13. Belajar Mengambil Peran Permaisuri

"Assalamualaikum, Yang Mulia, maaf kalau kedatangan hamba mengganggu istirahat Anda, saya hanya ingin menyampaikan kalau persiapan untuk acara penyambutan bagi gubernur Filistin sudah selesai. Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Yang Mulia?"

Anzilla mengakhiri kegiatannya membaca saat dia mendengar suara Baseera, seorang pelayan yang bertugas mengurus masalah keuangan harem.

"Ah, ya, nanti akan aku tinjau ulang persiapannya," jawab Anzilla singkat. Anzilla memang memutuskan mengundang gubernur Filistin ke istana untuk membicarakan soal perkembangan kondisi di wilayah itu saat ini. Keingintahuannya soal Filistin, didorong peristiwa di masa depan yang tengah terjadi pada negara itu. Anzilla ingin mengetahui sejarah sebenarnya, sebab doktrin yang diterimanya dari kecil hampir selalu mengagung-angungkan bangsa nenek moyangnya. Untuk itu, agar dia yakin bahwa keputusannya untuk menerima islam adalah hal yang benar, dia harus mencari tahu dari mana titik awal konflik itu di mulai.

Baseera pun mengangguk lalu kembali membuka suara. "Oh, ya, Yang Mulia, tadi Khalid juga berpesan pada saya, bahwa tempat pengobatan geratis yang kemarin Anda usulkan untuk dibangun sudah selesai masa pengerjaannya, dan siap untuk dijalankan mulai besok. Apa Anda bersedia untuk datang ke sana?"

Pertanyaan Baseera kembali dijawab anggukan oleh Anzilla, dia hampir saja lupa soal klinik itu, karena terlalu fokus mempelajari banyak hal soal Zubaidah beberapa waktu ini. "Ya, suruh siapkan penjaga agar mengantarku ke sana. Aku akan siap-siap dulu."

Baseera pun mengangguk setelah mendengar jawaban permaisuri.

"Apa Anda yakin akan keluar dari istana sendiri tanpa khalifah, Yang Mulia?" tanya Halima usai kepergian Baseera.

"Tak perlu, khalifah pasti tengah sibuk memikirkan urusan kenegaraan lain, aku tak ingin mengganggunya. Lagi pula ini semua tanggung jawabku."

Jawaban Anzilla hanya ditanggapi Halima dengan anggukan setuju. Dia sungguh amat bahagia melihat perubahan sikap permaisuri belakangan ini. Dari yang selalu implusif menjadi jauh lebih tenang, sesuai janjinya kala itu.

Sejak khalifah memarahinya habis-habisan, Anzilla seolah benar-benar berniat merubah semua perangainya dan menerima keadaan yang ada. Termasuk berusaha memenuhi semua tugasnya sebagai seorang permaisuri. Setelah banyak mendengar cerita tentang kedermawanan Zubaidah, dia menjadi termotivasi untuk berbuat hal yang sama.

Seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu, ketika Anzilla tiba-tiba terpikir untuk keluar dan melihat rakyat negeri ini lebih dekat. Kala itu, hubungannya dengan khalifah masih dingin. Anzilla yang merasa sangat bosan tiba-tiba bicara pada Halima.

"Halima, bisa ajak aku keluar? Aku ingin melihat bagaimana keadaan di luar istana ini? Aku dengar ada banyak hal menarik."

"Tapi, Yang Mulia, jika Anda keluar pasti rakyat akan heboh, akan ada banyak orang berkumpul, dan itu bisa membahayakan nyawa Anda." Halima mencoba memperingatkan permaisuri agar dia memikirkan kembali keinginannya.

"Kita bisa diam-diam saja ke sana, cukup aku, kau dan Aliyah. Kita lakukan penyamaran agar tak ada yang mengenaliku. Aku hanya ingin melihat kebiasaan rakyat di negeri ini." Anzilla menatap Halima dengan pandangan memohon.

"Tapi kalau khalifah tahu Anda keluar secara diam-diam tanpa penjagaan, dia pasti marah, Yang Mulia."

"Ck, aku tak yakin soal itu. Dia pasti sedang sibuk dengan urusannya sendiri, terlebih dengan selir barunya, Ayesha. Sekarang wanita itu kan yang sedang jadi buah bibir di istana? Kau seperti tak tahu saja soal itu," ketus Anzilla.

"Jangan begitu, Yang Mulia, sudah pernah saya bilang, kan, walaupun beliau memiliki banyak wanita, tetap saja pada akhirnya beliau akan kembali pada Anda. Lagi pula kalau khalifah tahu wanita itu pernah ingin mencelakakan An-"

"Jangan kencang-kencang, Halima. Nanti ada yang dengar," bisik Anzilla mengingatkan. Halima hanya bisa membekap mulutnya, lalu menengok kanan-kiri untuk memastikan tak ada orang di sana, dia merasa kelepasan bicara

"Sudahlah, aku tak peduli soal dia, lebih baik siapkan saja pakaian yang tidak mencolok untukku, dan kita keluar untuk berjalan-jalan. Aku benar-benar tak sabar ingin melihat dari dekat kota ini," potong Anzilla dengan semangat. Sebagai seorang penggila traveling, mendengar kata 'jalan-jalan' wanita itu tentu sangat senang. Apa lagi membayangkan akan mengeksplor tempat bersejarah di masa keemasan islam ini, tentu akan jadi sebuah pengalaman baru yang tak akan terlupakan.

Halima hanya bisa mengembuskan napas berat dan terpaksa mengangguk, dari pada terus mendengar rengekan permaisuri yang tak ada hentinya.

Tak butuh waktu lama, setelah mempersiapkan penyamaran lengkap dengan sebuah cadar. Anzilla dan dua dayangnya pun kini sudah berada di luar istana, di tengah kerumunan manusia yang berlalu-lalang di tengah alun-alun kota. Sedang beberapa penjaga yang diam-diam diperintahkan khalifah, mengikuti mereka agak jauh dari belakang.

Anzilla mengedarkan pandangan pada seluruh sudut kota itu. Selama dirinya terjebak di tubuh Zubaidah, ini kali pertama dia benar-benar bisa melihat keindahan kota Bahdad. Anzilla sampai tak hentinya berdecak takjub kala melihat ke sekelilingnya. Walau tak semewah gedung-gedung di masa depan, tapi Bagdad benar-benar megah untuk ukuran ibu kota di abad ke delapan. Ternyata sejarah yang mengatakan bahwa kota Baghdad di masa lalu adalah peradaban yang maju bukanlah isapan jempol belaka. Di saat bangsa Eropa tengah tenggelam dalam kegelapan, Dinasti Abbasiyah justru tengah menapaki masa keemasannya.

Uniknya, tata kota Bagdad dirancang berbentuk bundar. Sehingga, Bagdad pun dijuluki sebagai Kota Bundar pada masa khalifah. Bak sebuah benteng pertahanan, sekeliling Bagdad dipagari tembok sebanyak dua lapis tembok yang besar, dan tingginya mencapai 90 kaki. Di luar tembok dibangun parit. Seakan terinspirasi dengan Perang Khandaq pada zaman Rasulullah, parit itu digunakan sebagai saluran udara dan benteng pertahanan.

Selain itu, di tengah kota bertengger Istana Khalifah nan megah yaitu Al-Qasr Az-Zahabi atau istana Emas. Keindahan dan kemegahannya menunjukkan kehebatan Dinasti Abbasiyah. Untuk mempertegas keislaman, di samping istana berdiri Masjid Jami Al-Mansur atau sekarang disebut Masjid 17 ramadan, seluas 100 x 100 meter. Kubahnya menjulang tinggi ke langit setinggi 130 kaki.

Kota Baghdad juga dilengkapi bangunan pengawal istana, polisi, pasar dan tempat belanja. Untuk menuju pusat kota Bagdad, para pengunjung bisa melalui empat gerbang. Di sebelah Barat Daya terdapat gerbang Kufah, di arah Barat Laut terdapat Gerbang Syam, di Tenggara disediakan gerbang Basrah dan gerbang Khurasan terletak di arah timur laut. Di setiap pintu gerbang terdapat menara pengawas dan tempat beristirahat dengan dekorasi ukiran-ukiran nan indah.

Meski Khalifah Harun sekarang telah memindahkan ibukotanya ke Raqqah, Baghdad tetap menjadi pusat administrasi, di mana segala perputaran ekonomi masih terjadi di sana. Anzilla juga belum pernah mendatangi istana di Raqqah itu sejak dia masuk ke tubuh Zubaidah, karena dia memilih tetap berada di Baghdad.

"Wah ... aku tak menyangka di sini sangat ramai sekali. Aku ingin melihat-lihat sebentar," ujar Anzilla sambil berlari kecil menuju stan penjual di sana.

Melihat tingkah permaisuri yang tak biasa, halima dan Aliya saling berpandangan. Mungkin keduanya bingung karena permaisuri mereka bertingkah seolah baru saja melihat hal yang menakjubkan. Padahal sudah tak terhitung berapa kali Zubaidah datang ke sana, walau dulu setiap berkunjung permaisuri tak perlu melakukan penyamaran seperti saat ini.

"Wah, ini menarik sekali," gumam Anzilla dengan senyum lebar ketika dia sudah sampai di depan penjual yang dituju.

"Silakan, Nyonya, apa ada yang Anda cari?"

"Ah, sepertinya aku akan membeli beberapa alat tulis dan buku," ujarnya pada si penjual dengan ramah. Mungkin dia bisa menggunakan alat tulis itu untuk menulis diary. Walau di istana ada banyak sekali alat tulis, tetap saja Anzilla merasa ia harus membelinya untuk mengabadikan semua momen yang dia lalui.

Ketika tengah asyik memilih, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari belakang. Halima yang melihat orang-orang mulai berkerumun langsung merapatkan diri di samping permaisuri, untuk melindungi wanita itu agar tidak mengalami luka atau ditabrak orang yang berlarian.

"Ada apa itu, Halima?"

"Sepertinya ada seseorang yang pingsan, Yang Mulia," jawab Aliyah, gadis itu rupanya sudah mencari tahu pada beberapa orang di sana.

Mendengar jawaban tersebut, Anzilla merasa harus melakukan sesuatu. "Aku ingin ke sana," ujarnya, lalu pergi begitu saja untuk menuju ke tengah kerumunan.

"Yang Mulia, tunggu!" seru Halima panik lalu mengejar permaisuri dengan tergesa. Wanita itu sungguh sangat mengkhawatirkan Zubaidah, yang dia pikir tak ada penjagaan dari siapa pun.

"Tak perlu khawatir, Nyonya Halima, lihatlah," ujar Aliyah sambil menunjuk dua orang laki-laki bertubuh tegap yang kini berada di antara sisi kanan dan kiri permaisuri. Tak perlu belajar jadi cenayang untuk tahu mereka siapa, sebab dari postur tubuh saja sudah keliatan kalau keduanya adalah orang-orang khalifah, meski pakaian yang mereka gunakan sama seperti rakyat biasa.

"Itu bukannya Hasan, ajudan raja? aku yakin mereka dikirim khalifah diam-diam karena tahu permaisuri sedang keluar tanpa izin."

Mendengar ucapan Aliyah, Halima pun memicingkan matanya, lalu mengangguk membenarkan. Kedua pelayan itu akhirnya ikut menyusul di belakang.

"Gawat, jantungnya berhenti berdetak," gumam Anzilla panik setelah dia memeriksa denyut nadi orang yang pingsan tersebut. Rupanya wanita itu kini sudah berada di tengah kerumunan, sedang berusaha menolong laki-laki paruh baya yang tergeletak tak sadarkan diri. Sedang di sampingnya ada seorang wanita yang mendekap kepalanya dengan erat dan putus asa, beserta seorang anak kecil yang menangis.

"Cepat panggil Am-" Anzilla tak melanjutkan kalimat, saat mengedarkan pandangan pada semua rakyat yang tengah berkerumun. Wanita itu baru menyadari bahwa kini dirinya tengah berada di abad ke delapan, dimana tenaga medis yang memadai tentu belum ada. 'Mana ada mobil ambulans di zaman ini, Anzilla' rutuknya pada diri sendiri.

Anzilla berusaha tetap berpikir positif meski dalam kepanikan, sampai akhirnya sebuah ide terlintas di kepalanya.

"Tolong baringkan dia dengan posisi telentang, aku akan coba menolongnya," ujar Anzilla pada wanita di depannya, lalu dengan cepat dia membuka baju bagian atas laki-laki itu agar bisa melakukan CPR.

Anzilla mulai meletakkan salah satu telapak tangan pada bagian tengah dada laki-laki itu, tepatnya pada sepertiga tulang sternum. Sedangkan telapak tangan lainnya diletakkan di atas tangan tersebut. Lalu dilanjutkan dengan melakukan metode push fast, yaitu penekanan dada pasien sebanyak 100 - 120 kali per menit atau 1 - 2 kali per detik. Dengan napas terengah dia pun mulai menghitung setiap tekanannya sambil memastikan penekanan dada tersebut memiliki kedalaman 5 - 6 centi atau push hard. Beruntung ayahnya dulu sering mengajari Anzilla teknik CPR ini.

Awalnya, semua orang dibuat heboh dan bertanya-tanya saat tadi Anzilla tiba-tiba membuka baju bagian atas laki-laki itu. Namun, semua orang kembali tercengang kala usaha yang dia lakukan akhirnya membuahkan hasil. Suara pujian pada Allah pun menggema di sekeliling Anzilla, tatkala Laki-laki yang dirinya tolong kembali bernapas dengan kencang dan cepat seolah baru saja bangkit dari kematian. Anzilla tanpa sadar terduduk lemas, dia lega sekali saat melihat keluarga kecil itu kini saling berpelukan. Dengan tangis bahagia, wanita itu tersenyum di balik cadar saat melihat pemandangan mengharukan di depannya.

"Terimakasih, Nyonya, saya tak tahu lagi harus bagaimana kalau tadi tidak ada Anda," ujar wanita yang Anzilla yakin adalah istri laki-laki tadi, sambil memegang tangannya dengan erat. Anzilla masih bisa merasakan getaran pada tangan wanita itu, karena peristiwa yang hampir merenggut nyawa suaminya.

Dalam dua puluh empat tahun usianya, itu kali pertama Anzilla merasakan sebuah ketulusan dalam hatinya ketika melakukan kebaikan. Terlebih saat dia menatap mata coklat wanita di depannya yang mengeluarkan air mata, sedang mulutnya tak berhenti mengucap tasbih. Dia tahu bahwa air mata itu adalah air mata kebahagiaan. 'ternyata begini rasanya ketika hidupmu bisa bermanfaat untuk orang lain' batin Anzilla senang.

"Demi Allah, ini semua berkat pertolongan Allah, aku hanya melakukan usaha yang aku bisa. Setelah dari sini tolong suruh siamimu beristirahat dengan cukup. Aku akan mengirim orangku ke rumahmu, agar mereka memberi suamimu pengobatan yang layak, dan juga makanan untuk kalian sementara suamimu tidak bekerja."

Perkataan Anzilla membuat keluarga itu kembali mengucapkan terimakasih padanya berkali-kali. Bahkan suara tepuk tangan dan sorakan terdengar setelahnya.

"Masya Allah ... Masya Allah!

"Semoga Allah melimpahkan berkahnya padamu wahai, Hamba Allah Yang Dermawan!"

Suara seluruh rakyat terdengar saling bersahutan.

***

Catatan : semua peristiwa dan dialog di atas murni imajinasi ya, kecuali beberapa sejarah yang aku sebutkan. Termasuk soal istana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top