Bab 2

Ali POV

Sudahah lupakan dulu masalah isi tas Dewi. Aku minta Kaia untuk mengurus administrasinya dan aku juga meminta Mila untuk menghubungi keluarga Dewi. Kevin menemaniku untuk ke ruang jenazah. Aku tak percaya. Ternyata benar jenazah yang ada di depanku ini Dewi.

"Vin. Lo bilang ada Marcel kan pas kecelakaan tadi?" tanyaku pada Kevin yang setia mengikutiku sedari tadi. Dia hanya mengangguk.

"Lalu di mana dia?"

"ICU."

"Eh Li, lo mau ke mana?" tanya Kevin berlari mengikutiku.

"Gue harus tanyain semuanya pada Marcel. Kenapa bisa jadi kaya gini?"

"Tapi Li, dia kritis. Percuma lo tanyain juga dia gak bakal jawab." Jawaban Kevin membuatku frustasi. Aku mengacak rambutku dengan kasar.

"Li..." Kaia dan Mila menghampiriku dan Kevin.

"Udah beres Li. Papa sama mama juga udah gue kabarin. Sekarang gimana?" tanya Kaia.

"Gue gak tahu Kak."

"Orang tua Dewi minta jenazahnya dibawa pulang Li biar dimakamkan di desanya." Ucap Mila menjelaskan setelah dia menghubungi keluarga Dewi.

"Ya udah Kak, tolong lo urusin semuanya. Gue gak tahu harus ngapain." Ucapku pasrah, memohon pada Kaia.

"Oke, lo tenang ya Li. Kita anterin jenazahnya ke kampung halamannya. Bagaimanapun, keluarganya juga pingin melihat untuk yang terakhir kali kan?" Kaia berusaha menenangkanku.

"Gue diskusiin dulu sama papa mama ya?" aku hanya mengangguk. Benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

--- II ---

Author POV

Perjalanan panjang mereka lalui demi mengantarkan jenazah Dewi. Rasa lelah pun tak dihiraukan. Yang terpenting mereka berharap agar cepat sampai tempat tujuan. Tak ada yang berbincang sedikitvpun dari keenam orang yang turut mengantarkan jenazah Dewi. Apalagi Ali, dia hanya menunduk. Pikirannya kosong. Bahkan menangis pun tak bisa.

Suara tangis yang semakin pecah menyambut kedatangan rombongan pengantar jenazah. Dan karena hari sudah mulai sore, pemakaman pun segera dilaksanakan. Tinggalah keenam orang yang masih setia mengelilingi makam tersebut. Prilly menangis sesenggukan sambil memeluk erat batu nisan sang kakak. Ali pun lemas tak berdaya, menangis di samping pembaringan terakhir itu. Kevin, Mila, Kaia dan Ina berdiri di samping Ali dan Prilly yang masih menangis. Mereka melihat kedua orang ini dengan iba. Bahkan ikut larut dalam suasana.

"Mbak... Mbak Dewi.... Kenapa mbak ninggalin aku secepat ini?"

"Dewi... kenapa lo pergi secepat ini? katanya lo mau serius sama gue?"

"Mbak, aku mohon bangun mbak... Apa mbak gak kangen sama aku?"

"Dewi, apa salah gue? Kenapa lo ninggalin gue?"

Ali dan Prilly terus berucap lirih menyampaikan apa yang dirasakan saat ini. bahkan tangis mereka pun saling bersahutan.

"Mbak Dewiiiii...."

"Dewi...."

Teriak mereka secara bersamaan. Mungkin bisa mengurangi rasa sesak di dada setelah mereka mengungkapkan kegundahan hatinya.

"Mbak, ayo kita pulang. Ikhlaskan mbak Dewi." Ina berusaha mengajak Prilly untuk bangkit.

"Iya Li, ayo kita pulang. Ikhlasin Dewi. Papa, mama sudah menunggu kita." Kaia juga berusaha untuk membujuk Ali agar mau pulang.

"Mbak, apa mbak gak kasihan bapak sama ibu di rumah?" tanya Ina, membuat Prilly mendongakkan kepalanya.

"Bapak ibu..." gumamnya. Ina mengangguk lalu membantu Prilly untuk berdiri. Mila pun dengan sigap membantu Ina memapah Prilly untuk berjalan.

"Ali, ayo kita pulang." Ajak Kaia berusaha membantu Ali untuk berdiri. Kevin pun ikut berjalan di samping Ali. Dia tahu bahwa teman dekatnya ini pasti sangat terpukul.

Tangisan dari beberapa orang di kediaman bapak Rizal pun masih terdengar. Terlebih saat Prilly sudah tiba di rumah, ia langsung duduk memeluk ibunya larut dalam tangis bersama.

Malam pun tiba, tangisan itu sudah tak terdengar lagi. Tak ada yang bersuara. Hening untuk beberapa menit.

"Maaf Zal, kami pamit ya.." Ucap Pak Syarief memecah keheningan.

"Ini sudah malam Rief. Sebaiknya kalian menginap di sini saja dulu. Besok pagi barulah kalian pulang."

"Iya kami akan kembali ke Jakarta besok. Sekarang kami akan mencari hotel untuk menginap."

"Di sini jauh dari kota Zal. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk ke sana. Lagi pula ini sudah malam. Tidurlah di sini. Biar disiapkan kamar dulu."

"Mbok, tolong siapkan kamar untuk mereka ya?" Pinta Pak Rizal pada mbok Sri yang berada di samping Prilly dan Ina. Mbok Sri pun mengangguk dan segera melaksanakan perintah tuannya.

"Biar Prilly tidur bareng Ina aja pak. Kamar Prilly untuk mbak-mbak ini." Ucap Prilly menunjuk kedua gadis di depannya.

"Kaia. Panggil gue Kaia."

"Gue Mila."

Ucap Kaia dan Mila bergantian sambil menjabat tangan Prilly.

--- II ---

Sinar mentari pagi telah menerobos setiap ruangan yang ada di rumah Prilly, menggantikan cahaya lampu neon yang sudah berjam-jam setia menemani sang malam. Suasana duka masih menyelimuti rumah ini. Namun hal itu tak menyurutkan kedua Pria paruh baya untuk berbincang.

"Ternyata dunia ini benar-benar sempit ya Zal. Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi setelah cukup lama kita hilang komunikasi." Ucap Pak Syarief memulai perbincangan.

"Iya, ya Rief. Oh iya Rief kamu kok kenal sama anakku Dewi?"

"Oh itu... Dia pacar Ali, anakku. Aku juga baru mengenalnya sekitar 10 hari yang lalu saat Ali mengajak main ke Bandung."

"Kamu tinggal di Bandung ya?"

"Iya, aku sekarang menetap di Bandung. Tapi Ali dan kakaknya, Kaia di Jakarta. Ali kuliah sedangkan Kaia berkerja di kampus Ali."

"Oh, begitu..."

"Mana Ully Zal?" tanya Bu Resi yang tiba-tiba muncul.

"Masih ada di kamarnya. Ditemani Prilly."

"Boleh aku ke sana?" Pak Rizal mengangguk sebagai tanda persetujuan. Merasa mendapat persetujuan dari sang tuan rumah, tanpa berniat untuk membuang waktu Bu Resi pun segera berlalu.

"Vin, mana Ali?" tanya Pak Syarief saat melihat Kevin berjalan menuju tempat mereka.

"Masih ada di kamar om. Dia masih pingin menyendiri katanya."

"Pagi pa, om." Sapa Kaia kepada kedua pria paruh baya tersebut.

"Mama sama Ali mana pa?"

"Mamamu sedang menemani tante Ully di kamarnya, Ali masih belum mau keluar juga."

"Kalau gitu Kaia nyusul Ali ya pa." Ucap Kaia dan langsung berlalu dari hadapan mereka.

--- II ---

"Bu, aku bantu-bantu Mbok Sri ya? Ibu ngobrol saja sama tante..." Prilly menghentikan ucapannya karena merasa bingung harus memanggil apa pada seorang wanita paruh baya di hadapannya ini.

"Resi. Kamu panggil tante Resi ya sayang?" Ucap Resi sambil mengelus bahu Prilly. Prilly mengangguk dan tersenyum.

"Gak apa-apa kan bu? Ibu ngobrol dulu sama tante Resi ya?" Ibu Ully hanya mengangguk tanpa berbicara sepatah katapun. Prilly beranjak dari kamar Ibu Ully namun dia tak lupa untuk mencium punggung tangan kedua wanita paruh baya tersebut.

"Eh, dek..." Prilly menoleh ke asal suara saat dia baru saja menutup pintu kamar ibunya.

"Iya mbak? Mbak manggil aku?"

"Ah iya. Maaf gue lupa nama lo."

"Aku Prilly mbak. Oh iya, ada apa ya mbak? Ingin sesuatu?"

"Eemmm... Gue bingung nih harus ngapain. Kaia sedang bujuk Ali agar mau keluar kamar. Kevin lagi asyik ngobrol sama Om Syarief dan ayah lo. Tante Resi juga katanya lagi nemenin ibu lo. Terus lo mau ke mana?"Jelas Mila atas kebingungannya pada Prilly.

"Oh, aku mau ke dapur mbak, bantuin Simbok."

"Aku boleh ikut ya? Dari pada sendirian nih."

"Boleh kok mbak. Ya udah ayo mbak Mila." Mereka pun lantas menuju dapur dan membantu menyiapkan sarapan. Setelah hidangan menu sarapan siap, Ina mendapat tugas untuk memberi tahu seluruh orang untuk segera menuju ruang makan. Pak Rizal, Pak Syariief dan Kevin pun segera mengambil tempat untuk diduduki.

"Ibu belum mau keluar ya tan?" tanya Prilly seketika melihat Ibu Resi menuruni anak tangga menuju tempat makan.

"Katanya mau ganti baju dulu sayang."

"Oh ya udah Prilly susul saja tan." Ibu Resi pun mengangguk pada Prilly lalu berjalan dan mengambil tempat duduk di sebelah suaminya.

"Ali mana Kai?"

"Gak mau keluar pa." Jawab Kaia sambil mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Mila.

"Ya udah Kevin coba susul Ali om." Kevin pun berlari menaiki anak tangga untuk membujuk Ali agar mau sarapan bersama.

Bebrapa menit kemudian tampak Prilly menggandeng ibunya menuruni anak tangga dengan perlahan. Semua tersenyum melihat ke arah mereka. Akhirnya Ibu Ully mau keluar kamar juga. Pak Rizal pun berdiri menarik kursi untuk istrinya. Mereka sudah duduk di tempat masing-masing namun, belum ada yang memulai untuk makan karena masih menunggu dua orang lagi.

"Ya udah Prilly susul mereka ya?" Prilly meminta izin untuk menyusul kedua orang tersebut, dengan cepat dia berlari ke arah tangga tanpa memperhatikan sekelilingnya..

BUGH

"Awwwss..." Prilly meringis, memegangi dahinya. Dia baru saja menabrak atau tertabrak sesuatu. Saat Prilly mendongakkan kepalanya, betapa kagetnya dia melihat sosok yang ada di hadapannya.

"Maaf, maaf Prilly gak tahu. Maaf ya mas." Prilly meminta maaf pada seseorang itu sambil mengelus perut lelaki itu berulang kali.

"Aduh, pasti sakit ya mas. Maaf ya?"

Prilly baru saja bertabrakan dengan Ali di tangga. Ali menepis tangan Prilly kasar hingga mengenai kayu tempat berpegangan di sisi tangga. Prilly mengibaskan tangannya itu sambil meniupnya berulang agar rasa sakitnya berkurang. Sedangkan Ali melanjutkan langkahnya menuju tempat di mana semua orang sudah berkumpul untuk makan, Kevin hanya memandang Prilly iba dan mengikuti langkah Ali. Semua orang yang melihat adegan tersebut tak ada yang berani untuk berkomentar. Suasana di ruang makan pun menjadi hening sesaat sebelum Pak Rizal mengajak mereka untuk makan. Suasana makan pagi ini tidak begitu menyelerakan karena duka masih menyelimuti hati mereka. Namun Prilly tidak tinggal diam saat melihat ibunya hanya diam, tak menganggap nasi yang ada di depannya.

"Ibu makan ya? Dari kemarin kan ibu belum makan? Prilly suapin ya?" Prilly mendekati ibunya dan membujuknya untuk makan. Namun tak ada jawaban.

"Kalau ibu tidak makan nanti ibu sakit. Pasti Mbak Dewi sedih melihat ibu sakit. Prilly suapin ya? Sedikit aja ya bu, ya?" Prilly masih berusaha untuk merayu ibunya agar mau makan. Semua orang pun memperhatikan Prilly dan ibunya. Mereka menghentikan acara makannya seketika.

"Ibu, gak baik kan kalau ada tamu kita tidak menjamunya? Ibu dulu bilang begitu kan ke Prilly? Nanti keluarga Tante Resi gak mau makan lho bu kalau ibu tidak makan. Prilly suapin ibu ya?" masih tak ada jawaban juga. Namun, hal itu tak membuat Prilly menyerah.

"Ya udah Prilly temani ibu di sini ya, Prilly juga gak mau makan kalau ibu gak makan. Nanti kalau sakit biar kita sakit bersama. Apa ibu gak kasihan bapak nanti kalau kita sakit bu?" hening, masih tak ada yang bersuara.

"Iya ibu makan." Ucap Ibu Ully setelah beberapa saat. Prilly tersenyum.

"Ya udah sana kembali duduk dan makan." Perintah Ibu Ully saat melihat Prilly masih tetap berada disampingnya.

"Prilly mau nungguin di sini lihat ibu makan. Biar ibu gak bisa bohongin Prilly."

"Iya, iya ibu makan. Nih lihat." Ibu Ully pun memasukkan sesendok nasi serta lauknya sebagai bukti bahwa dia tidak berbohong. Prilly tersenyum melihatnya dan ternyata hal itu juga dapat membuat semua orang yang sedang berada di ruang makan itu ikut tersenyum kecuali Ali. Dia tak tersenyum namun juga tak menangis. Ekspresinya datar saja tak dapat diartikan. Entahlah.

"Udah lihat ibu makan beneran kan? Ya udah sana sekarang kamu kembali duduk dan makan." Ucap Ibu Ully setelah selesai mengunyah makanannya. Prilly pun mengangguk lalu kembali ke tempat duduknya untuk menyantap sarapannya. Dan yang lain pun ikut melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top