16. Cemburukah?
"Permaisuri, apa Anda tak mau mencoba berbaikan dengan khalifah secara resmi? Atau paling tidak berterimakasih lah pada beliau karena sudah membebaskan Zurah. Hamba yakin khalifah pasti akan senang kalau tahu Anda datang."
"Haruskah?"
"Tentu harus, Yang Mulia, belakangan ini khalifah sering sekali mengunjungi selir Ayesha, hamba hanya khawatir lambat laun posisi penting Anda di hati khalifah akan tergantikan."
Anzilla terdiam mendengar ucapan Halima, sejujurnya ada sedikit rasa tak nyaman di hati wanita itu setelah dia memikirkan semua ucapan sang pelayan setia. Mungkin Anzilla memang harus menyerahkan diri sepenuhnya pada khalifah. Selain agar dirinya tetap aman di sini, dia juga harus bisa mengorek informasi tentang keberadaan jam itu. Sebab sejak pertengkaran mereka dulu, Khalifah benar-benar membuktikan ucapannya dengan jarang menemuinya.
"Sadarlah, Yang Mulia, kekosongan yang khalifah rasakan karena ketidak hadiran Anda di sisinya untuk membantu mengambil keputusan besar, justru sangat berbahaya. Hamba khawatir kehadiran Anda tak lagi berpengaruh bagi pemerintahan. Apa lagi dari yang saya dengar, selir Ayesha ternyata memiliki wawasan luas. Beberapa waktu ini, khalifah sering berdiskusi banyak hal dengannya."
Lagi-lagi perkataan Halima mulai mengusik hati Anzilla, dulu dengan Areta dia tak pernah merasa begitu khawatir seperti ini. 'Mungkinkah karena fakta bahwa Ayesha jauh lebih memenuhi kualifikasi sebagai seorang permaisuri? Atau karena aku cemburu? Yang benar saja' batin Anzilla tak percaya. Namun, Membayangkan khalifah bersama Ayesha sepanjang hari saja dia benar-benar tak nyaman.
"Kalau begitu aku akan menemui khalifah dan minta maaf padanya. Tapi ingat, aku melakukan ini hanya demi posisiku, mengerti," ujar Anzilla pura-pura. Agaknya wanita itu belum bersedia mengakui secara langsung bahwa dirinya mulai terpikat dengan pesona dan kebaikan khalifah.
Halima mengangguk dengan senyum di bibirnya. Lalu mengikuti langkah permaisuri di belakang. "Ngomong-ngomong bagaimana kabar Zurah? Aku ingin coba menemunya dulu sebelum mendatangi khalifah. Jadi antara aku kesana sekarang, Halima."
"Baik, Yang Mulia, mari ikut saya."
Anzilla pun mengangguk dan mengikuti Halima menuju ke tempat para selir. Semua selir dan dayang yang berjaga di area itu terlihat kaget saat melihat kedatangan permaisuri ke sana. "Salam, Yang Mulia, ada apa gerangan hingga Anda mendatangi tempat kami yang hina ini?" tanya Areta.
"Aku ingin menemui Zurah, apa dia di sini?" tanya Anzilla sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
"Sayang sekali Anda telat, Yang Mulia, Zurah dan dua selir lain sudah pergi dari istana pagi tadi."
Anzilla hanya menjawab ucapan Areta dengan anggukan paham, sejujurnya dia agak kecewa karena berita itu. Padahal dia ingin bicara secara langsung dengan Zurah dan menanyakan beberapa hal.
"Maaf, Yang Mulia, Zurah meninggalkan surat ini untuk Anda," ujar salah satu selir yang berdiri di samping Areta.
Anzilla pun menerima surat itu dan menyerahkannya pada Halima agar bisa dibaca nanti. "Kalau begitu aku pamit, maaf karena mengganggu istirahat kalian."
"Tidak, Yang Mulia, kami juatru merasa tersanjung karena Anda bersedia datang ke sini."
Anzilla hanya mengangguk mendengar ucapan salah satu selir. Lalu dia benar-benar pergi dari sana.
"Yang Mulia, tunggu!" Panggilan Areta menghentikan langkah Anzilla. Wanita itu pun memutar tubuhnya dan melihat Areta berjalan menghampiri.
"Apa Anda tahu kalau sekarang khalifah sering mendatangi selir Ayesha? Bahkan mereka tengah berdiskusi di Baitul Hikmah saat ini, Yang Mulia. Tidakkah Anda merasa marah soal itu? Seorang selir rendahan seperti kami mana bisa mengantikan posisi mulia Anda."
Anzilla terdiam mendengar ucapan Areta, dia mengamati wanita itu sejenak. Dia tak boleh menerima mentah-mentah perkataan wanita jahat ini. Mengingat betapa liciknya Areta karena sudah memanfaatkan Ayesha untuk membunuhnya. Sekarang ketika wanita itu dekat dengan khalifah, Areta justru berbalik menyerangnya.
Anzilla tersenyum sinis saat memikirkan semua itu. Matanya menatap Areta tajam. "Jangan ikut campur urusanku dengan khalifah. Baik itu kau atau Ayesha, kalian harus ingat posisi kalian di sini. Kalian hanya selir, yang dijadikan khalifah sebagi tempat pelarian saat dia bosan, karena pada akhirnya dia akan selalu kembali padaku. Sedang aku adalah ibu negara ini. Jadi jangan berharap terlalu tinggi untuk bisa menggantikan posisiku."
Areta terlihat kaget dan takut saat menatap mata Anzilla yang menyiratkan kemarahan. Dia tak menyangka akan mendapat respon seperti itu dari permaisuri, mengingat dulu wanita di depanya selalu mengatakan tak peduli pada khalifah. "Maaf, Yang Mulia, hamba tak bermaksud seperti itu," ujar Areta menunduk takut. Dalam hati dia memaki sikap Zubaidah.
"Kau pikir aku bodoh, sampai tak tahu apa niatmu sebenarnya? Berhati-hatilah dengan semua tindakanmu, sebelum aku kehabisan kesabaran dan melaporkan semuanya pada suamiku. Kau pikir khalifah akan diam saja saat tahu kau coba menghabisi permaisurinya?" bisik Anzilla di telinga Areta, lalu pergi meninggalkan wanita itu yang gemetar menahan rasa marah dan takut.
Anzilla memacu langkahnya untuk menuju Baitul Hikmah. Sangking cepatnya langkah Anzilla, Halima dan Aliyah harus terseok-seok mengikutinya di belakang.
"Yang Mulia, bisakah Anda pelan-pelan saja jalannya? Hamba takut Anda terjatuh!" seru Halima khawatir.
"Benar, Yang Mulia, hamba tahu Anda saat ini tengah khawatir. Tapi yakin lah, semua akan baik-baik saja," timpal Aliyah.
"Mana mungkin aku bisa bersikap santai, sementara suamiku mulai terpikat dengan selir lain. Aku tak bisa membiarkan ini," ujar Anzilla tegas. Agaknya dia tak sadar sudah mengatakan kalimat itu tanpa ragu.
"Apa Anda sekarang mulai sadar, kalau Anda sangat mencintai khalifah, Yang Mulia?"
Pertanyaan Halima membuat langkah Anzilla terhenti. "Entahlah, aku juga tak mengerti kenapa aku seperti ini. Membayangkan khalifah bersama Ayesha sepanjang hari, hatiku rasanya tak menentu, Halima."
Halima dan Ayesha ikut bersedih saat mendengar ucapan lirih permaisuri. "Haruskah kita lakukan cara lama dengan menghadiahkan selir baru untuk khalifah? Agar beliau tak lagi fokus hanya pada Ayesha." Halima memberi usul.
"Kita pikirkan itu nanti, aku ingin cepat sampai ke Baitul Hikmah."
Begitu membuka pintu, di depan sana Khalifah dan Ayesha memang tampak tengah mendiskusikan sesuatu. Ayesha langsung bangkit begitu melihat permaisuri berjalan ke arah mereka dengan langkah anggun tapi tegas.
"Kau di sini juga, selir Ayesha?" tanya Anzilla sambil mengarahkan tatapan mengintimidasi.
"Maafkan hamba, Yang Mulia," ujar Ayesha sambil menunduk takut, sebab dia bisa merasakan aura kemarahan dalam tatapan permaisuri.
"Untuk apa minta maaf, aku tahu khalifah sedang membutuhkanmu saat ini untuk berdiskusi, karena belakangan ini aku terlalu sibuk."
Ayesha terdiam mendengar ucapan permaisuri. Dia menangkap kecemburuan pada setiap kalimat wanita itu.
"Kebetulan kau datang, Permaisuri, aku dan selir Ayesha sedang berdiskusi tentang beberapa hal."
Menyadari bahwa permaisuri mungkin ingin bicara berdua dengan khalifah, Ayesha pun membuka suaranya. "Hamba pamit pergi, Yang Mulia," ujarnya. Khalifah hanya menanggapi ucapan Ayesha dengan anggukan, sedang Anzilla hanya, melirik wanita itu tanpa minat.
"Ada apa, permaisuri? Kau sepertinya sangat tergesa-gesa datang ke sini."
Anzilla terdiam sejenak sambil menatap khalifah lama. Lalu memilih duduk di depan suaminya. "Saya ke sini ingin meminta maaf pada Anda, Yang Mulia, maaf karena beberapa waktu yang lalu saya sering membuat onar, bahkan melupakan kewajibanku sebagai ibu negara ini. Terima kasih juga karena sudah membebaskan Zurah."
Mendengar kalimat penyesalan itu, khalifah pun bangkit dan mendekati Zubaidah agar bisa duduk di samping wanita itu. Tanpa di duga, khalifah tiba-tiba meraih tangan istrinya untuk digenggam.
"Aku sudah memaafkan mu, tapi berjanjilah jangan mengabaikan aku lagi."
Mendengar ucapan khalifah, Anzilla pun tersenyum lalu mengangguk. "Jadi, ada yang bisa aku bantu tentang semua ini?" Anzilla berusaha mengalihkan topik pembahasan agar menghindari suasana canggung yang ada. Pandangannya kini dia arahkan pada beberapa lembar catatan yang ada di atas meja.
Khalifah pun tersenyum, gestur tubuhnya berubah menjadi lebih bersemangat. Dia pun ikut mengalihkan perhatian pada buku-buku di meja.
"Sejujurnya aku ingin membuat beberapa kebijakan baru tentang ilmu pengetahun yang ada di sini. Apa kau memiliki ide, permaisuriku?"
Anzilla terdiam sejenak, dia berusaha mencari sebuah jawaban yang sesuai agar tak mengucapkan kalimat asal. "Emm ... bagaimana kalau kita undang beberapa ilmuan ke Baghdad untuk menjadi pengajar di sini, sebelum itu kita adakan diskusi dulu dengan mereka. Berdasarkan perkembangan zaman, majlis ilmu pengetahuan akan berubah menjadi sebuah sistem pendidikan formal. Di mana setiap bagian ilmu memiliki ahlinya masing-masing dan setiap murid diwajibkan datang setiap hari, kecuali di hari libur yang sudah di tentukan. Menurutku, kita perlu membuat Baitul Hikmah menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dengan menghadirkan para pengajar yang sudah teruji. Agar keberadaan tempat ini membuat orang-orang dari negeri luar terutama Eropa, berbondong-bondong datang dan mengakui kehebatan dinasti Abbasiyah, terutama Anda, Yang Mulia."
Khalifah tersenyum senang mendengar jawaban permaisuri. "Syukurlah kau datang ke sini, tadinya aku sudah bingung harus bagaimana karena tak memiliki ide, terima kasih permaisuriku, kau memang selalu luar biasa," ujar khalifah. Lalu tiba-tiba memeluk permaisuri dengan erat.
Anzilla syok, jantungnya berdetak sangat keras ketika khalifah melakukan hal takterduga itu. Tapi beberapa detik kemudian, senyum samar tersungging di bibirnya. "Ngomong-ngomong, dulu Anda bilang ingin menghadiahkan sebuah jam pada Karel Agung? Apa itu bagian dari misi juga, agar kerajaan Karoling mengakui kehebatan Anda?" tanya Anzilla dalam pelukan khalifah. Dia sengaja menyinggung soal jam itu.
Mendengar pertanyaan itu, khalifah pun mengurai pelukan kemudian tersenyum. Dia memegang bahu Zubaidah sambil menatap istrinya, lalu mengangguk sebagai jawaban. "Ya, aku berencana membuat jam itu agar Karel Agung tahu, bahwa negara kita sudah jauh lebih maju."
"Ah, aku dulu berjanji akan mengajakmu melihat jam itu, kan? Ayo ikut," sambung Khalifah, lalu menarik tangan permaisuri agar mengikuti langkahnya.
***
Waah kira-kira bagaimana ya reaksi Anzilla pas nanti lihat jam itu? Btw soal jam ini beneran nyata ya guys. Perlu kalian tahu, bahwa peradaban islam sebenarnya jauh lebih maju dari Eropa di abad pertengahan. Sayangnya jam itu dihancurkan oleh raja Carlemagne hingga tak tersisa bentuknya dan hanya sebuah catatan yang menunjukan kebenaran tentang hadiah jam itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top