Bab 6
Author POV
Kali ini Ali tak banyak aksi, dia hanya diam di rumah. Mondar-mandir tak jelas. Lelah dan bosan yang ia rasakan. Dia duduk di sofa ruang keluarga, mengambil remot lalu memindah channel TV, mencari hiburan namun tak ada yang menarik baginya akhirnya tombol power off pun dia pencet, layar TV pun tak menampakkan gambar apapun seketika. Beralih mengotak-atik iphone nya, membuka sosial media, tak juga mengurangi rasa bosannya. Dia hanya mengecek akun-akun sosmednya tanpa berniat untuk menggunakan lebih lanjut. Kemudian, bangkit dari rasa malasnya menuju kamar. Membaringkan tubuhnya, gelisah. Namun sedetik kemudian senyumnya mengembang kala matanya melihat sebuah benda. Benda yang sudah lama terlupakan. Gitar. Ali pun memetik gitarnya itu dan mengalunkan lagu yang mewakili perasaannya saat ini. Hingga tak terasa kantuk pun datang karena lelah menunggu sang papa datang.
Tak berbeda dengan yang dirasa Ali, Prilly pun merasa cemas, gelisah dan khawatir. Dia memikirkan tentang nasibnya, beasiswanya. Pihak sekolah sudah jelas-jelas memberi tahu Prilly bahwa dia diterima di UNJ, salah satu Universitas yang dia pilih ketika mendaftar. Namun, kenyataan berkehendak lain, bapaknya tidak mengizinkan Prilly mengambil beasiswa itu. Bukan tidak mengizinkan untuk kuliah, namun dari awal bapaknya sudah berpesan agar Prilly mengambil kuliah di kotanya saja, tidak perlu jauh-jauh. Entah bagaimana dengan nasibnya selanjutnya. Tak banyak yang bisa dilakukan Prilly, dia hanya berharap ibunya bisa membantunya untuk memberi pengertian pada bapaknya.
--- II ---
Prilly POV
"Pril..." Aku mendengar bapak memanggilku saat aku sedang menyiram bunga di halaman rumah.
"Iya, pak." Aku mematikan aliran air yang mengalir pada selang yang aku semprotkan lalu berjalan mendekati bapak yang berdiri di anak tangga terakhir.
"Bapak sudah berdiskusi dengan ibu tentang beasiswamu." Aku hanya mendengarkan, menunggu kelanjutannya.
"Apakah hari ini kamu ada acara?" Aku hanya menggeleng.
"Baiklah kalau begitu kita bicarakan nanti saat bapak sudah pulang kerja ya?'
"Iya, pak."
"Ya sudah bapak berangkat dulu." Aku pun mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan bapak. Kira-kira apa ya yang akan dibicarakan bapak nanti? Rasanya aku sudah tidak sabar walaupun juga tak kupungkiri rasa cemas melanda jika bapak tetap pada pendiriannya. Bagaimana ini?
Hufh... lebih baik aku melanjutkan menyirami bunga saja dari pada larut dalam rasa penasaran yang belum jelas.
--- II ---
Ali POV
"Hei, bangun Li." Aku mengerjapkan mataku, berusaha mengumpulkan segenap nyawaku yang belum lengkap. Kaget, saat aku melihat ketiga orang berdiri di samping ranjangku. Aku berusaha bangkit dari tidurku walaupun mata ini masih terasa berat untuk terbuka.
"Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu belum mandi?" Aku melihat jam dinding yang ada di kamar setelah mendengar pertanyaan itu. Apa? Jam 7 malam? Jadi, berapa lama aku tertidur? Ya ampun, apa aku tertidur selama itu? Hampir 7 jam dan tanpa terusik sedikit pun?
"Kamu ini, dari tadi ditungguin untuk makan malam lho." Aku hanya nyengir dan mengacak rambutku mendengar mama memprotesku.
"Ya sudah sana mandi! Papa tunggu di ruang makan."
"Jangan kelamaan lo di kamar mandi! Gue udah laper!"
"Ya sudah sana cepetan mandi! Jangan lama ya sayang? Kamu gak ingin buat papa marah kan?"
Setelah kepergian papa, Kaia dan mama, aku bersandar pada kepala ranjang, memejamkan mata untuk sedikit merilekskan perasaan dan menenangkan fikiran.
Aliiiii.....
Aku terperanjat saat mendengar teriakan dari arah luar kamar. Kaia. Aku pun menggeram kesal mendengar teriakan Kaia yang seakan tak rela aku bersantai sejenak.
Aku pun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan badanku. Ternyata keadaanku benar-benar terlihat kacau saat aku sempat melihat pantulan diriku di cermin tadi sekilas. Kalau aku kaya gini terus-terusan bisa jadi gak ada cewek yang mau deket lagi...
"Li... setelah selesai makan, kita ke ruang keluarga untuk membicarakan hal tadi pagi." Aku hanya melihat papa sekilas dan meneruskan makanku. Setelah selesai makan malam, papa mengajakku untuk ke ruang keluarga. Entah apa yang akan dibicarakan papa. Tapi ku rasa apapun keputusan papa nanti pastinya keberuntungan tak berpihak padaku. Aku yakin itu.
"Papa akan memberimu pilihan yang harus kamu pilih." Ucap papa saat kami berempat sudah berada di ruang keluarga.
"Pilih berhenti balap atau menikah?"
"Berhenti balap atau menikah."
Dalam sekejap mataku langsung melotot dengan sempurna mendengar ucapan papa. What? Menikah? Dengan siapa? Aku melihat mama yang ekspresinya datar namun berbeda dengan Kaia yang tak kalah kagetnya sama halnya denganku. Sepertinya dia tidak tahu menahu tentang hal ini, tapi mama? Entahlah. Lelucon macam apa ini?!
--- II ---
Prilly POV
"Baiklah Pril, kita lanjutkan obrolan kita tadi pagi." Bapak memulai pembicaraan saat kami selesai makan malam.
"Bapak akan mengizinkanmu mengambil beasiswa itu."
Seketika raut wajahku berbinar mendengar penuturan bapak. Refleks aku langsung memeluknya.
"Terima kasih pak. Terima kasih."
"Tapi ada syaratnya."
Aku pun langsung melepaskan pelukanku dan melihat bapak dengan seksama. Apa? Syarat? Ah, bapak jangan bercanda deh.
"Bagaimana?" pertanyaan bapak membuatku tersadar dari pikiran-pikiran yang berkeliaran di kepalaku.
"Syarat pak?" Aku balik bertanya lalu terdiam untuk berfikir sejenak. Baiklah Pril, ayolah apa pun syaratnya harus kamu jalani asal kamu bisa mengambil beasiswa itu. Ingat Pril kesempatan tidak akan datang berkali-kali. Jadi...
"Apa pak syaratnya? Pasti akan Prilly penuhin asal bapak mengizinkan Prilly untuk mengambil beasiswa tersebut. Ini cita-cita Prilly pak..." ucapku meyakinkan bapak agar aku mendapatkan izinnya.
"Baiklah, bapak akan mengixinkan kamu untuk mengambil beasiswa itu asal kamu mau bapak nikahkan."
Apa tadi bapak bilang? Nikah? Aku mengorek telinga kananku supaya aku yakin bahwa aku tak salah dengar.
"Me-ni-kah?" Tanyaku terbata dan ragu namun bapak menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaanku.
Aku merasakan tubuhku lemas seketika tak bertenaga padahal baru saja selesai makan malam. Nafasku pun tercekat. Rasanya sulit untuk mengatakan sesuatu lagi.
"Pikirkan baik-baik. Bapak tunggu jawabanmu besok pagi." Ucap bapak dan segera berlalu dari hadapanku namun sedetik kemudian...
"Ingat. Kamu sudah janji akan memenuhi syaratnya. Jadi pilih MENIKAH ATAU TIDAK JADI KULIAH!"
--- II ---
Ali POV
"Menikah pa?" Papaku hanya mengangguk dengan mantap.
"YANG BENAR SAJA PA? PAPA INI TIDAK LUCU TAHU." Ucapku dengan nada tinggi sebagai ungkapan protesku.
"Memangnya siapa yang mengajakmu bercanda hah?"
"Papa tidak sakit kan?" tanyaku berusaha memelankan suaraku kembali.
"Tentu tidak. Kau lihat saja sendiri. Nih, badan papa sehat wal afiat. Kau lihat bukan?"
Papa mengambil tanganku lalu menempelkan telapak tanganku di dahinya. Dan bertanya
"Tidak demam kan?" Aku langsung menurunkan tanganku. Apa-apan ini? Aku bukan dokter eh malah disuruh mengecek kesehatannya. Aneh.
"Ck. Papa perlu termometer untuk mengecek suhu badan? Nanti aku pinjamkan ke om Hilman."
"Kau ini. Tadi bertanya apa papa sakit? Lah papa suruh kau membuktikannya papa sakit atau tidak? Malah nawarin termometer."
"Lagian papa sih, ngasih pilihan aneh gitu."
"Aneh? Kau yang aneh. Bukan papa. Papa serius ini Li. Kamu gak perlu jawab sekarang. Papa beri waktu semalam untuk memikirkannya dengan baik. Pilih MENIKAH atau semua fasilitas kamu papa cabut!"
"Lho bukannya tadi pilihannya bukan itu pa?" Teriakku karena papa sudah berlalu dari hadapanku diikuti mama. Sedangkan Kaia masih berdiam diri duduk di sofa.
"Ka, bantuin gue dong?" Ucapku memelas berharap Kaia mau membantuku namun tanpa merespon satu kata pun Kaia malah pergi meninggalkanku sendiri di ruang keluarga. Ya Allah apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tak mau memilih.
--- II ---
Author POV
Gelapnya malam kini sudah berubah menjadi pagi yang cerah. Namun, tidak secerah perasaan kedua insan yang merasakan sesuatu sedang berkecamuk di dalam hati juga pikirannya. Yah, Ali dan Prilly. Walaupun di tempat yang berbeda namun apa yang mereka rasa itu sama. Apa yang akan terjadi pada mereka selanjutnya setelah beberapa menit lagi sebuah keputusan harus diambil?
--- II ---
Ali POV
Entah ada angin apa hari ini tumben aku bangun pagi-pagi sekali. Bahkan aku sudah selesai jogging mengitari kompleks perumahan di saat semua mata yang ada di rumahku masih asyik terpejam. Aku memutuskan untuk beristirahat sebentar di sebuah bangku taman. Menghirup udara yang masih belum tercemar asap kendaraan. Aku harus menghirupnya sebanyak mungkin untuk cadangan oksigen nanti agar aku masih bisa bernapas lagi setelah sampai rumah. Memandangi sekeliling yang penuh dengan tanaman hijau dan warna-warni bunga yang tampak indah. Hal yang sudah sangat lama tak kulakukan. Memang semenjak kenal Dewi aku tak pernah datang lagi ke sini, sekedar untuk menikmati indahnya alam apa lagi jogging...
Setelah kurasa kekuatan yang aku butuhkan cukup, aku menghela napasku berkali-kali lalu bangkit dari tempat dudukku.
"Lho mas, sudah bangun to?" Suara Bi Sumi mengagetkanku. Ternyata tak terasa aku sudah berada di depan rumah.
"Oh, iya bi." Aku meninggalkan si bibi yang sedang membuang sampah.
Aduh...
Aku meringis seketika sambil memgalus dahiku.
"Ups... sorry..."
Aku menggeram kesal melihat sosok yang sedang menutup mulutnya dan mengucapkan kata maaf padaku. Bagaimana tidak? Saat aku sedang mengumpulkan semua keberanianku dan hendak membuka pintu, ternyata seseorang telah membukanya duluan. Membuat kepalaku yang sedang tertunduk menabrak pintu. Parahnya dia hanya mengucapkan maaf sambil memperlihatkan sederet giginya. Kaaaaiiiiiaaaaaa.... Pagi-pagi sudah membuat buruk selera hidupku saja.
"Sorry bro, gak tahu kalau lo ada di depan pintu. Harusnya lo bilanglah."
"Eh, eh, bentar. Kok lo udah berkeliaran aja sepagi ini? Tumben. Jangan-jang...."
"Apaan sih?" Ucapku sewot masih dengan mengelus dahiku. Bukannya nanyain mana yang sakit atau bentar ya aku ambilin obat dulu eh ini malah udah mengintrogasi aja. Kakak yang gak pengertian. Nasib-nasib. Aku menghempaskan bokongku pada salah satu sofa di ruang tamu.
Bugh...
"Apaan sih lo Ka?" Bentakku saat aku bangkit dari sofa dan hendak berbalik bertabrakan dengan Kaia.
"Lo yang apa-apaan? Orang gue mau duduk."
"Tapi bisa gak sih lo gak usah ngintilin gue?"
"Idih, siapa yang ngintilin lo?"
"Buktinya lo di belakang gue, jadinya gini nih lo nabrak gue."
"Lo yang nabrak gue. Orang gue mau duduk, lo malah berdiri dan berbalik arah. Mana gue tahu. Lo kan gak ngomong."
Iiiiisssshhhhh.... Bikin tambah mood aku buruk banget nih orang. Udah dua kali nih aku kena sial dengan orang yang sama yang tak lain adalah kakaku sendiri.
"Ada apa nih pagi-pagi udah pada ribut?"
"Ini nih ma, dia yang nabrak Ali eh gak mau ngaku."
"Ngadu.... Ngadu... "
"Eh Li, tumben kamu sudah bangun? Kesambet apaan?"
"Ish... mama... harusnya banggalah sama anaknya yang ganteng ini bangun pagi. Ini malah dikatain kesambet." Aku memanyunkan bibirku atas pertanyaan mama.
"Ya habisnya tumben amat. Biasanya juga susah dibanguninnya."
"Mama sama papa berapa lama di sini?"
"Emang kenapa Li?" Bukannya mama yang menjawab, melainkan papa bertanya balik padaku.
"Kamu gak suka papa mama ada di sini?"
Aku tak ada niatan untuk menjawab, hanya memperhatikan papa yang sedang duduk di sebelah mama.
"Kamu tenang saja, papa mama segera pulang kok setelah kamu memberi jawaban atas pilihan papa semalem."
"Jika Ali berhenti balap, Ali tidak jadi dinikahkan kan pa?"
"Emmm... gak janji Li."
"Kalau Ali mau dinikahkan, apa itu artinya Ali masih boleh balap?"
"Gak juga."
"Jadi mau papa apa sebenernya?"
"Emmm... mau papa kamu menikah dan berhenti balap."
"Oke, Ali akan berhenti balap tapi tidak mau nikah."
"Baiklah kalau itu pilihanmu. Sekarang iphone kamu serahkan ke papa!"
"Maksudnya?"
"Sudah serahkan saja." Tanpa menunggu aku langsung menyerahkannya.
"Yang satunya?"
"Ada di kamar."
"Ambil." Dengan berjalan gontai aku menaiki beberapa anak tangga menuju kamarku, mengambil iphoneku yang satunya lalu menyerahkannya ke papa.
"Baikalh selesai sarapan papa dan mama akan kembali ke Bandung." Ucap papa yang langsung meninggalkan ruang tamu.
"Sudah sekarang kamu mandi sana. Terus kita sarapan bareng." Aku mengangguki ucapan mama.
--- ii ---
Prilly POV
"Pagi bu.. bapak mana?" Sapaku pada ibu yang sedang duduk santai membaca majalah di ruang keluarga.
"Tumben kamu baru bangun nak?"
"Maaf ya bu, Prilly kesiangan bangunnya."
"Iya, kamu kecapaian ya? Kok tumben bangun siang?" Aku hanya menggeleng. Aku memang tidak merasakan badanku sedang capai, tapi pikiranku yang mengalami hal itu.
"Oh iya bu, bapak mana?"
"Bapak ya sudah berangkat kerja lah. Ini kan sudah jam 07.30 Pril." Aku langsung menengok ke arah jam dinding. Yang benar saja aku bangun sesiang ini? Bahkan baru pertama kali ini aku bangun kesiangan.
"Ya sudah sana, sarapan. Habis itu bantuin ibu bikin kue ya?"
"Baiklah bu." Aku menjawab permintaan ibu dengan senyum yang sumringah. Ya, walaupun belum bisa membuat perasaanku membaik namun sedikit melegakan karena bapak sudah berangkat kerja, jadi aku masih punya waktu untuk memikirkan keputusan yang akan ku ambil.
--- II ---
Ali POV
"Ngapain lo acak-acak kamar gue?" Tanya Kaia saat mendapati adiknya sedang berada di dalam kamarnya.
"Lo lihat kunci mobil dan moge gue gak Ka?"
"Ya mana gue tahu... lo lupa naruh kali."
"Aduh, pasti gak akan lupa deh Ka. Udah aku cari di seluruh ruangan yang ada di rumah ini gak ketemu."
"Coba deh lo inget-inget kapan terakhir lo pakai."
"Seinget gue sih dua malem yang lalu kak, saat..."
"Astaga papa... papa mana ka?" aku sedikit memekik saat menyadari sesuatu.
"Emang tadi lo gak denger saat papa pamit pulang Bandung?"
"Emang kapan kak papa pamitnya? Kok gue gak denger?"
"Ya, sekitar 30 menitan yang lalu lah. Emang lo ke mana kok gak denger?"
"Setengah jam yang lalu gue di kamar kak, nyari.... Astaga apa mungkin...PAPAAAAAA....."
Bugh.
Sebuah bantal mengenai wajahku.
"Ngapain sih lo teriak-teriak gitu? kangen sama papa?"
"Kak, jangan-jangan kunci mobil sama moge gue diambil papa..." Aku langsung heboh sendiri saat menyadari hal itu.
"Emang iya."
"Apa kak?"
"Ups...."
"KAIAAAAAAAAAA. APA-APAAN INI MAKSUDNYA?" Sedangkan orang yang kuteriaki sudah melesat entah ke mana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top