01 • Little Crazy

Ada yang beda????
Pastilah, Degumz kembali Sayang....

🍬🍬 ------------------------------
Unconditional love, a sister is both mirror and opposite
------------------------------ 🍬🍬


-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

BODLEIAN LIBRARY menjadi saksi bagaimana berperang dengan waktu. Hawwaiz masih duduk, membaca dengan baik, beberapa kali menuliskan beberapa poin penting di sebuah note yang dia bawa. Selama hampir dua tahun ini Hawwaiz setia mengunjungi sudut yang ada di perpustakaan universitas tempatnya menimba ilmu. Jika tidak sedang berada di kelas atau laboratorium maka perpustakaan adalah tempat yang mudah untuk mencarinya.

Matanya masih fokus pada buku tebal yang sudah satu jam menemaninya di perpustakaan ini. Hingga getaran gawai tak berjeda yang membuat dirinya harus mengalihkan perhatian. Benar saja satu nama dari salah satu orang yang amat dicintainya.

"Maaf nunggu lama, Mas. Lagi di perpus." Hawwaiz bersuara ketika dia sudah berada di ruang bebas bercakap.

Lagi-lagi perhatian seorang kakak kepada adiknya yang ingin memastikan kondisi Hawwaiz baik-baik saja di negeri orang.

"Jangan lupa jaga kesehatan selalu. Sudah ganti selera seperti Abang atau belum?"

"Sudah Mas, di sini kalau nggak ganti selera merepotkan diri sendiri. Harus dibiasakan untuk mencari subtitusi."

Selebihnya Hawwaiz memilih untuk curhat atas kesulitannya di beberapa mata kuliah. Berbagi pengalaman dan tentunya berbagi ilmu. Jika sudah seperti ini setengah jam bukanlah waktu yang lama bagi dokter dan calon dokter itu berbagi cerita. Sayangnya suara Azza menginterupsi percakapan mereka sehingga Hanif memilih untuk mengakhiri panggilannya.

"Ok, Dude, kalau ada masalah jangan sungkan telepon Mas," pungkas Hanif.

"Thanks my brow."

Keesokan harinya, semilir angin musim semi membawa Hawwaiz memanjakan diri dengan melakukan pemanasan olah raga pagi. Dia berencana jogging di seputaran kampus dan mengabadikannya dalam sebuah vlog. Menuju ke Iffley Road tempat di mana fasilitas Oxford University Sport disediakan untuk mahasiswa.

"Weish, what's up guys? This morning I will take you to arround my college for morning exercise. So, are you ready for going on?" Wajah tampan itu kembali tersorot kamera yang membuatnya cukup dikenal sebagai youtuber dari kalangan mahasiswa karena mengambil jurusan yang banyak diminati oleh orang hampir di seluruh dunia.

Meski bukan pekerjaan yang rutin dilakukannya tapi cukup positif untuk mengisi hari longgarnya seperti ini. Tidak kalah dengan kedua kakaknya, akun sosmed Hawwaiz pun menjadi sasaran. Beberapa jenis konten ringan yang disuguhkannya banyak mendapatkan views dan like, seperti pola hidup sehat ala mahasiswa yang jauh dari keluarga atau pun jalan-jalan ringan seperti yang dilakukan pagi ini. Anggannya kembali mengingat percakapan semalam dengan sang daddy yang sedikit keberatan dengan aktivitasnya ini.

"Dik ngapain sih pakai ngevlog segala? Waktu yang luang bisa dipakai untuk belajar kan?" tanya Ibnu di suatu waktu saat mereka tersambung dalam telepon bergambar.

"Dad, come on jaman now itu sudah bukan sesuatu yang tabu, yang penting vlognya dipakai untuk kegiatan positif, lagi pula sejauh ini masih dalam konteks aman, Adik membuatnya di akhir pekan."

"Kamu ini, kalau libur kan bisa dipakai istirahat atau memperdalam ilmu agama," kata Ibnu.

"Insyaallah semuanya masih seimbang. Daddy jangan khawatir. I'm absolutely okay here."

"But you are still the lil brow, Dik," sanggah Ibnu.

"And you are still my superhero, Dad." Tidak akan ada habisnya jika berbicara dengan Hawwaiz.

Tidak bisa dikategorikan dalam kata membantah orang tua, Hawwaiz lebih senang menyebutnya sebagai diskusi sebagaimana cara orang dewasa berbicara.

"Cause you are different with your sibling, I have no word to explain of it. But, I am always proud of you." Nilai akademik yang ditunjukan oleh Hawwaiz adalah kebanggaan tersendiri bagi Ibnu. Sama seperti Hanif, dia selalu sukses membuat pria separuh baya itu meneteskan air mata.

"Oh Daddy, how can I'm not missing you in every breath that I take. I love you."

"Love you too and more. Be carefully, remember that you are a person who still need take cares of Allah so don't late to always adore Him in every time that you can do." Pesan yang tidak pernah lupa diselipkan Ibnu sebelum mereka mengakhiri panggilan.

"Always."

Pikiran Hawwaiz kembali ke alam nyata, satu jam berlalu dari acara olahraga pagi serta pembuatan konten youtubenya. Hawwaiz kini bersiap untuk melakukan penyuntingan gambar serta mengedit beberapa part yang layak untuk diunggahnya ke dalam vlog mingguan miliknya. Sebelum itu terlebih dulu Hawwaiz menyempatkan diri untuk menengok laman sosmednya. Ada unggahan terbaru dari Ayya yang seolah menyiratkan pesan dalam caption yang dia buat.

Ingatannya kembali mencerna beberapa percakapan dengan keempat saudaranya ataupun dengan kedua orang mereka. Tidak ada yang berbeda, tapi sudah tiga kali ini dia melihat postingan sejenis itu di laman sosmed Ayya. Mungkinkah kakaknya ingin menguatkan hati? Meski mereka terpisah jarak tapi tidak membuat kelimanya menjadi jauh. Terlebih Hawwaiz yang selalu

☼☼

Mejelajahkan kaki menyusur sudut demi sudut. Menjadi seorang Oxonian dengan memanfaatkan waktu senggang untuk menyenangkan diri sendiri. Hawwaiz menikmati setiap langkah dengan menorehkan banyak kenangan yang nantinya bisa diceritakan kembali sebagai pengalaman atau ketika sisi hati mengalami sebuah metamorfosis yang berbentuk rindu untuk bisa seperti ini.

Bukan untuk membuat konten yang akan diunggah ke channel youtubenya. Pagi ini Hawwaiz sepertinya hanya ingin memanjakan mata sambil sesekali menyesap minuman yang telah dipesannya di sebuah sudut cafe hingga gawai miliknya bergetar dan satu nama terpampang jelas yang membuat senyumnya mengembang bak sebuah roti dengan takaran baking soda yang pas.

"Hallo Bilal," sapa seseorang di layar gawainya.

"Hi, looks like so happy," jawab Hawwaiz.

"Of course, by the way thanks ya. Barangnya sudah mendarat sempurna di Malang. Pinter juga ternyata kamu milihnya."

Hawwaiz tertawa lebar. Melihat wajah sahabat kakak kembarnya terlihat bahagia dengan kiriman yang beberapa hari lalu sempat diambil oleh Arfan di Oxford.

"Bukan aku yang milih, Tante Nia sudah memberikan nomer seri lengkap dengan gambarnya," cerita Hawwaiz.

"Daripada nggak kepakai barangnya enakan begitu, kan?" Elvira menarik sudut bibirnya sedikit.

"Wanita, kamu emang suka begitu, El. Kalau dibelikan nggak dipakai misalnya nggak suka?" kata Hawwaiz dengan senyum di bibirnya.

"Bedalah, aku nggak mau ya nyusahin orang, terlebih pasanganku kelak." Vira cemberut seketika.

"Cie, yang sudah mau halal juga. Sudah punya pasangan juga, El?"

Entah dimulai darimana dan sejak kapan mereka berdua memanggil dengan sapaan seperti itu. Padahal dulu Hawwaiz selalu menyisipkan kata mbak sebelum nama Vira dipanggilnya. Demikian halnya Vira juga sama memanggil Hawwaiz dengan panggilan yang sama seperti Almira dan yang lainnya. Namun, semenjak mereka sering bersua di udara hingga akhirnya membuat Vira nyaman memanggil Hawwaiz dengan panggilan Bi, dan Hawwaiz kini hanya cukup memanggil nama depan Vira tanpa ingin melanjutkannya, El.

Vira tertawa renyah tapi dia juga menjawabnya. "Doa baik diaminkan dulu, siapa tahu calonnya segera didatangkan Allah dari negeri seberang."

"Jadi beneran? Wah potek hati Adik, Kak." Vira semakin tertawa mendengar ucapan Hawwaiz dengan mimik muka penuh drama.

"Sini-sini Dik, Kakak peluk." Derai tawa terdengar mengurai dari bibir mereka berdua.

Percakapan tidak berhenti sampai di situ. Vira sangat menyukai ketika Hawwaiz sudah bercerita tentang Oxford kepadanya. Sampai akhirnya mereka membicarakan kedua kakak mereka.

"Harus ya Bunda dan Tante Nia menjadi besan?" tanya Hawwaiz kemudian langsung menyeruput minuman yang masih ada di hadapannya.

"Kak Aftab dan Ayyana?" jawab Vira.

"Loh katamu mereka nggak jadi, gimana sih! Kan, masih bisa dengan jalan yang lain." Hawwaiz tersenyum konyol lalu memainkan matanya. Vira menjadi geli melihat adik sahabatnya itu. Bercandanya terlalu vulgar hingga bukan terdengar romantis namun justru sebaliknya.

"Dasar bocah." Vira bergidik sambil menertawakan polah Hawwaiz.

"Bocah yang kamu bilang ini sudah bisa membuat bocah juga." Mata Hawwaiz sedikit membulat dibalik kacamata minusnya. Lalu menampakkan muka yang serius tapi tetap saja membuat Vira tertawa geli sendiri.

Mengenal Hawwaiz lebih dari empat tahun membuatnya sudah sedikit menghafal bagaimana tengilnya anak bungsu sahabat orang tuanya itu.

"Jangan macam-macam di sana, Dik." Vira mendengkus kasar.

"Loh siapa yang macam-macam. Akunya cuma mau semacam saja, Kak." Hawwaiz masih dengan senyum tipis yang sama dengan sebelumnya.

"Eh, busyet nih anak, serasa tuwir banget ya gue dipanggil kak."

"Habis apaan dong, kamunya manggil aku dek, aku panggil kak, balik demo. Bisa begitu, Bu?"

"Udah ah, ngobrol sama kamu lama-lama bikin keki tahu nggak sih?!"

"Nggak tahu," Hawwaiz menggelengkan kepalanya.

"Bukannya malah bikin nagih ya? Sekarang emang masih 'Bilal' tiga tahun lagi jadi 'halal' kok, tenang saja." Seolah tanpa beban Hawwaiz mengatakan itu kepada Vira yang kini sudah salah tingkah sendiri.

"Kan, kan, beneran, blush on-mu kebanyakan, El." Hawwaiz semakin terbahak.

"Apaan sih! Ya sudah aku tutup ya. Sekali lagi makasih," kata Vira.

"Hati-hati di rumah," jawab Hawwaiz sebelum menutup gawainya.

"Kamu itu yang harusnya hati-hati di negaranya orang." Vira mengacungkan jempolnya sementara Hawwaiz melambaikan tangan tapi sebelum benar-benar tertutup dia masih sempat memberikan supportnya kepada Vira. "Sukses sidang skripsinya ya. Jangan lupa tulis namaku di halaman persembahan dan kata pengantar."

"Buat apa?" tanya Vira.

"Setidaknya orang tahu kalau aku memberikan kontribusi selama kamu menulis mahakarya itu." Hawwaiz memperlihatkan cengirannya kepada Vira dan dibalas juga dengan suara Vira. "Boleh, asal nanti namaku juga kamu tulis di lembar persembahan dan kata pengantar."

"Bukan di lembar persembahan atau kata pengantarlah kalau mau nulis namamu," jawab Hawwaiz.

"Di mana dong? Masa iya daftar pustaka?" Vira mengerutkan kening.

"Bukan di lembar persembahan, kata pengantar, apalagi di daftar pustaka. Namamu itu lebih layak kalau ditulisnya di buku nikah kita saja nanti." Tanpa mengucapkan salam, Vira langsung menutup sambungan video call itu. Dia yang sudah mengomel entah karena bahagia atau sedang merasa kesal kepada Hawwaiz.

Sementara Hawwaiz masih tersenyum lebar, puas mengerjai sahabat kakak kembarnya hingga membuat wanita itu menutup sambungan teleponnya tiba-tiba. Hawwaiz yakin bahwa Vira tidak marah kepadanya.

Kini Hawwaiz mulai menghitung mundur. Dia ingin segera kembali ke Indonesia untuk menghadiri pesta pernikahan kakak kembarnya. Dia bahkan telah mengirimkan ukuran badan terbarunya kepada sang bunda untuk pernikahan Almira dan Kamajaya.

Hawwaiz tidak pernah ikut campur dengan keinginan kedua kakak wanitanya, tetapi saat Almira menikah hatinya hanya khawatir tentang Ayya. Tidak adakah rasa iri di hati Ayya nanti melihat saudara kembarnya bahagia di pelaminan?

Tak urung akhirnya tangan Hawwaiz menekan tombol telepon untuk menelepon Ayyana.

"Mbak Ayya__ sakit?" tanya Hawwaiz ketika wajah kakaknya muncul.

"Enggak," jawab Ayya. "Bisa pulang, kan, pas acara Kak Al, Dik?" lanjutnya.

Percakapan mengalir seperti halnya saat Hawwaiz berteleponan dengan Hanif atau Hafizh. Beberapa kali menyinggung tentang perasaan kakaknya tetapi Ayya lebih dulu membelokkan percakapan mereka.

"Kamu itu, sudah sekolah yang bener di sana. Mbak tahu kok apa yang terbaik buat Mbak," jawab Ayya.

"Jangan sampai ada pendaftaran di belakang loh, Mbak, eh penyesalan maksudnya," ledek Hawwaiz.

"Eh kamu kenapa jadi ngomong seperti orang tua begini sih? Kamu kan adik Mbak yang masih imut-imut," bantah Ayya.

"Iya, iya, adik Mbak yang imut-imut ini sedang kangen sama saudaranya. Jadi pengen gulat sama si kembar. Aku sendiri ya yang belum ketemu sama mereka?"

"Iya cepetan balik, keburu adiknya Hazwan keluar lagi," jawab Ayya.

"Eh, busyet. Mas Hanif produksi lagi? Gila tuh mas kita, nggak bisa melihat Kak Azza nganggur sebentar langsung jadi lagi. Gayanya aja sok cool, giliran depan Kak Azza nyosor terus."

Ayya jadi terbahak mendengar ucapan adik bungsunya.

Menikah tanpa melalui proses pacaran, bahkan pengenalan yang singkat pun nyatanya bisa berjalan dengan baik. Yang utama dan paling mendasar itu adalah bagaimana pribadi menyikapi perbedaan dengan pasangan yang mungkin tidak dikenal sebelumnya.☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 17 Februari 2023
*sorry for typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top