18. Nasihat Seorang Ibu
"Kalian tahu tidak, semalam Yang Mulia Raja dan Ratu Zubaidah bertengkar lagi," ujar salah seorang dayang yang tengah berkerumun di dekat area pelayan.
"Oh, ya? Kali ini karena apa lagi? Apa karena selir Ayesha atau selir Areta?" tanya salah satu dari mereka penasaran.
"Bukan, kabarnya karena Ratu menolak Raja."
Jawaban itu kontan membuat semua orang kaget dan heboh. "Hah, ya am-"
"Ekhem ...." Halima sengaja batuk untuk menghentikan obrolan di antara para pelayan. Kehadiran wanita itu membuat beberapa dayang yang tengah asyik menggosipkan permaisuri pun syok. Mereka menatap Halima takut. "Nyonya Halima, Anda kenapa bisa di-"
"Jangan menyebarkan gosip yang belum tentu kebenarannya. Kalian mau aku laporkan pada Yang Mulia?"
Mendengar ancaman itu, dayang-dayang tersebut pun ketakutan. "Maafkan kami, Nyonya, kami benar-benar tak bermaksud untuk itu."
"Sudahlah, beri tahu saja yang lain agar berhenti menyebarkan rumor tak berdasar itu. Yang mulia raja dan ratu baik-baik saja, bahkan semakin harmonis." Tegas halima. Ucapanya dijawab anggukan paham oleh dayang-dayang itu.
Tak butuh waktu lama mereka pun akhirnya memilih pergi dari sana dengan langkah tergesa, karena tak ingin berurusan dengan Halima yang memang orang kepercayaan permaisuri. Sejak Zubaidah baru lahir, Halima memang sudah dipercaya untuk mengasuhnya. Itu mengapa permaisuri sangat mempercayai wanita itu.
"Halima, bagaimana dengan Ratu?"
Tiba-tiba seorang wanita paruh baya menegur Halima dengan wajah khawatir. Dialah Salsa, ibu kandung permaisuri Zubaidah.
"Syukurlah Anda akhirnya datang, Nyonya, saya sudah tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Ratu, mari ikut saya," ujar Halima.
Ajakannya dijawab anggukan oleh Salsal. Wanita itu memang berada di Mekah beberapa bulan ini untuk melaksanakan haji. Itu mengapa Salsal baru bisa menemui putrinya meski Halima sudah coba mengirim surat beberapa kali pada wanita bertubuh tinggi itu.
"Yang Mulia!" seru Salsal ketika dia sudah sampai di kamar permaisuri. Anzilla sedikit ayok kala wanita yang asing di matanya itu tiba-tiba memeluknya dengan erat.
"Akhirnya aku bisa menemui Anda, Yang Mulia, sebenarnya apa yang terjadi?" ujar Salsal terdengar sangat khawatir. Dia lalu mengurai pelukannya pada Anzilla yang dikiranya Zubaidah. Salsal mengamati kondisi putrinya dengan seksama, seolah memastikan bahwa tak ada sesuatu yang mencurigakan pada anaknya.
Anzilla hanya diam, dia menatap wanita di depannya dengan bingung, karena memang baru pertama kali melihat ibu kandung Zubaidah sejak dia di sana.
Halima yang menyadari kebingungan permaisuri pun memilih menginterupsi. Dia juga khawatir permaisuri akan bertingkah aneh di depan ibunya. "Syukurlah, ibu kandung permaisuri datang, silakan kalian bicaralah berdua. Saya pamit keluar, Yang Mulia," ujar Halima sambil menatap permaisuri, seolah memberi kode agar Anzilla paham bahwa yang kini ada di depannya adalah sang ibu.
Selepas kepergian Halima, Salsal pun kembali mengalihkan perhatianya pada Zubaidah. Dia menatap putrinya khawatir. Salsal pun menarik permaisuri agar duduk dan bisa leluasa bicara.
"Sebenarnya ada apa, Yang Mulia? Halima bilang sikap dan prilaku Anda belakangan ini berubah derastis. Apa benar Anda menolak Khalifah beberapa kali? Bahkan mengusirnya semalam?"
Anzilla terdiam mendengar pertanyaan itu, dia tak menyangka kejadian semalam bisa dengan cepat menyebar di istana seperti wabah. "Ck, ternyata di istana ini semua orang juga suka bergosip," gumam Anzilla kesal. Wanita itu sampai tak sadar bahwa sekarang Salsal tengah memperhatikan setiap ekspresinnya.
"Ternyata benar kata Halima, Anda benar-benar berubah." Salsal tanpa sadar mengatakan kalimat itu.
Anzilla pun terdiam, harusnya dia tak bertingkah aneh di depan ibu kandung Zubaidah, sebab sebagai ibu permaisuri, Salsal jelas tahu bagaimana sifat asli anaknya.
"Maksud ibu apa? Ada apa dengan sikapku? Apa menurut ibu aku yang sekarang aneh?" Anzilla menahan diri untuk tak mengatakan siapa dia sebenarnya, sebab jika sampai ketahuan bahwa dia bukanlah permaisuri yang asli, sudah bisa dipastikan nyawanya dalam bahaya karena dituduh sebagai penipu. Cukup dua dayangnya saja yang curiga.
"Zubaidah tak akan pernah memperlihatkan ekspresi sinis seperti tadi."
Anzilla kembali terdiam mendengar ucapan ibu kandung permaisuri. Dia berusaha tersenyum untuk menanggapi ucapan itu. "Sebenarnya aku memang sudah berubah, Ibu, kau tahu, kan, bagaimana keadaan di istana ini? Aku sepertinya mulai lelah memakai topeng. Itu mengapa aku ingin coba menjadi diri sendiri dengan berbicara apa adanya."
Salsal mengangguk paham. Dia meraih tangan Anzilla yang ada di pangkuan dan menggenggamnya. "Ibu tahu kau pasti lelah harus selalu berbagi hati dengan banyak wanita milik khalifah. Tapi kau juga harus ingat bahwa kau adalah permaisurinya, kau memiliki tempat yang istimewa bagi khalifah dan tak ada yang bisa menyangkalnya. Meski begitu, menolak khalifah ketika kau tengah marah karena cemburu adalah hal yang salah, Permaisuri. Apa kau tahu bahwa setiap wanita di istana ini bermimpi untuk bisa menggantikan posisimu. Jika kau lengah sedikit saja, maka posisimu akan hilang dalam sekejap. Jadi berusahalah melayani khalifah dengan baik dan penuh kasih sayang. Jangan sampai dia merasa tak membutuhkanmu. Apa lagi sampai tak melibatkanmu dalam mengambil semua keputusan besar."
Anzilla kembali terdiam mendengar nasihat itu. Sejujurnya dia juga tengah memikirkan khalifah Harun karena insiden semalam. Apa kali ini laki-laki itu benar-benar akan meninggalkannya dan memilih wanita lain sebagai ganti?
"Kalau begitu, menurutmu apa yang harus aku lakukan untuk membuat khalifah tak marah lagi, wahai, Ibu?" Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Anzilla setelah kediamannya.
"Mau tak mau, kita harus coba memakai cara lama. Hadiahkanlah satu budakmu yang paling cantik dan pintar untuk khalifah."
Mendengar saran ibu dari permaisuri, Anzilla memutar mata jengah. "Tak adakah saran yang lebih bagus dari itu? Kalau aku kembali menghadiahkan budak yang cantik dan pintar, apa ada jaminan dia tak akan mengingat Ayesha atau Areta?"
"Tentu saja, kau masih ingat, kan, saat dulu menghadiahkan sepuluh budak untuk suamimu gara-gara Dananir? Berkat cara itu akhirnya khalifah melupakan wanita itu. Walau harus berakhir tragis."
"Maksud, Ibu? Aku benar-benar menghadiahkannya sepuluh budak pada khalifah?" Anzilla bertanya dengan ekspresi wajah tak percaya. Sungguh khalifah Harun benar-benar pecinta wanita yang ulung. Batin Anzilla mengejek. Agaknya tuduhannya soal khalifah Harun adalah raja yang mesum adalah benar. Anzilla mendengkus kesel saat memikirkan itu.
"Tak ada waktu lagi untuk berpikir. Minta Halima untuk menyiapkan budak terbaik yang Anda miliki. Sementara aku akan berusaha meminta bantuan Ulayah agar dia bersedia mendamaikan kalian."
"Ah, Ulayah adik kandung khalifah yang sangat menyukai syair itu?" Anzilla bertanya karena ingin memastikan. Sebab selama dia di istana itu belum pernah bertemu secara langsung juga dengan Ulayah.
"Tentu saja, memang siapa lagi. Anda ini aneh sekali, Yang Mulia."
Anzilla hanya tersenyum gugup mendengar ucapan ibunya. Kemudian Salsal pun pergi untuk melaksanakan ucapannya menemui Ulayah.
"Hah, apa harus dengan syair-syair norak itu agar aku bisa berdamai dengannya? Sungguh menyebalkan," gumam Anzilla tanpa melepas perhatiannya dari Salsal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top