II. Jiwa yang Terlupakan (2/3)

Bab 2. Dukungan

Satu bulan lebih terlewati. Rasanya sulit menghilangkan kebiasaan untuk tidak duduk di taman. Karena kini aku hanya bisa menunggu matahari datang untuk menyalakan hidupku yang kian lama kian menghitam.

"Hahahah!" Suara tawa misterius tiba-tiba mengagetkanku. Aku menoleh ke sekeliling, tetapi tidak menemukan siapa pun. "Sudah kubilang, tidak ada yang mengharapkanmu!"

Sepertinya aku tahu dari mana asal suara itu. Aku menunduk dan benar saja, Jamal pelakunya yang sekarang meredupkan warna sepatu putihku dengan tubuhnya yang hitam. "Jangan sok tahu kamu!"

"Jadi, bagaimana rasanya dibuang?"

"Cih, aku tidak dibuang, ya. Mereka pasti memintaku kembali!"

"Bisa-bisanya kamu masih berharap pada mereka. Sadarlah, kamu itu bukan siapa-siapa!"

"Kampret!" Aku melipat tangan di depan dada. Entah kenapa, ucapan Jamal membuat dadaku seakan ditusuk jarum hingga air mata menggunung di kelopak mata.

"Menangis saja biar lega, tidak usah ditahan-tahan. Langit saja bisa menangis, apalagi kamu yang cuma manusia!"

Aku menatap langit biru yang begitu hangat, tidak akan termakan omongan Jamal. Sayang, air mataku lebih kuat, jatuh tumpah ruah. Tidak tahu jelasnya mengapa. Bayang-bayang ucapan terima kasih dari beberapa trainee waktu lalu membuatku justru sedih dan terpuruk karena sulit melepaskan kenangan bersama mereka. Aku hanya menumpuk luka atas harapan-harapan yang kubangun sendiri.

"Sudahlah, fokus saja dengan kuliahmu. Bukannya kamu ada ujian akhir semester hari ini?"

"Kamu benar, sore nanti aku harus belajar sama teman-teman!"

...

Aku dan teman-temanku kini berkumpul di sebuah kosan. Alat tulis dan buku pelajaran sudah siap di atas meja. Tidak lupa banyak camilan, agar tidak bosan. Suasananya sangat nyaman, selain tempat yang luas kami bisa bercanda gurau tanpa takut dimarahi pemilik kos.

Sebelum mulai belajar, kuikat rambut panjangku terlebih dulu, lalu membaca pesan WhatsApp sejenak. Bukannya membuat mood bagus, berbagai tindakan keji malah kudapatkan. Mulai dari ditambahkan kembali dalam grup pihak agensi, lalu dikeluarkan lagi dengan alasan ketidaksengajaan sampai dihantam lewat story.

"Aku sedang cari perhatian, nih, haha!" Ditulis oleh sang Manager.

"Cari teman yang memiliki mental disorder sama denganmu!" kata si bagian promosi.

Sebenarnya, aku tidak akan terbawa perasaan dengan kalimat-kalimat itu. Hanya saja, sedikit kesal karena tindakan mereka yang merasa seolah paling benar. Padahal, aku di sini terluka. Dari segala kalimat pedih yang terlontar untukku, ada satu yang paling menyakitkan.

"Percuma bergabung bersama kami kalau dari awal terpaksa."

Seketika aku menenggelamkan wajah dalam lipatan tangan. Mencoba menahan tangis yang siap meledak. Bisa-bisanya mereka menganggap segala usahaku sebagai bentuk keterpaksaan, padahal semua perjuangan yang kuberi telah kulakukan untuk mereka sampai-sampai diriku sendiri terabaikan. Kenapa mata ini harus melihat. Padahal jariku juga sadar sedang membukanya.

"Kamu dengar tidak penjelasan kami?" tanya Ana. Begitu mendongak, kulihat teman-temanku saling menautkan alis, seolah tidak suka. "Kamu masih kepikiran agensi itu?"

Aku hanya menggeleng pelan, padahal sudah jelas jawabannya 'iya'.

"IPK kamu jadi turun! Aku tidak mau, ya, lihat kamu down terus! Kalau masih keras kepala, nanti kami bully. Mau?"

Aku hanya mengangguk pelan, lalu terkekeh. "Iya, tadi sampai mana materinya?"

Teman-temanku pun menjelaskan kembali dengan kepala dingin, tenang, dan sabar supaya aku mengerti. Bisa-bisanya aku melupakan teman-temanku hanya karena dunia maya. Sebenarnya ada apa denganku?

"Eh, Ngel, kamu mau aku kenalin sama Fahri tidak?" Seketika aku mengernyit. Barusan dia menawariku seorang cowok? "Kamu sudah lihat tampangnya kemarin, kan. Ganteng, rajin mengaji, kumis tipis, baik, suaranya bagus. Semua orang pada mengejar-ngejar dia, tapi aku yakin dia lebih suka sama kamu."

Aku tahu teman-temanku berusaha menyemangatiku. Bahkan sampai harus menjodohkan dengan seorang cowok, itu berarti hidupku selama ini amat sangat terlihat merana. Namun, ayolah lagi lemes bukan berarti ngenes.

"Buat apa?" Aku terkekeh kecil. "Takutnya dia salto gara-gara capek menghadapiku."

Pada akhirnya, mereka semua tertawa. Rasanya senang melihat mereka menunjukkan gigi. Jujur, aku tidak mau teman-temanku khawatir. Aku takut, jika selama ini sikap abaiku membuat hidup mereka ikut redup. Aku akan merasa jauh lebih sakit melihat mereka sedih.

Lelah belajar, aku memutuskan untuk pulang. Sebelum masuk ke rumah, kulihat Jamal tiba-tiba berhenti tepat di depanku, lalu berkata, "Dengar omongan temanmu itu! Teman dunia maya boleh saja menyakitimu, asal teman di real life tidak begitu. Kasihan mereka menghadapimu!"

Aku menyunggingkan senyum, tumben sekali ucapan Jamal terdengar bijak kali ini. "Iya, aku tahu."

"Soal nilai bagaimana?"

"Tenang saja, aku yakin masih bisa cumlaude."

"Sombong sekali. Terus, soal Fahri?" Seketika aku melotot mendengar itu. Ternyata, bisa juga dia membahas tentang cowok. "Sebenarnya, aku setuju sama temanmu. Aku juga pasti sudah kelepek-kelepek kalau pacaran sama dia. Bagaimana pendapatmu?"

Aku terkekeh, masa membiarkan orang lain masuk dalam hatiku begitu saja hanya karena kesepian? Kecuali jika dia mau berjuang menyembuhkan lukaku. Ah, dekat saja tidak. Buat apa memaksakan diri.

Lalu aku hanya bisa berkata, "Bangke!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top