29. Rasa Cinta Yang Semakin Dalam

"Cepat bereskan guruku dan selir Areta, agar mereka tutup mulut." Al-Amin memerintahkan ajudannya dengan hati-hati.

"Ah ... satu lagi, segera temukan selir Ayes-"

"Sepertinya putraku hari ini sangat sibuk sekali. Sampai-sampai tak mengetahui ibunya datang."

Kedatangan permaisuri yang tiba-tiba membuat Al-Amin tampak kaget dan khawatir, kalau-kalau sang ibu tadi mendengar pembicaraannya dengan ajudan.

"Oh Ibu ... bagaimana keadaanmu sekarang? Kenapa Anda repot-repot datang ke tempat anakmu ini. Seharusnya hamba lah yang menemui Anda wahai Ibu." Al-Amin berucap sambil memberi kode dengan gerakan mata pada ajudannya agar pergi. Dia memasang wajah pura-pura khawatir.

"Tak masalah ... ibumu ini hanya ingin memastikan, bahwa kau tak kecewa melihat aku masih sehat tanpa kurang suatu apa pun," sindir Anzilla dengan tatapan datar. Wanita itu lalu memilih duduk.

Wajah Al-Amin tampak pucat pasi, dia terlihat gelisah dan tak berani menatap ibunya. Meski begitu sebisa mungkin Al-Amin menyembunyikannya. "Apa maksud, Ibu? tentu saja anakmu ini sangat senang mengetahui Anda baik-baik saja. Ibu tak perlu khawatir karena aku akan memastikan mereka yang berusaha menyakiti Ibu dihukum gantung tanpa perlu diadili." Al-Amin berkata penuh tekad.

"Sudahlah ... tak perlu berbohong pada Ibu, Nak. Aku tahu bahwa kau juga berkontribusi untuk peristiwa ini. Itu mengapa kau sedang berusaha mencari selir Ayesa bukan?"

"Tentu saja, Ibu, dia lah yang menuang racun it-."

"Tapi kau yang menyuruhnya! Kau sengaja ingin melenyapkan Ibu mu karena kau merasa terancam dengan saudaramu bukan? Kau diam-diam tahu bahwa aku mulai mendukung Al-Ma'mun," potong Anzilla geram. Dia menatap anaknya dengan mata tajam.

"Ibu!" seru Al-Amin marah. Dia tak terima disudutkan ibunya.

Melihat reaksi putra Zubaedah, Anzilla tersenyum sinis lalu bangkit dan berdiri tepat di depan Al-Amin. Matanya menatap pemuda itu dengan sorot tajam.

"Kau tenang saja ... biar bagaimanapun kau adalah kebanggan bani Quraisi dan kebanggan ayahmu. Aku tak akan pernah membiarkan khalifah tahu perangai buruk putra mahkota. Aku juga tak ingin melihatnya bersedih dan kecewa. Demi ibu dan ayahmu, aku akan melupakan semua kejadian ini walau aku sedikit kecewa. Tapi jika lain kali aku tahu kau melakukan hal tercela lagi, aku tak akan segan-segan untuk mengusulkan pencopotan mu dari garus suksesi," ada jeda sejenak sebelum Anzilla kembali melanjutkan kalimatnya.

"Padahal aku berharap sejarah yang mengatakan tentang keburukanmu adalah salah. Tapi ternyata tak sesuai harapan, kau benar-benar mengecewakan," tambah Anzilla, lalu berjalan melewati Al-Amin yang kini tampak tak bergeming dan hanya bisa mengepalkan tangan di sisi tubuh. Agaknya pemuda itu juga tak faham dengan ucapan tersirat ibunya.

"Ah ... satu lagi," sambung Anzilla, lalu memutar tubuhnya menghadap putra Zubaedah.

"Kau tak perlu khawatir, karena cepat atau lambat kau tetap akan menjadi khalifah menggantikan ayahmu. Tapi satu hal yang pasti, kau tak akan pernah bisa mengalahkan saudaramu. Pada akhirnya kau akan tetap kalah darinya." Setelah mengatakan itu, Anzilla benar-benar pergi dari istana putranya. Meninggalkan pemuda itu dalam kemarahan.

Yang tak keduanya tahu, sebenarnya khalifah tak sengaja mendengar percakapan mereka walau hanya dibagian akhir. Namun, karena tak ingin diketahui bahwa dia sedang mencuri dengar, khalifah lebih memilih pergi diam-diam.

"Yang Mulia, tadi khalifah Harun ada di sini, dia mencari Anda." Halima mengatakan itu ketika permaisuri sudah berada di luar.

Mendengar kabar dari Halima, senyum Anzilla tanpa sadar merekah. "Oh ya, lalu di mana dia sekarang?" Anzilla bertanya antusias, dia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.

"Beliau mengatakan akan menunggu di kediaman Anda saja, Yang Mulia."

"Baiklah ... kebetulan aku juga ingin bertemu dengannya. Ayo kita ke sana." Setelah mengatakan kalimat itu dengan nada ceria, Anzilla pun gegas beranjak dengan langkah cepat. Bahkan sampai harus mengangkat roknya agar bisa berlari.

Halimah dan Aliyah hanya menggeleng melihat tingkah Anzilla. Namun, tak urung keduanya juga tersenyum karena ikut bahagia melihat hubungan permaisuri dan raja kian harmonis.

***

"Khalifah, apa Anda menunggu saya?!" Anzilla berseru dari ambang pintu dengan nada ceria, senyum tak lepas dari bibir kala dia benar-benar mendapati khalifah ada di kediamannya.

Melihat kedatangan permaisuri, Khalifah balas tersenyum, lalu merentangkan tangan sebagai tanda agar sang istri memeluknya. Tak butuh waktu lama, Anzilla dengan senyum lebar pun berlari kecil ke arah Khalifah lalu menyambut pelukan hangat itu tanpa ragu. Mereka sama-sama tersenyum dalam dekapan, seolah bunga-bunga tengah bermekaran dalam hati masing-masing.

Binar mata keduanya memancarkan cinta yang tak bisa dipungkiri lagi. Bahkan Anzilla yang dulu selalu tak acuh dan terkesan arogan, sekarang berubah menjadi gadis manja yang penurut saat bersama khalifah. Seolah laki-laki berwibawa tersebut mampu meruntuhkan tembok tinggi yang dirinya bangun. Hingga Anzilla perlahan memperlihatkan sisi dirinya yang tak pernah diketahui orang lain.

"Bagaimana perasaanmu? Apa sudah lebih baik?" tanya khalifah sambil menatap mata istrinya tanpa melepas pelukan.

"Ya ... saya sudah kembali sehat tanpa kurang apa pun. Ngomong-ngomong ada apa Anda mencari saya, Yang Mulia?" Anzllla bertanya lalu melepas pelukan khalifah dengan lembut.

"Aku hanya merindukanmu."

Anehnya ketika Anzilla mendengar kalimat rayuan itu, dia sama sekali tak merasa mual seperti dulu. Justru kini reaksinya benar-benar di luar dugaan, wanita cantik itu menunduk malu, semburat merah di pipinya membuat khalifah tersenyum. Merasa tak tahan dengan ekspresi istrinya yang menggemaskan, khalifah pun mengangkat dagu Anzilla agar bersedia menatapnya.

Perlahan, khalifah Harun mendekatkan wajahnya pada wajah permaisuri. Tindakan itu sontak membuat jantung Anzilla kian berpacu. Terlebih ketika dia merasakan hembusan nafas khalifah di wajahnya. Anzilla tanpa sadar memejamkan mata saat khalifah benar-benar mendaratkan kecupan di bibir dan menarik pinggang wanita itu agar merapat padanya. Ciuman mereka hanya terjadi beberapa saat, tapi mampu membuat jiwa Anzilla terasa melayang. Bahkan ketika khalifah melepas pagutan, wanita itu masih tampak seperti orang linglung.

"Permaisuriku, apa kau baik-baik saja?" Khalifah terdengar khawatir karena melihat istrinya hanya diam dan seperti orang bingung.

"Ah ... saya baik-baik saja, Yang Mulia."

Ada keheningan lagi setelah itu, karena Anzilla masih merasa malu dan gugup. Dia sampai harus mengalihkan tatapan ke segala arah karena tak sanggup menatap mata khalifah secara langsung.

"Oh ya ... apa maksud perkataanmu pada Al-Amin tadi? Kenapa kau bisa bilang bahwa Ma'mun akhirnya yang akan menang?"

"Ah itu ...," Anzilla menggantung kalimat, kemudian memilih duduk di tepi ranjang, dia tengah berpikir sejenak untuk mencari jawaban yang masuk akal agar khalifah tak curiga.

"ya ... putramu memang pada akhirnya akan menang dan jadi khalifah yang hebat sepertimu. Anda lihat sendiri kan kemampuannya?"

"Benarkah kau berpikir seperti itu juga?" Khalifah terdengar sangat bahagia. Matanya pun berbinar penuh semangat. Melihat reaksi itu Anzilla tanpa sadar ikut tersenyum lalu mengangguk pasti sebagai jawaban.

"Syukurlah kalau memang begitu ... tadinya aku takut kau akan kecewa dengan keputusanku. Aku sering merasa bimbang jika memikirkan masalah penerus tahta. Aku takut akan menyakitimu karena lebih berpihak pada Al-Ma'mun."

Mendengar pengakuan khalifah, Anzilla mengembuskan napas berat, lalu menarik tangan khalifah dengan lembut agar dia ikut duduk di sampingnya.

"Saya harap mulai sekarang Anda berhenti terlalu memikirkan masalah penerus tahta. Saya khawatir lama-lama kesehatan Anda akan terpengaruh, Yang Mulia."

Khalifah terdiam sambil mengamati permaisuri sejenak sebelum menjawab, perlahan tangannya menyentuh pipi Anzilla. "Kadang aku merasa permaisuriku yang sekarang begitu berbeda dari yang dulu. Kau seperti orang asing yang tiba-tiba datang dan mengacaukan duniaku. Membuat aku berpikir keras tentang perasaanmu yang sebenarnya padaku. Apa masih sama atau sudah berubah."

Anzilla tersenyum mendengar itu, lalu memegang tangan khalifah yang kini berada di pipinya. "Jadi maksud Anda, Anda tidak menyukai saya yang sekarang? Begitukah, Yang Mulia?" goda Anzilla pura-pura kesal.

"Ah ... tidak ... tidak ... bagiku apa pun versi dirimu, aku selalu menyukainya. Baik itu dulu atau sekarang. Hanya saja ... sikapmu belakangan ini membuat aku selalu merindukanmu setiap waktu, seolah kita sudah lama tak bertemu."

Anzilla berdecak mendengar kalimat rayuan itu, tapi tak urung dia pun tersenyum.

"Jadi ... siapa kamu sebenarnya?" tanya khalifah tiba-tiba.

Anzilla seketika diam ... dia menatap khalifah lama karena tengah mempertimbangkan tentang kejujuran. Apa aku mengaku saja bahwa aku ini dari masa depan? Batinnya.

"Kalau saya bilang saya dari masa depan, apa Anda percaya, Yang Mulia?" Anzilla bertanya serius, tapi mimik wajahnya sengaja dibuat jenaka agar khalifah tak curiga. Dia ingin memastikan respon laki-laki di depannya lebih dulu.

"Oh ... kalau begitu bisakah kau ceritakan nasib negeri kita ini di masa depan?"

Anzilla kembali terdiam ... dia bingung harus mejawab apa. Jika dia jujur tentang nasib dinasti Abbasiyah yang harus berakhir dihancurkan bangsa Mongol, khalifah pasti akan sedih.

"Itu rahasia, saya tak bisa mendahului takdir Allah, Yang Mulia. Tapi yang jelas putra kesayangan Anda akan menjadi salah satu khalifah terbaik bagi dinasti Abbasiyah. Jadi, Anda tak perlu khawatir lagi sekarang. Fokuslah pada tugas negara saat ini dan juga kesehatan Anda."

"Syukurlah ... aku lega sekarang," ujar Khalifah lalu memeluk Anzilla tanpa aba-aba.

"Walau aku tahu kau hanya sedang menghibur, aku tetap merasa lebih baik setelah mendengar ucapanmu. Terima kasih, permaisuriku," sambung khalifah mengeratkan pelukan.

"Besok aku akan melakukan kunjungan kenegaraan sekaligus berhaji. Apa kau bersedia ikut, Permaisuri? Sepertinya sudah lama kita tak pergi haji bersama."

"Maafkan saya, Yang Mulia, sepertinya saya tak bisa menemani Anda. Karena saya harus mengurus beberapa cendikiawan yang datang hari ini. Mungkin lain kali saya akan ikut."

"Ah ... baiklah kalau begitu. Tapi berjanjilah kau akan menjaga dirimu dengan baik. Jangan berbuat hal aneh yang bisa membahayakan nyawamu seperti tempo hari." Khalifah mengingatkan dengan tegas.

Kekhawatiran suaminya membuat Anzilla tersenyum, lalu mengangguk sebagai jawaban. Wanita itu pun semakin menenggelamkan kepalanya pada dada bidang khalifah. Dalam hati dia berdoa, memohon pada Allah agar Dia selalu melindungi laki-laki ini. Laki-laki yang sudah mencuri hatinya.

"Ngomong-ngomong terima kasih, Yang Mulia, karena Anda memilih melepaskan selir Ayesha dari istana. Tadinya sayatakut Anda akan menghukumnya."

Khalifah tersenyum mendengar ungkapan tulus permaisuri. "Apa pun untukmu akan aku lakukan. Jika kau percaya padanya, aku juga harus percaya. Karena aku yakin dia juga wanita yang baik. Mungkin dia akan lebih bahagia tinggal di luar istana."

Entah kenapa mendengar ucapan khalifah tentang Ayesha dia sedikit terganggu. "Apa Anda tidak apa? Bukanya dia adalah wanita yang cerdas dan Anda sangat menyukainya, kan?"

Pertanyaan bertubi-tubi Anzilla membuat khalifah tersenyum dan mengurai pelukan lalu menatap istrinya. "Apa kau tengah cemburu sekarang?" goda khalifah.

"Em ... aku ti-" kalimat Anzilla terputus, dia tampak syok karena khalifah tiba-tiba mengecup bibirnya sekilas. Lalu memandang wajahnya dengan tatapan lembut.

"Sudah sering aku bilang bukan ... meski banyak wanita di sekitarku, kau tetap yang paling istimewa dan selalu membuat aku jatuh cinta berkali-kali." Setelah mengatakan itu khalifah kembali menarik Anzilla dalam pelukan.

****

Assalamualaikuuum selamat pagi ... aku updet cepat dong demi kalian. Bagaimana part ini? Apa sudah berhasil bikin kalian baper? Jangan lupa tinggalkan jejak ya biar aku semangat lanjut. Share cerita ini di sosmed kalian ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top