22. Teman dari Masa Depan

"Dananir adalah sahabatmu sejak kecil, dia keponakan Abu Al-Malik. Kalian tumbuh besar bersama di istana ini, karena ayahnya dulu adalah salah satu menteri ketika mertuamu menjabat sebagai khalifah. Tapi ayahnya tiba-tiba meninggal, lalu beberapa tahun kemudian disusul ibunya."

"Lalu apa benar aku yang menyuruh khalifah untuk menikahinya?"

"Ya, dulu khalifah sempat menolak karena tak ingin menyakitimu, tapi kemudian dia memang menjadikannya selir. Bahkan kau sangat cemburu padanya, karena khalifah menganggapnya sebagai selir favorit."

"Apa karena itu pula aku membunuhnya?" Anzilla bertanya lirih, jauh di dasar hatinya dia sungguh sangat khawatir, dia takut mengetahui fakta bahwa Zubaidah memang membunuh Dananir, sebab Anzilla mulai percaya bahwa permaisuri Zubaidah adalah wanita yang memiliki akhlak mulia dan pantas untuk dijadikan contoh. Karena wanita itu lah, Anzilla mulai belajar menerima dengan hati tulus segala ajaran agama islam.

"Siapa yang mengatakan itu padamu, Yang Mulia? Apa khalifah? Bukanya dia tak ingin Anda tahu yang sebenarnya?"

"Jadi benar aku yang membunuhnya?"

"Tidak ... tentu saja tidak seperti itu maksud hamba, Yang Mulia, khalifah tak ingin kau mencari tahu yang sebenarnya, karena dia khawatir kau akan terluka."

"Jadi aku memang tak tahu apa-apa soal Dananir?" Anzilla memastikan, sejujurnya dia makin dibuat bingung dengan semua ini.

"Ya, Dananir pernah coba meracunimu, dia ingin menggantikan posismu di sisi khalifah. Tapi mendiang ibu suri Khaizuran mengetahui rencana itu, lalu memerintahkan seorang ajudan untuk melenyapkannya secara diam-diam alih-alih diadili di tiang gantung. Itu semua karena dia tak ingin melihatmu terluka. Khalifah sengaja meminta semua orang yang terlibat agar tutup mulut dan melarang mereka membahas apapun soal menghilangnya Dananir."

Anzilla terdiam setelah mendengar penjelasan Salsal. Jika menelaah semua cerita wanita di depannya ini, maka jelas lah alasan Al-Malik sangat membenci Zubaidah dan ingin menyingkirkannya. Bisa jadi yang menghasut semua orang agar menobatkan Al-Amin secepatnya adalah laki-laki itu. Itu berarti putra Zubaidah juga dihasut agar memusuhi ibunya sendiri. Apa pun yang terjadi, Anzilla harus memecahkan semua masalah ini dulu karena mulai sangat berbahaya.

"Yang Mulia, selir Ayesha sudah ada di sini."

Anzilla terlonjak kaget ketika Aliyah masuk dan mengabarkan kedatangan Ayesha. Lamunannya tentang pembicaraan dengan Salsal kemarin pun buyar seketika.

"Suruh dia masuk," ujar Anzlla.

Lalu tak berapa lama Ayesha pun kini sudah berdiri di depannya. Anzilla bangkit dan mengamati wanita itu sejenak. "Apa info yang kau dapatkan tentang rencana mereka padaku? Apa petisi untuk mempercepat penobatan putra mahkota juga mereka yang menghasut semua orang? Apa sebenarnya yang Al-Malik inginkan?"

"Yang saya tahu, Al-Malik berusaha menghasut putra Anda agar lekas bertindak dan mempercepat penobatannya menjadi raja karena Anda sudah tak mendukungnya lagi. Sedangkan selir Areta hanya menginginkan posisi Anda di hati khalifah, Yang Mulia."

Anzilla terdiam, rupanya dugaannya benar, soal laki-laki itu yang memanfaatkan sifat labil putra Zubaedah. "Apa selir Kasif terlibat?" tanyanya kemudian.

"Awalnya dia memang menginginkan putranya yang naik tahta, karena Al-Malik menjanjikan itu. Tapi ketika dia tahu mengenai usaha saya yang gagal meracuni Anda, selir Kasif memilih tak ingi ikut campur lagi, karena khawatir pada keselamatannya sendiri dan putranya. Saya menceritakan semua kebaikan Anda yang melepaskan saya dan pelayan waktu itu dengan hati lapang. Bahkan selir Kasif juga yang membantu pelayan tersebut untuk pergi dari istana dengan aman."

Anzilla mengembuskan napas berat mendengar ucapan Ayesha. "Lalu kau sendiri bagaimana?" tanya Anzilla tiba-tiba. Dia mengarahkan tatapan mengintimidasi pada wanita di depannya.

"Ma-maksud Anda apa, Yang Mulia?" Ayesha tebata, dia menatap takut pada permaisuri.

"Apa alasanmu bersedia melakukan perintah mereka?"

Ayesha terdiam setelah mendengar pertanyaan permaisuri. "Mungkin Anda tak akan percaya dengan apa yang hamba ceritakan, Yang Mulia, sejujurnya hamba datang dari masa depan. Saya terpaksa me-"

"Apa kau serius? Apa kau mahin? Zura?" potong Anzilla bertubu-tubi. Dengan antusias dia pun mendekati Ayesha.

Ayesha terdiam, dia kaget bukan main dan mulai mengamati Anzilla, ternyata dugaanya benar. "Apa kau wanita Amerika yang mengajak suamiku berdebat?" Ayesha memastikan, sebab meskipun mereka satu jurusan di university of baghdad, Ayesha hampir tak akrab dengan semua temanya. Begitu pun Anzilla yang notabene memiliki sifat cuek. Yang dia ingat hanya gadis bernama Mahin dan Zura yang sempat mengajaknya berdebat.

Anzilla mengangguk semangat, senyum lebar tersungging di bibirnya karena dia merasa sangat lega. Reflek dia pun memeluk Ayesha dengan perasaan haru. "Ya, aku Anzilla, apa suamimu laki-laki yang menengahi perdebatanku dan Mahin?" ujarnya, sambil mengurai pelukan. Kali ini keduanya berbicara dengan bahasa inggris.

"Ya, namanya Rashad, dan karena dia lah aku terpaksa melakukan semua ini." Ayesha menerangkan dengan wajah sedih.

"Maksudmu?"

"Aku dan Rashan terpisah menjadi dua kubu di sini. Dia masuk ke tubuh seorang laki-laki yang berasal dari keluarga pembenci ratu Zubaidah dan khalifah, sedangkan aku masuk ke tubuh salah satu selir suamimu."

Anzilla berdecak mendengar kalimat Ayesha yang terakhir, karena terkesan tengah meledeknya. "Dia suami Ratu Zubaedah, bukan susmiku," jawab Anzilla kesal.

"Tapi kau mulai jatuh cinta sungguhan padanya, kan? Kalau tidak untuk apa kau cemburu padaku dan selir Areta." goda Ayesha semakin menjadi.

Mendengar ucapan Ayesha, Anzilla terdiam. Wanita itu kembali duduk di tepi ranjang, lalu mengembuskan napas. "Entahlah, aku bingung harus bagaimana? Kau tahu, pesona dan kelembutan sikapnya tak bisa dibantah. Rasanya sulit untuk tidak jatuh cinta pada khalifah."

"Jadi, apa kau berubah pikiran sekarang? Dia tak seburuk pemikiranmu, kan?"

Anzilla mengalihkan perhatian pada Ayesha sebelum nenjawab. "Satu hal yang pasti, dia benar-benar punya banyak istri."

Ayseha hanya tersenyum lalu dia berjalan mendekati Anzilla. "Jangan terlalu fokus pada kekurangannya, semua raja di dunia hampir pasti memiliki banyak selir. Tapi bukan berarti itu bisa dijadikan alasan untuk membencinya. Terlepas dari semua itu, kau sendiri mulai menyadari kebaikah khalifah bukan? Dan bagaimana dia berusaha menjadi pemimpin yang Adil bagi rakyatnya. Sekali-kali cobalah kau ikut beliau keluar saat malam. Agar kau yakin apa ucapanku ini benar atau tidak."

Mendengar ucapan Ayesha, Anzilla pun terdiam dan mengamati wanita itu. "Darimana kau tahu soal dia keluar malam-malam?" Anzilla terdengar curiga.

Tatapan menyelidiknya membuat Ayesha kembali tersenyum. "Jangan salah faham dulu, aku tahu semua itu dari buku yang pernah aku baca. Di sana disebutkan kalau suamimu selalu keluar malam-malam secara diam-diam untuk melihat keadaan rakyat sebenarnya."

"Ah, benarkah?" Anzilla terdengar kaget dan antusias.

Ayesha pun hanya mengangguk sampai dia teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong apa kau sudah menemukan jam itu?"

"Ah, ya, aku sudah melihat jam itu, tapi sayangnya masih belum selesai pengerjaannya. Kata khakifah butuh waktu sekitar satu atau dua tahun untuk pengerjaan."

"Apa kita bisa bertahan selama itu?" Ayesha terdengar sangat khawatir.

Anzilla pun meraih tangan Ayesha yang ada di pangkuan dan menggenggamnya. "Entahlah, aku yakin ada cara lain untuk kembali ke masa depan selain jam itu. Tugas kita adalah mencari tahunya. Selama kita masih di sini, kita harus bekerja sama untuk saling menjaga. Setidaknya sampai kita bisa menemukan cara untuk pulang. Kau tahu sendiri bukan? Betapa berbahayanya situasi istana saat ini, terlebih posisiku. Aku harus tetap menjadi permaisuri apa pun yang terjadi. Agar aku bisa menggunakan wewenang ku sebagai ratu untuk menolong kita semua keluar dari sini. Sebab aku mulai curiga dengan beberapa orang yang aku yakin adalah teman-teman kita."

Ayesha mengangguk mendengar ucapan wanita di depannya, lalu meremas tangan Anzilla tak kalah erat untuk meyakinkan bahwa kini dia juga akan berjuang membantunya. "Aku juga akan mengatakan soal kau pada suamiku agar kita bisa memikirkan cara untuk kembali. Aku akan memastikan informasi apapun bisa kau peroleh untuk menghindari sesuatu yang buruk dilakukan oleh Areta dan Al-Malik."

Anzilla mengangguk paham, perasaannya sedikit membaik karena dia akhirnya tak merasa sendirian lagi. Tak berapa lams setelah pembicaraan itu, Ayesha pun pamit keluar.

"Halima, apa kau sudah mencari tahu soal gadis pelayan yang selalu bertingkah aneh sepertiku?" Anzilla bertanya pada Halima ketika wanita itu masuk.

"Sudah, Yang Mulia, saya ingat bahwa ada salah satu pelayan yang sering sekali berbicara hal aneh seperti Anda, dia selalu menyebut-nyebut kata masa depan. Saya pernah mendengar pembicaraanya dengan pelayan yang lain ketika saya hendak mengambil makanan."

"Bawa dia padaku besok, aku ingin bicara empat mata di sini. Pastikan tak ada yang tahu."

Halima pun mengangguk, dia mengamati permaisuri sejenak. "Apa Anda benar-benar bukan ratu Zubaidah?"

Anzilla mendongak mendengar ucapan Halima. Dia menatap wanita itu lalu bangkit dan mendekatinya. "Entah kau selama ini benar-benar tak tahu atau hanya pura-pura tak tahu tentang aku. Tapi terima kasih karena sudah menjaga aku selama di sini, Halima. Aku tak akan melupakanmu jika suatu saat aku harus pergi. Terima kasih juga karena sudah mengajari aku banyak hal tentang kebiasaan ratu Zubaidah hingga aku bisa belajar banyak darinya. Berkatmu aku jadi tahu bahwa kalian bangsa Arab dan orang-orang islam tidak seburuk yang aku pikirkan. Hanya saja masih ada satu hal lagi yang ingin aku pastikan soal khalifah. Aku ingin lebih yakin lagi tentangnya."

Halima mengangguk paham, lalu Anzilla memeluk wanita itu. Bersama Halima, Anzilla selalu merasa nyaman karena sifat keibuannya. Meski dirinya kerap berbuat onar, wanita paruh baya ini tak pernah bosan mengingatkannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top