Bab 7
Prilly POV
Huh, senangnya. Kue yang aku bikin sama ibu akhirnya jadi juga. Yah, walaupun bentuknya belum sempurna seperti gambar yang ada di majalah, namanya juga percobaan. Biasanya hasil pertamanya emang selalu kaya gitu nanti lama-lama juga bisa sempurna sesuai dengan resepnya. Ibu memang selalu mengumpulkan majalah atau tabloid tentang resep aneka makanan dan kue tradisional. Tak jarang juga ibu mengajakku untuk mencoba resep baru.
"Heemm... enak nih baunya."
"Mau coba In?" tanyaku pada Ina yang baru saja datang menghampiriku.
"Emang boleh mbak?"
"Ya, bolehlah. Tapi jangan dihabisin." Ina mengacungkan ibu jarinya sambil mencomot satu buah kue donat ubi jalar yang kubuat.
"Wah, beneran enak mbak. Tapi kayaknya bantat nih."
"Iya, mungkin kurang lama kali ya tadi didieminnya?"
"Menurut ibu sih nggak ah, mungkin pas membuat adonannya kurang tenaganya."
"Kalau kurang tenaganya ya minum extra joss lah bu..."
Sebelum Ina menyelesikan kalimatnya, aku sudah menoyor kepalanya terlebih dahulu. Hal itu membuat dia terkekeh.
"Haha, kamu nih kemakan iklan ya In."
"Ya, dimaklumin lah bu, orang tiap hari nontonin tivi mulu. Jadi hafal deh sama iklan dan bintang iklannya juga."
"Tahu aja deh mbak Prilly ini. Apa lagi sama bintang iklan shapes itu mbak. Wah, ngefans banget aku. Si Ali Ali itu lho mbak."
"Aliando yang main sinetron GGS itu?" Tanyaku pada Ina untuk memastikan yang dia maksud. Namun, sebuah suara menginterupsi obrolan kami.
"Wah, kayaknya lagi pada asyik nih. Sampai gak ada yang jawab salam bapak." Ucap bapak sambil menuruni anak tangga, menghampiri kami yang masih asyik bercanda di dapur.
"Aduh, iya. Waalaikumsalam pak. Maaf kita gak denger."
"Gak apa-apa bu. Emang lagi pada ngapain nih?"
"Ini pak, ibu lagi nyoba resep baru."
"Wah boleh nih bapak nyicipin ya?"
"Enak sih tapi kayaknya ada yang kurang, gimana gitu."
"Iya pak, itu tadi Prilly yang bikin adonannya." Ucapan ibu membuat bapak menoleh ke arahku.
"Wah, berarti udah siap jadi ibu rumah tangga dong ya?"
Degh.
Bapak bertanya padaku sambil mengelus rambutku, membuat aku yang tadinya tersenyum menjadi diam seribu bahasa. Aku pun menunduk tak berani menatap wajah bapak. Kurasakan mataku memanas.
"Ya sudah, bapak mau mandi dulu, gerah nih."
Suasana dapur pun menjadi hening setelah bapak memutuskan untuk membersihkan diri.
"Kamu sudah tahu kan apa kira-kira jawaban yang tepat nanti?" Entah itu pertanyaan atau peringatan dari ibu, aku hanya mengangguk.
--- II ---
Ali POV
"Ka, pinjem hp dong?"
"Buat apaan?"
"Mau nelepon papa nih gue."
"Tumben? Kangen lo sama papa?"
"Udah, sini buruan hpnya." Aku pun merebut hp yang Kaia pegang.
"Eh, lo pinjem apa niat ngrampok? Woei!" Kaia berusaha untuk mengambil hpnya kembali. Namun, usahanya selalu kutepis. Tak lama kemudian nada sambung terdengar di telingaku, membuatku harap-harap cemas menunngu jawaban yang ada di seberang.
"Halo, Kai ada apa?"
"Ini Ali pa."
"Hemm... Kenapa Li?"
"Pa, papa apa-apaan coba udah nyita iphone Ali eh kunci mobil dan moge juga dibawa tanpa izin."
"Kalau izin ya gak nyita, Ali, itu namanya."
"Please... balikin pa. kalau Ali mau ke mana-mana gimana?"
"Ya, usaha sendirilah."
"Ya, papa kan tahu jarak rumah ke kampus agak jauh. Kalau naik angkutan umum harus ganti dua kali pula. Ribet pa."
"Oke-oke. Besok papa akan suruh orang ke sana."
"Beneran pa? Nah, gitu dong. Ali sayang papa. Muach. Makasih ya pa...."
Tut... tut...
Tanpa menunggu jawaban papa lagi aku langsung mematikan sambungan teleponnya.
"Yeyyyy..."
"Eh, ngapain lo teriak-teriak? Sini bailikn hp gue!" Mendengar pekikan Kaia acara jingkrak-jingkrak aku langsung terhenti. Dan Kaia sudah berhasil merebut hpnya kembali setelah tadi ia berusaha menggapainya saat aku sedang berbicara dengan papa. Aku pun tersadar dan memamerkan sederet gigi putihku pada Kaia yang memandangku dengan sengit.
"Makasih ya Ka, hpnya." Setelah mengucapkan terima kasih padanya sambil mencubit pipinya yang agak sedikit chubby itu, aku langsung berlari ke kamar. Namun aku sempat mendengar teriakan Kaia yang seolah-olah ingin menerkamku.
"Woei! Sakit tahu! Dasar adik gak tahu rasa terima kasih lo!"
Malam ini aku bisa tidur nyenyak lagi oei... yuhuuu... senangnya hatiku. Dengan senyum yang mengembang aku merebahkan tubuhku dan segera memejamkan mataku.
Kurasa aku baru saja tertidur beberapa menit, namun suara berisik nan cempreng itu membuatku terganggu.
"Ada apaan sih Ka?" Aku membuka pintu kamar, bersandar pada pintu dengan mata terpejam kembali setelah pintu terbuka.
"Nih, kunci lo." Mataku terbelalak saat mendengar Kaia mengucapkan kata kunci. Dan benar saja kunci itu sekarang sudah ada di depan mataku. Dengan segera aku merampas kunci dari tangan Kaia.
"Ya udah sana mandi. Lo ada kuliah kan?" Aku hanya mengangguk lalu bergegas ke kamar mandi.
Selesai mandi dan berdandan dengan rapi, aku bersiul menuruni anak tangga. Menaruh tas di sofa ruang tamu dan dengan semanagat 2016 langsung menuju garasi untuk memanaskan mobil.
"Kaiaaaaaa........."
"Ada apa sih Li, pagi-pagi udah teriak aja?"
"Mobil gue mana?"
"Oh, itu... sudah diambil sama orang suruhan papa."
"Moge gue juga?" Kaia hanya mengangguk mengiyakan.
"Terus ini kunci apa Ka?"
"Kunci kendaraanlah."
"Mana?"
"Tuh udah siap di halaman." Aku pun berlari menuju halaman rumah dan what?? Apa ini??? Sebuah vespa?
"Ini...."
"Iya, itu milik lo lah."
"Mana hp lo?" Tanpa menunggu jawaban Kaia pun aku langsung berlari ke kamar Kaia mencari hpnya. Dengan tidak sabar aku menunggu nada sambung hp itu berhenti berharap agar seseorang mengangkat panggilanku dengan segera.
"Ada apa Li?"
"Kok papa tahu ini Ali."
"Ya, siapa lagi? Pasti kamu mau protes kan?"
"Papa peka banget ya, tuh udah tahu aja kalau Ali mau...."
"Kamu gimana sih Li, kan papa udah nurutin mau kamu biar ngampusnya gak naik angkutan umum, biar gak ribet."
"Tapi, maksud Ali pa...."
"Itu satu-satunya fasilitas yang papa berikan sama kamu saat ini."
"Sampai kapan?"
"Sampai kamu setuju untuk menikah."
Huft... aku mendengus kasar mendengar ucapan papa. Lagi-lagi masalah pernikahan itu. Lagian calonnya juga gak jelas kan? Kenapa aku harus setuju?
"Ada lagi Li yang mau kamu bicarakan?" Pertanyaan papa membuatku tersadar dari pikiran yang memenuhi otakku sekarang.
"Plis pa... Ali janji bakal berhenti balap deh."
"Papa gak butuh janji Li, tapi bukti."
"Iya deh iya, Ali akan buktiin kalau Ali akan berhenti balap. Tapi plis pa kembaliin kunci mobil dan moge Ali ya? Atau salah satunya aja juga gak papa lah pa."
"Oke kamu akan mendapatkan kunci-kunci itu kembali tapi..."
"Tapi apa pa?" Tanyaku tak sabar dengan ucapan papa selanjutnya.
"Bagaimana dengan syarat yang papa ajukan? Apakah kamu menyetujuinya? Mungkin dengan pernikahan ini, kamu tidak akan membuat masalah lagi karena akan ada seseorang yang mengontrol semua tindakanmu. Menikahinya atau semua fasilitas papa cabut?!"
Tut... tut... sambungan telepon pun diputuskan secara sepihak oleh papa. Senyum yang terpampang pada bibirku pun seketika hilang setelah mendengar ucapan papa. Hufh... ternyata masih juga membahas hal konyol itu.
"Kenapa Li?" Tanya Kaia yang sudah duduk di sebelahku.
"Eh, Ka gue ke kampus bareng lo ya?"
"Boleh."
"Wah, lo emang kakak yang baik Ka." Ucapku sambil memeluknya hangat. Kupikir tadinya dia akan menolak. Aku pun berjalan mengikutinya keluar rumah.
"Hai sayang..." Kulihat seorang cowok sedang menghampiri Kaia yang berdiri di depanku. Kris, tunangan Kaia.
"Li, ayo jadi bareng gak berangkatnya?" Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah mereka sampai depan pintu gerbang.
"Lho?" Tanyaku heran melihat pemandangan yang ada dihadapanku. Bagaimana ini? Yang benar saja tak ada mobil satu pun milik Kaia maupun Kris yang terlihat di depanku. Hanya ada sebuah moge milik Kris yang terparkir. Hal itu pun membuatku tak sabar untuk segera bertanya.
"Mobil lo mana Ka?"
"Lagi diservis."
"Terus?"
"Iya, gue diantar jemput Kris sampai mobil gue selesai diservis."
"Heleh... kalau gini mah sama aja gue gak dapat tumpangan."
"Lah, lo tadi kan bilangnya mau bareng bukan mau nebeng?"
"Ya udah deh terpaksa. Kalau saja gak ada ujian semester hari ini, mending gue gak ngampus sekalian deh." Ucapku kesal lalu kembali ke halaman rumah untuk menghidupkan vespa. Yang katanya ini adalah vespaku.
"Selamat bersengan-senang dengan kendaraan baru ya Li... dada...."
Huh, dasar kakak tidak setia kawan. Duh, gimana nih apa kata anak-anak nanti kalau mereka lihat aku naik vespa gini? Sial!
--- II ---
Prilly POV
Hari ini adalah hari yang bakal jadi penentu masa depanku. Kurasa tak hanya aku yang merasa gelisah bahkan hampir semua anak kelas XII. Walaupun ada beberapa siswa yang terlihat santai dan sepertinya tanpa beban dengan apa yang akan terjadi hari ini. Hari ini semua siswa kelas XII masuk sekolah lagi setelah berminggu-minggu meliburkan diri mereka sendiri-sendiri.
Sudah hampir satu jam kami dikumpulkan di aula, namun tampaknya belum ada satu orangpun yang berniat untuk memulai acaranya. Aku melihat sekeliling, banyak dari mereka yang sedang asyik berselfie ria, ada juga yang asyik mainin hpnya, ada yang ngegosip pula, ada yang mencoba menjadi pengamen tanpa memungut biaya. Aku sih senang-senang aja mendengar hiburan gratis, anggap aja mereka radio otomatis yang tanpa pindah gelombang eh lagunya udah ganti aja, bukan hanya judul tetapi jenis musiknya pun berubah dari pop, dangdut, slow rock, kembali ke pop, tiba-tiba pindah jadi campursari dan begitu seterusnya. Pokoknya segala jenis musik tersedia deh.
Tak berapa lama kemudian, aktifitas mereka berhenti dengan tiba-tiba setelah terdengar suara seseorang yang menggema dalam ruangan ini. Kami terdiam, semua menyimak sambutan dari kepala sekolah dan waka kesiswaan. Dan suasana di ruangan pun menjadi riuh setelah kami semua dinyatakan lulus 100%. Alhamdulillah. Tak sedikit yang mengucap syukur dan banyak pula yang berteriak histeris mengungkapkan perasaannya sambil jingkrak-jingkrak.
Dalam perjalanan pulang tak henti-hentinya aku tersenyum bahagia dengan apa yang ku rasa sekarang. Bahkan orang-orang yang aku lewati pun memandangku dengan aneh, mungkin mereka pikir aku itu kurang waras kali ya sore-sore jalan sendirian sambil senyum-senyum pula. Iya, hari ini aku memutuskan untuk pulang ke rumah berjalan kaki. Kasihan Kang Ari jika harus menunggu sedangkan tak ada kepastian dari pihak sekolah akan dipulangkan jam berapa.
"Wah, sepertinya ada kabar gembira nih bu." Ucap bapak setelah aku sampai rumah dan mencium punggung tangannya. Aku tersenyum mendengarnya lalu duduk di sebelah ibu.
"Alhamdulillah pak, Prilly lulus."
"Alhamdulillah." Ucap bapak dan ibu bebarengan.
"Jadi...." Aku mengernyitkan dahi dan melihat bapak yang tak jadi meneruskan kalimatnya.
"Bagaimana keputusanmu?" Lanjutnya setelah beberapa detik berhenti.
Aku termenung mendengar ucapan bapak yang mendadak seperti ini. Tak kusangka akan ditanyakan juga sore ini. Kupikir bapak akan membiarkanku hanyut dalam perasaan senang karena kelulusanku untuk bebrapa hari.
"Jika memang kamu ingin tetap melanjutkan untuk kuliah di Jakarta, maka bapak hanya meminta satu hal. Menikahlah dengannya. Agar bapak merasa tenang karena ada yang menjagamu di sana." Bapak melanjutkan ucapannya kembali setelah merasa tak mendapat jawaban dariku.
"Iya, pak. Prilly mau asal bapak mengizinkan Prilly untuk melanjutkan kuliah." Setelah beberapa kali menarik napas untuk mengumpulkan keberanian, akhirnya aku mengambil keputusan ini.
--- II ---
Ali POV
Yeeeeyyy... akhirnya aku bisa melewati hari-hariku selama seminggu ini dengan rela bahkan pasrah mendengar cibiran yang anak-anak lontarkan padaku. Parahnya mereka adalah para cewek yang selama ini mengagumiku, selalu menyanjungku bahkan berebut minta dekat denganku. Namun sikap mereka kini jauh menurun drastis saat melihatku memarkirkan kendaraan pembawa sial itu pada hari pertama ujian semster. Bahkan sekarang aku benci banget sama vespa itu. Gara-gara dia reputasiku sebagai cowok keren plus populer dan berprestasi ini lengser sudah.
"Ngapain lo muka ditekuk gitu?" Aku menoleh ke asal sumber suara
"Kesel gue kak sama si vespa."
"Kenapa?"
"Ya lo tahu sendirilah sekarang reputasi gue udah hancur gara-gara tuh vespa."
"Ya siapa suruh lo gak mau nyetujuin syarat dari papa."
"Lo mah enak pacaran sama Kris langsung disetujui. Nah, gue?"
"Ya terserah lo sih kalau lo mau terus-terusan kaya gini." Setelah dipikir-pikir benar juga sih apa kata dia.
"Eh kak kira-kira apa..." Ucapanku terhenti ketika aku menoleh ke sebelahku. Busyet deh tuh anak ke mana sih? Udah kaya jelangkung aja. Perasaan tadi masih duduk kenapa tiba-tiba ngilang gitu aja gak pamit? Nih anak udah ketularan aku kali ya yang sering ngilang ninggalin dia saat dia lagi ajak ngobrol aku? Aku pun bangkit untuk mencarinya dan benar juga dia lagi asyik tidur di kamarnya.
"Kak, pinjem hp dong?"
"Ah, lo pinjem mulu. Ganti pulsa lho!"
"Yah kak, sama adeknya kok perhitungan banget sih?"
"Biarin." Tanpa berniat untuk basa-basi lebih lama aku segera mengambil hpnya dan duduk di sampingnya yang masih tiduran, menunggu sapaan dari seberang.
"Halo pa...." Sapaku selembut mungkin saat papa mengangkat telfon.
"Ada apa Li?"
"Emmm... anu pa.... emmm..."
"Apaan sih Li? Kalau gak penting ya..."
"Iya pa, Ali mau." Aku memotong ucapan papa secepatnya sebelum papa mematikan sambungan telepon terlebih dahulu.
"Mau apa?"
"Emmm... itu pa... soal... soal... pernikahan." Aduh, sejak kapan nih aku jadi gagu kaya gini?
"Ali mau menikah pa." Aku langsung saja menjelaskan ucapanku karena tak mendapat respon dari papa.
"Kamu gak lagi kesambet kan Li?"
"IIh... papa, kok ngatain anaknya gitu?"
"Bukannya kamu itu..."
"Ya Pa, Ali udah berubah pikiran. Ali mau menikah."
"Hahaha... ya sudah lusa kita ke sana."
"Apa Pa? LUSA?"
Tut... tut... tut....
Hufh, lagi-lagi papa memutuskan sambungan telepon dengan tak sopan. Ish...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top