21. Antara Cinta dan Tahta

"Yang Mulia, ini gawat!"

Halima tergopoh-gopoh mendatangi permaisuri yang tengah asyik membaca beberapa buku di istananya. Anzilla reflek mengalihkan perhatian pada pelayan itu. "Ada apa, Halima? Bicaralah pelan-pelan," ujar nya kemudian, kala melihat Halima bernapas dengan cepat seperti habis dikejar sesuatu.

"Orang-orang di istana ini tengah heboh membicarakan pertengkaran Anda dengan khalifah tadi malam, muncul rumor bahwa Anda dirasuki roh jahat sehingga berubah membenci putra Anda sendiri."

Mendengar aduan Halima, Anzilla mengembuskan napas berat lalu memilih menutup bukunya lagi. "Ck, mereka apa tak lelah terus mengusik hidupku? Segala sesuatu yang aku lakukan dengan khalifah selalu saja dianggap pertengkaran," keluh Anzilla tak habis pikir. Padahal cerita aslinya tidaklah seperti itu. Mereka hanya beradu argumen kecil, bukan bertengkar hebat seperti yang dibicarakan orang-orang.

"Yang Mulia!" suara panggilan itu terdengar dari arah pintu masuk. Salsal pun tampak tak kalah hebohnya saat datang ke sana. Sudah bisa dipastikan ibu dari permaisuri Zubaidah itu juga pasti penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya.

"Apa ibu ke sini juga ingin memastikan bahwa gosip yang tengah ramai di luar benar?" tebak Anzilla ketika Salsal sudah berdiri di depannya.

"Dari mana Anda tahu kalau hamba ke sini ingin menanyakan itu, Yang Mulia?"

"Halima baru saja mengadu padaku soal itu," jawab Anzilla. Salsal pun mengalihkan perhatian pada pelayan putrinya.

"Saya juga baru mendengarnya, Nyonya, bahkan menurut beberapa orang, para petinggi kerajaan meminta diadakan rapat untuk pencopotan ratu dan penobatan Putra Mahkota sesegera mungkin, karena rumor yang beredar permaisuri dimasuki roh jahat hingga pikiranya sudah tak stabil lagi untuk menjadi ibu negara."

Mendengar ucapan itu, Salsal dan Anzilla tampak kaget. "Apa maksud semua ini? Apa putramu bermaksud menggulingkan ayahnya sendiri? Apa yang sebenarnya kau bicarakan dengan Yang Mulia raja semalam, Permaisuri? Kenapa semua ini bisa terjadi? Sudah aku bilang untuk berhati-hati bukan? Lagi pula apa kau benar-benar sudah tak peduli dengan nasib putramu? Bukanya dulu kau yang bersikeras mendukungnya?" tanya Salsal bertubu-tubi

"Aku hanya bicara apa adanya, Al-amin bukan kandidat yang tepat untuk menjadi raja, Ibu, kau tahu sendiri perangainya," ujar Anzilla keukeh.

"Permaisuri, jaga bicaramu!" tegur Salsal dengan nada geram. Dia menatap tajam pada putrinya sebagai tanda peringatan. Matanya bergerak ke sana kemari seolah memastikan tak akan ada yang mendengar pembicaraan mereka.

"Kau tahu apa akibatnya kalau sampai ada yang mendengar ucapanmu? Posisimu bisa dalam bahaya. Kau bisa-bisa akan dianggap pengkhianat oleh klan kita sendiri. Kau tak lupa bukan apa yang dulu pernah sepupu sekaligus iparmu, Al-Hadi, coba lakukan pada mendiang ibu suri Khaizuran? Kalau dia bisa mencoba membunuh ibunya, maka putramu pun bisa melakukan itu," sambung Salsal mengingatkan.

Anzilla menatap ibunya penuh sesal, dia sama sekali tak menyangka bahwa pembicaraannya dengan khalifah semalam ada yang mendengarnya. Anzilla mengembuskan napas lalu mulai bercerita yang sebenarnya.

"Sudah lewat tengah malam, Yang Mulia, apa Anda tidak lelah terus berbicara seperti sekarang?" tanya Anzilla pada laki-laki yang kini mendekap tubuhnya dengan erat dalam posisi berbaring. Kepalanya dia sandarkan pada dada bidang khalifah.

"Aku hanya ingin menghabiskan waktu seperti ini denganmu. Rasanya sudah lama sekali kita tidak seperti ini, bercerita banyak hal."

Anzilla terdiam, dia tak menjawab ucapan khalifah karena bingung harus jujur atau tidak tentang siapa dia sebenarnya.

"Ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba kau berubah tak acuh pada putramu? Bukanya dulu kau bersikeras menjadikan dia penerusku?" sambung khalifah.

"Oh, ya?" tanya Anzilla seolah tak percaya, lalu merubah posisi menjadi duduk dan menyandarkan tubuh pada kepala ranjang.

"Ya, kita bahkan sempat berdebat gara-gara masalah itu karena aku bilang putramu tak memiliki jiwa sebagai seorang pemimpin. Apa yang membuatmu tiba-tiba berubah?" Bukan tanpa alasan khalifah merasa heran, sebab dulu Zubaidah selalu saja membela putranya walaupun dia tahu Al-Amin salah. Bagaimanapun juga begitulah lazimnya seorang ibu yang ingin melindungi anaknya, termasuk Zubaidah.

Anzilla diam sejenak sambil menatap khalifah lama. 'aku tak mungkin bilang kalau putra Zubaidah adalah laki-laki yang payah seperti yang diceritakan dalam buku karya Farag Fouda' batin Anzilla. Sebagai orang yang pernah salah mengartikan islam, Anzilla tentu sudah banyak membaca buku yang menyebutkan keburukan beberapa khalifah islam demi pembenaran argumennya.

"Aku hanya tak menyukai cara berpikirnya, menurutku Al-Mam'un lah yang pantas menggantikan mu, karena dia lebih berwawasan dan berbudi luhur. Kau sendiri, kan, yang bilang bahwa menjadi pemimpin umat Muhammad, kelak akan dimintai pertanggung jawaban besar di hadapan Allah."

Mendengar ucapan istrinya, khalifah pun mengangkat tubuhnya menjadi duduk. Lama dia menatap mata permaisuri, seolah tak menyangka kalau Zubaidah bisa mengatakan itu. Khalifah masih ingat bagaiman dulu mereka berselisih paham soal pemilihan putra mahkota.

"Kenapa tiba-tiba kau seperti ini?"

Mendengar pertanyaan khalifah Anzilla tersenyum. "Karena pada akhirnya walaupun aku menentang, Al-Mamun tetap akan jadi khalifah, tentunya setelah Al-Amin lebih dulu naik tahta, Yang Mulia, jadi aku berkata seperti ini atau tidak, sejarah tak akan pernah berubah, karena pada akhirnya kau akan memilih Al-Amin lebuh dulu demi aku. Lagi pula aku tak memiliki niat untuk mengubahnya." Anzilla mengatakan kalimat itu sambil menatap khalifah.

Mendengar jawaban istrinya, khalifah Harun pun terdiam. Lama dia menatap dalam mata istrinya. "Aku terkadang takut dengan semua ucapanmu yang seakan mengetahui masa depan," ujarnya kemudian.

Anzilla kembali tersenyum karena melihat ekspresi khalifah tampak sangat serius saat mengatakan itu. "Anggap saja begitu," jawabnya singkat, lalu kembali merebahkan diri di samping khalifah. Seolah membiarkan laki-laki itu tenggelam dalam pikirannya sendiri soal keanehan sikap Zubaidah.

Dalam sebuah buku karangan DR. Syauqi Abu Khalil, berjudul 'Harun Ar-Rasyid : Amir Para Khalifah dan Raja Teragung di Dunia' dikisahkan bahwa kala itu, berita Harun yang lebih memilih Al Ma'mun daripada Al Amin membuat Zubaidah sangat gundah. Hingga ia menghadap Harun Ar Rasyid dan mengadukan ketidakpuasannya.

Harun berkata dengan tegas, "Sejujurnya ini umat Muhammad dan tanggung jawab terhadap rakyat yang diberikan Allah ini terikat di leherku. Sementara aku tahu antara anakku dan anakmu. Anakmu tidak layak menjadi Khalifah, dan tidak layak untuk rakyat!"

Tapi Zubaidah tetap ngotot, "Anakku, demi Allah lebih baik dari anakmu dan lebih layak untuk memimpin. Bukan orang dewasa yang bodoh juga bukan anak kecil yang tidak layak memimpin. Lebih dermawan jiwa dari anakmu, dan lebih lagi dia adalah anak kita, murni keturunan bani Quraisy yang mulia."

Harun menjawab lagi, "Sejujurnya putramu lebih aku cintai. Tetapi Khilafah ini, tidak layak dipegangnya kecuali oleh orang yang ahli. Kita akan dimintai tanggung jawab tentang masyarakat ini kelak. Kita tidak sanggup menghadap Allah dengan membawa dosa mereka," jawab khalifah tegas.

Meski kesal dengan Zubaidah, khalifah berusaha tetap menjadi seorang suami yang bijaksana. Walau dia lebih paham dari istrinya yang hanya mengedepankan rasa, tetapi khalifah Harun ingin menampakkan bukti secara langsung bahwa Al Ma'mun lebih layak dari Al Amin.

Khalifah menghentikan kalimatnya sejenak, lalu kembali bicara. "Duduklah di sini, agar aku bisa menunjukkan padamu bagaimana perbedaan kedua anak kita."

Keduanya pun duduk dan memanggil putra mereka Al Ma'mun. Saat Al Ma'mun datang, khalifah sengaja menghalanginya masuk agar dia menunggu lama di depan pintu dalam keadaan berdiri. Lama sekali, hingga terasa pegal kaki Al-Ma'mun. Sampai akhirnya dia pun diizinkan untuk masuk dan duduk.

Sebelum menanyakan prihal apa dia dipanggil, Al Ma'mun meminta izin untuk berbicara lebih dulu. Setelah diizinkan, dia memulai dengan memuji Allah atas nikmat bisa melihat orangtuanya, dan berharap Allah selalu memberi solusi dalam kepemimpinan sang ayah. Dia juga meminta izin untuk mendekati khalifah dan Zubaidah. Setelah diizinkan, Al Ma'mun maju dan mencium kaki, tangan dan kepala sang ayah, selanjutnya mendatangi Zubaidah dan melakukan hal yang sama.

Setelah melakukan itu, Al-Mamun kembali ke tempat duduknya dan mengucap syukur akan keberadaan ibu yang baik.

Melihat itu, khalifah pun berkata. "Nak, aku akan memberikan kepadamu kepemimpinan ini dan mendudukkanmu di tempat kekhilafahan. Karena aku melihatmu layak untuk menjadi Khalifah."

Al Ma'mun menatap kedua orang tuanya dengan kaget, lalu tak lama setelah itu menangis dan memohon kepada Allah agar tidak mengambil ayahnya. "Dimi Allah, aku tak berhak atas tahta itu, hamba selalu berdoa pada Allah agar Dia memberimu umur yang panjang wahai, Ayah."

"Tidak putraku, demi Allah aku melihat bahwa kau sungguh layak menjadi seorang khalifah untuk menggantikan aku."

"Tidak, Ayah, saudaraku Al-Amin sesungguhnya lebih layak dariku. Dia putra tuan putriku. Menurutku ia lebih kuat dibandingkan aku untuk urusan kepemimpinan." Setelah mengatakan penolakan tegas itu, Al Ma'mun pun pamit keluar.

Harun dan istrinya masih di tempat duduknya. Selanjutnya meminta agar Al Amin datang menghadap. Al Amin datang dengan pakaian kebesarannya dan berjalan dengan angkuh. Dia langsung masuk dengan menggunakan sandalnya dan lupa mengucap salam. Dia terus berjalan hingga duduk sejajar dengan ayahnya di kursi. Tingkahnya membuat khalifah melirik Zubaidah, seolah mengatakan pada istrinya, 'lihat, beginilah adab putra yang kau banggakan'

"Bagaimana menurutmu, Nak, kalau aku ingin memberikan kepemimpinan ini kepadamu?"

"Wahai, Amirul Mu'minin, siapa lagi yang lebih berhak dibandingkan aku, karena Aku anakmu yang paling tua dan putra dari istri tercintamu."

Mendengar jawaban angkuh Al-Amin, Harun mengembuskan napas berat. Dalam hati dia sungguh merasa marah dan kecewa. Namun, berusaha menahannya. "Keluarlah, Nak," ujarnya kemudian.

Setelah ujian itu, dan Al-amin tak terlihat lagi, khalifah Harun berkata kepada istrinya. "Bagaimana pendapatmu setelah melihat antara anakku dan anakmu?"

Zubaidah terdiam sejenak lalu menjawab dengan jujur. Agaknya dia sudah tak lagi memiliki argumen untuk tetap mempertahankan putranya sebagai calon pewaris tahta. "Anakmu lebih berhak."

"Kalau begitu kamu telah mengakui kebenaran dan obyektif menilai yang kamu lihat."

Zubaidah pun mengangguk meski berat hati.

Namun, ternyata setelah semua tekad itu, ketika seharusnya khalifah Harun memberikan kepemimpinan kepada Al Ma'mun baru setelahnya pada Al Amin, justru pada tahun 186 H, Khalifah Harun Ar Rasyid mengajak anak-anaknya berikut staf dan keluarga kerabatnya untuk haji sekaligus menjadi saksi, atas surat perjanjian yang ditulis dan ditempel di Ka'bah.

Isi surat itu adalah pengganti setelah Harun adalah Al Amin dan setelahnya baru Al Ma'mun. Ajaib kan? Bukankah seharusnya Al Ma'mun baru Al Amin, seperti tekad khalifah Harun sejak awal. Perlu diketahui bahwa kedua anak khalifah Harun ini memiliki kompetensi kepemimpinan sebagaimana yang dikatakan oleh guru mereka: Al Kisai. Jawabannya sudah jelas, kenapa Harun justru mengubah pendiriannya?

Para ahli sejarah mengatakan bahwa inilah posisi Zubaidah di hati Harun. Walau Harun telah berhasil 'menaklukkan' Zubaidah bahwa yang berhak adalah Al Ma'mun di awal, baru Al Amin, dan Zubaidah pun telah mengakuinya.

Tapi tetap saja, permintaan awal Zubaidah menggema di hati Harun. Zubaidah yang memerankan istri terbaik di hati Harun, terlalu agung untuk 'disakiti'.

***
Hai hai Asaalamualaikm semua, akhirnya aku up lagi. Dialog di atas ada beberapa yang cuman fiksi ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top