12. Konspirasi

"Ada apa ini, Halima?" Anzilla bangkit dan menatap Halima penasaran. Para pelayan pun sudah tampak memegangi kedua tangan Ayesha agar wanita itu tak bisa kabur.

"Sepertinya dia mencoba meracuni Anda, Yang Mulia."

Mendengar jawaban Halima, Anzilla terdiam, perasannya campur aduk. Dia mengalihkan perhatian pada wanita bernama Ayesha lalu mendekatinya. "Apa benar yang dikatakan pelayan setiaku?" Anzilla memastikan.

Meski tangannya sedikit gemetar karena mengetahui fakta nyawanya hampir saja melayang, permaisuri tetap berusaha menunjukan ketenangan. Dia harus berpikir lebih jernih dan tidak bertindak impulsif seperti biasa. Atau berita ini akan menyebar dan membuat semuanya jadi runyam. Anzilla hanya ingin mencari jalan untuk pulang dengan tenang, bukan ingin melibatkan diri dengan semua intrik di istana ini.

"Tidak, Yang Mulia, saya tidak melakukan hal tercela itu," jawab Ayesha dengan tatapan takut. Wajahnya pucat pasi, apa lagi kini permaisuri mengarahkan tatapan menyelidik padanya dengan intens. Seolah ingin agar wanita itu berkata jujur.

"Sudahlah, Yang Mulia, lebih baik Anda jebloskan saja dia ke penjara."

Mendengar ucapan Halima, Ayesha semakin dibuat panik, wanita itu reflek berseru. "Jangan, Yang Mulia!" Ayesha menepis jegalan tangan para pelayan yang memeganginya, lalu duduk bersimpuh di depan permaisuri untuk meminta ampunan.

"Saya tak ada niat melakukan ini pada Anda, Yang Mulia. Saya mohon izinkan saya menjelaskan semuanya lebih dulu," sambung Ayesha sambil mendongak agar bisa menatap mata permaisuri.

Lama Anzilla terdiam sambil memikirkan keputusan apa yang ingin dirinya ambil. Namun, tatapan tak berdaya Ayesha membuat wanita itu akhirnya mengembuskan napas. 'Mungkin wanita ini bisa berguna untukku, aku harus tahu dulu apa motifnya ingin meracuniku dan siapa yang menyuruhnya?' Bukan tanpa alasan Anzilla berpikir seperti itu, sebab jika berita ini sampai menyebar di istana dan khalifah dengar, Anzilla tak akan memiliki kesempatan untuk mencari tahu sendiri apa yang terjadi sebenarnya.

Setelah memikirkan semua itu, Anzilla pun mengedarkan pandangan pada semua pelayannya. Beruntung tak ada penjaga di sekitar sana. "Kalian semua, jangan pernah membicarakan kejadian hari ini pada siapa pun. Jika sampai semua orang tahu selain kalian, maka aku tak akan segan-segan menjebloskan kalian ke penjara, mengerti!" perintah Anzilla tegas.

Semua orang dibuat kaget dan tak menyangka kalau permaisuri mereka akan mengampuni Ayesha.

"Dari mana kau yakin kalau wanita ini coba meracuniku, Halima?" Anzilla mengalihkan perhatian pada pelayan setianya.

"Saya tadi menyuruh Aliyah untuk mengikuti pelayan ini," terang Halima pada seorang pelayan yang tiba-tiba diseret paksa oleh beberapa budak setia Zubaidah.

"Benar, Yang Mulia, saya melihatnya sendiri, kalau wanita ini membubuhkan sesuatu pada tehnya." Aliyah membenarkan.

Mendengar itu, Ayesha semakin panik dan ketakutan, wanita itu sudah hampir menangis karena memikirkan nasibnya. Apa lagi ketika permaisuri tiba-tiba menuangkan teh ke cangkir, lalu berjongkok di depannya. "Minum teh ini, dan aku akan percaya bahwa kau memang tak mencoba membunuhku," ujar Anzilla, lalu menyodorkan cangkir ke hadapan Ayesha.

Lama Ayesha terdiam sambil menatap cangkir dan permaisuri bergantian. Perlahan, tangannya mulai bergetar ketika dia coba mengambil cangkir itu dari tangan permaisuri. Anzilla pun duduk menyilangkan kakinya di atas gazebo sambil menunggu wanita di depannya melaksanakan perintah. Namun, ketika bibir cangkir sejengkal lagi menyentuh mulut Ayesha, Anzilla tiba-tiba bersuara.

"Hentikan!"

Kalimat perintah Anzilla membuat semua orang makin heran termasuk Ayesha. Namun, dalam hati wanita bercadar tersebut, dia sungguh amat lega.

"Kalian semua pergilah, dan biarkan aku bicara dengan wanita ini," sambung Anzilla pada semua pelayan.

"Tapi, Yang Mulia, ma-"

"Tolong, Halima." Anzilla memotong kalimat protes Halima. Mau tak mau, wanita bertubuh kurus itu pun mengangguk lalu meninggalkan tempat tersebut.

"Ingat, jangan katakan apa pun setelah ini, dan bawa pelayan yang tadi membawa teh itu bersamamu. Aku akan mengurusnya nanti," sambung Anzilla menghentikan langkah Halima. Perintahnya hanya dijawab anggukan oleh wanita itu.

Setelah kepergian semua orang, Anzilla mengalihkan perhatiannya pada Ayesha yang kini masih tertunduk takut di atas rumput. Dia masih belum bisa menghilangkan rasa takut saat membayangkan bahwa nyawanya akan berakhir hari ini.

"Terimakasih, Yang Mulia, karena kebaikan An-"

"Tak perlu basa-basi, katakan padaku yang sebenarnya. Kenapa kau ingin membunuhku dan siapa yang menyuruhmu? Maka aku tak akan mempermasalahkan apa yang sudah terjadi. Aku juga tak akan mengadukan semua ini pada jhalifah, karena kau sudah berani coba-coba membunuh permaisurinya," potong Anzilla dengan nada tegas dan sarat peringatan.

Ayesha terdiam, dia berpikir keras untuk jujur atau bungkam. Bagi wanita itu, dua pilihan tersebut sama-sama memiliki risiko. "Aku terpaksa melakukan ini semua, Yang Mulia, karena selir Areta dan Al-Malik memaksaku untuk membunuhmu."

Anzilla terdiam mendengar jawaban Ayesha, dia sama sekali tak menyangka Areta bisa sekejam itu merencanakan semua ini. Apa hanya demi membuat Khalifah menjadi miliknya? Sedang Al-Malik, apa sebenarnya tujuan laki-laki itu berniat melenyapkannya? Sejujurnya, selama Anzilla berada di sana, dia sama sekali belum bertatap muka secara langsung dengan guru pembimbing putra Zubaidah itu.

"Jadilah orangku, dan mata-matai mereka dari dalam. Laporkan semua gerak-gerik dan rencana mereka padaku, maka aku akan memberimu kesempatan untuk hidup. Jangan coba-coba berkhianat atau kau tahu sendiri akibatnya."

Mendengar keputusan Zubaidah, senyum lega di bibir Ayesha pun merekah. Dengan penuh rasa syukur wanita itu bangkit untuk mengucapkan beribu rasa terimakasihnya pada permaisuri. "Terima kasih, Permaisuri, untuk kebaikan Anda, karena sudah bersedia memberi saya kesempatan. Saya janji akan semampu saya membantu Anda." Ayesha tak bisa lagi menyembunyikan rasa bahagia dan leganya.

Anzilla mengangguk pelan tanpa berniat mengatakan apa pun lagi. Wanita itu hendak melangkah pergi dari sana kalau saja Ayesha tak kembali membuka percakapan.

"Siapa pun sebenarnya Anda, saya benar-benar berterima kasih karena sudah memberi saya kesempatan untuk hidup. Anda pasti tak tahu betapa berartinya kesempatan ini untukku, Yang Mulia."

Anzilla terdiam, dia kembali memutar tubuhnya mengahadap Ayesha, lama dia menatap wanita itu hingga akhirnya memutuskan membuka suara. "Jangan khawatir soal apa pun, karena aku akan menjamin keselamatanmu dari ancaman mereka, asal kau mau bekerja sama dengan baik," ujar Anzilla yakin.

Ayesha pun mengangguk dengan senyum saat mendengar janji itu. "Semoga Allah selalu melindungi Anda, Yang Mulia, saya akan terus berdoa agar Anda selalu kuat menjalani semua ujian dari-Nya. Percayalah pada kemampuan Anda sendiri, Yang Mulia, dan jangan lupa selalu meminta perlindungan pada Allah ... salam," ujar Ayesha.

Anzilla pun mengangguk dengan senyum samar saat mendengar doa tulus Ayesha, kemudian benar-benar pergi dari sana. Sejujurnya ketika tadi Ayesha mendokan kebaikan untuknya, hati Anzilla benar-benar diliputi rasa haru. Belum pernah selama hidupnya, Anzilla mendapatkan doa setulus itu dari seseorang. Apa mungkin sudah saatnya dia berdamai dengan takdir dan kuasa Tuhan, lalu memilih fokus pada kehidupannya sebagai permaisuri Zubaidah?

Ditengah lamunan, tanpa sadar tubuh Anzilla membentur dada bidang seseorang. "Aw!" serunya sambil mengusap kepala yang terasa berdenyut. Namun, betapa kaget Anzilla ketika di depannya kini berdiri khalifah dengan Areta. Mata Anzilla dan khalifah saling beradu, tapi keduanya tak mengucap sepatah kata pun.

"Permaisuri, Anda tak apa?" tanya Areta pura-pura peduli, karena dia merasa gerah saat melihat pasangan suami istri di depannya saling berpandangan.

"Ah, aku tak apa," jawab Anzilla singkat. Suara Areta terpaksa memutus kontak matanya dengan khalifah.

"Kalau begitu aku pergi ... salam, Yang Mulia," sambungnya sambil menatap khalifah sekilas.

Dia merasa tak perlu berlama-lama berada di sana, apa lagi kalau harus melihat bagaimana Areta selalu menempel pada khalifah. Yang tak Anzilla tahu, di belakangnya Khalifah tak melepaskan pandangan dari siluetnya yang kian menjauh.

"Ada apa dengan Permaisuri? Kenapa dia tak mengucapkan terima kasih pada Yang Mulia? Padahal Anda sudah menolongnya agar tidak dicopot dari kedudukannya sekarang," gumam Areta sambil mengikuti arah pandan khalifah. Dia sengaja mengatakan hal itu untuk membuat khalifah semakin membenci istrinya.

"Jangan bicara sembarangan, kau pikir kau siapa? Berani-beraninya merendahkan permaisuriku seperti itu. Sampai kapan pun posisinya tak akan pernah bisa digantikan siapa pun, termasuk olehmu. Jangan karena aku baik padamu kau berpikir terlalu tinggi," jawab Khalifah dengan kalimat tajam. Dia sama sekali tak menyukai ucapan selir barunya.

Mendengar nada geram dalam kalimat raja, Areta hanya bisa menunduk takut. "Maafkan hamba, Yang Mulia," ujarnya tanpa berani menatap mata khalifah.

Areta pun mengumpat kesal saat khalifah pergi meninggalkannya begitu saja. "Brengsek!" ujarnya dengan ekspresi penuh kebencian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top