24. Bertemu Mahin

Hari berganti hari, waktu tak terasa berlalu sangat cepat. Anzilla merasa dia sudah terlalu lama berada di sana. Meski dia sudah merasa nyaman hidup di istana, tetap saja cepat atau lambat dia harus kembali ke masa depan.

Belakangan ini Anzilla sering sekali menghabiskan waktunya untuk keliling istana, seperti hari ini contohnya. Apa lagi sejak khalifah pergi beberapa hari lalu untuk melaksanakan kunjungan ke beberapa wilayah yang tengah ada konflik. Terkadang dia gundah sendiri karena khawatir ada sesuatu yang terjadi dengan laki-laki itu.

Ditengah perjalanannya keliling istana, sebuah keributan terdengar dari arah pintu gerbang. Anzilla menautkan alis saat melihat seorang wanita paruh baya tengah berdebat dengan penjaga. Karena penasaran dia pun memilih mendekat.

"Ada apa ini?" tanya Anzilla.

Melihat kedatangan permaisuri yang tak terduga, semua orang di sana langsung menunduk hormat dan memberi jalan padanya.

"Wanita ini memaksa meminta bertemu dengan khalifah, Yang Mulia," terang salah satu penjaga.

"Saya hanya ingin mengucapakan terima kasih pada khalifah dan Anda, Yang Mulia," ujar wanita paruh baya yang kini ada di luar gerbang.

"Dia Habibah, Yang Mulia, wanita yang saya ceritakan pada Anda beberapa waktu lalu," Halima berbisik di telinga permaisuri.

Mendengar itu Anzilla pun mengangguk, lalu mengamati wanita itu sejenak. Halima memang pernah menceritakan wanita ini, bahwa dia tengah mengalami kesulitan keuangan karena usahanya mengalami kebangkrutan, sedang suaminya pun sakit-sakitan. Alhasil Anzilla menyuruh beberapa orang kepercayaannya agar mengirim bantuan makanan dan kebutuhan lain ke rumah Habibah.

"Izinkan dia masuk untuk bicara padaku di dalam," ujar Anzilla akhirnya.

Mendengar itu, senyum Habibah merekah, tak butuh waktu lama keduanya pun bicara di taman karena Anzilla memang ingin mencari udara segar.

"Saya Habibah, hanya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya yang paling dalam pada Anda dan Khalifah. Terima kasih karena berkat bantuan Anda hidup kami mulai membaik. Saya tak menyangka pula karena khalifah bersedia mendatangi rumah kami yang kumuh itu, dan mengirim tabib istana terbaik untuk mengobati suami saya. Hingga sekarang dia bisa pulih kembali dan mencari nafkah. Saya tak tahu lagi harus dengan cara apa untuk membalas kebaikan Anda dan khalifah."

Anzilla terdiam mendengar cerita itu, dia pun tak menyangka khalifah begitu perhatian dengan rakyatnya. Apa mungkin yang dikatakan Ayesha benar, bahwa khalifah sering pergi di malam hari secara diam-diam untuk melihat keadaan rakyatnya? Membayangkan hal itu, senyum samar tersungging di bibir Anzilla. Lagi-lagi dia dibuat kagum dengan sifat rendah hati dan dermawan suaminya.

"Kau tak perlu membalas dengan apapun, aku hanya minta agar kau dan keluargamu selalu mendoakan keselamatan khalifah dengan tulus. Agar dia selalu dimudahkan dalam memimpin negeri ini," jawab Anzilla bijak.

Habibah pun mengangguk yakin dengan senyum di bibirnya. "Tentu saja, wahai Ratu, kami akan selalu mendokan yang terbaik untuk Anda dan khalifah. Kalau begitu saya pamit, terima kasih karena Anda sudah mau mendengarkan saya. Semoga keselamatan atasmu, Yang Mulia,"

Anzilla pun mengangguk dengan senyum saat mendengar ucapan itu. "Keselamatan atasmu pula, Habibah," ujarnya kemudian.

Anzilla hanya menatap kepergian wanita itu dengan rasa bahagia di hatinya, ucapan terima kasih yang tulus dari Habibah membuatnya semakin bersemangat untuk melakukan kebaikan. Apa lagi mengetahui bahwa khalifah juga diam-diam memikirkan rakyatnya, menjadi motifasi tersendiri bagi Anzilla untuk mencontoh perbuatan baik khalifah. Yaitu memberi tanpa mengharap imbalan, dan memberi tanpa diketahui orang-orang.

Namun, kenyataan itu seolah kembali mengingatkan Anzilla kebenciannya pada Khalifah yang sekarang tampak sangat picik. Padahal Khalifah adalah orang yang sangat baik dan selalu memikirkan rakyatnya. Perasaan bencinya perlahan benar-benar berubah menjadi rasa kagum, bahkan mungkin lebih.

Meski begitu Anzilla mulai menyadari, walaupun dirinya menyukai istana dan segala kemewahannya, dia tetap ingin pulang ke masa depan. Dia rindu orang tuanya, tapi, bingung harus memulai misi dari mana sementara jam yang dia cari masih dalam proses pengerjaan.

"Aku bilang juga apa rek, Ratu Zubaidah pasti akan menerima kedatanganku!"

Anzilla mengernyitkan dahi kela mendengar logat bicara Habibah pada para penjaga. Dia merasa pernah mendengar kata 'rek' yang wanita itu ucapkan. "Apa mungkin dia juga salah satu temanku dari masa depan?" gumam Anzilla sambil menatap kepergian Habibah.

"Anda bicara apa, Yang Mulia?" tanya Halima yang samar-samar mendengar ucapan permaisuri.

"Ah, bukan apa-apa."

Jawaban permaisuri hanya dijawab anggukan paham Halima.

"Oh ya, Halima, apa kau sudah melakukan yang aku suruh, untuk membawa gadis pelayan yang kau ceritakan kemarin agar menemui ku?" sambung Anzilla kala dia ingat tentang temanya dari masa depan.

"Sudah, Yang Mulia, saya akan menemuinya lagi hari ini dan membawanya ke hadapan Anda."

Mendengar jawaban dari pelayannya, Anzilla pun mengangguk paham. Lalu dia dan semua dayangnya kembali ke istana ratu.

***

"Yang Mulia... ini pelayan yang kau minta untuk dipanggil. Gadis ini bernama Neina Maheen."

Anzilla memutar tubuhnya kala mendengar penjelasan sang pelayan setia. Dia tersenyum saat melihat Mahin kini tampak menunduk di depannya.

"Tolong tinggalkan kami berdua Halimah," ujar Anzilla, "jangan lupa kau tutup pintu rapat-rapat, pastikan tidak ada yang mendengar percakapan kami berdua di sini," sambungnya.

Tak butuh waktu lama setelah Halimah keluar, Anzilla pun berjalan dengan anggun mendekati Mahin. Dia sudah tak sabar lagi untuk membuat temanya terkejut.

"Angkat wajahmu dan tataplah aku, Neina Mahin!" ujar Anzilla dengan tegas.

Mahin menggeleng. "Tidak Yang Mulia... aku tak berani menatap wajahmu."

Mendengar jawaban Mahin, Anzilla tersenyum. Dia melangkah lebih dekat ke arah pelayan itu hingga berdiri tepat di depannya. Anzilla pun memutuskan memegang dagu Mahin dan menggerakkan ke atas secara perlahan.

"Tataplah wajahku," perintahnya seraya melempar senyuman.

Mahin yang memejamkan mata, perlahan membukanya. Dadanya berdegup kencang karena grogi berhadapan dengan istri dari panutannya, tak lain Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Saat mata Mahin terbuka, mulutnya ternganga. Wanita itu seolah tak percaya saat melihat sosok di depannya. "Anzillaaa...." Mahin menggantung kalimat karena tak bisa berkata-kata

Senyum Anzilla semakin melebar, ternyata dugaannya benar, pelayang yang Halimah bicarakan memang salah satu dari temanya yang ikut terjebak di dunia asing ini. Dia merasa sangat lega dan bahagia karena bisa menemukan Mahin. Tak menunggu lama Anzilla langsung memeluk gadis yang pernah mengajaknya berdebat itu.

"Ya Mahin... ini aku. Kau benar Mahin mahasiswi Universitas Baghdad?" tanya Anzilla memastikan.

Mahin yang masih dalam dekapan raga Ratu Zubaidah pun mengangguk. Sesaat kemudian Mereka melepaskan pelukan.

"Tunggu... kau benar-benar Anzilla?" Mahin juga memastikan karena dia masih merasa kejadian saat ini seperti mimpi. Dia juga senang karena akhirnya bisa menemukan salah satu temanya dari masa depan.

"Iya aku Anzilla yang berdebat denganmu di Masjid 17 Ramadhan!"

Mahin ternganga. "Dan kau...." Gadis itu melihat Anzilla dalam wujud permaisuri dari bawa sampai atas. Wajah itu memang tampak seperti temannya tetapi penampilannya sungguh berbeda, apalagi dibalut pakaian mewah milik kerajaan. "Dan kau masuk dalam tubu Ratu Zubaidah?" sambung Mahin takjub.

Dia sungguh tak menyangka dari semua temanya justru Anzilla lah yang harus masuk ke raga Ratu Zubaidah. Dia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Anzilla kala bertemu dengan khalifah Harun yang notabene dibencinya.

Kedua alis Anzilla bertaut karena pertanyaan Mahin "Ya, beginilah!"

"Berarti kau istri dari Khalifah Harun Ar-Rasyid?"

"Ya jelas... siapa lagi? Tidak mungkin aku berubah jadi istri presiden Obama, kan?" Anzilla sangat kesal karena pertanyaan Mahin yang seolah mengejeknya. Sudah bisa dipastikan setelah ini dia pasti akan menertawakan Anzilla.

Benar saja, setelah melihat kekesalan Anzilla, Mahin refleks terkekeh. "Bagaimana dengan tuduhan mu tentang khalifahku yang bijaksana dan lemah lembut itu? Apa masih percaya bahwa beliau seburuk yang kau pikirkan?"

Anzilla terdiam. "Entahlah... aku menemukan banyak masalah di sini! Bahkan aku hampir di racun! Tapi satu yang pasti dan sesuai pikiranku, Harun benar-benar memiliki banyak istri. Aku sampai lelah menghitung jumlah dan mengingat nama para selir."

Mahin pun kembali terkekehvkeren cerita Anzilla. "Mungkin Allah memiliki rencananya tersendiri untukumu, agar kau mau membuka mata bahwa islam bukalah agama radikal, dan tokoh-tokohnya tak seburuk yang swring digambarkan media barat."

Mendengar ucapan Mahin, Anzilla terdiam, lalu mengangguk membenarkan. Sebab dia juga merasa bahwa hal semua itu memang masuk akal. Atau ada rahasia lain yang membuat dirinya harus terjebak di tubuh permaisuri?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top