9. Nakigitsune: Tonight's Seduction

今宵の誘惑
Nakigitsune
Requested by @EimiShion








Tidak sedikit hal ganjil yang membuat gadis itu terpaksa berpikir mengapa para pedangnya banyak bersikap tidak selayaknya manusia normal. Tentu saja! Pertama, mereka bukan manusia. Karena itu dia masih bisa memaafkan Tsurumaru yang kelewat jahil sampai kadang dia ingin menggantungnya terbalik di ranting pohon sakura yang tumbuh di sekitar citadel, atau pun menganggap bahwa rasa malu berlebihan pada Yamanbagiri adalah kecenderungan yang masih bisa dimaafkan. Tapi, ada satu hal yang membuatnya selalu penasaran hingga kadang dia berguling di atas futonnya sambil memikirkan seribu rencana agar rasa penasarannya itu bisa terobati.

Nakigitsune.

Pemuda pedag itu sedikit berbicara meskipun para saudara Awataguchinya kebanyakan adalah bocah yang sangat berisik. Lalu, yang membuat gadis itu ingin tahu lebih banyak lagi tentang Nakigitsune adalah, kenapa dia tidak pernah melepas topeng setengah wajahnya itu?

Lupakan rubah kecil yang selalu melingkar nyaman di atas bahunya, gadis itu tidak peduli meskipun dia tahu bahwa menyentuh si rubah pasti terasa sangat halus dan meyenangkan. Sebagai tuan di citadel ini, dia hanya ingin mengetahui tentang semua para pedang yang selama beberapa tahun ini menjadi punggawanya. Karena itu, demi apapun, dia harus melihat dengan kepalanya sendiri seperti apa wajah dari bilah Awataguchi tersebut. Apakah wajahnya setampan Ichigo Hitofuri? Atau malah cantik seperti Midare?

Entahlah. Yang jelas dia sudah menemukan sekutu untuk menguak seperti apa paras Nakigitsune tanpa topengnya.

🍁🍁🍁

"Tidak, tidak! Itu bukan rencana yang bagus!" Kalau kalian tahu siapa raja dokkiri|1| di citadel, kalian pasti mengenal baik seperti apa bangau albino bernama Tsurumaru Kuninaga yang selalu memiliki seribu satu muslihat untuk mengerjai siapapun yang dikenalnya.

Ya, Tsurumaru sangat antusias saat sang tuan berkata kalau dia sangat penasaran dengan sosok Nakigitsune yang misterius. Dan tanpa diminta pun, pemuda pedang itu dengan senang hati menawarkan diri untuk menjadi volunteer dalam berbagai rencana yang akan dilakukan oleh sang tuan.

"Setidaknya, mari kita coba dulu!" Ucap si gadis sambil mengisi pistol mainan dengan air. "Ini akan menjadi pertarungan yang panas."

Panas?!

Yang benar saja? Bermain air di musin gugur sangat tidak disarankan kecuali kau ingin berakhir flu atau demam. Karena itu pula Tsurumaru tidak setuju dengan ide tuannya. Selain sang tuan juga bisa ikut sakit, kemungkinan flu-nya menyebar selalu ada hingga seluruh citadel bisa terjangkit. Namun dengan keras kepala gadis ini, yang bisa Tsurumaru lakukan adalah pencegahan agar dia maupun targetnya; Nakigitsune tetap dalam fase aman.

Menit berlalu, sang tuan sengaja membawa ember penuh air untuk mengisi ulang pistolnya, kemudia bersembunyi di balik dinding kayu.

Kamar para Awataguchi tidak jauh dari sana, dan sang gadis bisa mendengar suara ribut para bocah, ditambah suara nyaring rubah Nakigitsune yang sepertinya memang tidak bisa diam.

"Yakin mau mulai sekarang?" Tsurumaru bertanya. Pemuda pedang itu yang akan mendatangi kamar Awataguchi dan memanggil Nakigitsune, berkata kalau sang tuan memanggilnya.

"Sakusen kaishi!"|2| Sang gadis berbisik dengan menggerakan tangan kanan, mengisyaratkan agar Tsurumaru segera bergerak.

Si putih yang mau tak mau harus menurutinya itu mulai beraksi menuju pintu kamar para Awataguchi. Setelah itu terdengar suaranya memanggil Nakigitsune. Tidak ada sahutan dari pemuda yang gadis itu harapkan kehadirannya, namun seperti biasa sebagai pengganti, rubah setia yang selalu bertengger di lehernya itu menjawab. "Kashikomarimashita, Tsurumaru-dono!"

Setelah itu kamar Awataguchi kembali riuh oleh suara para bocah. Gadis yang masih berusaha untuk tidak menimbulkan suara di balik dinding kayu itu sedikit terganggu, mengingat dia harus waspada mendengarkan langkah Nakigitsune yang kemungkinan datang mendadak.

Ah! Dia datang!

Si gadis segera bergerak cepat saat telinga sensitifnya mendengar langkah kaki yang cukup dekat dengan keberadaannya. Dengan cepat pula dia menekan pelatuk pistolnya hingga air terbang menuju sasaran.

Dengan semangat juang tinggi yang membuatnya lupa banyak hal, si gadis sempat terlambat menyadari kalau yang berada di depannya kini bukanlah Nakigitsune. Melainkan si sulung Awataguchi, Ichigo Hitofuri yang surai birunya kini sudah cukup kuyup terkena air.

"Ichi-nii?"

Keheningan pecah saat Nakigitsune, sosok yang sebenarnya dia harapkan justru tiba belakangan dengan sorot polos.

"Aruji-dono? Nakigitsune akan datang ke tempatmu. Kenapa kau ada di sini?"

Suara rubah cempreng yang terdengar di telinga sang gadis membuatnya gugup, otaknya berputar memilih jawaban yang sekiranya bisa membuatnya lolos dari omelan Ichigo Hitofuri yang sepertinya masih terguncang. Pada akhirnya, gadis itu memilih untuk meraih ember yang masih penuh terisi air, dan menyiramnya secepat kilat ke arah mereka sambil berteriak, "Rasakan seranganku!"

Gebyuran sekaligus teriakan sang tuan mau tak mau ikut mengundang bocah-bocah yang semula bermain di dalam.

"Wah! Ajak aku bermain juga Aruji!" Salah satu dari bocah pedang itu berteriak setelah mereka memeriksa keluar, dan menemukan kakak-kakak mereka sudah basah kuyup.

🍁🍁🍁

"Tsurumaru, sudah kubilang jangan ajari Aruji yang tidak-tidak!"

Lalu, mereka berakhir dengan bersimpuh tak berdaya mendengar ceramah Hasebe yang sempat terpeleset ketika dia memeriksa keributan yang terjadi di depang kamar Awataguchi.

"Aku kan sudah melarangnya..." cibir Tsurumaru berbisik, tapi tangan si gadis mendarat keras di punggungnya. Mengisyaratkan bahwa dia tidak ingin lagi ceramah Hasebe bertambah panjang.

"Sudahlah, cepat ke ofuro dan hangatkan diri kalian!" Putus Hasebe. "Tidak lucu kalau tuan citadel masuk angin ketika pesta tsukimi |3| diselenggarakan."

Benar. Beberapa hari ini citadel sedikit sibuk untuk persiapan tsukimi. Bahkan seharian ini Shokudaikiri tak keluar sejengkal pun dari dapur untuk mempersiapkan masakan demi masakan sementara Yamanbushi juga Dodanuki sibuk menumbuk mochi di halaman belakang layaknya mereka hendak menyambut tahun baru.

Tapi, terserah!

Tsukimi bisa gadis itu lakukan di bibir jendela kamar di saat bulan bersinar dengan penuhnya setiap saat. Tapi, tidak dengan wajah Nakigitsune.

"Hah, lanjut?! Kau tidak lihat tadi Hasebe marah-marah seperti itu?" Tsurumaru menghela napas panjang. "Ada sesuatu yang lebih menyenenangkan untuk dilakukan, seperti mencuri tsukimi dango buatan Mitsu-bou. Dan, lagipula aku tidak begitu berminat dengan paras Nakigitsune."

"Aku tidak berminat dengan 'mencuri tsukimi dango' karena Shokudaikiri pasti akan memberikannya padaku!" Sang tuan mengembungkan pipinya kesal.

Apa boleh buat, Tsurumaru tidak bisa jadi koalisinya lagi. Dia harus mencari rencana baru, tanpa si putih.

"Aruji, kau mau kemana?"

"Mandi!"

Tunggu, Mandi?

Benar sekali, mandi!

Nakigitsune dan lainnya pun pasti berniat untuk mandi!

🍁🍁🍁

"Yamanbagiri!"

Pemuda bertudung itu sedikit membuka mata ketika dia mendengar seseorang berbisik dari bawah sana. Tidak biasa ada seseorang yang membangunkannya saat ia tertidur dia atas dahan pohon yang menurutnya tidak akan terlihat oleh siapa pun kecuali seseorang mendongkak ke atas.

Dan kali ini dia melihat gadis tuannya berdiri di bawah sambil merapatkan salah satu telunjuknya dengan bibir. Berarti Yamanbagiri tidak boleh berisik.

"Aku ingin memanjat juga, bisa membantuku?"

Sejenak Yamanbagiri diam, berpikir. Padahal tuannya ini sempat bilang kalau dia takut ketinggian, tapi tiba-tiba dia ingin naik pohon. Pemuda itu ingin menolak, karena dia tidak ingin sesuatu yang berbahaya terjadi ditambah dia ingin tidur dengan tenang dan damai. Tapi sepasang mata imut tuannya yang tampak memohon itu memaksanya untuk menerima.

"Hati-hati!" Yamanbagiri kembali mengingatkan.

Pemuda itu turun ke dahan yang lebih rendah untuk membantu sang tuan memanjat, hingga akhirnya gadis itu berhasil menginjak dahan pertamanya.

"Aku ingin ke atas, bisa membawaku ke sana?" Kemudian, tuannya itu menunjuk dahan yang lebih tinggi lagi.

Yamanbagiri diam, kembali berpikir.

Tuannya ini terlihat tidak biasa.

Ada yang dia sembunyikan.

Benar! Pasti gadis itu menyembunyikan sesuatu. Dan Yamanbagiri bisa melihat sesuatu yang mengganjal di lengan hakui-nya|4|.

"Aruji, apa yang ada di sana?" Tanya pemuda itu menyelidik

Diluar dugaan, gadis itu mengeluarkan benda yang dia simpan di sana dan memperlihatkannya pada Yamanbagiri. "Teropong. Aku berpikir untuk melihat keadaan di sekitar citadel dengan ini. Siapa tahu kan, kalau tiba-tiba ada musuh yang menyerang."

"Kita berada pada dimensi yang berbeda dengan musuh. Kau yang paling tahu itu."

Benar juga!

"Kalau begitu, biarkan aku melihat sesuatu yang biasa kau lihat dari atas sana!"

Mencurigakan. Tapi Yamanbagiri menelan kecurigaannya itu dengan tetap membawa sang tuan naik ke dahan yang lebih tinggi.

"Sesuai dugaanku..." gumam si gadis.

"Apa?" Yamanbagiri kembali bertanya.

"Ah, tidak! Maksudku, sesuai dugaanku kalau aku bisa melihat semuanya lebih jelas. Lihat, pohon sakura di seberang sana juga!"

Tentu saja, gadis itu tidak bisa berkata bahwa dia berharap Nakigitsune masuk ke rotenburo dan mandi di sana. Jadi dia menunjuk mannenzakura yang ada tumbuh di padang rumput di luar citadel.

Yamanbagiri mengangguk. Dia terus memperhatikan tuannya yang kini mengarahkan teropong ke arah...ofuro.

"Cih, dia tidak melepasnya." Si gadis mendecak begitu lensa teropongnya mendapati Nakigitsune yang tengah berendam di kolam air panas, lengkap dengan rubah di leher dan topeng setengah wajahnya.

Pemuda pedang di sebelahnya mengernyit. Meskipun kernyitan pada dahinya kemudian hilang diganti oleh semburat merah di pipinya.

"Aruji, jangan-jangan kau sudah memasuki usia seperti itu..."

"Hah?!"

Sepertinya perkataan terakhir gadis itu mengundang kesalahpahaman yang
membuat Yamanbagiri memerah. Dan, si gadis pun ikut memerah.

"Ti-tidak! Bukan itu maksudku!"

🍁🍁🍁

Dia bisa turun dari atas pohon dengan selamat setelah sempat nyaris jatuh karena dia terkejut kenapa Yamanbagiri bisa berpikir sedemikian rupa ditambah desibel suaranya yang cukup keras pun menarik perhatian hingga Hasebe yang kebetulan lewat memergoki mereka.

Herannya, kenapa harus selalu Hasebe?!

"Aku tidak akan memanjat lagi. Sudah! Kalau begitu aku akan membantu Mitsutada di dapur!" Ucap si gadis kesal setelah kembali diceramahi oleh pelayan setianya.

Sesuai ucapannya, dia datang ke dapur dengan pipi cemberut. Dia menemukan Shokudaikiri sedang sibuk dengan masakannya dibantu oleh Kasen yang kini berdiri di depan bak cuci untuk membersihkan alat-alat yang kotor.

"Ada yang bisa kubantu?"

Kedua bilah itu menoleh saat mendengar suara familiar sang tuan datang menyapa.

"Ah, aruji! Kebetulan sekali. Bisa kau taburkan kinako|5| ini ke mochi yang sudah kupotong?" Shokudaikiri menjawab dengan senyum mengembang.

Gadis itu menurut, bekerja dalam diam meskipun beberapa kali ia menghela napas panjang dan disadari oleh kedua bilah yang ada di dekatnya itu.

"Ada yang kau pikirkan?" Tanya Kasen. Sepertinya dia sudah selesesai dengan kegiatan mencucinya dan kini mulai membantu di bagian finishing makanan.

Gadis itu menggeleng. Tapi di menit berikutnya ia bicara. "Kasen, bagaimana cara membuat seseorang memberitahumu apa yang tidak ingin dia perlihatkan?"

Kasen terkekeh, menyadari bahwa tuannya ini cukup normal dengan memiliki gundah gulana di hatinya.

"Itu, bukannya lebih baik kau katakan langsung kepadanya kalau kau lebih ingin mengerti dirinya?"

"Sepertinya itu tidak mungkin."

Shokudaikiri yang kebetulan datang dengan potongan mochi yang baru pun ikut bergabung.

"Apakah dia laki-laki?" Tanya pemuda berpenutup mata itu setengah bercanda, namun cukup membuat pipi sang tuan merona memerah.

"Hmm, laki-laki kan?" Ulangnya. "Kalau begitu kau cukup menggunakan daya tarikmu sebagai wanita untuk memaksanya membuka diri."

"Shokudaikiri, jangan ajarkan Aruji hal yang aneh-aneh!" Kasen menupuk punggung rekannya.

"Hahaha, aku bercanda. Aku setuju padamu Kasen-kun!"

Tapi alih-alih mendengarkan Kasen, ucapan Mitsutada lebih masuk dan meresap ke otaknya.

🍁🍁🍁

Malam perayaan telah tiba.

Purnama merangkak naik menghiasi malam di citadel dengan sedikit taburan bintang yang kalah oleh sinar sang ratu malam. Bocah-bocah sibuk berlarian sementara mereka yang nampak lebih matang duduk bersenda gurau sambil menikmati sake ditemani segala kudapan yang ada.

"Surume|6|, aku mau surume!" Jirotachi merongrong setengah mabuk.

Kini, saatnya gadis itu datang untuk jadi lakon utama di perayaan itu. Dengan setelan furisode|7| merah terang dan berbagai hiasan pada rambut dan wajahnya, dia datang seolah ingin menyaingi pamor sang ratu malam.

Para bocah tantou-nya benar-benar terampil dan membuatnya bangga. Tidak sia-sia dia meminta anak-anak itu membantunya untuk menghias diri untuk pesta tsukimi malam ini. Dan semua pasang mata kini tak lepas darinya. Termasuk Hasebe yang kini tengah mengusap matanya seolah melihat fatamorgana.

"Aruji, kau sudah tumbuh dewasa." Dan ternyata dia hanya terharu seolah sang tuan itu adalah anak gadisnya yang tengah menapak tangga kedewasaan.

"Aruji, cantik sekali."

Pujian demi pujian datang. Tapi bukan itu yang diinginkannya. Karena malam ini, Nakigitsune akan takluk di hadapannya.

Si gadis meilih duduk di atas tikar bersama para Awataguchi yang sudah bersiap untuk tampil menghibur. Alunan musik menggema. Namun Nakigitsune belum terlihat batabg hidungnya.

"Dimana Nakigitsune?" Tanya gadis itu.

Jangan-jangan dia terjangkit flu karena perbuatannya tadi siang?!

Tidak!

"Dia sedang ganti baju," jawab Atsushi. "Kali ini produser Nakigitsune akan tampil!"

Wait! Nakigitsune? Tampil?! Dunia sudah mau kiamat kah?!

Gadis itu merasa pening dan ingin pingsan.

Apa yang akan Nakigitsune lakukan? Menyanyi?

Tidak mungkin. Dia kan irit dan tidak mungkin mengeluarkan suara kecuali untuk hal penting.

"Dia datang!"

Manik gadis itu segera beralih dari gumpalan coklat yang tengah ia makan ketika Midare berseru mengatakan bahwa Nakigitsune sudah datang.

Pemuda itu memakai kimono bergaya Heian berwarna paduan hitam dan abu. Seperti biasa untuk menutup sebagian wajahnyaa, dia menggunakan kain bermotif oranye keemasan untuk menggantikan topeng yang biasa ia pakai.

"Cih, kenapa tidak dilepas saja?" Gerutu si gadis, lirih. Rasa kagum sejenak oleh penampilan Nakigitsune segera tergantikan oleh rasa kesal yang dia lampiaskan pada bola-bola coklat yang satu per satu masuk ke mulutnya.

Alunan musik terdengar lebih keras. Nakigitsune naik ke atas panggung bersama backdancer Awataguchi-nya diikuti tepuk tangan meriah.

Tabuhan taiko beserta iringannya begitu sinkron dengan gerakan mereka. Lagu yang harusnya terasa hingar terdengar seperti lagu pengantar tidur yang membuat mata si gadis terasa berat.

Berat, dia merasa mengantuk. Tapi matanya masih terbuka. Bahkan sampai tarian berakhir dan semua Awataguchi kembali ke tempatnya. Matanya masih berat.

Ah, rupanya bukan Nakigitsune yang terjangkit flu. Tapi dirinya sendiri.

"Aruji?"

Jarang sekali gadis itu mendengar suara ini memanggilnya, tapi dia tahu kalau Nakigitsune tengah bicara padanya. Dan di sela kesadarannya yang amat tipis gadis itu tahu kalau dia sudah tidak bisa duduk tegak lagi dan berakhir mengistirahatkan kepalanya di atas bahu Nakigitsune.

"Aku baik-baik saja!" Jawab si gadis lemas. "Nakigitsune, kapan kau akan membuka topengmu, hah?"

Nada bicaranya seperti orang mabuk.

Ah, iya. Mungkin dia tengah mabuk. Tapi, gadis itu tidak merasa meminum sesuatu yang mengandung alkohol. Usianya juga tidak mengijinkan untuk hal itu.

"Jadi seharian ini kau melakukan banyak kejahilan hanya untuk melihatku membuka topeng?"

"Kalau tidak begitu kau tidak akan mau, kan?"

"Hmm, kalau kalau bisa memberi alasan yang kuat mungkin akau akan melakukannya."

Alasan yang kuat?

Apa?

"Aku hanya ingin mengetahui seperti apa pedang-pedangku dengan baik. Karena walaupun kalian tetap akan ada, tapi aku berbeda. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa mengenal kalian. Itu saja." Jawabnya. "Lagipula kenapa kau tidak mau memperlihatkan wajahmu? Jangan-jangan kau tonggosya?"

Angin musim gugur bertiup sepoi namun membaws hawa dingin yang cukup kuat.

"Itu saja?"

Si gadis mengangkat kepalanya yang makin berat. Bibirnya yang dipulas gincu merah terlihat mengerucut ingin memprotes.

Tapi niat itu sirna begitu dia melihat kedua sudut bibir Nakigitsune terangkat membentuk sebuah senyuman di bawah sinar rembulan.

🍁🍁🍁

Kepalanya masih pening saat ia membuka mata. Kesadarannya masih belum sempurna terkumpul meskipun gadis itu sudah melihat Hasebe berada di sampingnya dengan nampan berisi sarapan.

"Selamat pagi, Aruji." Ucap pemuda itu memulai. "Senang sekali melihatmu bisa bangun pagi setelah mabuk semalam."

"Mabuk? Aku mabuk?!" Gadis itu terlonjak dan spontan bangkit, duduk dari tidurnya.

"Shokudaikiri salah memasukan jenis wine yang menjadi isian coklat yang kau makan. Kadar alkoholnya terlalu tinggi. Dan sepertinya kau makan dengan jumlah banyak."

Ah, coklat itu?

Pantas saja, dia merasa sangat mengantuk semalam sampai hampir lupa tentang apa yang sudah terjadi.

Tunggu! Apa yang telah terjadi?!

"Kupikir Nakigitsune melakukan sesuatu padamu. Karena dia tidak biasa membuka topeng sebelumnya."

Nakigitsune membuka topeng?

Di depannya?!

Dengan tenaga yang tersisa gadis itu berdiri, membuat Hasebe yang hampir mengulurkan teh hangat kepadanya terkejut. "Aruji, kau mau kemana?"

"Ke suatu tempat."

Lalu gadis itu melesat keluar kamar untuk menuju kamar para Awataguchi. Beruntung sekali, yang dicarinya ia temui bahkan sebelum ia sampai ke tepat itu.

"Nakigitsune!"

"Apa?"

"Buka topengmu!"

Nakigitsune menelengkan kepalanya, kemudian berkata "Tidak!"

"Kenapa?! Semalam kau melakukannya!"

"Itu semalam."

"Semalam aku mabuk, kau pun pasti tahu itu!"

"Kalau begitu tunggu sampai aku ingin melakukannya lagi!"

Pipi gadis itu mengembung. "Curang!" Dia berteriak saat Nakigitsune kembali berjalan ke arah yang ia tuju.

Pemuda itu menoleh dengan mata sedikit menyipit sembelum berkata, "Sampai jumpa nanti, Aruji!"

Rautnya nampak lembut meskipun tak seluruh parasnya terlihat. Pasti di dalam sana dia tengaj tersenyum.

Tersenyum...

Seperti saat kedua sudut bibirnya terangkat di bawah sinar rembulan semalam.

Gadis itu merasa kedua pipinya terasa panas saat sirat paras Nakigitsune yang tengah tersenyum semalam datang tanpa diundang, terproyeksi dalam ingatannya.

Fin.

Note:
1. Dokkiri: prank
2. Sakusen kaishi: rencana dimulai
3. Tsukimi: melihat bulan (dilakukan di musim gugur, soalnya kelembaban udara di musim gugur bikin langit terlihat lebih cerah)
4. Kinako: bubuk kacang merah
5. Hakui: secara literal berarti baju putih, artinya bisa ke baju dokter tapi di sini merujuk ke atasan baju miko milik saniwa yg warnanya putih.
6. Surume: makanan dari cumi-cumi yang dikeringkan
7. Furisode: jenis kimono yg dipake sama cewek yg belum nikah. Lengannya panjang ke bawah.


A/N

Mohon maaf kalo nggak sesuai ekspektasi dan kengaretannya.

Selanjutnya speed penulisan bakalan sama ngaretnya karena ada deadline buat hal lain //nangid//

Ohiya, masih pada main event jurakutei? Ternyata seiyuu-nya beneran Takanashi Kengo. Hmm, seiyuu yg suaranya tidak begitu saya kenali karena ga banyak dengerin dia //disambits.

Terus katanya bakalan ada Ootachi yang bakalan Kiwame?! Yasss, I hope it's Hota.

Betewe, saya baru inget. Selain Touken Ranbu ada works lain yang juga gijinka dari pedang. Lebih tepatnya cuman Tenka Gouken sih, walaupun yang dirilis cuman tiga, Doujigiri, Onimaru, sama Odenta, ga ada Mikazuki sama Juju. Judul series-nya Toukensama no Hanayome Kari to Midara na Oteire.

Judulnya aja udah agak ehem sih, jadi buat kalian yang masih kids jangan coba-coba dengerin ya. Rated anu soalnya. Saya dulu dengerin ragara saya cukup demen sama suara Ono Yuki. Itu loh, yang jadi Okanehira. Di sini dia yang ngisi Onimaru.

Tapi-tapi, mending jangan dengerin deh. Ntar berdosa. /TERUS NGAPAIN LU NULIS INI BANGKE?

Saya cuman berbagi :)

Okesip.

Udah gitu aja. Bye.

Oiya, ga ada yang ikut JLPT gitu? Biar bisa maso bareng www
Somehow saya masih bingung cara ngapalin kosakata yang cepat dan efektif :((((((

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top