4. Selir Baru Raja dari Heraclea

Areta tersenyum sinis ketik dia mendengar perdebatan Khalifah Harun dan Ratu. Meski suara mereka hanya terdengar samar-samar, wanita itu diam-diam merasa senang melihat semua kejadian tadi. Tak butuh waktu lama dia pun memilih pergi untuk menghindari kerumunan. "Mari kita lihat apa yang akan aku lakukan besok untuk membuat pertengkaran kalian lebih besar dari ini," gumam Areta sambil lalu.

Wanita itu tak menyadari bahwa perkataannya masih bisa didengar beberapa pelayan ratu, termasuk Halima dan Aliyah yang menunggu di depan pintu kamar ratu. "Dasar wanita ular," gumam Aliyah kesal.

Ucapannya dihadiahi sikutan oleh Halima, seolah mengingatkan juniornya agar menjaga perkataan. "Jangan kencang-kencang, semua tempat di istana ini memiliki telinga," ujar Halima tersirat. Aliyah hanya bisa menyesali perkataannya, gadis delapan belas tahun itu tampak ketakutan mendengar peringatan Halima.

Areta yang mendengar percakapan dua dayang tadi, hanya menyunggingkan senyum sinis. "Kalian boleh menghinaku hari ini, tapi kita lihat saja apa yang akan aku lakukan pada kalian jika berhasil menjadi ratu," gumam Areta sepanjang jalan. Tak berapa lama, wanita dengan paras cantik dan rambut pirang itu tersenyum senang saat melihat selir Kasif tengah berjalan menuju ke kediaman Ratu, dia yakin sekali kalau mereka juga bermaksud melihat kegaduhan yang tengah terjadi.

Areta menyunggingkan senyum culas, sekali mendayung dua pulau terlampaui, batin wanita itu girang. "Kebetulan yang sangat menguntungkan," gumamnya dengan senyum senang.

"Apa Anda juga ingin melihat keadaan Ratu?" tanya Areta sambil memberi salam hormat. Dia bersikap sok akrab pada selir Kasif. Padahal sebelumnya mereka belum pernah sekalipun bersinggungan. Agaknya wanita itu memiliki maksud tersembunyi.

Pertanyaan nya membuat langkah selir Kasif terhenti, wanita berkulit coklat itu terpaksa meladeni pertanyaan Areta. Dia mengamati wanita di depannya sejenak, sedikit merasa aneh karena tiba-tiba selir baru Khalifah mengajaknya bicara. "Ya, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Areta mengangguk paham, dia masih memasang wajah pura-pura polosnya. "Sepertinya Ratu tengah marah pada Raja mengenai putra mereka," ujarnya dengan nada berbisik. Wanita itu sengaja mengatakan hal tersebut untuk memancing reaksi selir Kasif.

Usahanya memang berhasil, karena sekarang selir Kasif mulai terpengaruh. Lama dia mengamati sekitar sebelum bersuara. "Bisa kita bicara di tempat lain yang lebih sepi? Atau kita ke ruanganku saja?"

"Dengan senang hati, Nyonya," jawab Areta lalu mengikuti langkah selir Kasif.

"Katakan padaku apa yang barusan kamu dengar ketika Raja dan Ratu berdebat?" Kasif bertanya dengan wajah serius ketika dua wanita itu sudah sampai di kamar selir Kasif.

"Sepertinya Ratu marah pada Khalifah karena dia terang-terangan tak menyukai putranya sebagai penerus tahta," ujar Areta dengan nada sepelan mungkin. Wanita itu menatap selir Khasif sejenak untuk memastikan reaksinya.

Sesuai keinginan Areta, Selir Kasif tersenyum samar, lalu menyeruput secangkir teh di depannya. Areta tentu tahu apa arti senyum meremehkan wanita itu.

"Baguslah, aku yakin Khalifah pasti tahu yang terbaik untuk negeri ini, dan putranya dengan Ratu tentu bukan pilihan yang tepat. Tinggal menunggu waktu sampai anak itu akhirnya akan menghancurkan negeri ini, dan calon raja yang baik akan datang," ujar selir Kasif yakin.

Areta mengangguk setuju, dengan senyum anggun dia pun menjawab. "Seperti putra Anda misalnya," ujarnya kemudian.

Kasif tersenyum mendengar ucapan tersirat Areta. Selama beberapa bulan sejak kedatangan selir baru raja di istana, baru kali ini keduanya bisa bicara dengan akrab. "Aku tak menyangka kau orang yang sangat menyenangkan. Mungkin lain kali aku akan mengenalkan mu pada seseorang."

"Dengan senang hati, Yang Mulia," ujar Areta. Dalam hati dia benar-benar merasa senang karena rencananya untuk mendekati Kasif berhasil. Tak berapa lama, seorang penjaga mengumumkan kedatangan tamu.

"Kebetulan sekali orangnya datang," gumam Kasif. Lalu tak selang lama, seorang laki-laki tua mengenakan jubah berwarna hitam masuk.

"Kebetulan sekali guru ada di sini, aku ingin mengenalkan selir Areta padamu," ujar Kasif.

"Dia adalah Abu Al-Malik, guru dan pembimbing putraku," sambung Kasif memperkenalkan, lalu keduanya pun saling memberi salam.

"Ah, Anda adalah selir yang dibawa Raja dari Heraclea, kan? Akhirnya saya bisa melihat Anda secara langsung setelah hanya mendengar nama Anda selalu disebut oleh Raja," ujar Al-Malik. Laki-laki dengan jengot panjang tersebut sepertinya sengaja mengatakan itu agar Areta tersanjung. Terbukti kini wanita itu tampak tersenyum malu.

Tingkahnya pun membuat Kasif dan Al-Malik saling melirik, karena menyadari Areta memang sudah jatuh cinta pada raja.

***

Areta tampak tengah duduk termenung di atas kasurnya sambil membaca buku, wanita itu terus memikirkan mengenai pembicaraannya dengan selir Kasif dan Al-Malik tadi siang. Sejujurnya sebelum memutuskan mendekati Selir Kasif, Areta sudah mencari tahu lebih dulu siapa dari semua anggota kerajaan, yang bisa dimanfaatkan untuk menghancurkan Khalifah dan negeri ini dari dalam. Semua itu dia lakukan karena ingin balas dendam atas kehancuran negerinya yang diserang pasukan Abbasiyyah hingga harus menewaskan sang ibu. Namun, belakangan hari alasan balas dendam itu mulai mengabur dan Areta justru ingin merebut posisi Zubaidah.

Entahlah, wanita itu juga tak mengerti, yang jelas semua itu bermula dari kebaikan dan sikap lemah lembut Khalifah Harun saat memperlakukannya. Mungki Areta sudah benar-benar jatuh cinta pada laki-laki itu hingga setiap kali nama Khalifah melintas di benaknya, Areta tak bisa menyembunyikan senyum malu-malu. Persis seperti orang yang tengah jatuh cinta.

Seperti saat ini contohnya, wanita itu tengah duduk di depan cermin sambil menatap pantulan dirinya. Areta sudah tampak cantik dengan gaun sutra berwarna lilac untuk menyambut kedatangan Khalifah. Di atas kepalanya dia mengenakan kerudung panjang yang menjuntai ke bawah, dan memperlihatkan sebagian rambut pirangnya yang indah.

Tak berapa lama, suara penjaga terdengar mengumumkan kedatangan Raja. Areta reflek bangkit untuk menyambut. Senyumnya merekah begitu sosok tegap nan tampan Khalifah masuk.

"Selamat datang, Rajaku," ujar Areta memberi memberi salam hormat.

Khalifah Harun pun tersenyum. "Duduklah, aku ke sini hanya ingin melihatmu. Setidaknya dengan menatap wajah cantikmu ini aku berharap akan mendapat sedikit ketenangan," ujar sang Kahlifah.

Selir Areta pun mengangguk disertai senyum malu-malu karena pujian raja. Keduanya lalu duduk bersisian di atas kursi mewah berwarna emas. Selir Areta menuangkan teh ke dalam cangkir sang Khalifah.

"Ada apa, Yang Mulia? Mengapa wajah Anda yang tampan ini terlihat sangat risau? Adakah hal yang tengah mengganggu pikiran Anda?" tanya Areta karena Khalifah hanya diam sambil memainkan tehnya.

"Aku hanya tengah memikirkan Ratu, aku merasa sangat marah padanya, tapi juga merasa bersalah." Khalifah Harun mulai menceritakan kerisauannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Yang Mulia? Kenapa Anda marah pada Ratu? Bukannya Anda sangat menghormati dia? Apa ada sikapnya yang melukai Anda?" Areta memasang wajah pura-pura prihatin meski dalam hati dia berteriak girang. Seperti biasa dia akan memanipulasi keadaan, padahal dia sudah tahu segalanya.

Mendengar ucapan Areta, Khalifah pun menatap wanita itu lalu bicara. "Kau tahu, kan, bahwa kami baru saja bertengkar hebat? Dia tiba-tiba menolakku."

"Oh, demi Tuhan, berani-beraninya dia menolak Anda. Apa yang ada dipikiran Ratu? Mungkinkah dia sudah tidak mencintai Anda, Yang Mulia?"

"Tidak, jangan bicara buruk tentangnya," Khalifah memperingatkan Areta dengan tegas.

Tak ayal sikap raja membuatnya sedikit gentar "Maaf, Yang Mulia, kalau perkataan saya menyinggung Anda," ujar Areta langsung menundukan kepala penuh sesal. Walau dalam hatinya dia justru merasa geram karena Khalifah terus saja membela ratu.

"Aku tahu Zubaida, dia adalah wanita yang paling loyal mendukungku. Cintanya padaku tak perlu diragukan. Tapi penolakannya hari ini sungguh benar-benar membuat hatiku sakit. Baru kali ini aku merasa tak diinginkan sebagai Raja."

Areta kembali menatap sang Khalifah dengan wajah pura-pura prihatin. "Oh, Rajaku, janganlah kau bersedih seperti ini. Hatiku benar-benar sakit melihatnya. Ada aku yang akan menghiburmu," rayunya sambil mengusap lembut pipi raja.

Raja hanya menatap wanita itu dalam jarak sangat dekat. Namun, tiba-tiba ketika Areta mendekatkan wajahnya, raja mendorong pelan tubuh wanita itu karena teringat betapa cemburunya Zubaidah pada Areta.

"Kamu tidurlah, aku akan kembali ke istanaku," ujar Khalifah lalu bangkit dan pergi begitu saja.

Areta hanya bisa menatap siluet raja sambil mengepalkan tangan karena marah. Hingga setelah sosoknya menghilang barulah wanita itu mengeluarkan rasa geram yang dari tadi dirinya tahan.

"Brengsek! Bisa-bisanya dia memperlakukan aku seperti ini. Awas saja kau Zubaidah, aku akan merebut semua milikmu termasuk Khalifah," gumam Areta dengan hati yang terbakar cemburu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top