14. Berkunjung ke Negeri Para Nabi
Usai semua peristiwa menghebohkan tadi, Anzilla pun memutuskan bangkit lalu mengalihkan perhatian pada dua penjaga yang berdiri di belakangnya. Sementara orang-orang yang tadi berkerumun satu-persatu sudah mulai membubarkan diri. "Aku ingin membangun sebuah klinik pengobatan gratis untuk semua orang di sekitar kota. Di mana para petugasnya harus siap siaga, agar kelak jika ada kejadian seperti tadi bisa cepat ditangani."
"Klinik?" ajudan dan pelayannya bertanya heran, karena mereka tak tahu apa itu 'klinik'
"Ah, maksudku sebuah tempat pengobatan, yang di dalamnya disediakan tabib, asisten tabib, dan obat-obatan lengkap, apa kalian paham? Tapi aku ingin semua orang bisa mendatangi tempat itu tanpa dipungut biaya."
"Masya Allah, Anda baik sekali, Yang Mulia," puji dua pelayan dan dua penjaga di depannya.
"Tapi Anda harus mendiskusikannya dulu dengan khalifah, Yang Mulia," ujar Halima memberi saran.
Anzilla diam sejenak dan menatap ke arah para pelayannya. "Haruskah?" Permaisuri memastikan. Tentu saja pertanyaannya dijawab anggukan setuju semua orang.
"Tapi ...." Anzilla menggantung kalimat ragu, haruskah dia menuruti perkataan Halima? Sementara beberapa hari ini khalifah bahkan tak bersedia mengajaknya bicara. 'Tapi kenapa ajudan nya malah dikirim ke sini?' batin Anzilla kala dia menyadari ada Hasan di sana. Wanita itu pun mengalihkan perhatian pada ajudan raja.
"Kau kenapa mengikuti kami sampai ke sini, Hasan? Apa Yang Mulia raja menyuruhmu?"
"Ya, Yang Mulia, beliau ingin agar saya menjaga Anda."
Mendengar jawaban itu, Anzilla terdiam. Sedikit tak menyangka kalau khalifah diam-diam masih memerdulikannya. 'Hah, dia pikir dengan melakukan itu, pendapatku tentangnya akan berubah? Aku justru semakin kasihan pada wanita pemilik tubuh ini, punya suami gemar sekali mengoleksi wanita. Kemarin Areta yang jadi perhatian, sekarang ganti lagi' batin Anzilla berusaha menepis kekagumannya akan sikap khalifah.
"Kalau begitu aku ingin menemunya sekarang, ayo, Halima," ujar Anzilla akhirnya, lalu pergi mendahului semua pelayan.
"Anda yakin akan menemui khalifah, Yang Mulia? Bukanya kata Anda sudah tak peduli lagi soal beliau?" goda Halima.
Ucapan wanita itu membuat Anzilla menghentikan langkah dan menatapnya kesal. "Aku menemuinya hanya ingin membicarakan soal pembangunan tempat pengobatan, tak lebih dari itu," ujar Anzilla mempertegas, lalu kembali melanjutkan langkah.
Tak butuh waktu lama, setelah sampai di istana Anzilla pun memilih langsung menemui khalifah di aula kerajaan. "Assalamualaikum, apa kau sedang si-" Anzilla tak jadi melanjutkan kalimat ketika dia mendapati ada beberapa mentri sedang berdiskusi dengan khalifah di ruangan itu.
"Ah, aku pergi saja kalau be-"
"Tunggu, Permaisuri!" seru Khalifah menghentikan Anzilla yang hendak beranjak. Pandangannya lalu beralih pada beberapa menteri di sana. "Kalian pergilah, biarkan aku bicara dengan permaisuriku dulu," sambung khalifah. Ucapannya dijawab anggukan oleh semua mentri.
Khalifah pun akhirnya memfokuskan perhatian pada permaisuri yang berdiri di depannya. "Ada apa? Apa kau sudah menyadari kesalahanmu sampai berani menemuiku sekarang?"
Mendengar perkataan suaminya, Anzilla memutar mata jengah, dia mencoba untuk bersikap lembut dan hormat meski setiap kali melihat wajah khalifah dia ingin mengumpat. Apa lagi saat mengingat bahwa laki-laki ini selalu bermain-main dengan wanita. "Aku ke sini hanya ingin mengusulkan pada Yang Mulia, kalau aku hendak membangun sebuah tempat pengobatan gratis bagi rakyat kota Baghdad atau bahkan di seluruh negeri ini kalau bisa."
Khalifah terdiam sejenak sambil menatap istrinya. Agaknya dia mulai menyadari perubahan sikap Zubaidah. Dari yang sangat tak sopan dan kasar menjadi sedikit lembut. Khalifah selalu menyukai sifat percaya diri dan pemberani istrinya dalam hal mengambil keputusan besar. "Apa yang membuatmu terpikirkan soal hal itu?" tanya khalifah setelah berpikir cukup lama.
"Tadi di pusat kota, ada seorang laki-laki yang hampir saja meninggal karena tak adanya tenaga pengobatan yang berjaga di sekitar sana. Kalau bisa aku ingin meminta persetujuan Yang Mulia, agar di beberapa titik disediakan petugas kesehatan, untuk mengantisipasi hal yang sama terjadi lagi. Jadi penanganan darurat bisa lebih cepat dan maksimal."
Khalifah terdiam mendengar ide permaisuri. Di kota Baghdad memang sudah ada beberapa tempat pengobatan yang dibangun. Tapi khalifah tak pernah terpikir untuk melakukan hal yang diusulkan istrinya. Yaitu menyediakan tenaga medis di titik tertentu yang siap siaga untuk keadaan darurat.
Sangking terlalu senang dan bersemangatnya khalifah saat mendengar permintaan Zubaidah, dia pun bangkit lalu mendekati permaisuri. "Pemikiran mu yang cerdas memang selalu membuatku terpukau, Permaisuriku. Tentu saja aku akan mengabulkan permintaan itu," ujar Khalifah sambil memegang bahu petmaisuri. Tatapan bangga dia arahkan pada istrinya.
Anzilla hampir saja tenggelam dalam pujian dan perlakuan lembut itu, kalau saja dia tak ingat tujuan awalnya mendatangi khalifah. "Satu lagi, aku ingin mengunjungi Filistin," ujarnya, lalu menepis tangan khalifah di bahunya dengan lembut. Anzilla hanya takut akan terbawa suasana jika dia terus menatap mata abu-abu khalifah yang penuh karisma.
Tanpa di duga, khalifah kembali tersenyum setelah mendengar permintaan permaisuri. "Tentu saja boleh, Cintaku, Kekasih hatiku. Kebetulan aku juga akan ada kunjungan ke Damaskus, nanti sekalian saja kita pergi ke sana bersama. "
"Tap-"
"Tak ada aksi penolakan, Permaisuri, kau tahu aku tak suka dibantah ... satu lagi, jangan coba-coba berpergian keluar istana sendiri tanpa penjagaan. Kau tahu seberapa bahayanya di luar sana?" khalifah menekankan kalimat sambil mengarahkan tatapan tegas pada istrinya.
Tatapan khalifah yang mengintimidasi, membuat Anzilla akhirnya mengangguk patuh. Panggilan sayang khalifah tadi membuatnya sedikit merasa geli. Sebab Anzilla bukan tipe orang yang menyukai hal-hal berbau rayuan. Meski begitu dia lebih memilih berusaha menahan rasa gelinya agar tak mengumpat. "Oke, kalau begitu aku akan pergi," pamit Anzilla akhirnya.
"Hanya itu?"
Anzilla menautkan alis mendengar pertanyaan khalifah yang terdengar ambigu. "Memang apa lagi?"
"Apa kau tidak rindu pada susmimu ini, Permaisuriku?"
"Bukanya kau sudah memiliki selir kesayangan baru? Untuk apa masih peduli pada perasaanku."
Jawaban Anzilla membuat khalifah tersenyum jenaka, dia berpikir bahwa istrinya tengah cemburu.
"Apa kau sudah dengar soal selir Ayesha? Apa kau cemburu padanya sekarang?"
Anzilla kembali memutar mata jengah karena ucapan narsis khalifah. "Aku hanya mengasihani diriku karena memiliki suami seperti Anda," gumam wanita itu nyaris seperti bisikan.
"Sudahlah, aku pergi saja, bye!" sambungnya, lalu pergi begitu saja setelah mengucap kata 'bye' sambil mengangkat tangan.
"Apa itu 'bye' Permaisuri?!" seru khalifah penasaran, tapi Anzilla tak mengindahkan pertanyaan itu.
"Dasar laki-laki narsis, dia pikir aku peduli soal selir barunya, hah," gumam Anzilla kesal tanpa menghentikan langkah. Di belakangnya khalifah hanya tersenyum melihat tingkah permaisuri.
***
Anzilla terpukau ketika kakinya menapaki tanah Yerusalem, sebuah kota suci tiga agama. Di depan gereja suci umat kristiani, berdiri dua bangunan keagamaan Islam yang penting yaitu al-Jami'a al-Aqsa dan Kubah Batu (Qubbat al-Sakhra ). Kubah Batu itu dibangun di tempat, di mana umat Islam percaya bahwa Nabi Muhammad memulai perjalanan malamnya ke surga.
"Filistin di bawah kekuasaan Islam saat ini, berkembang menjadi sebuah wilayah yang multikultur. Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi yang berdiam di wilayah ini hidup berdampingan secara damai dan tertib. Sejak awal menaklukkan wilayah Filistin, penguasa Islam tidak pernah memaksakan agamanya kepada penduduk setempat. Mereka tetap diperbolehkan menganut keyakinan lama mereka dan diberi kebebasan beribadah," terang seorang wanita cantik yang menemani Anzilla. Dia adalah istri dari gubernur Filistin.
Anzilla tersenyum sedih setelah mendengar cerita itu dari mulut istri gubernur, karena faktanya sangat kontras sekali dengan apa yang tengah terjadi di masa depan, di mana keadaan Filistin sangat porak-poranda. Anzilla mengusap air matanya yang jatuh, kala mengingat bagaimana kondisi Negeri para Nabi ini kelak akan hancur karena ulah Zionis. Barangkali memang benar, bahwa islam bukanlah agama yang buruk dan radikal seperti yang diberitakan media Barat, apa lagi setelah Anzilla melihat sendiri bagaimana orang islam memperlakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani dengan baik. Jauh lebih baik dibanding berada di tangan kekuasaan Bizantium.
"Anda kenapa menangis, Yang Mulia?" tanya istri gubernur Filistin yang berdiri di sampingnya.
"Aku hanya tengah merasa terharu karena bisa mengunjungi tempat suci ini dengan damai. Andai kau tahu gambaran apa yang aku lihat tentang Filistin, mungkin kau juga tak akan bisa menahan tangismu."
Mendengar jawaban Anzilla, wanita bertubuh semampai itu mengernyit bingung. Namun, dia lebih melih tak banyak bertanya.
"Apa di sini orang-orang selain yang beragama islam mendapat hak yang sama dari pemerintah?" tanya Anzilla.
"Demi Allah, Yang Mulia, Khalifah Harun adalah pemimpin paling baik dan adil yang pernah kami miliki. Di tangan beliau kami semua hidup makmur dan sentosa tanpa memandang asal-usul kami. Jika dulu orang di luar bangsa Arab selalu di nomor duakan, maka sekarang tidak lagi. Kami bahkan memilki kesempatan yang sama untuk memperoleh kedudukan di pemerintah."
Anzilla mengangguk paham, dia mengedarkan pandangan pada sekeliling tempat itu, di mana pemandangan Laut Mati yang membentang di depan sana tampak berkilauan. Pohon kurma, pohon zaitun, dan semangka tumbuh subur dan memberikan kehidupan yang layak untuk para rakyatnya. Seandainya keadaan ini masih bertahan hingga di masa depan, Anzilla yakin Filistin akan jadi negara yang paling aman dan makmur, seperti sabda Nabi.
Karena terletak di pertengahan negara-negara Arab, membentuk kombinasi geografis yang natural dan humanistik. Lokasi strategis yang dinikmati Filistin memungkinkannya untuk menjadi faktor penghubung antara berbagai benua Asia, Afrika dan Eropa. Filistin juga menjadi tempat yang dijadikan pintu masuk bagi perjalanan ke negara-negara tetangga. Ia menjadi jembatan penghubung bagi manusia sejak dahulu kala, sebagaimana ia juga menikmati lokasi sentral yang memikat sebagian orang yang mau bermukim dan hidup dalam kemakmuran.
Anzilla mengembuskan napas berat, berusaha menghalau rasa sesak di dadanya. "Sangat disayangkan, karena sebuah keserakahan, tempat seindah ini akan berakhir luluh lantak di tangan Zionis. Sebagai keturunan Yahudi, aku benar-benar merasa malu karena ulah mereka," gumam Anzilla, lalu memilih melanjutkan perjalanan untuk melihat-lihat kota.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top