II. Jiwa yang Terlupakan (1/3)
[JIWA YANG TERLUPAKAN]
oleh: Angel (_AngelicaAngel_)
[]
BAB 1. Cemooh
Kebanyakan orang mengenalku sebagai road manager. Di mana selalu menghabiskan waktu bersama sang idol, sekaligus memberikan instruksi tentang pekerjaan apa saja yang akan si idol lakukan. Selagi kuliah, aku mencoba mencari banyak pengalaman, sekali pun tidak digaji. Kupikir rasanya akan menyenangkan, bertemu teman-teman baru, belajar dari pengalaman mereka, dan siap menerima segala risiko. Sayangnya, ucapan kadang tidak sejalan dengan tindakan. Semua berakhir ketika aku duduk di bangku taman sambil memegang selembar sertifikat apresiasi. Tentu tercantum namaku di sana. Namun, bukan sebagai peserta yang sedang mengikuti perlombaan atau pun bintang utama. Aku tetaplah aku yang mencoba membantu menjalankan acara agar berlangsung dengan baik.
Terlalu lama melamun, membuat matahari perlahan menampakkan diri. Membawa cahaya hangat untuk menyalakan wujudku yang gelap. Lagi-lagi, aku terlambat datang ke agensi karena harus mengurusi keperluan pribadiku yang selama ini telah lama terlantar. Orang-orang di sana pasti sedang menungguku. Aku harus bergerak cepat, sebelum masalah menghampiri.
Ketika beranjak dari bangku, seseorang yang tidak kuketahui namanya tiba-tiba menghentikan langkahku. Wujudnya hitam dan mengerikan, seramnya melebihi hantu. Namun, anehnya dia setia menemaniku di sepanjang hidup.
"Kamu melakukannya lagi," lontar Jamal. Ya, aku menamainya begitu karena dia tidak pernah mau memberitahukan namanya.
Aku menghembuskan napas kasar, berharap itu cukup membuat Jamal pergi dari sisiku. "Ini sudah jadi kewajibanku. Para trainee itu pengin belajar."
"Apa harus dengan mengorbankan segala waktumu?" Aku terdiam, ucapan Jamal begitu menohok, faktanya beberapa minggu ini aku tidak bisa tidur. "Kantung matamu kian menghitam, jari-jarimu mulai tremor kebanyakan mengetik di ponsel. Tidak bisakah sekali saja kamu perhatian dengan dirimu sendiri?"
"Jangan usik aku! Kamu tidak berhak mengatur hidupku!"
"Kamu bahkan menolak berkumpul bersama keluarga. Padahal, harusnya kamu bisa menikmati liburan bersama mereka. Tidak bisakah orang lain menggantikanmu sebentar atau bila perlu keluar saja dari sana?"
Lagi-lagi aku dibuat bungkam dengan ucapan Jamal, apalagi sampai membawa-bawa keluarga. Aku akui perkataannya benar karena momen liburan ini jarang sekali terjadi selama sekian tahun. "Aku sudah banyak merepotkan mereka. Lagi pula baik bagiku belum tentu baik bagi mereka. Aku sudah sering membuat kesalahan. Aku tidak ingin ada kekacauan lagi. Jadi, biarkan aku melakukannya dengan sebaik-baiknya kali ini."
"Oh, itu artinya kamu akan pergi setelah ini?"
"Kita lihat saja nanti. Apakah aku pantas dipertimbangkan."
Matahari makin meninggi dan bersinar terik, pelan-pelan kulihat tubuh Jamal mulai pekat, seperti tinta pena. Aku takut jika tiba-tiba dia membunuhku. Ah, tidak sadarkah Jamal, jika dialah yang membuat waktuku habis.
...
Begitu aku masuk ke backstage, kuhentikan langkahku sejenak. Bukan karena kedatangan Jamal, melainkan terkesima atas semangat beberapa karyawan yang lebih dulu tiba. Senyumku tersungging ketika mereka saling menyapa, melempar senyum satu sama lain, bercanda, dan bergurau. Padahal sebelumnya, hanya segelintir orang yang mau mendukung agensi ini. Rasanya, ada kebahagiaan tersendiri ketika usaha yang kita rintis dari nol berbuah manis.
"Sebelum acara dimulai, kita adakan pemaparan materi bersama karyawan lain," ucap sang Manager.
Mendengar ucapannya, membuat kepalaku bergejolak. Terkadang, aku harus membaca beberapa kalimat motivasi, agar semangat bekerja, tetapi aku lupa di mana kuletakkan catatanku. Beberapa kali aku merogoh saku dan tas, tetapi tidak ada. Mungkin, jika kubertanya pada karyawan lain, mereka bisa membantu.
"Kalian pernah tidak, baca sesuatu yang katanya begini, 'Makan banyak teori, tapi praktiknya nol'. Aku pernah baca, tapi lupa catatannya di mana."
Seketika semua orang mematung, bahkan ada yang terkekeh seolah tidak suka. "Dia mengejek kita, ya?" celetuk salah satu PR manager.
"Gila, aku harus cari di mana kata-kata begitu," sambung karyawan video editor.
Bagian promosi ikut menyambar. "Diamkan saja, dia memang iri."
"Sudah-sudah, persiapkan diri kalian, biar yang lain tidak malas-malasan," kata Sang Manager mencoba mencairkan suasana.
Aku hanya bisa menghembuskan napas kasar, mendengar cemooh-cemoohan itu. Selalu saja salah. Seharusnya aku diam, tidak usah banyak bertanya, padahal aku bisa mengatasi masalahku sendiri. Mengapa juga harus bertanya hal yang jelas-jelas tidak masuk akal.
Akhirnya, aku dan karyawan lain saling diam. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing begitu pun aku. Ketika pemaparan dimulai, aku hanya duduk diam memerhatikan. Sesekali para pendengar tertawa karena sang pembawa materi sengaja mengejek nama karyawan lain. Suasana yang tadinya bersitegang perlahan mencair.
Sayangnya, namaku tidak disebut. Aku mencoba mencondongkan badan, agar bisa mendengar lebih jelas dan benar masih tidak ada namaku. Apa orang-orang di auditorium tidak merasakan hal yang sama? Jangan-jangan tidak ada yang mengingat namaku. Tunggu kenapa aku ingin sekali diejek hanya untuk dianggap? Detik itu, kusadari hatiku telah hancur berkeping-keping.
"Sudah jemput idol-nya?" tanya si Manager saat acara utama hampir dimulai.
Aku mengangguk. "Sudah, tapi ...."
"Kenapa?" tanyanya sambil menelisik wajahku yang mungkin terlihat buruk hari ini. "Ada masalah?"
"Setelah acara selesai aku mau keluar dari agensi ini."
Pelan-pelan aku mulai menceritakan semua alasan yang membuatku harus keluar. Mulai dari rasa bersalah yang terus menyerangku, termasuk fisikku melemah, kecuali soal keluarga karena itu cukup sensitif dan privasi.
"Oke, terserah kamu saja," ucapnya tidak peduli.
Tubuhku mati rasa, keputusan macam apa ini? Berharap dia akan menahanku? Berharap kami bisa diskusi bersama karyawan lain? Sepertinya, aku hanya bisa membuat kekacauan.
Tidak lama acara dimulai. Aku menuntun sang Idol menuju stage. Tepat jam tujuh malam, dia akan menjadi talent manager yang bertugas mencari orang-orang berbakat untuk dijadikan trainee di agensi. Sebelum itu, dia mempertunjukkan bakatnya sebagai dasar pembelajaran.
Mataku berbinar, selalu fokus melihatnya menari ke sana ke mari yang memamerkan kemampuannya. Membuatnya terlihat tampan, ditambah suaranya yang merdu sebagai bonus.
Sayang sekali aku tidak dapat bertugas menjadi MC kali ini, padahal ingin sekali melihat sang Idol lebih lama. Ah, melihat dari jauh saja sudah cukup. Lembur ini pun membuatku harus menunda makan malam bersama keluarga.
Setelah semua pekerjaan beres, aku kembali menemui sang Idol, lalu memberinya sertifikat apresiasi untuk jasanya. Tidak lupa rasa terima kasih kuucapkan. Syukurlah, dia menerimanya dengan baik. Sebagai tambahan apresiasi, aku akan mengekspos agenda hari ini di sosial mediaku.
Usai berbasa-basi aku melangkah menuju backstage. Saat hendak membuka pintu, tiba-tiba saja banyak pihak agensi berebut menarik tanganku, lalu menyeretku keluar dari stage.
"Ada kata-kata yang mau kamu sampaikan?" tanya sang Manager.
Aku terkejut bukan main, jantungnya mencelus, sekaligus berdetak lebih cepat dari biasanya. Ternyata, aku tidak dipertimbangkan, tidak diharapkan. Aku mengepalkan tangan, sekuat tenaga menahan air mata tidak jatuh. Jangankan untuk mendengarkan penjelasan untuk berucap pamit pun rasanya tidak sempat.
"Jadi, begini, ya. Aku benaran tidak menyangka. Kalau begitu, terima kasih buat semuanya."
Rasanya aku kalah karena tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal aku sudah menganggap dekat dengan mereka. Kalau saja Jamal tahu kondisiku sekarang, mungkin dia akan tertawa terbahak-bahak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top