudah kekenyangan karena dicekokin wafer melulu sama kamu," sungut Vira.

Hawwaiz hanya tertawa lirih sambil berjalan menarik kopernya menuju ke mobil yang ditunjuk Vira.

"El, selamat ya kemarin akhirnya jadi sarjana." Hawwaiz menyerahkan paper bag kepada Vira sambil tersenyum tipis.

"Terima kasih, tapi apa ini?" tanya Vira.

Bukannya menjawab Hawwaiz justru bertanya kepada Vira. "Kamu sendirian?"

"Enggaklah, kan berdua sama kamu, gimana sih?!" jawab Vira sekenanya.

"Iya ya, kenapa aku jadi ogeb sih! Sini kuncinya, let me drive," pinta Hawwaiz.

"Emang punya SIM?" Vira tertawa meledek.

"Menghina, internasional ini!" Hawwaiz tertawa lebar menerima kunci mobil Vira.

"El--" Hawwaiz memanggil Vira yang telah berjalan mendahuluinya. Saat Vira membalikkan badannya dan hendak menjawab panggilan Hawwaiz namun keduluan suara Hawwaiz membuatnya mematung di tempat, "Jalan di belakangku, jangan suka berjalan mendahului pria selain ayah dan saudara priamu."

Tidak ada nada bercanda seperti sebelumnya yang terlihat dari mimik muka Hawwaiz ketika memperingatkan.

"Bi--" panggil Vira.

Hawwaiz menghentikan langkah lalu membalikkan badannya mendengar namanya dipanggil.

"Hmm, aku tadi ke sininya sendiri. Maaf...." Vira menundukkan pandangan.

"Ya itu artinya kita ke KUA dulu supaya bisa semobil berdua. Ayo, nunggu apa lagi." Hawwaiz masih juga menggoda Vira sampai pipi wanita itu menjadi memerah karena mereka diperhatikan beberapa orang yang ada di sekitarnya.

"Apaan sih, Bi! Seriusan ini, atau mobilnya kamu bawa deh, aku biar dijemput sama temannya Pipi."

Melihat kekhawatiran di wajah Vira tidak tega rasanya Hawwaiz menggoda sahabat kakaknya ini lebih banyak lagi.

"Kamu duduk belakang saja, kita ke Surabaya dulu jemput Fiza di indekostnya. Tadi pas mau take off dari Brunei aku sudah pastikan dia nungguin kita. Lagian 'teman pipi' juga sama saja, mereka pria juga sepertiku." Hawwaiz akhirnya menjawab dengan serius dan sedikit bisa bernapas dengan lega.

"Fiza?" Vira seolah mengingat nama itu namun siapa dia melupakannya.

"Sepupuku, dia juga belum bisa pulang karena juga masih harus menyelesaikan kuliahnya." Melihat Vira masih merasa belum senyaman ketika mereka pertama bertemu tadi, Hawwaiz mencoba memberikan penjelasannya.

"Aku nggak kenal lho, Bi."

"Ya nanti aku kenalkan, masa iya calon kakak ipar nggak kenal sama sepupunya sendiri." Kembali Hawwaiz menggoda Vira dengan gaya tengil seperti biasa.

"Ish, ini anak. Nanti kalau Fiza anggap beneran candaan kamu?" kata Vira.

"Aminkan sajalah dulu, sembari disiapkan pelan-pelan materi dan hatinya." Hawwaiz kemudian membuka pintu mobil dan meletakkan kopernya di bagasi lalu duduk di belakang kemudi.

"Jalan ke mana ini, Bu Dokter?" tanya Hawwaiz sebelum pedal gas dia tekan dengan tawa lirih setelahnya.

"Pelan-pelan setirnya, Pak. Bu Dokter lagi pengen menikmati perannya jadi juragan," balas Vira sambil menikmati pemandangan orang yang berlalu lalang.

"Kok tiba-tiba aku lapar ya, El." Hawaiz mengusap perutnya yang rata.

Vira teringat sebenarnya tadi dia sudah menyiapkan makanan untuk Hawwaiz tapi karena sekarang laki-laki itu sedang mengemudi jadi tidak memungkinkan makan.

"Tadi aku sudah belikan, lagian kenapa sih buru-buru jalan nggak makan dulu?"

"Kamu sudah makan?" Hawwaiz melihat spion tengah yang menghadap Vira.

"Sedikit." Hawwaiz menghidupkan lampu sein kiri dan segera menghentikan mobilnya. "Pindah ke depan gih sekalian tolong bawakan makanannya."

"Ini maksudnya kamu mau makan di sini? Ngapain juga aku pindah ke depan." Vira menolaknya.

"Ayolah El, perutku bunyi ini." Hawwaiz tidak berbohong. Perutnya berbunyi yang akhirnya membuat Vira menurut pindah duduk di jok samping pengemudi.

"Lagian kalau kamu duduk di belakang gimana nyuapin aku?" Lirih kata Hawwaiz masih terdengar di telinga Vira hingga membuatnya terbelalak seiring dengan Hawwaiz mengemudikan lagi mobil mereka masuk ke tol.

"Yang benar saja kamu!"

"Ada sendoknya kan? Nggak mungkin kita berhenti di situ lama bisa ditilang sama polisi."

"Gampang, ntar diambilin sama Kak Fazza." Menyebutkan nama yang tidak Hawwaiz kenal membuatnya mengerutkan kening dan bertanya kemudian.

"Fazza--? Siapa itu, pacarmu?"

"Kenapa? Kamu cemburu ya?" ledek Vira menggoda.

Vira membuka makanan milik Hawwaiz yang sudah tidak hangat lagi. Dia menyendokkan dan meletakkan di samping persneling, berharap empunya bersedia menyuapkan sendiri. Sayangnya Hawwaiz memilih mengabaikan. Dia justru tetap fokus dengan jalan yang ada di depannya.

"Bi, makan tuh sudah aku sendokin. Katanya lapar." Melihat Hawwaiz tidak segera bergerak akhirnya Vira bersuara.

"Bi--" kata Elvira lagi.

"Hmm...."

"Itu makanannya." Hawwaiz masih diam tapi Vira melihat perubahan di wajah Hawwaiz. "Kamu marah?"

"Siapa itu tadi? Naza, Nazar maksudnya? Seperti mati lampu ya sayang." Tiba-tiba Hawwaiz menyanyikan lagu dangdut milik Nazar yang cukup hits pada jamannya.

"Kamu beneran?" Vira menarik kembali kotak makan Hawwaiz.

"Beneran apa?" Hawwaiz menatap Vira sekilas.

"Cem-buru?" kening Vira hampir saja terantuk dashboard. Hawwaiz mengerem secara mendadak karena jarak antara mobil mereka dengan mobil yang ada di depannya sangat dekat.

"Pelan-pelan setirnya!" sewot Vira.

"Lagian disuruh makan sendiri! Mana mungkin bisa aku." Hawwaiz memberikan jawaban yang membuat bola mata Vira berputar.

Pada akhirnya, Vira mengalah. Tidak tega mendengar perut Hawwaiz yang kembali berbunyi nyaring. Dia menyuapkan makanan ke mulut Hawwaiz dengan mobil yang tetap melaju. Ketika sedang mengunyah, sekali lagi Hawwaiz bertanya kepada Vira siapa pria yang disebut namanya tadi.

"Kenapa sih, kepo banget?"

"Pacarmu?" tanya Hawwaiz.

"Lagian apa urusannya denganmu?" Vira cemberut.

Hawwaiz menggaruk kepalanya, memang tidak ada urusan tapi entah mengapa hatinya tidak menyukai kalau Vira dekat dengan pria lain. Dia seolah mengukur dirinya sendiri. Apakah ada yang keliru dengan perasaannya atau tidak.

"Kok malah diam?" tanya Vira.

"Bukan begitu, aku hanya merasa nggak enak saja. Kamu menjemputku, nanti kalau dia salah paham gimana?" Kelihatan sekali jika Hawwaiz sedang mencari alasan yang tepat untuk membuat Vira percaya. Namun, Vira justru terbahak melihat ekspresi wajah Hawwaiz yang dirasanya begitu lucu dan cute.

"Kenapa kamu malah tertawa, El?" tanya Hawwaiz.

"Kamu itu lucu."

"Lucu darimananya, serius tahu!"

"Kalau cemburu bilang aja Bi, nggak usah ditutup-tutupi." Vira kembali meledek Hawwaiz.

Meski ujungnya Hawwaiz ikut tertawa lirih tapi menurut Vira, dia tidak nyaman membicarakan nama Fazza ditengah-tengah percakapan mereka. "Kak Fazza itu tetangga dan sahabatnya calon kakak iparmu, kebetulan memiliki eyang rumahnya Malang. Kemarin pas pernikahan Aira dia datang juga, karena mamanya dulu teman Om Wildan."

"Polisi?"

"Iya, tapi di Jogja sana bukan di sini." Vira melirik Hawwaiz sekilas lalu berkata lagi, "Sudah terpuaskan dengan jawabannya?"

Anggukan kepala dan senyum merekahnya kembali terlihat. Suasana kembali mencair lalu Hawwaiz pun kembali ke mode manja. "Ngomong-ngomong suapinnya lanjut ya, ini masih belum separo masuk ke perut."

"Gentong!" kata Vira.

"Tapi cakep."

"He em, eh." Seketika Vira membekap mulutnya yang tiba-tiba menyuarakan kejujuran yang tidak ingin diakuinya.

Hawwaiz hanya menatap wanita di sampingnya dalam diam lalu tersenyum tipis. Tepat di belokan sebelum indekost Fiza, makanan miliknya sekaligus milik Vira telah Hawwaiz habiskan. Antara alasan kelaparan, makanannya enak atau karena makannya disuapi oleh Vira hingga membuatnya langsung bisa menerima nasi setelah dua tahun terakhir ini cukup akrab dengan roti dan daging.

Hawwaiz menelepon nomor Fiza kemudian mengatakan bahwa dia telah sampai di depan indekostnya.

"Aku sudah di depan kostmu nih. Boleh numpang mandi nggak?" kata Hawwaiz setelah sambungan teleponnya tersambung dengan sepupunya.

"Ya sudah, ke depan dulu aku kenalin sama calon kakak ipar." Hawwaiz lalu menoleh kepada Vira lalu mengedipkan sebelah matanya. Bukannya tersipu Vira justru memukul lengan Hawwaiz dengan kantong kresek berisi mika dan plastik bekas sarapan mereka.

"Aww sakit, El."

"Cemen, calon dokter dipukul dikit saja sakit." Vira menajamkan tatapannya.

Tak lama kemudian Fiza muncul dengan tas yang sudah disiapkan untuk dibawa pulang.

Melihat Hawwaiz tak sendiri dia lalu tersenyum simpul ke arah Hawwaiz dengan nada mengolok manja. "Cantik Mas, dapat dari mana?"

"Nemu di bandara tadi." Lalu Fiza mengangguk dan bersalaman dengan Vira dengan menyebutkan nama.

"Lho, Mbak Vira ini beneran calonnya Mas Hawwaiz? Aduh, anak-anak Pakde Ibnu main patas, set-set wet semua deh."

"Omongan Hawwaiz dipercaya, Fiz. Aku ini sahabatnya Almira. Kemarin memang diminta tolong sama dia untuk menjemput adiknya yang tengil karena di Blitar sudah repot banget nggak ada yang bisa jemput."

"Sebentar-sebentar, Mbak Vira sahabatnya Kak Al, adiknya Kak Aftab ya?"

"Kok tahu?" Fiza kemudian tersenyum lalu mengibaskan tangannya untuk melupakan. Aftab mungkin sangat terkenal di keluarga Hawwaiz mengingat dulu pernah berseteru dengan Hafizh dan juga sempat hampir melamar Ayya.

"Fiz, ayo buruan, lengket semua badanku. Habis itu ntar kamu ngobrol lagi sama dia." Hawwaiz menunjuk Vira.

"Tolong ranselku, El." Vira memberikan ransel yang diminta Hawwaiz dan membuat Fiza bingung. Tadi dia berkenalan dengan nama Vira tapi mengapa Hawwaiz memanggilnya dengan panggilan El.

Namun, melihat bagaimana gestur tubuh Hawwaiz, Fiza juga mengerti bahwa keduanya memang sudah begitu dekat. Buktinya Hawwaiz tanpa sungkan meminta Vira mengambilkan tas punggungnya.

"Mbak Vira atau Mbak El ya aku manggilnya?" takut salah akhirnya Fiza memilih untuk menanyakan saja.

"Namaku Vira, Nafiza. Kalau teman-teman dan keluarga memang panggilnya Vira__"

"__dan Mas Hawwaiz saja yang panggil dengan sebutan El?" Nafiza memandang senyum kikuk milik Vira saat dia menganggukkan kepala. Sepertinya dugaannya tidak meleset lagi.

Tidak butuh lama, Hawwaiz telah kembali di hadapan mereka berdua dengan keadaan yang lebih segar.

"Cepet banget mandinya, Bi? Itu tadi mandi apa cuma membasuh muka?" Vira berkomentar sebelum Hawwaiz meletakkan kembali ranselnya ke bagasi.

"Bi__?" Fiza kembali terkejut.

"Ish, ini anak, ya bener sih nama panjangku Bilal Hawwaiz. Vira panggilnya Bi, salahnya di mana?" jawab Hawwaiz kepada Nafiza.

Tidak ada yang salah hanya saja perbedaan itu terlihat tidak biasa di mata Nafiza, sekali lagi pasti ada yang lebih uwu dari itu semua. More than that.

Hawwaiz kemabli menyetir meski sedikit berdebat dengan Vira, karena dikhawatirkan dia mengantuk di jalan setelah melakukan perjalanan udara yang sangat panjang. Sampai akhirnya dua wanita yang ada di mobil itu mendebat saat Hawwaiz mengambil jalur Malang. Akhir pekan lewat Mlaang itu seolah menantang badai kemacetan.

"Lho ini kita langsung balik ke Blitar?" tanya Hawwaiz seperti orang yang tidak tahu apa-apa.

"Ya iya toh, Mas. Bude Qiyya tadi sudah pesan kita dilarang mampir-mampir kok." Nafiza memberitahu sepupunya.

"Kita bukannya harus mampir ke Malang dulu?"

"Ngapain coba mampir ke Malang?" tanya Vira pada Hawwaiz karena dia sendiri juga sudah mempersiapkan kebutuhannya dan mendapatkan izin untuk menginap di Blitar selama pernikahan Almira dan persiapannya.

"Bukannya aku harus sowan Pipi sama Mimi dulu, gimana sih nggak sopan banget calon mantu jauh-jauh datang dari Inggris lho nggak sowan mereka dulu." Jawaban Hawwaiz langsung disambut cie-cie oleh Nafiza.

"Jadi kapan ini nyusul kak Al, Mas?" tanya Nafiza.

"Kalau aku sih siap kapan saja, coba tanya calon kakak iparmu itu siapnya kapan." Lagi-lagi Vira dibuat merona oleh recehan Hawwaiz di depan Nafiza.

Meski dengan isyarat tangan yang memiringkan di kening tanda bahwa Hawwaiz gila namun Nafiza menanggapinya dengan tawa lepas. Dia sangat tahu bagaimana selera humor sepupunya, tapi lebih daripada itu sepertinya memang ada doa dari ucapan yang mungkin dianggap hanya sebatas candaan saja menurut Vira.

Hidup itu memang penuh dengan misteri, kadang apa yang kita jadikanbahan candaan suatu ketika akan benar-benar terjadi. Allah pemilik kuasa danmanusia hanya sebagai pelakon yang cukup berusaha dan berdoa dengansebaiknya, who knows.

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 18 Februari 2023
*sorry for typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top