Bab 3
Author POV
Sepulang dari rumah Prilly, Pak Syarief dan juga Ibu Resi bergegas menuju Bandung untuk kembali melakukan rutinitasnya. Begitu pun Kaia juga sudah kembali bekerja. Berbeda dengan Ali, dia hanya berdiam diri tanpa mau ngomong sepatah kata pun pada siapa pun. Mungkin masih terpukul karena ditinggalkan sang pacar begitu cepat.
Sedangkan di rumah Prilly, suasana pun kembali seperti semula meskipun terasa lambat. Mereka sudah kembali pada aktifitas masing-masing. Ibu Ully pun ikut menyibukkan diri mengurus pekerjaan rumah agar tidak terlarut dalam kesedihan. Ibu Ully pun bertekad untuk bangkit kembali mengingat Prilly yang masih sangat membutuhkan kasih sayangnya yang mungkin selama ini tidak Prilly rasakan karena selalu di nomor duakan.
--- II ---
Ali POV
Aku frustasi. Aku sudah tak dapat berpikir jernih lagi sejak kejadian itu. Semangatku hilang seketika. Aku duduk di tepi ranjangku, hanya diam. Mataku melihat sekeliling dan aku menemukan tas itu. Tas Dewi yang masih menjadi teka-teki. Aku pun membuka tas itu kembali. Hal pertama yang aku ambil adalah hp Dewi. Aku berusaha untuk membukanya. SIAL! Bahkan aku tak pernah tahu apa sandi screen locknya. Aku mencoba menekan 4 titik secara asal, ternyata bukan. Kucoba lagi dengan 4 titik yang berbeda, juga bukan. Aku iseng menekan 4 titik dari bawah lalu ke atas dan ke kanan dan ternyata bisa. Aneh kan? Mungkin ini yang namanya kebetulan padahal hanya menerka saja.... Entahlah. Untuk selanjutnya pemrograman screen lock itu tidak aku aktifkan karena aku takut lupa, entah bagaimana tadi pola titik-titiknya terhubung.
Aku pun penasaran lalu mulai untuk membuka galeri foto. Mataku melotot saat mendapati banyak foto Dewi yang bermesraan dengan beberpa laki-laki. Bahkan fotoku hanya ada 1. Itu pun foto yang kuambil saat kami sedang berada di kampus bersama Kevin, Mila dan teman-teman yang lain. Miris bukan? Padahal katanya aku ini pacarnya. Hatiku semakin memanas saat aku melihat detailnya kapan foto-foto itu diambil. Ada beberapa foto yang diambil beberapa bulan lalu saat kami belum jadian. Oke itu masa lalu dia dan aku gak mau tahu. Namun, aku menemukan beberapa foto juga yang diambil setelah kami jadian. Ada dua laki-laki yang sering aku lihat dalam foto itu. Yang satu sudah pasti si Marcelo sialan itu. Dan yang satunya aku tidak tahu, tapi sepertinya dia lebih tua dari aku. Seperti om-om. Apa?! Jangan bilang kalau Dewi juga jalan sama om-om.
"AAAARRRRGGGGHHHH!" Aku berteriak dan menjambak rambutku. Aku benar-benar frustasi.
"Li, kenapa lo?" tiba-tiba Kevin dan Mila sudah berada di ambang pintu kamarku. Mereka berjalan mendekatiku lalu duduk di tepi ranjangku.
"Apa ini?" tanya Kevin saat aku memberikan hp Dewi.
"Lihat saja." Desisku.
Hening...
"Sebentar deh, yang ini jelas Marcelo dan yang ini.... kayaknya aku pernah lihat deh tapi di mana?" gumam Mila, mengingat seseorang yang di maksud.
"Iya nih, kaya gak asing ya?" imbuh Kevin. Aku menatap mereka meminta penjelasan.
"Eh li coba deh buka pesan-pesannya siapa tahu ada petunjuk?" benar juga ususl Mila. Kenapa aku gak kepikiran untuk membukanya?
Aku mulai membuka isi pesannya satu persatu. Ternyata benar banyak kata-kata romantis dari beberapa laki-laki. Bahkan satu pesankupun tak ada. Yang sering nulis kata sayang dan cinta ada 3 orang, Reihan, Marcelo dan Om sayang.
"Huh... ternyata gak semudah itu ya?" Ucap Mila mulai putus asa.
"Eh Li, dia punya akun sosmed gak?" tanya Kevin tiba-tiba.
"Ah, iya benar Vin. Kenapa gue gak kepikiran ngecek akun dia?" jawabku dengan semangat, merasa ada sedikit harapan. Aku mulai mencari semua informasi dari akun sosmednya. Hemmm... ternyata banyak juga cowok yang ingin dekat dengan dia rupanya.
--- II ---
Prilly POV
"Bu, aku berangkat dulu ya? Ibu baik-baik di rumah." Aku pamit pada ibu untuk berangkat sekolah, tak lupa mencium punggung tangannya dulu.
"Iya sayang. Kamu dianterin kang Ari aja ya?"
"Ah, nggak usah bu. Masih pagi juga sekalian olahraga. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Pagi ini aku berangkat sekolah, seperti biasa selalu jalan kaki menuju sekolah. Alhamdulillah sekarang keadaan bapak dan ibu sudah membaik. Bagaimanapun bapak adalah seorang laki-laki jadi mungkin masih bisa menyembunyikan kesedihannya kehilangan Mbak Dewi. Berbeda dengan ibu yang beberapa hari murung dan memilih untuk mengurung diri di kamar setelah aku berangkat sekolah dan akan keluar kamar jika aku pulang sekolah. Itu cerita dari mbok Sri. Namun sekarang ibu sudah kembali bangkit dengan perlahan. Ibu memilih untuk menyibukkan diri di dapur dengan mbok Sri atau merawat taman bunga di belakang rumah, juga sudah mau lagi untuk menghadiri arisan ibu-ibu PKK.
"Pril..." panggil seseorang saat aku sudah berada di depan gerbang sekolah. Ternyata dia, Reihan.
"Gimana keadaan bapak ibumu?" tanyanya.
"Sudah membaik kok Rei. Kamu sendiri bagimana?"
"Ya, memang awalnya aku gak percaya sih tapi mungkin ini sudah takdir. Dan aku juga harus fokus untuk menghadapi UN."
"Iya bener tuh. Memang kehilangan tapi kita juga gak boleh larut kan?" aku membenarkan ucapannya.
"Eh Pril, setelah ini kamu mau melanjutkan ke mana?" tanyanya lagi.
"Emm... aku belum tahu Rei. Masih nyari info nih."
Tet... tet... tet.... Bel masuk pun berdering.
"Em... Rei, maaf aku masuk kelas dulu ya." Pamitku pada Reihan. Tanpa menunggu jawabannya aku langsung melangkah pergi meninggalkannya.
Aku berjalan menuju perpustakaan, namun pada waktu istirahat kali ini ada sesuatu yang membuatku penasaran. Aku mulai mendekat ke arah papan mading, membaca artikel-artikel yang ditempel di sana dan... aku menemukan sesuatu yang membuatku berbinar. Informasi beasiswa masuk PTN. Aku mengurungkan niatku untuk ke perpustakaan, mengalihkan langkahku menuju ruang guru. Aku ingin menemui bapak wali kelasku, tentunya ingin meminta informasi lebih lanjut tentang beasiswa itu.
"Permisi bu. Saya mau bertemu Pak Edi." Ucapku saat aku memasuki ruang guru dan bertanya pada Bu Sinta yang sedang berada di mejanya, meja terdekat dengan pintu masuk ruang guru.
"Pak Edi ya? Pak Edi masih ada dinas luar Pril, mungkin besok atau lusa baru kembali. Ada apa? Mungkin ibu bisa bantu?" jawab Bu Sinta dengan ramah.
"Oh begitu ya bu? Ini saya tadi membaca informasi tentang beasiswa melanjutkan ke perguruan tinggi. Nah, saya ingin tahu info lengkapnya dan bagaimana cara mendaftar." Jelasku pada Bu Sinta.
"Jadi kamu mau ikut program beasiswa masuk PTN Pril?"aku mengangguk menjawab pertanyaan Bu Sinta.
"Oh, gitu... Baiklah.. Ibu bisa membantumu."
"Benar bu? Kalau begitu saya akan dengarkan penjelasan ibu dengan seksama." Jawabku antusias. Lalu Bu Sinta pun menjelaskan apa saja syarat yang harus dipenuhi dan bagaimana cara mendaftarnya.
"Kamu mau ngambil jurusan apa Pril?" tanya Bu Sinta setelah selesai menjelaskan.
"Saya tertarik di bahasa dan sastra bu."
"Kira-kira mau daftar di PTN mana? Di sini, di Jogja apa di kota lain?"
"Itu yang saya belum tahu bu. Saya masih bingung di mana. Oh iya bu, kira-kira bisa daftar di dua tempat nggak ya untuk beasiswanya?"
"Gini aja Pril, kamu lengkapi dulu syarat-syaratnya. Besok kamu bawa. Waktu istirahat kamu temuin ibu saja. Ibu akan bantu kamu."
"Ah, terima kasih bu. Terima kasih banyak. Baiklah kalau begitu saya permisi kembali ke kelas ya bu." Bu Sinta mengangguk. Aku berjalan ke kelas dengan senyum yang tak pernah pudar dengan harapan semoga aku bisa mengikuti program beasiswa itu.
--- II ---
Ali POV
"Ya udahlah Li, kita nyoba tanya-tanya ke teman seangkatannya aja gimana?" Kevin memberi usul.
"Emang lo tahu siapa kira-kira teman dekatnya?" Kevin menggeleng. Aku menunjuk Mila, dia pun menggeleng.
"Satu-satunya cara ya Marcel." Ucap Mila setelah beberapa menit.
"Bener tuh. Emang gimana keadaan dia sekarang?" tanyaku antusias.
"Denger-denger sih masa kritisnya udah lewat. Tinggal nunggu aja perkembangannya." Jawab Kevin.
Drrttt... drrttt...
"Ada apa LI?" tanya Kevin menatapku setelah aku membuka hpku.
"Ntar malem balap yuk Vin?"
"Ogah ah. Sorry gue udah tobat."
"Ah cemen lo!"
"Sorry Li. Gue emang larang Kevin ikut balap lagi." Mila berusaha menjelaskan.
"Hahaha.... Widih, nurut banget ya lo sama dia?" aku tertawa setelah mendengar penjelasan Mila. Apa ini benar-benar tidak logis! Hanya karena seorang cewek dia rela berhenti balap yang merupakan hobinya.
"Bukan gitu Li. Gue cuma mau fokus kuliah habis itu kerja biar cepet bisa nikah sama Mila. Mumpung udah dapat lampu ijo nih..." Jelas Kevin sambil tersenyum.
"Hebat banget ya lo Mil bisa bikin Kevin berubah pikiran. Hobinya aja ditinggalin sekarang." Ucapku meremehkan.
"Lo juga ntar bakal ngerasain Li kalau lo udah bener-bener cinta sama cewek dan ingin mempertahankan cewek itu."
"Eh udah bisa menggurui ya sekarang? Pinter lo Mil. Sorry Mil, hal kaya gitu gak akan pernah gue lakuin hanya demi seorang cewek." Ucapku mantap.
"Sorry Li gue gak bermaksud...."
"Udahlah gak apa-apa." Aku memotong ucapan Mila.
"Sayang, gimana kalau aku nemenin Ali balap? Boleh?" ku dengar Kevin meminta ijin. Aduh, udah kaya pasutri aja nih apa-apa minta ijin. Hal itu gak berlaku di hidup gue.
"Boleh asal beneran gak ikutan balap ya sayang?" Yes!! Mila mengijinkan. Dan gue harus rayu Kevin lagi nanti agar dia mau balapan.
"Ya udah Li, gue anter Mila balik dulu ya. Ntar gue ke sini lagi." Ucap Kevin langsung pergi dari rumah gue.
--- II ---
Prilly POV
"Pak, bu maaf mengganggu. Prilly mau bicara bisa?"
"Ada apa Pril? Sepertinya ada hal yang penting?" tanya bapak padaku.
"Tadi Prilly baca ada info tentang beasiswa masuk perguruan tinggi pak, apa Prilly boleh ikut?" tanyaku hati-hati, takut bapak tidak mengijinkan.
"Memangnya kamu mau kuliah di mana to nduk?"
"Prilly masih bingung pak untuk kuliah di mana. Ini masih mencari info PTN yang kira-kira Prilly mampu masuk ke sana."
Bapak tampak berpikir. Aku semakin deg-degan menunggu apa yang akan dikatakan bapak seterusnya.
"Baiklah bapak pikirkan dulu ya. Bapak rundingkan dulu sama ibumu." Ternyata aku belum bisa mendapatkan jawaban yang melegakan hati. Semoga saja diperbolehkan.
"Iya pak. Kalau begitu Prilly pamit ke kamar ya pak, mau belajar."
"iya nak, belajar yang sungguh-sungguh ya biar nanti nilai UN nya bagus-bagus." Ucap ibu menyemangatiku.
"Iya bu, amin."
--- II ---
Ali POV
"Ayolah Vin, lo ikut ya sekali ini ajalah bro."
"Sorry Li. Gue beneran gak mau ikut balap lagi. Gue cuma mau nemenin lo aja." Udah berapa kali gue rayu si Kevin ternyata dia tetep kekeh juga gak mau balap.
"Heleh segitunya lo. Gue janji deh gak bakalan kasih tahu Mila. Oke?"
"Gue udah bilang Li, enggak ya enggak. Ini bukan masalah Mila. Tapi ini masalah janji Li."
"Yaelah Vin gitu aja lo tanggepin serius. Eh masa muda lo tuh masih panjang kali Vin. Jangan di sia-siainlah. Lagian lo sama Mila juga masih pacaran kenapa mesti nurut sama dia?" ucapku jengkel.
"Lo gak akan ngerti Li. Iya emang gue sama Mila sekarang pacaran tapi bulan depan kita mau tunangan dan masalah gue berhenti balap itu karena gue udah janji di depan ortu gue sama ortu Mila Li."
"Asalkan gak ada yang bilang juga mereka gak bakalan tahu Vin. Gue janji deh gak akan bilang ke Mila atau siapa pun." Aku masih berusaha meyakinkan Kevin.
"Laki-laki yang dipegang adalah ucapannya Li dan gue gak mau jadi laki-laki yang ingkar."
"Sok puitis lo!" Ucapku dan langsung berlari ke segerombolan anak yang udah stand by karena balap akan segera dimulai.
SIAL! Aku tak berhenti mengumpat setelah balapan itu selesai. Kevin menepuk pelan bahuku.
"Ini udah yang kedua kalinya Vin gue kalah dari Dicky." Desisku penuh emosi.
"Mungkin sekarang hati dan pikiran lo lagi kacau Li makanya lo kurang fokus."
"ARRRGGGH.. gue gak terima. Gue harus balas dia. Semua ini gara-gara Dewi."
"Kok jadi Dewi dibawa-bawa sih LI?"
"Vin gue kalah itu semenjak Dewi meninggal. Sebelumnya gue selalu menang. Lo tahu sendiri kan?"
"Ya udah yuk kita pulang. Lo tenangin diri lo dulu." Kevin merangkulku mengajak pulang, Akupun tak menolak.
Setelah Kevin hilang dari pandanganku, aku berjalan masuk rumah dan.. suara itu mengagetkanku.
"Menang balapnya?!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top