Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia.
"Jancok! Tai! Bangke! Asu!" umpatan-umpatan itu menggema di udara. Persis di sebelah telinganya. Belum lagi suara rekan kerjanya melengking hingga gendang telinganya hampir pecah.
Awal mula dua minggu yang lalu. Pasalnya bos besar mengamuk karena sistem perusahaan sering eror dan penanganan dari IT sangat lamban, sekiranya itu yang ada dipikiran sang bos. Ilham sebagai ketua tim IT perusahaan, kena semprot paling pertama. Semua kesalahan dilontarkan untuk Ilham. Mulai dari enggak becus menangani sampai mengungkit tempat menimba ilmunya yang tidak menghasilkan lulusan cerdas. Sebenarnya Ilham tidak mempersalahkan semua itu, hanya saja, kerap kali dia memergoki bawahannya sedang bergosip, leyeh-leyeh, dan membiarkan pekerjaan menumpuk. Hari itu juga Ilham mengamuk. Padahal dalam catatan sejarah selama Ilham bekerja di perusahaan, dia termasuk golongan sabar dan bijaksana, tapi kali ini terpatahkan sematan-sematan baik itu.
Sekarang, dua minggu setelah kejadian panas tersebut, Ilham duduk di depan layar komputer yang menyala. Menekan tombol-tombol keyboard sambil sesekali memicingkan mata untuk berpikir. Dia menghempaskan punggung, bergelung selama empat jam tanpa henti membuat matanya perih. Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan kelelahan luntur dari tubuhnya.
"Oi, Bapak Ilham. Makan siang bareng di depan yok!"
Astaga, baru lima belas menit Ilham merehatkan tubuhnya dari segala bentuk kekesalan, malah temannya ini berteriak mirip tarzan di hutan yang dihiasi rimbunan pohon-pohon besar.
"Ilham, bangun!" Lagi-lagi Ridwan--temannya yang punya suara mirip toak masjid--berteriak seraya menggoyang goyang bahunya.
Ilham menggerang, membuka mata memelotot tajam. "Sepertinya mulut lo bukan asli dari lahir deh, kok banyak bacot kayak toak tahu bulat yang enggak pernah mandek."
Ridwa tertawa terbahak-bahak, menepuk keras bahu Ilham hingga mengaduh kesakitan. "Congor mu, ndes. Nanti amak gue ngamuk tujuh turunan mampus lo."
Ilham memutar bola mata.
"Jadi enggak nih makan siang? Mumpung di sebrang kantor ada warung baru. Mau cobain?" Kini raut muka jahil sirna dari wajah Ridwan.
Ilham mendengkus pelan, membenahi kemejanya yang kusut, menyisir rambut dengan tangan. "Ya udah, ayo." Dia bangkit dari kursi, mengambil beberapa lembar uang untuk membayar makanan.
Perjalanan ke tujuan diselingi obrolan ringan seputar otomotif, film action, sampai isu politik terkini. Tapi jika sudah nyrempet perbincangan gadis seksi seperti di cover majalah dewasa, Ilham mundur dari obrolan setan itu. Masalahnya para laki-laki di kantornya itu bermulut besar, suaranya macam Ridwan, lima kalinya malah. Dan nggak tanggung-tanggung mereka cari foto wanita setengah telanjang sambil ketawa ketiwi kayak orang gila nemu makan di tong sampah. Ah, sudahlah. Mereka sampai di warung makan, terlihat ramai orang. Beberapa karyawan tumpah di sana, maklum warung baru harganya masih murah.
Mereka memilih meja dekat etalase makanan, di sana sudah terisi dua orang gadis. Dilihat-lihat dua gadis itu seumuran dengan anak kuliah.
"Kalian ... kalau enggak salah anak magang ya?" suara lantang Ridwan mengagetkan dua gadis itu.
Ilham geleng-geleng, temannya ini urat malunya pasti sudah putus.
"Eh, iya, Pak." jawab salah seorang dari mereka.
Ridwan nampak begitu antusias saat pertanyaannya terjawab. Dia langsung menggeser kursi di sebrang dua gadis itu. Raut mukanya berbinar-binar mirip anak kucing nemu maknya. Dia mengobrol dengan dua gadis magang itu ngalor ngidul tidak memedulikan Ilham yang hadir di sana.
"Betewe nama kalian siapa? Magang di divisi apa?" tanya Ridwan penuh kebahagiaan.
"Bapaknya kayak kuisioner ya, nanya mulu."
Ilham, Ridwan, dan gadis berambut pendek tertegun sesaat, kemudian Ridwan lah yang memecah kecanggungan dengan gelegar tawanya.
"Anjir, temen lo kalo ngomong emang seketus ini?"
"Iya, Pak. Maaf ya." ujar gadis berambut pendek, lalu menyenggol lengan temannya.
"Eh, kenalkan, saya Aini dan di sebelah saya Devi. Saya di divisi keuangan, kalau Devi di divisi IT."
"Wah, anak magang gue dong. Kok kita enggak pernah ketemu?" Asli dah, Ridwan hampir mirip wartawa.
Aini tertawa pendek. Dia agak terkejut mendapati senior absurd seperti Ridwan. "Saya sama bu Reni, Pak."
"Walah ya pantas." Dia menggebrak meja saking serunya. "Eh, Aini, Devi, kalau di luar kantor jangan panggil gue pak, panggil saja gue mas."
Kontan Ilham menoyor kepala Ridwan sambil berkata, "Ndas mu! Inget istri sama anak di rumah."
Devi dan Aini mengerjap kaget setelah mendengar umpatan kasar keluar dari Ilham. Sedangkan Ridwan hanya ketawa sambil membalas menoyor Ilham tapi tak kena.
"Anjir, Pak Ilham ngamuk." ejeknya. "Dek Devi kenalin ini bapak ketua divisi lo, Pak Ilham." Ridwan menepuk nepuk bahu Ilham sambil senyam senyum.
Ilham memutar kedua bola mata, jengah menghadapi perilaku setengah waras temannya. Untung mereka berteman sejak zaman SMA, jadi Ilham tak begitu kaget melihat Ridwan dan sikap gilanya.
"Wah, masa? Halo Pak Ilham." sapa Devi.
"Oh, hai." sapa balik Ilham.
Kemudian Devi memindahkan pandangannya ke layar ponsel yang berisi rentetan kalimat seperti paragraf.
"Lo baca apa sih? Berita? Atau gosip?" Sifat kepo Ridwan muncul dan berhasil membuat wajah risi pada dua anak magang di depannya.
Ilham memutar kedua bola matanya. Bapak satu anak dan satu istri ini memang kelakuannya ajaib banget. Suka merasa manjadi remaja beranjak dewasa dan suka sok-sokan jadi orang paling up to date di dunia. Untung temen dari SMA kalau enggak udah kena timpuk si Ridwan.
"Enggak usah di ladeni. Ini orang kadang enggak waras, otaknya masih setengah." ujar Ilham sambil memundurkan wajah kepo Ridwan.
"Anzay, Pak Ilham. Kalo otak gue setengah mana bisa diterima dibagian keungan inti perusahaan? Neh, gue lulusan... " belum selesai orang itu nyrocos Ilham membekap mulutnya bocor Ridwan.
"Wah ... Pak Ilham sama Pak Ridwan mirip abege labil ya," suara Devi terdengar. Dia takjub sampai beberapa kali mengerlingkan mata seakan tidak yakin bila di depannya adalah dua orang petinggi di divisi masing-masing. "By the way, saya baca novel online." ungkapnya.
Seketika Ilham terdiam seperti terkena bogem mentah dari Chris John. Dia mengamati Devi dengan seksama, lalu berpindah pada layar ponsel gadis itu. Entah bisa dibilang benar atau berbohong, pastinya di layar ponsel Devi hanya terlihat barisan kalimat panjang dan kadang ada tanda petik sebagai percakapan. Mendadak dia mengharu biru, memori lama yang terpendam harus kembali tertarik, mengingatkannya pada sesuatu yang dari dulu dia perjuangkan mati-matian namun tak pernah dianggap.
Pesanan Ridwan dan Ilham datang membuyarkan lamunan Ilham akan masa lalunya. Kemudian dengan hati gusar Ilham menyantap makanan itu tanpa banyak bicara.
●
Sudah sepekan lamanya Ilham sibuk memperbaiki sistem perusahaan di bulan ini. Belum lagi tugas bawahannya yang tak kunjung usai sehingga mengharuskan dia turun tangan. Beberapa ketahuan sedang asyik-asyikan main game atau streaming film. Sebenarnya dia mau marah bahkan tidak segan-segan melaporkan bawahannya agar diPHK, tapi, baginya sama saja, mau itu di marahi sampai urat putus atau diPHK bila orang-orang itu tidak mau berubah ya sama saja. Mending menyelesaikannya sendiri tanpa banyak bicara dan campur tangan orang lain, itu lebih efektif.
Ilham menyandarkan punggung pada sandaran, menatap jam dinding yang berdetak. Jam satu siang, artinya jam istirahat telah lewat sejam yang lalu dan dia tidak menyadari itu. Maka, Ilham mengambil botol air mineral dan jajanan ringan di tasnya sebagai pengganti makan siang. Ilham sudah terbiasa telat makan, bahkan makan sehari pun pernah. Ini menjadi kebiasaan buruk Ilham, apalagi dia punya riwayat penyakit maag akut yang bisa kapan saja kumat tanpa kenal tempat dan waktu. Laki-laki itu mengunyah pelan biskuit selai stroberi sambil menggeser kursor ke kanan, mengeklik folder dengan nama my secret. Dia pelan-pelan merenggangkan kesepuluh jemarinya, kemudian memencet satu persatu tombol di keyboard, menuliskan sebuah paragraf apik dan mempesona. Kebiasaan Ilham satu ini tak pernah ada yang tahu dan dia juga tidak berminat memberitahu orang-orang. Entah lah, mungkin dia tidak suka berbagi kesenangannya dengan orang lain. Lagi-lagi Ilham larut dalam tarian indah ide yang berputar putar luwes di kepalanya, menciptakan secuplik bahagia yang hanya bisa dia rasakan. Dia larut dalam bayangan, nyaman dalam dunia delusional, dan betah berlama-lama dalam fana yang tak pernah menjadi nyata.
●
Esoknya, dia pergi makan siang bersama Ridwan. Usut punya usut, Ilham kapok kemarin, telat makan terus hanya memakan sebungkus biskuit dan air mineral sebagai pengganjal perut. Ah, sialan, kemarin dia guling-guling menahan sakit maag yang kambuh. Maka dari itu, dia tidak ingin maagnya kembali kumat alhasil dia harus ikut si mulut bocor, Ridwan, makan siang sambil mendengarkan celotehan unfaedah temannya itu.
"Eh, Devi, tumben kok enggak makan siang sama Aini. Ada keperluan? Atau mau makan bareng mas?" kata Ridwan dengan rasa percaya diri setinggi langit. Laki-laki ini memang punya stok rasa percaya diri melebihi ambang normal.
Devi terlihat risi, bahkan alis sebelah kanannya terangkat. "Saya memang enggak makan siang bareng Aini, saya bawa bekal sendiri. Dan, maaf Pak Ridwan tawarannya saya tolak. Saya ada keperluan sama Pak Ilham." ujar si gadis jutek itu tanpa pikir panjang.
Mata Ridwan membola beserta mulutnya, takjub mendengarkan kata-kata ketus Devi yang tak berubah dari awal bertemu. Sedangkan Ilham hanya menatap tajam Devi seolah bisa membaca pikiran gadis itu.
"Ada apa?" tanyanya.
Devi mengeluarkan sebuah buku bersampul kuning dengan gambar seorang laki-laki membawa helm. Sebagain wajah laki-laki itu terpotong sehingga memunculkan kesan misterius dan keren.
Ilham membeku di tempat. Bibirnya mengatup rapat. Jantungnya berdebar kencang layaknya tabuhan genderang.
"Kenapa bapak enggak pernah kasih tahu kalau bapak seorang penulis?" kata Devi langsung to the point. "Apa karena bapak malu dengan keahlian bapak yang satu ini?"
Ridwan mengernyitkan dahi, belum paham pembicaraan yang tengah terjadi di tengah-tengahnya. "Beneran, Ham? Lo penulis?" Ini juga fakta baru yang Ridwan ketahui.
Ilham nampak gelagapan. Tangannya berkeringat dingin.
Devi mengarahkan buku tersebut ke depan wajah Ilham. "Buku berjudul Momento dan penulisnya Ilham Maulana Hakim. Dia lahir tanggal 29 Februari, suka main game dan membaca buku fantasi. Dia telah menciptakan tiga buku fantasi dan sebuah buku remaja berjudul Momento. Ini bapak bukan? Kalau saya salah berarti list karyawan di sini juga salah."
SKAKMAT!
Ilham tediam, matanya melotot tajam bak elang menemukan mangsanya. Tak lama kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Seisi ruangan terkejut mendengar gelegar tawa Ilham yang jarang terdengar. Pasalnya, Ilham itu punya status di mata mereka, Pak IT yang dingin dan kaku. Jadilah reaksi para karyawan yang belum menggunakan jam istirahatnya terkejut sekaligus terkesima.
Devi memandang keki Ilham. Laki-laki itu tidak mengindahkan kata-katanya seolah olah hanya angin berlalu tanpa manfaat. Tapi serius, Devi saja sampai merancang kata-kata itu agar dia bisa melihat reaksi Ilham yang selama ini laki-laki itu tutup rapat-rapat tentang kepiawaiannya menulis sebuah cerita.
"Kamu hebat." ujar Ilham. Seharusnya dia marah atau membentak Devi karena tingkah lancangnya membeberkan apa yang selama ini disembunyikannya. "Kamu titisan Sherlock Holmes ya?"
Devi tersenyum. "Bukan, saya titisan Mak Lampir yang enggak sengaja blasak ke sini, Pak."
Ilham meredakan tawanya. Sekali lagi, semesta berkonspirasi. Sebuah keajaiban telah menyapanya siang ini. "Terus setelah membongkar rahasia saya, kamu mau apa?" Tatapan dingin kembali menyerbu wajah Ilham, mengembalikan ekspresi normal laki-laki itu.
Devi dengan cekatan menampilkan sebuah buku yang berjudul Momento pada Ilham. "Sebagai fans bapak, saya boleh minta tanda tangan?" katanya tanpa basa-basi.
Ilham terkekeh pelan. Diambilnya pulpen yang selalu setia menempel di saku celananya. "Boleh." Lalu, dia membubuhkan guratan tangan itu di buku Devi. "Semoga kamu suka baca ya, Devi." kata Ilham menyerahkan buku tersebut sambil mengulas senyum manis yang tak pernah dia tunjukkan pada orang lain selama ini.
Tangan Devi bergetar mengambil buku bertanda tangan Ilham. Wajahnya terkesima, disusul semburat merah muda di pipi gadis itu. "Makasih, Pak Ilham. Makasih banget." balasnya seraya menahan teriakan.
Ilham terkekeh melihat reaksi Devi. Gadis ketus nan jutek hilang sudah dari diri Devi, digantikan gadis manis dan pemalu. Sudah lama rasanya Ilham tak merasakan sensasi ini, menandatangani bukunya yang dibeli para pembaca dan memandang senang senyum mereka. Ah, bahagia rasanya.
●
Kejadian itu telah berlalu. Ilham makin terbiasa akan kehadiran Devi di kantor sebagai anak magang. Tak jarang dia juga mengobrol dan makan siang dengan anak itu, mengungkapkan semua ide yang bersarang di kepalanya. Kadang kala, gadis itu memberi solusi bahkan pendapat untuk memperkuat cerita yang ditulis Ilham. Maka, Ilham secara tidak langsung memberi cap pada Devi sebagai titisan dari Cleopatra. Entah bagaimana dia bisa menyebut Devi Cleopatra, yang pastinya, walau gadis itu terlihat jutek dengan perkataan yang ketus, tapi Devi memiliki segudang kelebihan yang tak terduga.
Ilham sedang meminum jus saat jam dinding menunjuk angka delapan malam. Devi terlihat berjalan tergesa seraya membenahi tas slempang yang bergelayut di bahu mungil gadis itu. Entah mendapat bisikan dari mana, Ilham tergerak untuk membersihkan semua peralatan kerjanya. Dia nampak seperti orang dikejar sepuluh anjing bulldog, cepat sekali. Dia agak berlari menuju pintu depan, tidak terlihat siapa pun, tak sengaja kedua netra laki-laki itu menangkap sosok mungil berdiri di dekat pos satpam.
Senyumnya mengembang, membuahkan sekumpulan hati berwarna pink yang bertebaran.
"Devi."
Bagaikan gerakan slow motion, wajah Devi terlihat anggun di bawah temaram lampu pos satpam. Jantung Ilham bertalu hebat. Wanjay! Gue deg degan. Umpatnya.
"Eh, Pak Ilham. Belum pulang, Pak?" tanya Devi sembari menggeser tubuh. "Kok saya tidak lihat bapak di kantor ya? Bapak lagi main petak umpet sama Pak Ridwan?" celetuk gadis itu.
Ilham menggeleng. "Enggak. Saya memang lembur hari ini."
"Oh, begitu." Devi mengangguk anggukkan kepala.
Ilham berdiri tepat di samping gadis itu, memperhatikan setiap tingkah Devi. Mulai dari mengecek ponsel, cemberut, sampai menghilangkan pegal dengan menginjak injak tanah beberapa kali.
"Kamu sendiri kenapa belum pulang, Devi? Setahu saya anak magang tidak ada lembur."tanya Ilham.
"Sebenarnya saya mendapat tugas langsung dari Pak Ahmad. Beliau memberi saya kesempatan untuk bekerja di sini sebagai karyawan tetap dengan syarat membenahi sistem dan merancang sistem baru supaya mempermudah pekerjaan. Saya diberi tugas itu agar beliau bisa mengevalusi seberapa jauh ilmu dan keahlian saya terasah."
Kini Ilham yang mengangguk. "Wah ... semoga kamu berhasil ya Devi."
Senyum Devi terbit. "Makasih, Pak Ilham."
Sunyi mengambil alih kendali, menciptakan rentetan detik terbuang oleh kehadirannya. Ilham masih mengamati Devi, tak pernah bosan rasanya. Baru pertama kali ada orang asing yang berani membeberkan masa lalunya tanpa izin, di depan umum pula. Dia tidak pernah mengkonfirmasi dahulu, apakah dia benar penulis atau bukan? Tapi, setidaknya, dengan kelakuan nekat Devi, semangat menuliskan kembali berkobar.
"Makasih ya, Devi."
Mendapat ucapan terima kasih tiba-tiba membuat Devi mengernyitkan dahi. "Buat apa, Pak?"
"Untuk menjadi penulis itu tidak mudah. Apalagi mendapat pengakuan menjadi pelunis, ah ... sangat tidak mudah. Apresiasimu yang lalu membuat saya tersanjung, saya seperti dianggap penulis berkelas Dee Lestari dan Andrea Hirata. Terima kasih, Devi." ucap Ilham.
"Bapak sedang mengalami penurunan kepercayaan ya? Sudah beberapa tahun nama bapak tidak lagi mejeng di rak toko buku. Saya suka dengan alur cerita bapak, ngalir. Kosa kata yang bapak pakai terkesan santai tapi ngena. Dan karakterisasinya saya suka sekali. Kuat banget." Devi memberanikan diri mendekati Ilham, kemudian mengelus perlahan lengan laki-laki itu. "Jangan menyerah, Pak. Apa bapak tahu, apa yang terjadi kepada saya setelah membaca buku bapak yang berjudul Momento, saya jadi tergerak, Pak. Saya tidak lagi memandang satu jalan, tapi banyak jalan. Saya sempat drop karena tugas yang menumpuk, belum lagi deadlinenya dekat, dan organisasi yang mulai narik-narik saya untuk ikut andil. Saya sempat mau nyerah aja, tapi setelah baca buku yang bapak buat, saya enggak jadi menyerah. Seharusnya saya yang berterima kasih pada bapak."
"Bapak tidak pernah tahu apa efek yang ditimbulkan dari tulisan bapak. Maka, jangan menyerah, Pak. Bisa jadi banyak orang di luar sana yang seperti saya dan karena membaca buku bapak, mereka tidak jadi menyerah pada apa pun. Semangat, Pak Ilham. Bapak jangan mendengarkan perkataan orang yang merong-rong bapak untuk berhenti. Jadilah diri bapak yang sebenarnya." Devi menutup penuturannya dengan senyum dan cengkraman bahu sebagai penyaluran rasa hangat dan nyaman.
Astaga, betapa berharganya detik yang dilalui Ilham saat ini. Dia beruntung bertemu Devi, melalui gadis itu cita-citanya kembali merangkak naik, menunjukkan sisi terbaiknya. Ilham menggenggam tangan mungil itu, ucapan terima kasih terucap berulang kali. Malam ini adalah saksi bagaimana Ilham harus memperjuangkan keinginannya. Angin membawa ribuan energi positif untuk bangkit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top