YOU ARE MY EVERYTHING

You Are My Everything

Dari pertama kali, itu adalah dirimu
Yang datang ke padaku
Meski aku hanya melewati satu sama lain
Mataku membiarkan aku tahu tentang dirimu
Kau melewatiku seperti angin lembut
Aku berharap bahwa itu bukan takdir
Seperti orang bodoh, aku tidak bisa mengatakan apa-apa pada awalnya
Aku tak bisa melakukan apa-apa

Kau segalanya bagi ku
Takdirku datang seperti bintang jatuh
Membiarkanku bertemu seseorang sepertimu
Dan dalam hatiku
Ini hanya cintaku padamu

Kau adalah segalanya
Muncul dalam kabut
Kau diwarnai oleh kabut putih
Hatiku tampaknya berhenti pada saat ini
Aku datang kepadamu

Kau segalanya bagi ku
Takdirku datang seperti bintang jatuh
Membiarkanku bertemu seseorang sepertimu
Dan dalam hatiku
Ini hanya cintaku padamu

Kau adalah segalanya
Meskipun cintaku tak bisa dimulai sebelumnya
Sekarang aku bisa mengatakan
Ini adalah keajaiban yang tak dapat memiliki siapapun

Kau segalanya bagi ku
Gairah cintaku milikmu
Bahkan jika musim berubah, aku masih akan berada di sini
Jauh di dalam hatiku
Ini hanya cintaku untukmu

Kau adalah segalanya

***

"Damn it!!!" Ali berlari sangat kencang membawa tas yang berisi barang berharga.

Tembakan-tembakan menghujaminya tanpa ampun. Ali terus berlari untuk menghindari kejaran para anggota CIA dan polisi setempat. Hingga dia bersembunyi di balik tembok yang menjulang tinggi dan sangat gelap.

Suara raungan mobil polisi tetap mengejarnya diiringi tembakan yang tak berhenti. Napas Ali tersengal membuat tenggorokannya kering, setelah semua aman baru dia keluar dari tempat persembunyiannya. Ali mengendap-endap memasang mata dan telinganya tajam. Mengawasi sekelilingnya jika situasi sudah benar-benar aman.

"Sial! Gue harus secepatnya menghilang dari negara ini!" Ali meludah di sembarang tempat lalu berlari membawa barang berharganya menuju ke suatu tempat.

***

Di sebuah ruang yang remang segerombolan anggota BIN sedang menginterogasi agen rahasia dari CIA yang bernama Olivia. Dalam sesi wawancara Olivia menjelaskan tentang perekrutan agen rahasia yang dilakukan oleh CIA beberapa tahun silam dan ternyata Olivia kenal dengan Prilly, serta memberitahu bahwa Prilly adalah salah satu agen rahasia yang dilatih secara khusus di CIA yang dikirim ke Indonesia untuk melaksanakan misi rahasia.

"Apa benar Prilly, yang di katakan dia!" Seorang anggota BIN menunjuk Olivia dan menatap Prilly tajam.

Prilly menjadi bingung dan cemas ketika mendengar pertanyaan itu. Dia melirik Olivia yang sedang tersenyum miring dan terlihat sangat licik. Prilly mengepalkan tangannya di dalam saku celananya.

"Masukan dia ke tahanan! Prilly ikut saya!" Seorang kepala unit mengeraskan rahangnya saat mendengar kenyataan itu.

Tangan Prilly segera dicengkeram kedua temannya agar tidak kabur. Olivia tersenyum miring, terlihat jelas dari sudut ekor mata Prilly.

"Damn it! Awas lo Olivia!" Prilly membatin sambil berjalan ke luar mengikuti Kanit.

Prilly dibawa ke tempat interogasi, dan ketika di dalam ruangan tersebut, ternyata dia merasa tertekan, namun sebelum Prilly diinterogasi tembakan menguasai gedung kantor BIN. Saling mengejar untuk memburu seorang tawanan yang berhasil kabur. Seorang agen rahasia dari CIA yang berhasil di tangkap anggota BIN.

"Olivia kabur!" seru seorang anggota BIN kepada seluruh anggota yang berniat menginterogasi Prilly.

Prilly masih duduk melihat seluruh teman-temannya bergerak ke luar ruangan untuk mengejar Olivia. Ketika teman BIN-nya sibuk mengejar Olivia, diam-diam Prilly pun pergi menuju keluar, namun sayang, sebelum dia berhasil keluar, jalan yang berada di gedung berhasil ditutup, tentu saja dia tidak bisa keluar.

"Sialan! Bagaimana gue bisa keluar dari sini!" Prilly memutar otaknya agar secepatnya dapat keluar dari gedung BIN.

Prilly mendapat ide cemerlang, di atas kepalanya seperti ada lampu yang mencerahkan akalnya.

"Gue tahu!" Prilly segera membuat senjata seperti bazooka yang terbuat dari campuran beberapa zat kimia yang dimasukan ke dalam pipa dan alat pemicunya adalah alat pemadam api.

Namun sayang saat Prilly membuat senjata itu, ternyata salah satu temannya mengejar, sehingga dia merasa berada dalam posisi terpojok.

"Lo, nggak semudah itu kabur dari sini penghianat!" seru teman Prilly.

Prilly merasa gugup, namun tak hanya sampai di situ, kepalanya selalu muncul ide-ide cerdas yang tak terkira.

"Okey, gue terpojok." Prilly seakan meyakinkan temannya bahwa dia saat ini sudah benar-benar terpojok.

Saat temannya mendekat dan ingin menyergap, mata Prilly mencari celah. Prilly dengan gerakan cepat mengeluarkan senjatanya lalu menembakan ke pintu yang celahnya terbuka dan langsung saja dia tembakan senjatanya ke arah teman yang hendak menangkapnya.

"Sorry," ucap Prilly saat melihat temannya tersungkur kesakitan menahan bagian bahunya yang terkena timah panas Prilly.

Tanpa menunggu lama, Prilly segera menendang kasar pintu itu, lalu dia berhasil kabur walau banyak teman-temannya yang mengejarnya. Prilly memanjat dinding gedung yang menjulang tinggi. Dengan keahliannya dan tehnik yang sudah dia pelajari dengan mudah dia lolos dari kantor BIN.

"Shit!!! Awas kau Oliv, gue akan buru lo sampai dapat." Prilly mengepalkan tangannya geram dengan wajah yang mengeras.

Deru sepatu mulai mendekati Prilly, lalu dia segera berlari sekuat tenaga melewati orang-orang yang sedang berjalan. Tak memperdulikan berapa orang yang sudah tertabrak tubuh sintalnya, dia tetap berlari sekencang-kencangnya. Hingga kakinya berhenti di sebuah apartemen, tempat dia tinggal selama ini.

"Gue harus pergi dari kota ini," seru Prilly memasukkan beberapa alat canggih dan beberapa senjata api yang dia simpan di apartemennya.

Saat dia ingin keluar dari pintu ternyata teman-temannya mengikutinya sampai di apartemen.

"Shit!!! Damn it!!!" Prilly mengumpat sebal lalu kembali ke dalam kamarnya.

Dia tak kehabisan akal, semua pintu dia kunci, lalu dia masuk ke dalam kamar mandi, melihat bagian atap yang sering dia gunakan keluar masuk saat sedang mengelabuhi lawan. Prilly memanjat di closed, membuka satu ternit dan melepas tasnya lebih dulu. Dia segera memanjat masuk ke atap, lantas mengembalikan ternit tadi seperti semula. Menghilangkan jejak dengan sapu tangan khusus yang tak meninggalkan sidik jari.

"Good bye!!!" ujar Prilly lalu merayap menyusuri lorong atap apartemennya hingga dia lolos dari kejaran teman-temannya.

Prilly segera berlari ke arah pelabuhan, berniat ingin menuju ke suatu tempat yang masih sepi penghuni dan primitif. Mungkin jika dia pergi ke daerah pedalaman tak akan banyak orang yang mengenalinya dan dia akan lebih mudah mencari dan melacak keberadaan Olivia.

***

Ali berjalan dengan langkah lebar, menggunakan kacamata hitam dan topi yang menutupi kepalanya. Ada sebatang rokok yang terselip di sela-sela jari telunjuk dan jari tengahnya. Sesekali dia menghisap rokok itu hingga terasa di paru-parunya. Saat ia sedang asyik berjalan, seseorang tak sengaja menabraknya hingga tubuhnya limbung ke belakang.

"Shit!!! Di mana mata lo!" pekik Ali geram seketika membuang rokoknya kesembarang tempat.

Wanita cantik yang memakai kacamata hitam dan kepalanya tertutup sebuah kerudung hitam, terselempang begitu saja, membantu Ali untuk berdiri tegap.

"Maaf Mas, saya sedang buru-buru," ucap wanita itu terlihat ketakutan karena sesekali menoleh ke belakang.

Seorang polisi mengejarnya, itu membuat tubuh Ali tegang dan reflek menarik tangan wanita tadi dan seolah-olah mereka seperti suami istri yang sedang melepas rindu. Mereka berpelukan menenggelamkan wajah mereka agar tak terlihat polisi tadi. Debaran jantung Ali sangat terasa di dada wanita tadi, begitu pun sebaliknya. Mata Ali melihat jika polisi tadi sudah melewati mereka, dengan cepat Ali melepas pelukannya.

"Siapa lo?" tanya Ali curiga pada wanita tadi.

"Lo siapa?" Bukannya menjawab dia justru balik bertanya pada Ali.

"Kenapa polisi tadi ngejar-ngejar lo?" tanya Ali mengintimidasi.

"Bukan urusan lo!" Wanita tadi membentak lalu meninggalkan Ali begitu saja.

Ali mengedikkan bahunya lalu berjalan tak acuh masuk ke sebuah kapal yang akan membawanya ke suatu tempat. Saat kakinya menginjak ke geladak, matanya kembali melihat wanita yang tadi menabraknya. Ali tak memperdulikannya, ia tetap berjalan naik ke ruang penumpang.

Kapal bertolak menuju tempat yang Ali inginkan. Dia mengeluarkan sebuah telepon genggam yang dia disain ulang. Dari teleponnya, dia dapat mengetahui tempat-tempat yang sedang ia incar dan awasi.

"Grey, What you there? Listen to call me?" tanya Ali melalui jam tangan canggihnya untuk berkomunikasi.

Ali melihat iphone-nya, di layar terlihat sebuah gambar beberapa ruang dan di sana banyak orang sedang melakukan aktivitas.

"I'm here, Li." Suara dari seberang menyahut.

Ali segera berkomunikasi dengan seorang teman. Terlihat menegangkan dan sangat serius. Selesai berbicara Ali mengakhiri panggilannya, karena kapal semakin menengah hingga sinyal tak begitu kuat.

"Siapa lo sebenarnya?" Suara wanita tiba-tiba bertanya berdiri di samping Ali tanpa menatapnya.

"Lo nanya gue?" seru Ali menunjuk dirinya sendiri, melihat wanita yang tadi ia peluk.

"Ya iyalah, gue nanya lo. Masa iya gue nanya ikan hiu," jawab wanita tadi ketus.

"Kenalin, gue Ali." Ali mengulurkan tangannya kepada wanita tadi.

"Gue Prilly," jawab Prilly menerima jabatan tangan Ali.

"Mau ke Lombok lo?" tanya Ali basa basi menawari rokok pada Prilly.

"Sorry, gue nggak ngerokok." Prilly menolak secara halus sambil menolak bungkus rokok yang Ali tawarkan untuknya.

"Okey." Ali mengambil satu batang rokok lalu menyalakan ujungnya dengan korek api.

"Apa tujuan lo ke Lombok?" tanya Prilly duduk di sebuah kursi yang memang tersedia di lambung kapal.

Ali mengikutinya, lalu duduk di sebelah Prilly menatap lurus ke depan, melihat hamparan perairan yang sangat luas.

"Gue mau cari suasana baru, mungkin di sana gue bakalan nemuin sisi kehidupan yang tentram dan aman," ujar Ali semakin membuat Prilly penasaran.

"Tentram dan aman? Apa maksud lo?" tanya Prilly mendesak ingin mengetahui sesuatu dari Ali.

"Gue pengen ngerasain hidup bebas. Lo sendiri ngapain ke Lombok dan kenapa lo tadi di kejar polisi? Lo nyuri ya?" tuduh Ali menunjuk Prilly dengan jari telunjuknya.

"Enak aja, nggak. Gue anak baik-baik, nggak tahu kenapa dia ngejar gue, mungkin mereka mau minta tanda tangan gue kali. Secara gue kan kayak artis," ucap Prilly penuh percaya diri membuat Ali tertawa terbahak.

"Anjirrrrrr, artis apaan model beginian? Artis iklan susu bayi?" cerca Ali menghina.

"Ya ya ya, terserah lo deh." Prilly mengibaskan tangannya tak acuh pada Ali.

Ali menatap Prilly dari atas hingga bawah, lantas ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Dari mana asal lo?" tanya Prilly yang masih sangat penasaran dengan Ali.

"Asal gue, dari sebutir sel telur yang dibuahi setetes sperma," jawab Ali asal justru membuat Prilly tertawa renyah.

"Pinter juga lo ya, berbelit," kata Prilly, lantas membuka botol minumannya dan menenggaknya hingga tinggal setengah botol.

Sama dengan Prilly, Ali pun juga menyimpan tanda tanya besar tentang wanita yang duduk di sebelahnya itu. Mata elang Ali melihat segerombolan aparat keamanan berpakaian serba hitam sedang mencari sesuatu. Mereka seperti sedang melacak keberadaan seseorang.

"Hey, apa mereka mencari lo?" Ali menunjukan dengan dagunya ke arah beberapa polisi yang berpakaian bebas kepada Prilly.

Prilly menatap Ali, seolah meminta perlindungan darinya. "Lo jangan menatap gue seperti itu. Gue nggak bisa bantu lo," ujar Ali.

"Please," mohon Prilly bersungguh-sungguh.

Ali menghela napas dalam lalu menarik Prilly untuk melewati tangga darurat di kapal tersebut. Mereka terus berjalan menyusuri ruang yang seharusnya diperuntukan khusus ABK.

"Maaf Tuan ... Nona, Anda tidak boleh memasuki wilayah ini," tegur seorang perwira kapal, ketika Ali dan Prilly kepergok berjalan di lorong kamar ABK.

Karena mereka terpojok, Ali pun merangkul Prilly seolah mereka adalah suami istri.

"Oh maaf, kami tidak tahu. Mmm ... begini Tuan, istri saya ini sedang sakit, dan dia tidak betah dengan suasana keramaian. Kami pikir tempat ini cocok untuk dia beristirahat," ujar Ali berbohong membuat Prilly melototkan matanya.

"Tapi maaf, tempat ini khusus untuk ABK."

"Kalau begitu, biarkan kami sewa satu kamar untuk istirahat. Apa Anda tidak merasa kasihan dengan wanita yang baru saja hamil?" alasan Ali semakin menjadi membuat hati Prilly gerah, rasanya ingin sekali membekap mulut Ali dengan rudal.

"Jadi, istri Anda sedang hamil?" tunjuk sang perwira kepada Prilly.

Ali mencubit kecil pinggang Prilly agar berpura-pura sakit. Karena ingin aman, akhirnya Prilly pun mengikuti drama yang sudah terlanjur dimainkan oleh Ali itu.

"Oh iya, huek ... huek ... huek ... tuh kan ... saya rasanya mau muntah! Dan kepala saja pusing." Prilly berakting sangat pintar, sehingga tak menimbulkan kecurigaan sang perwira kapal.

"Kalau begitu, tempati saja kamar saya. Saat ini saya sedang berjaga, jadi kamar saya kosong. Silakan." Perwira tadi membuka kamarnya.

Ali dan Prilly tak begitu mudahnya mempercayai perwira itu. Mereka sangat hati-hati dan teliti sebelum masuk ke ruangan berukuran 2 X 3 tersebut.

"Maaf, memang kamar perwira begini. Hanya ada satu tempat tidur dan meja kerja. Di situ ada sofa, jadi kalau tempat tidurnya tidak cukup untuk berdua, mungkin sementara kalian bisa tidur terpisah, untuk malam ini saja. Karena kapal akan sandar besok pagi," jelas perwira tadi.

Ali dan Prilly masih sibuk melihat-lihat kamar tersebut. Tak ada yang mencurigakan di kamar itu. Akhirnya mereka pun dapat memercayai perwira tadi.

"Berapa kami harus membayar uang sewanya?" tanya Ali bersiap mengeluarkan dompetnya dari saku celana.

"Tidak usah Tuan, saya hanya ingin membantu wanita lemah. Saya membayangkan, jika istri saya di posisi Nona ini, pasti saya juga akan melakukan hal serupa dengan Anda. Anda memang suami yang bertanggung jawab," serunya tulus tanpa pamrih.

"Terima kasih Tuan, atas bantuannya," ucap Ali tersenyum sangat manis.

"Baiklah, selamat beristirahat. Semoga sakit istri Anda cepat sembuh." Perwira tadi keluar dari kamar, kini tinggal Ali dan Prilly di dalam kamar tersebut.

"Thanks," ucap Prilly tersenyum sangat tipis kepada Ali.

Ali menatap Prilly penasaran, lantas dia bertanya, "siapa sebenarnya kamu ini?"

Prilly menjatuhkan dirinya di sofa, lalu dia membuka kerudung yang sedari tadi menutupi wajah cantiknya. Ketika kerudung terbuka, Ali menatapnya tak berkedip hingga mulutnya menganga sempurna. Baru sekarang ini, Ali dapat melihat jelas wajah wanita yang sudah dia lindungi tadi.

"Yang pasti gue bukanlah teroris, penjahat ataupun buronan. Ada kesalah pahaman yang terjadi. Hingga saat ini gue ingin mencari seseorang yang sudah merusak nama baik gue, dalam suatu pekerjaan rahasia," jelas Prilly mencengangkan Ali.

"Apa?! Lo intelijen?" tanya Ali mendekati Prilly, lantas duduk di sebelahnya.

"Bukan, tapi pekerjaan gue itu bersangkutan dengan keamanan negara dan penuh dengan senjata. Nyawa menjadi taruhan utama." Ali sudah dapat menebak siapa wanita yang ada di sampingnya kini.

"Terus, apa yang akan lo lakukan di daerah terpencil?"

"Mengatur strategi dan mencari keberadaan orang itu."

"Kalau boleh gue tahu, siapa nama yang lo cari?" tanya Ali yang menaruh kecurigaan jika Prilly memiliki satu tujuan dengannya.

"Olivia!"

Sempurna! Ali memiliki patner kerja untuk memberu orang yang selama ini sedang ia incar. Karenanya, Ali menjadi kejaran CIA.

***

Semalaman di ruangan yang sempit, hanya berdua saja, membuat mereka bercerita asal-usul mereka masing-masing, dan memikirkan strategi untuk tujuan yang sama. Ternyata diketahui, selama ini Ali adalah salah seorang angkota CIA yang dituduh oleh rekan kerjanya yaitu Olivia. Olivia menjebak Ali dalam penggerebekan perdagangan senjata di suatu teluk. Dari situ, Olivia bercerita kepada timnya, jika Ali lah yang memberi akses jalan masuknya senjata-senjata ilegal tersebut, di negara besar yang sedang mengalami perselisihan. Justru sebenarnya Ali lah, orang yang pertama kali membongkar kejahatan itu.

"Sudah bangun lo?" sapa Ali menghampiri Prilly, yang sedang berdiri di samping ruangan ABK.

"Ya," jawab Prilly singkat menatap hamparan panorama yang sangat indah di sekelilingnya.

Beberapa ikan lumba-lumba melompat-lompat di perairan. Saat pagi hari dan menjelang malam, di selat Bali memang banyak sekali lumba-lumba yang menampakkan dirinya. Pagi yang menenangkan, dengan suasana udara yang masih sejuk.

"Apa tujuan hidup lo?" tanya Ali saat mereka bersama menikmati goyangan ombak di selat Bali.

"Hanya ingin hidup bebas, dan lepas dari dunia yang membahayakan nyawa. Jika gue saat itu dapat mundur, mungkin gue akan menolak tawaran itu. Namun saat gue sadar, jika negara ini membutuhkan perlindungan, hati gue bergerak untuk mengabdikan diri demi keamanan negara ini," ujar Prilly tulus, karena dia sudah terlanjur cinta dengan pekerjaannya.

"Jika nanti negara nggak akan menerima lo lagi, bagaimana?"

"Gue akan tetap melakukan sesuatu yang menurut gue itu benar. Membela negara nggak harus menggenggam pistol ataupun senjata. Dengan ketulusan hati untuk mengabdi di negara ini hingga mati, gue rela dan siap,"sahut Prilly tegas dan yakin.

Ali tersenyum bangga mendengar setiap jawaban wanita yang baru saja dia kenal itu. Ali merasa memiliki patner dengan satu pemikiran dan tujuan yang sama dengannya. Apa ini yang namanya jodoh? Membicarakan jodoh, mungkin terlalu cepat. Namun jika memang ini jalan Tuhan untuk menemukan jodoh, apa boleh buat? Semua memang sudah diatur oleh Tuhan, melalui ketetapan takdirNya.

"Masuk yuk? Sebentar lagi kapal akan sandar," seru Ali berjalan lebih dulu dan Prilly mengikutinya.

Usai mengucapkan terima kasih kepada perwira yang sudah baik hati menampung mereka, Ali dan Prilly segera turun dari kapal begitu mereka sudah sandar di pelabuhan Lembar, Lombok. Ali selalu menggenggam tangan Prilly untuk melindunginya, jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu.

"Li, habis ini lo mau kemana?" tanya Prilly yang belum memiliki tujuan tempat tinggal.

"Lo tenang saja, gue sudah ada tempat untuk kita mengasingkan diri sementara waktu ini," jawab Ali terus mengajak Prilly berjalan keluar dari pelabuhan.

Prilly mengikuti langkah Ali yang lebar, hingga dia sedikit keteteran mengikuti kaki pria yang sudah banyak membantunya.

"Lo tunggu di sini sebentar, gue cari angkutan umum dulu." Ali menyuruh Prilly duduk di sebuah bangku kayu yang terdapat di depan pos kampling.

Sedangkan Ali mendekati seorang supir kendaraan umum di daerah situ. Bukan berupa angkutan umum ataupun bus seperti daerah kebanyakan, namun di daerah itu masih menggunakan mobil pribadi seperti mobil kombi atau mobil cherry sebagai pengangkut menuju ke kota. Setelah Ali bernegoisasi, dia kembali mendekati Prilly.

"Ayo!" ajak Ali mengangkat tas ranselnya, Prilly pun mengikutinya.

"Li, lo yakin dia orang baik-baik. Tampangnya aja begitu," bisik Prilly sambil memperhatikan seorang sopir itu dari atas sampai bawah.

Penampilannya yang seperti preman dan tampangnya yang garang tak meyakinkan jika dia orang baik-baik.

"Sudahlah, kalau dia berani macam-macam, biar gue yang ngadepin," ujar Ali gentle.

Prilly hanya tersenyum mendengar ucapan Ali, lantas dia masuk ke mobil tersebut bersama Ali juga. Tak harus menunggu penumpang penuh, karena Ali sudah menyewa mobil itu, sang sopir pun langsung melajukan mobilnya ke tempat yang Ali tunjukan tadi. Setelah beberapa jam perjalanan akhirnya merekapun sampai di pesisir pantai.

"Wuuuuiiiih gilaaaaaa tempatnya bagus banget, sumpah! Masih alami," decak kagum Prilly saat pertama turun dari mobil.

"Baguskan?" kata Ali berdiri di samping Prilly ikut menatap lurus ke depan, melihat hamparan air laut dan berbagai bukit yang indah. "Ayo, lanjutkan perjalanan."

"What?! Jadi, kita nggak akan tinggal di sini?" tanya Prilly shock karena dia sudah merasa sangat lelah.

"Bukan sini tempat kita tinggal." Ali berjalan mendekati sebuah sampan kayu dengan dinamo sebagai alat bantu penggeraknya. "Lo lihat bukit itu?" tunjuk Ali disebuah bukit yang terbentang jauh di depannya.

Prilly berlari mendekati Ali dan melihat bukit yang ditunjukan Ali tadi. "Ya, gue lihat," jawab Prilly.

"Nah, di belakang bukit itu nanti ada sebuah perkampungan ...." ucapan Ali terpotong.

"Pasti kita akan tinggal di situ kan?" tebak Prilly yakin. Ali hanya tersenyum dan menggeleng. "Terus?" tanya Prilly sebal sembari dibantu Ali menaiki sampan tersebut.

"Kita akan hidup di tengah hutan, jadi nanti kita masih akan melewati perkampungan itu untuk menuju tempat persembunyian kita," jelas Ali sedikit berbisik.

"Apa?!!! Oh my god Li ... sumpah, badan gue udah remuk. Nih kaki masih mau lo ajak jalan berapa mil lagi sih?" protes Prilly duduk lemas di sampan itu.

"Jalan Pak!" tanpa menjawab Prilly, Ali menginterupsi seseorang yang akan mengantar mereka ke bukit tersebut.

Lamanya perjalanan mereka, kini akhirnya di pertengahan malam, Ali dan Prilly sampai di sebuah perkampungan kecil dan di tengah hutan yang di kelilingi lautan. Hanya penduduk asli suku sasak yang tinggal di sini. Ali dan Prilly diantar seorang kepala dusun menuju rumah yang sudah disiapkan oleh seseorang yang dipercaya Ali.

"Li, gue laper. Dari kemarin gue belum makan," bisik Prilly saat mereka berjalan di tengah kegelapan malam menyusuri jalan yang licin menuju tempat tinggal sementara mereka di kampung tersebut.

"Sabar dulu, semoga di sana ada alat masak, jadi lo bisa bikin mie instan dulu," ujar Ali menggandeng tangan Prilly dan mencarikan jalan yang tidak licin.

Perjalanan mereka hanya berpencahayakan dari obor yang dibawa oleh kadus. Ali dan Prilly mengikuti dari belakang.

"Nah, sini Mas tempat tinggalnya." Prilly melototkan matanya ketika melihat rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan sangat sederhana.

"Li," bisik Prilly menyenggol lengan Ali berniat untuk protes.

"Ssssst," balas Ali agar Prilly tak protes saat ini. "Oh baik Pak, terima kasih," ucap Ali kepada kadus tersebut.

"Kalau begitu saya kembali ke rumah lagi. Selamat beristirahat," kata kadus itu sebelum pergi meninggalkan Ali dan Prilly.

Setelah kadus tersebut berjalan jauh dari rumah, Prilly menghadang Ali di depan pintu saat Ali ingin masuk lebih dulu. "Cewek duluan," ujarnya galak.

"Ya," sahut Ali mengalah.

Prilly lebih dulu membuka pintu, hanya lampu kuning yang memberikan cahaya remang-remang pertama kali menyambut kedatangan mereka. "Li, nggak ada lampu yang lebih cerah ya?" tanya Prilly sedikit takut saat melangkah masuk ke dalam.

"Sudahlah, nikmati saja yang ada sekarang. Udah bersyukur kita ada tempat tinggal," kata Ali meletakkan tasnya disebuah dampar, lantas dia duduk melepas sepatu dan kaus kakinya.

"Terus, kita tidur dimana?" tanya Prilly masih melihat-lihat isi rumah yang kecil namun memiliki ruang yang cukup untuk sebuah keluarga.

"Di sini." Ali membaringkan tubuhnya di dampar yang terbuat dari papan.

"Apa?! Masa iya kita mau tidur satu tempat. Yang ada keenakan lo lah," ujar Prilly terkejut dan mencebikkan bibirnya.

"Kalau lo mau, gue siap kok Pril. Gue nggak nolak, karena identitas kita di sini sebagai suami istri," ucap Ali santai sambil memejamkan matanya.

"Apa?! Kok bisa?" tanya Prilly terkejut mendekati Ali dan meletakkan ranselnya bersebelahan dengan ransel Ali.

"Udah deh, lo banyak tanya. Lo lupa gue siapa? Tinggal calling, semua aman terkendali. Udah ah, katanya lo laper, sana bikin apa gitu yang bisa kita makan," seru Ali tak ingin berdebat panjang dengan Prilly.

"Mau masak apa? Paling yang ada cuma air," gerutu Prilly terdengar oleh Ali.

Prilly melepas sepatunya dan menganti alas kakinya dengan sandal jepit. Ali bangkit dari rebahannya, dan mengambil sesuatu dari ranselnya.

"Nih, masak mi aja dulu. Besok pagi, baru lo ke pasar beli bahan dan apa yang menjadi keperluan kita selama di sini. Inget ya, jangan menimbulkan kecurigaan sampai waktunya tiba," gertak Ali memberikan dua bungkus mi instan kepada Prilly.

"Ya," jawab Prilly lalu beranjak pergi ke dapur sederhana yang masih menggunakan tungku sebagai media masaknya.

Sudah beberapa menit Ali menunggu namun mie yang dimasak Prilly tak kunjung datang. "Masak mi, apa masak batu sih tuh anak," gerutu Ali menyusul Prilly ke dapur.

Ali melihat dan memperhatikan Prilly dari ambang pintu. Ternyata sedari tadi Prilly masih saja sibuk menyalakan api dengan bahan bakar kayu. Ali terkekeh saat Prilly kualahan menyalakan apinya.

"Eh, ngapain lo malah berdiri di situ? Bukannya bantuin malah lihatin," tegur Prilly saat melihat Ali berdiri melipat tangannya bersandar di pintu sambil memperhatikan dia.

Ali menghampiri Prilly, lantas menurunkan panci yang sudah Prilly letakkan diatas tungku. "Eeeeeeh, mau diapain tuh panci?" tanya Prilly mencegah tangan Ali saat ingin meletakkan panci di tanah.

"Katanya suruh bantu nyalain apainya?" ujar Ali merebut korek api dari tangan Prilly.

"Nih, lihatin cara gue nyalain api." Ali lebih dulu memasukkan serabut kelapa sebagai alas kayu. "Terus lo bakar dulu serabutnya, setelah nyalanya sempurna, baru lo atur kayunya perlahan diatas bara api. Baru deh lo pasang pancinya." Prilly hanya mengangguk mengerti.

"Ooooh gitu, kenapa nggak dari tadi aja lo yang nyalain apinya. Jadikan gue nggak kena abu begini," tukas Prilly membersihkan pakaiannya yang terkena abu.

"Lo sih nggak minta bantuan. Udah ah, cepet masak minya, keburu laper banget nih," titah Ali melihat sumur yang hanya tersekat anyaman bambu sebagai tutup saat mandi.

"Kalau lo mandi, tutup semua pintu. Kecuali kalau ada gue di dalam sih nggak masalah, tapi kalau lo mandi jangan telanjang bulat ya? Karena dinding ini terbuat dari anyaman bambu, jadi ada lubang-lubangnya. Bisa-bisa ada yang ngintipin lo mandi. Kalau gue yang ngintip sih nggak masalah," gurau Ali namun tersirat pesan yang baik.

"Enak aja lo, awas ya lo, jangan coba macam-macam sama gue. Berani lo macam-macam, gue sunat unyil lo," gertak Prilly tak membuat Ali takut namun justru semakin ingin menggodanya.

"Yakin? Yang ada lo malah ketagihan kalau udah lihat unyil gue," seru Ali mengerling genit.

"Ali!!!!" pekik Prilly keras, hingga Ali membekap mulutnya.

Saat kedua tubuh mereka bersentuhan ada sesuatu yang mengalir dalam darah keduanya. Tubuhnya berdesir dan tatapan mereka terkunci rapat. Entah setan apa yang mendorong Ali untuk mendekatkan bibirnya di bibir Prilly, namun saat bibir mereka bersentuhan, justru Prilly memejamkan matanya, tak menolak bibir Ali yang melumatnya sangat lembut. Ciuman mereka sangat nikmat hingga keduanya tak menyadari bahwa air yang di tebus sudah mendidih. Perlahan Ali menyudahi ciuman mereka dan menyentuh dagu Prilly menatap wajah cantik wanita itu.

"Airnya udah mendidih, gue mau mandi dulu. Selesai lo masak baru kita makan," kata Ali sedikit merasa canggung karena telah mencium Prilly begitu saja tanpa ada ikatan khusus diantara mereka.

Prilly hanya mengangguk karena merasa sungkan sudah begitu terhanyut dengan ciuman Ali, sehingga tak sanggup untuk menolaknya. Ali meninggalkan Prilly untuk mengambil peralatan mandinya, sebelum mandi Ali menimba air untuk dirinya sekaligus untuk Prilly. Selesai memasak minya, Prilly membawa dua mangkok ke ruang tengah, sembari menunggu Ali selesai mandi, Prilly memasukkan barang-barang mereka ke dalam kamar yang hanya terbatas secarik kain yang terkait paku.

"Pril," panggil Ali masuk ke kamar hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggangnya.

"Lo mau ngapain?" tanya Prilly terkejut saat menata kasur, melihat Ali sudah berdiri di depannya.

"Gue mau ganti baju, lo mau di sini lihat gue ganti atau keluar?" tanya Ali menggoda Prilly bersiap membuka handuknya.

Prilly dengan cepat menutup wajahnya, lantas dia berjalan keluar kamar. Ali hanya terkekeh karena senang menjahili Prilly.

"Dasar omes!" gerutu Prilly kesal sambil duduk di dampar mengambil jatah minya.

Saat Prilly sudah menghabiskan setengah mangkok minya, barulah Ali keluar hanya mengenakan boxer dan kaus oblong. Ali duduk, lalu mengambil minya.

"Lo udah mau habis aja Pril? Lapar apa kesetanan lo?" tegur Ali melihat Prilly makan sangat lahap.

"Gue kan udah bilang, kalau gue kelaparan. Lo masih ada mi lagi nggak?" tanya Prilly.

"Lo masih laper? Nih jatah gue makan aja." Ali menyodorkan mangkoknya untuk Prilly.

"Nggak ah, itu kan jatah lo. Kan katanya tadi lo juga lapar," tolak Prilly.

"Sorry, gue cuma ada dua mi aja. Kan gue nggak tahu kalau bakalan ketemu lo di jalan. Kalau seandainya Tuhan kasih tahu gue sebelum lari ke negara ini, bukan cuma mi yang gue bawa. Orangtua juga bakalan gue bawa, Pril," seru Ali membuat hati Prilly menghangat dan bibirnya tertarik membentuk senyum yang sangat tipis.

"Apaan sih lo, Li. Bisa aja gombalnya," sangkal Prilly melanjutkan makannya.

"Beneran Pril, kalau seandainya waktu gue melarikan diri, Tuhan ngasih tahu gue, 'Li, nanti lo sampai di Indonesia bakalan ketemu bidadari surga.' Pasti deh, gue ajak orangtua ke sini." Prilly hanya terkekeh menanggapi ucapan Ali tadi. Bagi Prilly itu hanyalah sebagai gurauan Ali, namun untuk Ali, dia kini sudah menemukan wanita yang selama ini dia impikan.

Tanpa kita tahu dan duga, ternyata Tuhan dapat mempertemukan jodoh kita dimanapun itu dan dalam kondisi tertentu, meskipun dalam situasi terjepit sekaligus, jika Tuhan sudah menghendaki, sikon pun tak menjadi masalah.

***

Beberapa waktu tinggal dilingkungan orang primitif dan masih alami, membuat Ali maupun Prilly susah beradaptasi. Namun mereka tetap berusaha berinteraksi selagi dapat membantu, mereka akan membantu tetangga yang sedang kesulitan.

"Li, kamu belum dapat kabar soal Olivia ya?" tanya Prilly saat mereka sedang mengutak atik alat canggihnya di dalam kamar yang sempit dan hanya terdapat jendela kecil sebagai ventilasi.

"Sudah," jawab Ali serius mengamati laptop pintarnya yang sangat tipis, hanya beberapa inci saja.

"Terus?" tanya Prilly bersemangat mendekati Ali.

"Lihat ini," tunjuk Ali pada sebuah tanda merah yang berkedap-kedip berjalan di layarnya.

"Ya, aku lihat," ujar Prilly menatapnya serius.

"Ini target kita, tim aku sudah berhasil memasang perangkat di salah satu benda yang selalu Olivia pakai," jelas Ali.

"Waow, kok bisa?" tanya Prilly heran menatap Ali.

"Bisa dong, bekerja dengan lawan itu memang harus cerdik dan lincah, namun itu saja nggak cukup. Mereka licik kita lebih kejam, culas, bermain halus tanpa mereka sadari," seru Ali tersenyum puas.

"Beruntungnya CIA punya anggota kayak kamu, Li. Bahasa Indonesia kamu lancar dan aku ngerasain kalau kamu bukan asli dari Amerika." Prilly menatap lekat wajah tampan Ali.

Ali meletakkan laptopnya lantas dia membalas tatapan Prilly. "Jangan menanyakan aku ini siapa dan bagaimana lebih lanjut. Yang pasti aku ini asli darah negara ini, tapi aku di didik oleh CIA untuk misi tertentu. So, cukup ini yang kamu tahu tentang aku."

Prilly faham betul apa yang dibicarakan Ali, menyangkut profesinya, Prilly tahu jika tak semuanya harus dia diketahuinya. "Iya, aku ngerti kok, Li."

"Terus, kapan kita siap untuk masuk di kandang lawan?" tanya Ali menyingkirkan anak rambut Prilly yang menutupi mata indah wanita cantik itu.

Mengingat misi mereka, ada perasaan takut di dalam diri Prilly. Selama hidup bersama Ali, sempat Prilly melupakan misi awal mereka. Dia tak ingin melanjutkan misi itu. Namun, mengingat pengkhianatan Olivia kepadanya,  membuat dia kembali ingin segera menghabisi wanita mulut berbisa itu.

"Terserah kamu," jawab Prilly dengan perasaan ragu, cemas dan takut.

Prilly membaringkan tubuhnya dan menutup rapat matanya. Hidup satu atap bersama Ali selama ini, membuatnya nyaman dan mendapatkan sisi kehidupan yang berbeda. Dia ingin hidup normal seperti orang lain. Memiliki sebuah keluarga yang sempurna tanpa ada ancaman bahaya yang mengintai mereka. Ali melihat wajah sedih Prilly, lantas dia menindih tubuh sital itu namun tak seluruhnya. Dia masih menahan tubuhnya dengan lengan tangan kanannya.

"Kenapa?" tanya Ali lembut membelai wajah Prilly. Dia hanya menggeleng dan menarik napasnya dalam.

Untuk menghilangkan rasa kekhawatiran Prilly, Ali ingin mengajaknya sejenak ke nirwana yang ia ciptakan sendiri. Ali mencumbu tubuh Prilly, bukan kali ini mereka melakukannya. Dengan bergulirnya waktu semua tiba-tiba begitu saja terjadi. Desahan menguasai kamar siang itu. Hingga penyatuan cinta pun terjadi di ujung gelora asmara.

***

Kini tiba saatnya, hari yang tak diinginkan Prilly maupun Ali tiba. Semua telah siap dalam posisinya masing-masing. Ali memakaikan rompi anti peluru kepada Prilly. Dia membekali Prilly beberapa alat canggih dan senjata yang sudah ia rakit sedemikian rupa untuk melindungi diri. Hati keduanya berkecamuk, anatara tugas negara dan cinta.

"Sudah siap?" tanya Ali menaikkan lesreting jaket Prilly yang melapisi tank top dan rompi anti peluru.

Prilly hanya mengangguk, entah apa yang akan terjadi nanti diantara mereka. Akankah kisah mereka akan berakhir hari ini? Ataukah akan berujung pada sebuah kebahagiaan? Bayangan masa depan mereka kini semu. Prilly tak dapat membayangkan, apa jadinya jika dia tanpa Ali. Begitupun sebaliknya.

"Ayo!" ajak Ali yang sudah siap membuka pintu.

"Ali," panggil Prilly menahan tangan Ali. Ali membalikkan badannya, mengurungkan niatnya untuk membuka pintu. Prilly memeluk Ali sangat erat, takut jika akan terjadi sesuatu diantara mereka. "Jangan mati, demi aku," ucapnya tulus.

Ali membalas pelukan Prilly erat dan mencium pucuk kepalanya. "Kamu akan menjadi ibu yang kuat dan tegar meskipun tanpa aku di sampingmu. Jika ini bukan tugas negara, aku sudah melarangmu untuk ikut denganku."

Dapatkah Ali memenuhi permintaan Prilly jika nantinya mereka akan bermain dengan senjata dan berbagai lawan yang memiliki alat canggih?

"Ingat ya pesan aku? Jangan bergerak sedikitpun jika aku belum memintamu keluar dari persembunyian. Paham?" wanti-wanti Ali.

"Tapi, kamu sendiri? Apa kamu bisa melawan mereka?" tanya Prilly yang tak ingin hanya menunggu perintah Ali.

"Kata siapa aku sendiri? Ingatlah siapa aku ini. Selain calon ayah yang baik, aku juga salah satu pemimpin mereka. Ingat ya, jangan pernah melakukan hal bodoh yang bisa merugikan kamu dan anak kita. Paham?" ujar Ali lagi-lagi meminta Prilly agar selalu mengikuti perintahnya.

"Nggak janji," sahut Prilly.

Ali hanya menghela napas dalam karena jika menyangkut hal seperti ini, Prilly memang keras kepala. Ali melepas pelukannya dan menunduk di depan perut Prilly.

"Hai jagoan kecil, dengarkan kata Ayah, hari ini kita akan bermain tembak-tembakan dan lari-larian. Ayah mohon, kamu jadilah anak yang bandel dan kuat ya? Ayah janji, setelah misi ini selesai, Ayah akan menikahi Bunda." Setetes air mata luluh dari mata Prilly.

Sangat miris kehidupan mereka selama ini, karena surat palsu yang menyembunyikan status mereka, membuat semua ini terjadi. Padahal Ali belum pernah mengucap janji suci di depan saksi untuk mengikat Prilly menjadi pendamping hidupnya.

"Captain, all ready." Suara dari handset yang terpasang di telinga Ali menginterupsi.

Ali menegakkan tubuhnya, lantas menjawab, "Okay, thank you. Place the position of you."

"Done!"

Ali merapikan rambut Prilly, lalu tersenyum sangat manis, senyuman itu yang justru membuat hati Prilly semakin was-was. Prilly takut jika senyuman itu adalah senyuman terakhir yang akan Ali berikan kepadanya.

"Siap?" Tanpa menunggu jawaban Prilly, Ali menggenggam tangan Prilly untuk keluar dari sebuah ruang bawah tanah, ini adalah markas persembunyian unit yang melindungi keberadaan Ali selama ini.

Berkat Grey, sahabat sekaligus anak buahnya dalam satuan unit, semua kesalah pahaman isu tentang Ali dapat di luruskan, kini semua kembali mempercayai Ali. Grey juga yang membuka fakta dibalik tuduhan Olivia kepada Ali. Hingga kini CIA meminta bantuan BIN untuk menyergap komplotan Olivia yang melakukan bisnis perdagangan senjata ilegal yang bermarkas di suatu daerah di Indonesia. Sebenarnya Ali dan satuan unit-nya sudah mengetahui, bahwa banyak teroris yang juga bekas anggota CIA, maka tidak heran aksi mereka sangat profesional dan cerdas dilengkapi dana dan peralatan yang canggih.

Ali mengajak Prilly keluar dari markas melalui jalan bawah tanah. Lantas, dia dan Prilly masuk ke dalam mobil yang sudah tersedia dengan berbagai alat canggih lainnya. Berkat bantuan Grey, Ali dan Prilly dapat berada di lokasi tersebut dengan fasilitas helikopter yang Grey kirim untuk menjemput mereka di Lombok.

"Captain, The target already arrived at the," bisikan suara dari alat yang Ali pasang di telinganya.

Ali segera menancap gas mobilnya dengan tatapan penuh amarah, dia menatap lurus ke depan. Prilly menghempaskan semua pikiran negatifnya, ia hanya ingin fokus pada tugas terakhirnya. Sampai di sebuah semak ilalang yang tinggi, Ali menghentikan mobilnya. Dia melepas sabuk pengamannya, lalu menatap Prilly.

"Kamu tunggu di sini, jangan turun sebelum aku meminta. Kamu masih ingatkan cara pemakaian semua alat di sini?" tanya Ali memastikan sebelum dia meninggalkan Prilly.

"Iya," jawab Prilly yang sebenarnya tak rela membiarkan Ali terjun sendiri ke kandang macan.

Namun jika Prilly membantah perintah Ali, dia takut jika semua yang sudah Ali rencanakan bersama timnya akan berantakan.

"Baiklah, aku akan turun sekarang. Kalau tempat ini di rasa sudah tidak aman, kamu harus menjauhi tempat ini. Jangan lagi pikirkan keadaanku setelah aku masuk, pikirkan saja keselamatanmu," pinta Ali semakin membuat hati Prilly tak rela melepaskannya.

Ali membuka pintu mobil, namun Prilly menahan tangannya. "Tunggu."

Ali mengurungkan niatnya lalu memeluk Prilly sangat erat. Ali menciumi seluruh permukaan wajah Prilly dan berucap, "I love you so much."

Prilly tersenyum simpul dan membalas, "I love you to, kembalilah dengan selamat."

Ali tak menjawab permintaan Prilly itu, ia langsung keluar begitu saja dari mobil dan mulai mengendap-ngendap mengincar gedung di tengah ilalang yang tinggi sehingga orang tak mengira jika di tengah ilalang tersebut ada sebuah gedung penyimpanan berbagai senjata ilegal dan markas para teroris. Pelan namun pasti, Ali mulai menyusup ke dalam markas tersebut dengan bantuan salah seorang tim yang lebih dulu menjadi penyusup. Ali benar-benar harus jeli dan memakai mata elangnya untuk mengawasi situasi saat ini.

Sedangkan Prilly yang menunggu di mobil merasa cemas dan gugup. Sebuah alat yang mengindentifikasi keberadaan Ali selalu Prilly awasi dari layar yang ada di dalam mobil tersebut. Prilly standby di jok pengemudi, sambil mendengar semua komunikasi, tanpa matanya lengah menatap layar yang menunjukkan titik keberadaan Ali.

Perlahan dan terus berjalan tanpa menimbulkan suara, Ali mencari keberadaan sandraan yang disembunyikan para teroris tersebut. Ini salah satu misinya, melepaskan sandraan Olivia. Ali terus menyusuri lorong, hingga dia harus menghabisi penjaga tanpa menimbulkan suara gaduh. Ali mematahkan syaraf kepala penjaga itu dengan cara memutar kepalanya dari arah belakang, sehingga mereka tak menimbulkan tembakan senjata. Ali terus mengendap dan sangat berhati-hati, saat melewati CCTV, Ali lebih dulu mengelabuhi alat tersebut agar tak menangkap gambarnya. Hingga Ali sudah menemukan ruang sandraan, ia membuka pintunya dengan alat yang tak menimbulkan suara berisik. Saat pintu sudah dapat terbuka, Ali menempelkan jari telunjuknya di depan bibir, agar para sandra tak bersuara. Ali menggiring mereka agar keluar dan bersembunyi di tempat yang aman. Sedangkan kini saatnya dia menyergap lawan.

Ali menghela napasnya dalam, sesaat dia mengingat saat malam pertama merenggut kesucian wanita yang begitu sangat dia cintai. Terasa memiliki beban tanggung jawab terhadap apa yang sudah ia lakukan, Ali pun memiliki dorongan kuat untuk selamat keluar dari tempat itu.

"It’s time." Suara dari partnernya menginterupsi.

Ali membuka matanya perlahan dan selalu menyiapkan pistolnya untuk menjaga dirinya. Sebuah tembakan meluncur dari arah belakangnya, untung saja tak mengenainya. Ali segera membalikkan tubuhnya dan membalas tembakan itu. Hingga beberapa orang mengejarnya. Adu tembak pun terjadi hingga Ali juga harus melawan para penjaga itu dengan bogeman mentah. Bela diri yang Ali kuasai cukup baik, sehingga dia hanya beberapa kali melepas tembakannya.

Prilly yang menunggu Ali di dalam mobil, mendengar adu tembakan dari dalam gedung semakin tak kuasa jika dia harus berdiam diri saja di situ.

"Maaf Li, aku harus masuk. Aku tidak tenang jika tetap berada di sini," kata Prilly lantas melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.

Prilly mengendap-ngendap mengintai gedung tersebut. Namun naas, sebuah tangan membekapnya dan kepala Prilly tertutup oleh kain hitam hingga dia tak dapat melihat siapa yang melakukan ini kepadanya.

"Lepasin gue." Prilly terus memberontak namun orang tersebut terus menyeret Prilly.

Ali dan beberapa orang terus saling baku tembak dan saling mengejar. Walaupun dia seorang diri, namun di belakangnya banyak orang. Untuk saat ini semua rekannya tak dapat berbuat apa-apa. Mereka tak bisa mengambil keputusan secara gegabah dalam situasi seperti ini. Ali terus melawan mereka, meski dirinya sudah babak belur, tapi dia tetap bertahan demi terbalaskan dendamnya kepada Olivia. Hingga Ali terjebak di suatu ruang yang sangat gelap hingga pandangannya harus benar-benar jeli. Salah perhitungan sedikit pun, semua akan berakhir.

"Aliansi Yonki Pipro," seru suara wanita yang keluar entah dari mana.

Ali melihat sekelilingnya, lantas sebuah lampu menyala di ruang tersebut. Jelas terlihat wajah licik Olivia memainkan pistol di tangannya.

"Hallo Captain Yonki," sapa Olivia akrab.

Yonki adalah sapaan Ali di CIA, dan Olivia dulu adalah salah satu anak buah Ali. Ali hanya tersenyum miring dan meludah di sembarang tempat melihat wajah yang sangat dia benci.

"Bagaimana kabar Anda Captain? Apakah hidup Anda tenang?" tanya Olivia terdengar basa-basi dan menghina.

"Menyerahlah kau Olivia," seru Ali berusaha baik kepadanya.

Olivia melepaskan tawa mengejek untuk Ali, meski hati Ali sudah sangat geram ingin segera menghabisinya, namun dia tetap berusaha tenang.

"Bagaimana jika kita melakukan negoisasi Captain?" seru Olivia tersenyum sangat licik.

"Hah?! Apa? Negoisasi? Apa yang akan kau negokan Olivia. Semua sandramu sudah terlepas. Apalagi yang akan menjadi tamengmu saat ini." Olivia tertawa renyah dan menepukkan tangannya agar seseorang membawa sandraan yang dia pikir akan melemahkan tekat Ali.

Ali mengamatai seseorang yang terikat tangannya di belakang dan kepalanya tertutup oleh kain. Ali mengenal siapa pemilik tubuh itu. Dia menghela napas dalam dan menahan amarahnya.

"Apa mau kau?" tanya Ali geram mengepalkan tangannya erat untuk menahan emosinya agar tak terlepas saat ini.

"Oh ... jadi benar ini adalah kelemahanmu Captain? Tak disangka, begitu mudah mencari kelemahan seorang pemimpin unit terpercaya di CIA khusus. Waow, sangat mudah keinginanku Captain."

"Bicaralah," sergah Ali yang sudah tak ingin berbelit-belit lagi dengan Olivia.

"Kau harus membantuku untuk keluar dari tempat ini tanpa ada yang mengintai dan mengikuti sampai rombonganku bisa lolos dari negara ini. Dan, seluruh pasukanmu, suruh mundur dan aku akan melepaskan orang ini. Tempat ini sudah kalian kepung, aku tahu. Putuskan semua alat komunikasi yang ada ditubuhmu Captain, atau aku akan ledakkan kepala orang ini," seru Olivia dengan mudahnya meminta hal yang tak mungkin Ali penuhi.

Ali hanya tersenyum miring, tak semudah itu Olivia dapat lari darinya. Beberapa bulan sudah menjadi incarannya? Apakah semudah itu Ali akan melepaskan wanita yang sudah merusak nama baiknya dan nama baik wanita yang sangat dia cintai.

"Jika aku tidak mau, apa yang akan kamu lakukan kepada orang ini?" tanya Ali mengerling licik menatap Olivia penuh amarah.

"Apa kamu ingin melihat isi kepalanya keluar? Bisa saja sekarang aku lakukan," kata Olivia menodongkan pistolnya di kepala sandraan itu.

Ali tetap berlagak tenang tanpa memperlihatkan rasa kekhawatirannya. Meski hatinya sudah berdebar sangat kencang, takut jika gertakan Olivia benar dia lakukan kepada orang tersebut.

"Bagaimana?" tanya Olivia yang sudah memutar pistolnya, siap untuk dia tembakan.

Ali melirik ke kanan dan ke kiri, memperhitungkan semua lawan yang harus dia lumpuhkan, dia memutus semua komunikasi yang tersambung. Dia tak ingin Prilly mendengar sesuatu tentangnya di ruangan tersebut.

"Tidak akan!" Ali dengan gerakan cepat meluncur ke udara, menarik tawanan tadi dan melepaskan tembakan-tembakan kepada orang-orang yang mengeroyoknya.

"Grey!" Ali membuka tutup kepala Grey dan memutuskan tali yang mengikat tangannya dengan pisau lipat yang selalu dia bawa.

Grey mengambil pistol yang terselip di perut Ali, mereka melawan puluhan orang hanya berdua. Baku tembak menguasai ruangan tersebut. Saat lengah seperti ini, Ali melihat Olivia dan dua orang keluar dari ruangan itu untuk melarikan diri.

"Li, kejar dia!" seru Grey sambil melawan orang-orang yang terus berusaha menghabisi mereka.

Ali berusaha melepaskan diri dari serangan-serangan para pengikut Olivia, beberapa tembakan Ali lepaskan untuk melumpuhkan orang yang berusaha menghalanginya. Ali berlari mengejar Olivia, hingga Ali mencegah kepergian Olivia di suatu lorong.

"Saya tidak nggak bisa terus berada di sini Ndan!" pekik Prilly memberontak kepada komandan unit Alfa yang sudah membekapnya tadi.

Ternyata sedari tadi mobil Ali diawasi oleh seorang komandan unit dari BIN yang dulu dia adalah atasan Prilly, dan itu atas permintaan Ali.

"Kamu jangan keras kepala Prilly, Captain Ali sudah menitipkan kamu kepada saya. Kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu, nanti mereka menganggap saya tak bisa memenuhi amanah," gertak komandan Yongki.

"Ndan, tolong percayai saya kali ini saja. Kalian pikir saya bisa tenang hanya duduk saja di dalam sini? Sedangkan semua komunikasi yang terhubung dengan Ali terputus." Prilly tak memperdulikan larangan komandan dan para teman-temannya.

Dia tetap turun dari mobil unit Alfa tanpa komandan Yongki dapat mencegahnya lagi. "Biarkan saja, memang dari dulu dia keras kepala," kata komandan Yongki menyerah, melarang anak buahnya untuk mengejar Prilly.

Semua anggota unit Alfa dan beberapa bawahan Ali hanya dapat menunggu tanpa dapat bergerak karena Ali memutuskan semua alat komunikasinya.

Perlahan Prilly masuk ke dalam gedung melalui pintu belakang yang sangat gelap. Dia terus berjalan sambil mendengarkan letak baku tembak terjadi. Hingga dia melihat segerombolan orang sedang berlutut sambil berpelukan dan sangat ketakutan. Prilly sudah dapat menduga jika mereka adalah para sandraan yang berhasil Ali bebaskan. Prilly melewati tempat lain agar keberadaan mereka tak diketahui oleh para teroris itu. Lantas dia terus menyusuri lorong yang terbatas percahayaannya hingga melihat Ali dan Olivia saling menodongkan pistolnya. Prilly melihat beberpa orang sudah tergeletak di samping Olivia, Prilly yakin jika Ali sudah melumpuhkan mereka. Kini tinggallah Ali dan Olivia yang sedang saling memandang, menunggu siapa yang lebih dulu melepaskan tembakannya. Prilly tetap diam berdiri menunggu waktu yang tepat.

Olivia lebih dulu menyerang Ali, hingga saling pukul pun terjadi. Olivia menendang tangan Ali hingga pistol yang Ali pegang terlepas. Ini kesempatan Olivia menodongkan pistolnya kepada Ali.

"Menyerahlah Captain, jika Anda ikut berbisnis dengan saya, pendapatan Anda perbulan akan berlipat-lipat ganda," ujar Olivia yang terus mendesak agar Ali mau bekerja sama dengannya.

"Tidak akan pernah! Jangan bermimpi kau Olivia." Ali ingin maju menyerang Olivia.

Dor!!!

Namun timah panas pistol Olivia terlepas hingga mengenai bahu Ali.

"Aaaarrrrggggh," runtih Ali tak siap mendapat serangan mendadak Olivia hingga dia berlutut di lantai sambil memegangi bahunya.

Prilly yang melihat Olivia melukai Ali, dia mengangkat pistolnya dan ingin melepaskan tembakan. Namun sayang, seseorang datang menendang tangan Prilly hingga pistol tersebut jatuh. Prilly dan orang tersebut melakukan perkelahian. Membuat Ali dan Olivia menyadari kehadirannya.

"Prilly," lirih Ali tak percaya jika Prilly begitu nekat masuk ke dalam tanpa menunggu perintahnya.

"Oh wanita itu memang selalu menjadi musuh bebuyutanku," ujar Olivia mengacungkan pistolnya untuk melukai Prilly.

Ali yang melihat Olivia siap melepaskan pelurunya, lantas dia berdiri dan menendang tangan Olivia. Pistol yang tadinya berada di tangan Olivia terbang ke udara, dengan cepat Ali meloncat mengambil pistol itu sebelum jatuh di lantai. Ali dan Olivia terjadi perkelahian, begitupun Prilly dan seorang pria yang entah siapa dia. Baku hantam dan bogeman mentah terus menghujami mereka. Ali terus berusaha mendekati Prilly, hingga di posisi yang aman, Ali menarik tangan Prilly untuk bertukar lawan. Saat Olivia ingin menghantam perut Prilly dengan sebuah kayu, mata Ali yang melihatnya lantas menghalangi Prilly. Darah keluar mengalir di samping dahi Ali. Dia tak memperdulikan kepalanya yang begitu sangat sakit karena kayu Olivia mengenai tepat di kepalanya.

Amarah Prilly semakin memuncak saat melihat darah Ali semakin mengalir deras melewati pelipisnya. Pandangan Ali semakin mengabur, namun dia tetap melawan pria yang tadi menjadi lawan Prilly. Hingga Ali dapat menghabisi pria tadi, dia melihat Prilly dan Olivia masih berkelahi. Ali berjalan terseok mendekati mereka, di saat ada celah, Ali menarik tangan Prilly hingga mereka berdua terjatuh di lantai. Kepala Ali semakin berat, Ali memeluk Prilly dan menutup matanya dengan telapak tangan kirinya.

Dor!!!

Satu tembakan yang Ali lepaskan tepat mengenai kepala Olivia. Dari sela jari jemari Ali, Prilly melihat tubuh Olivia tumbang. Seiring jatuhnya tubuh Olivia, Ali pun tak sadarkan diri. Tubuh Prilly lemas di dalam dekapan Ali, dia menangis entah bagaimana nasib mereka setelah ini. Prilly mencium bau anyir yang terus keluar dari kepala Ali. Prilly begitu ketakutan untuk kehilangan Ali, dia memeluk tubuh Ali yang semakin dingin sambil menangis histeris.

"Aliiiiiiiiiiiiiii," pekik Prilly sekuat tenaganya sebelum dia, tak sadarkan diri.

***

Batas usia seseorang tak akan ada yang tahu. Prilly menangis bersimpuh di samping gundukan tanah yang masih basah bertaburan bunga di atasnya. Tangisan histeris yang ia lepas, menandakan jika dia belum rela melepaskan kepergiannya. Sebuah tangan menyentuh bahu Prilly.

"Relakan dia, Tuhan sudah memberikan tempat terindah di sisiNya," ucapnya ikut berjongkok memeluk Prilly.

"Ayah," seru Prilly di sela tangisannya.

"Pulang yuk? Kasihan Bima," ajak pria yang memeluk Prilly tadi.

Prilly menoleh ke belakang, melihat Grey menggendong seorang anak laki-laki yang sangat lucu, memegang pistol-pistolan air.

"Ayo!" pria tadi membantu Prilly berdiri lantas dia menghampiri Gray. Prilly meminta Bima dari gendongan Gray.

"Makasih Grey," ucap pria tadi menepuk bahu Grey.

"Sama-sama Captain," sahut Grey bangga dan sigap.

Iya! Orang yang Grey panggil Captain adalah Ali. Setelah tak sadarkan diri beberapa hari di rumah sakit usai melumpuhkan Olivia, Ali akhirnya sadar dan segera menikahi Prilly. Semua berjalan begitu saja tanpa ada yang tahu rencana Tuhan. Demi menyelamatkan negara ini dari para penjahat, Ali masih tetap bekerja sebagai intelijen, namun dia tak lagi bergabung dengan CIA, melainkan dia bergerak bersama BIN. CIA merelakan anggota terbaiknya yang sudah mereka latih secara khusus, untuk memilih melindungi negara kelahirannya sendiri. Ali memilih menetap di Indonesia, tanah kelahirannya dan memilih untuk hidup mendampingi wanita tangguh dan kuat, yang kini masih menjadi anggota BIN, namun bekerja di bidan IT (Informasi Teknologi).

"Sudah yuk pulang," ajak Ali merangkul Prilly meninggalkan tempat pemakaman umum.

Tak ada yang menyangka dalam hidup ini. Apa yang sepertinya tidak akan terjadi, jika Tuhan sudah menghendaki, semua akan terjadi. Awal pertemuan yang tak disangka, berakhir pada kebahagian yang tak terduga.

#########

Cerita ini terinspirasi dari film DOTS. Nggak tahu kenapa suka banget sama lagunya. Walau ceritanya nggak sama persis tapi entah aku pengen aja bikin cerita ini. Semoga menghibur ya?😊

Makasih udah mampir dan membaca cerita anehku ini. Makasih vote dan komennya. Ini cerita action aku yang kedua setelah KLANDISTAIN.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top