Bab 1
Author POV
Seorang gadis tengah mengayunkan langkah di tepi jalan sambil sesekali menyeka bulir-bulir keringat yang menetes di wajahnya. Sinar matahari yang cukup terik siang itu tak menyurutkan langkah si gadis. Dia terus berjalan dan berjalan, sendirian. Seperti biasanya, dia selalu pulang ke rumah berjalan kaki. Walaupun sekarang ini adalah zaman yang menuntut sebagian besar manusia di dunia ini harus selalu up to date, namun tidak dengan gadis ini. Hal itu bahkan tidak mempengaruhinya sedikit pun.
Dia adalah Prilly Latuconsina, anak kedua dari pasangan Rizal Latuconsina dengan Ully Julita. Dia mempunyai seorang kakak perempuan yang bernama Dewi Latuconsina. Prilly, seorang gadis yang berbeda dengan gadis-gadis lainnya. Selain cantik, berprestasi di sekolah, dia juga rajin membantu pekerjaan di rumah seperti memasak dan bersih-bersih. Berbeda sekali dengan kakaknya, Dewi. Dewi gadis yang cantik, putih, dan tinggi. Pokoknya perfect dan selalu menjadi primadona kaum adam. Namun dengan kesempurnaan fisiknya, dia menjadi pribadi yang sangat egois. Bahkan tak jarang membuat Prilly harus selalu mengalah demi kakaknya.
--- II ---
Prilly POV
Aku berjalan pulang menuju rumah. Panas matahari yang sangat menyengat membuatku berkeringat. Namun aku harus tetap melanjutkan langkah yang baru separo perjalanan ini.
"Pril..." panggil seseorang membuatku menghentikan langkahku lalu menoleh padanya.
"Bareng yuk?" dia menawariku untuk pulang bersamanya. Reihan, teman sekolahku yang juga tetanggaku.
"Nggak usah Rei, terima kasih." Tolakku.
"Udahlah ayo. Masih 20 menit lagi nih kamu sampai rumah jika harus jalan kaki." Ajaknya lagi.
"Iya gak apa-apa, udah biasa juga kan?" jawabku, melanjutkan langkahku.
"Udah ayo naik." Dia masih memaksaku.
"Tapi..."
"Gak usah dipikirin, nanti aku yang bilang sama Dewi. Lagian dia juga tidak di rumah kan?" ucapnya memotong ucapanku.
Benar juga apa yang dia bilang tapi bagaimanapun juga aku tak mau ada salah paham lagi dengan Mbak Dewi.
"Udah ayo ah, panas nih." ajaknya lagi menyadarkanku yang berkutat dengan pikiranku sendiri.
"Tapi janji ya nanti kamu yang jelasin ke Mbak Dewi."
"Oke, Sip." Jawabnya sambil mengacungkan ibu jarinya.
Akupun naik ke sepeda motornya, hanya butuh waktu kurang dari 10 menit aku sudah sampai di depan rumah.
"Rei makasih ya tumpangannya." Ucapku saat aku turun dari motornya.
"Sama-sama. Ya udah aku langsung pulang ya Pril." Pamitnya.
Akupun langsung berlari menaiki tangga di depan rumah menuju pintu ruang tamu.
"Assalamualaikum..." Ucapku saat membuka pintu rumah.
"Waalaikumsalam. Eh mbak sudah pulang?" tanya Mbak Ina, anak Mbok Sri pembantu rumahku. Mbok Sri ikut dengan bapak ibuku sejak Mbak Dewi lahir, jadi sudah hampir 20 tahun mereka tinggal di rumahku. Kami semua pun sudah menganggap Mbok Sri dan Ina sebagai keluarga.
"Iya mbak. Kok sepi ibu ke mana mbak?" tanyaku pada Mbak Ina yang sedang menyeterika.
"Oh, ibu katanya ada arisan mbak. Kalau bapak baru saja ke kembali ke kebun."
"Oh, ya udah aku ganti baju dulu ya mbak." Pamitku.
--- II ---
Selesai berganti baju, aku langsung turun ke lantai satu menuju dapur untuk makan. Kebetulan ruang makan dan dapur jadi satu.
"Eh mbak nggak usah. Nanti biar mbok aja yang ngerjain." Cegah Mbok Sri saat melihatku mencuci piring.
"Udahlah mbok nggak apa-apa. Cuma cuci piring kan?" jawabku tersenyum dan masih melanjutkan pekerjaanku.
"Eh mbak tadi kok bisa di bonceng Reihan?" tanya mbok Sri tiba-tiba.
"Iya tadi ketemu di jalan. Sebenarnya aku sudah menolak mbok tapi dia maksa." Jelasku. Memang benar kan tadi aku sudah menolaknya?
"Iya mbok gak ada maksud apa-apa nih ya mbak. Tapi gimana nanti kalau Mbak Dewi tau? Pasti Mbak Illy akan diomelin dan diadukan ke bapak juga ibu."
"Iya mbok aku juga tau. Tapi katanya Rei akan menjelaskan ke Mbak Dewi langsung."
"Mbak Illy...." Mbak Ina berteriak memanggilku.
"Iya Mbak ..." jawabku ikut berteriak pula karena letak dapur di lantai satu sedangkan ruang tamu, kamar tidur, juga ruang keluarga semua ada di lantai dua. Dan yang ada di lantai satu adalah sebuah garasi, dapur, dan dua kamar tidur untuk Mbok Sri dan Mbak Ina, juga ada satu kamar mandi.
"Ada telfon dari Mbak Dewi." Ucap Mbak Ina sambil berlari ke arahku.
"Tuh kan mbak baru juga diomongin." Mbok Sri mencegahku.
"Gak apa-apa mbok. Nanti bisa tambah marah kalau gak aku angkat." Jawabku, sambil berjalan ke lantai dua.
"Assalamualaikum mbak." Sapaku saat aku mengangkat telfon.
"Eh, udah berapa kali aku bilang? Jangan coba-coba dekatin Reihan lagi! Emang kamu pikir aku gak tau apa?!" bukannya menjawab salam eh malah langsung nyerocos ngomelin aku. Sabar Pril.
Aku hanya diam, menunggu Mbak Dewi melanjutkan perkataannya. Aku tak akan lagi membela diri karena itu pasti tetap akan sia-sia belaka.
"Halo sayang... apa? Oh iya gak apa-apa kok. Tapi harusnya kamu ijin aku dulu. Oh gitu? Iya.. iya... oke deh." Aku mendengar Mbak Dewi sepertinya sedang berbicara dengan seseorang.
"Ya udah Pril aku cuma mau mengingatkan kamu aja. Jangan kamu ulangi lagi. Untung Reihan sudah menjelaskan barusan." Katanya lagi dan langsung memutuskan sambungan telfonnya. Jadi tadi Reihan yang telfon? Ah, kenapa baru telfon sekarang sih? Ya sudahlah.
"Mbak gak apa-apa kan?" Tanya Mbok Sri membuatku terperanjat kaget. Sejak kapan Mbok Sri dan Mbak Ina ada di belakangku?
"Huh, mbok ini bikin kaget aja. Sejak kapan disini?"
"Sejak Mbak Illy ngangkat telfon." Jawab Mbak Ina jujur.
"Nguping nih?" tanyaku menggoda mereka. Dan mereka mengangguk. Lucu sekali, jujur banget nih orang.
"Illy gak apa-apa kok. Udah ah Illy mau belajar dulu. Bentar lagi kan UN." Ucapku pamit menuju kamar.
--- II ---
Seminggu berlalu. Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Namun semua berubah saat aku sampai di rumah. Semua orang menangis. Ada apa ini?
"Bapak, ibu ada apa?" tanyaku pelan, duduk di damping ibu.
"Mbakyumu nduk... mbakyumu..." jawab ibu terisak.
"Mbak Dewi? Kenapa bu Mbak Dewi?" tanyaku penasaran.
"Mbakyumu kecelakaan nduk. Dia meninggal." Jawab bapak.
Bagai di sambar petir, aku tercengang mendengar penuturan bapak. Astaghfirullah... seketika air mataku menetes tanpa ijin.
"Ini nggak benar kan bu?" tanyaku memeluk ibu dengan terisak.
"Bener mbak. Mbak Dewi tadi pagi kecelakaan." Jelas Mbak Ina yang sedang berjongkok di sampingku. Tangiskupun semakin menjadi. Aku masih tak percaya. Gak mungkin. Gak mungkin Mbak Dewi meninggal.ini pasti bukan Mbak Dewi ku. Nama Dewi kan banyak.
--- II ---
Author POV
Seorang lelaki tampan yang menjadi idola para gadis di kampusnya kini sedang berusaha mengumpulkan nyawanya yang tercecer. Dia sudah terbangun dari tidurnya namun masih enggan untuk membuka matanya.
Lelaki itu bernama Ali Syarief. Anak kedua dari pasangan Resi Refado dan Syarief Al-Katiri. Dia mempunyai seorang kakak perempuan yang juga cantik bernama Kaia Syarief. Ali adalah lelaki tampan, jenius, dan ramah. Bisa di bilang karena keramahannya itulah banyak gadis yang salah paham padanya. Ali selalu di anggap sebagai seorang PHP yang sukses pada setiap gaids yang dekat dengannya. Tak jarang ada yang menjulukinya sebagai playboy.
--- II ---
Ali POV
Suara dering hp membuatku tersadar 100% dari tidurku. Dengan segera aku mengangkat telfon itu. Siapa juga yang telfon pagi-pagi begini? Aku menggerutu karena merasa terganggu. Hari ini Hari Sabtu tdak ada jadwal kuliah jadi seharusnya aku bisa berlama-lama dalam alam mimpi dulu.
"Halo sayang? Ada apa sih? Masih pagi juga." Sapaku saat ku tau yang menelfon adalah Dewi. Pacarku. Entahlah dari sekian gadis yang dekat denganku, aku hanya memilih Dewi untuk ku jadikan sebagai pacar.
"Halo. Li bangun. Dewi kecelakaan." ku dengar suara seorang lelaki dari telfon Dewi. Siapa dia? Kenapa hp Dewi bisa ada di tangan seorang laki-laki?
"Halo... Ali? Lo udah melek kan??" tanyanya lagi, menyadarkanku dari pikiran-pikiran burukku.
"Eh, iya. Anda siapa? Kenapa hp Dewi ada pada anda?" tanyaku tak sabar karena penasaran. Semoga dia bukan selingkuhan Dewi.
"Gue Kevin. Li lo denger kan Dewi kecelakaan. Sekarang dia ada di rumah sakit...." Matakupun membulat mendengar berita itu dan segera beranjak dari tempat tidur.
"Ah, jangan bercanda lo Vin?" jawabku tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan.
"Ini beneran Aliiii! Dewi mengalami kecelakaan, rem mobilnya tidak berfungsi. Sebaiknya lo ke sini secepatnya. Semua akan gue jelasin nanti kalau lo udah nyampe rumah sakit Harapan Bunda." Jelasnya. Apa-apaan ini? Dewi? Kecelakaan? Mobil? Dewi di sini tinggal di kost, dia selalu minta antar jemput aku kalau mau kemana-mana. Apa mungkin Dewi dibelikan mobil ayahnya ya? Mengapa dia tidak cerita?
"Huh, lebih baik aku segera bergegas ke rumah sakit untuk memastikannya itu benar Dewi pacarku atau Dewi yang lain." Aku berbicara sendiri dalam hati.
"Mau kemana?" tanya Kaia saat aku sedang terburu-buru menuruni anak tangga.
"Ke rumah sakit. Dewi kecelakaan." Jawabku cepat sambil berlari keluar rumah.
"Tunggu, aku ikut." Teriak Kaia yang langsung mengikutiku keluar.
--- II ---
"Ali..." panggil seseorang saat aku tiba di rumah sakit.
"Kevin?" aku bergumam saat mendapati Kevin dan Mila menghampiri aku dan Kaia.
"Lo yang tabah ya bro." ucap Kevin saat sudah berada disampingku, menepuk pundakku pelan. Aku mengernyitkan dahiku juga menautkan kedua alisku. Aku tak mengerti apa maksudnya.
"Dewi meninggal Li." Ucap Mila.
"Heh apa-apaan kalian ini? Jangan bercanda?!"
"Dewi kecelakaan tadi dan...." Belum sempat Mila mengatakan lebih, seorang dokter menghampiri kami.
"Keluarga korban kecelakaan mobil tadi pagi?" aku mengangguk cepat.
"Mari ikut ke ruangan saya." Ucap dokter tersebut. Aku langsung mengikuti langkahnya, begitu juga dengan Kaia, Kevin dan Mila.
"Maaf anda keluarga dari korban laki-laki apa perempuan?" tanya dokter itu. Korban laki-laki atau perempuan? Maksud dokter apa nih?
"Perempuan. ." Jawabku cepat.
"Anda yang tabah ya."
"Maksud dokter?"
"Saudara Dewi mengalami kecelakaan tadi pagi pukul 06.30. dan maaf kami tidak bisa berbuat lebih banyak, karena sesampainya di rumah sakit ini korban sudah meninggal."
"Ini gak mungkin dok.." jawabku masih tak percaya.
"Dewi gak punya mobil mana bisa dia kecelakaan?" lanjutku, menggelengkan kepalaku cepat.
"Nyatanya teman anda ini menemukan mereka di tempat kejadian tadi." Jawab dokter menunjuk Kevin dan Mila yang berdiri di belakangku.
"Jelaskan sekarang!" desisku pada Kevin.
"Tadi gue sama Mila mau ke rumah lo, tapi di jalan kita lihat ada mobil kecelakaan menabrak pohon di tepi jalan. Gue dan Mila sepertinya mengenal mobil itu. Lalu kita keluar untuk melihatnya. Dan benar di dalam mobil itu ada Dewi dan Marcel."
"Marcel?"
"Iya, itu mobil Marcel. Dan kita juga menemukan ini." Lanjut Kevin sambil memberikan tas Dewi padaku. Aku langsung menggeledahnya, mungkin ada petunjuk.. Apa ini? Kondom? Pil?
"Ini pil apa?" Tanya Kaia yang ku rasa sama penasarannya denganku.
"Mana sini coba saya lihat." Dokter itupun mengambil pil yang ada di tangan Kaia. Sesaat kemudian dokter itu menjawab rasa penasaran kami.
"Ini sepertinya sejenis pil KB."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top