Waktu
Siti tak tenang di alamnya, dia luntang-lantung, tak tahu arah pulang, ada sesuatu yang ingin dia sampaikan kepada sang suami sebelum enyah dari dunia fana ini, tetapi dia tak tahu bagaimana caranya.
♤♤♤
Sangat menyesal yang Didit rasakan. Andai, andai, dan andai, hanya kata itu yang terus menghantui pikirannya. Bagaimana tidak? Istrinya yang sangat dia cintai meninggalkannya.
Bukan karena dia selingkuh atau mereka bertengkar, karena Didit tak punya waktu banyak selama istrinya ada. Didit selalu sibuk bekerja, berpikir jika yang istrinya inginkan hanya uang, padahal tidak, Siti hanya ingin waktu Didit untuk mereka bahagia bersama seperti saat masih pacaran, meskipun hanya satu jam saja.
Hawa dingin dan suasana mencekam, hujan rintik malam ini membuat Sela sebal.
"Nasib, nasib, kerja sebagai SPG mal. Gini deh kalau pulang, enggak tentu. Tengah malam jalan sendiri. Mana enggak ada kendaraan yang lewat lagi!" gerutu Sela sambil berjalan cepat melewati pohon beringin.
Tepat di bawah pohon, angin bertiup kencang, aura semakin tercekat, Sela membuang napas kasar.
"Aku enggak takut!" ujar Sela yang sudah biasa diganggu hal seperti itu.
Sosok wanita berambut panjang dan berbaju putih berdiri di samping pohon. Aroma wangi kantil menusuk di hidung Sela. Tak hanya itu, sosok lain ternyata ada di sana. Makhluk astral tinggi, hitam, besar dan berbulu.
"Kalau kalian mau ganggu aku, percuma. Aku enggak takut!" Sela terus merancau sambil mempercepat langkahnya.
Padahal jantungnya sudah berdebar-debar seperti ingin lepas dari tempatnya. Namun, Sela berusaha sok berani. Semakin kita memperlihatkan ketakutan di depan mereka, justru makhluk tak kasat mata itu senang dan semakin menjahili kita.
Rumah Sela lumayan jauh dari jalan raya. Melewati gang kecil, pemakaman umum, tanah luas yang banyak ditumbuhi ilalang, dan perumahan.
***
Pemadaman listrik membuat keadaan gelap gulita. Sastro kalang kabut mencari sesuatu yang bisa menerangi jalannya agar bisa masuk ke rumah. Setelah ponsel di genggaman, lampu senter pada ponsel itu dinyalakan.
Set! Sekelebat bayangan hitam lewat di depan Sastro. Betapa terkejutnya dia. Buru-buru Sastro merogoh kunci di saku celana, lalu masuk ke rumah. Keadaan di dalam gelap gulita, tak ada satu orang pun di rumah karena Sastro duda dan tinggal sendiri di sana.
Kikikikikikikiki ....
Suara wanita tertawa melengking memekakkan telinga Sastro.
"Siapa kamu?" teriak Santro berputar menyinari sekitarnya. Tak ada seorang pun terlihat.
Kikikikikikikiki ....
Tawa itu kembali terdengar. Sastro bersiap lari dari ruang tamu. Namun, belum juga dia melangkah, asbak yang ada di meja tiba-tiba jatuh dan pecah.
Bulu kuduk Sastro berdiri, sekujur tubuhnya gemetar dan dingin. Secepat kilat, Sastro berlari masuk ke kamarnya.
Kejadian ini sering dialami Sastro.
***
Hari ini Salsa mendapat jatah masuk pagi. Saat jam istirahat, dia pergi keluar mencari makan dan mampir ke mini market terlebih dulu sebelum balik ke mal, tempatnya bekerja.
Salsa memilih minuman dingin di showcase. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri saat seorang pria bertubuh kekar, tak terlalu tinggi, dandanan seperti preman berdiri di sampingnya. Bukan pria itu yang menjadi fokus Salsa, melainkan sosok di samping orang itu. Matanya melirik Salsa tajam, bibirnya pucat, rambut tergerai, dan bau anyir.
"Astogfirulloh haladzim," ucap Salsa lirih mengalihkan pandangan.
Pria di samping Salsa mendengar ucapan lirih itu, lalu menoleh ke arahnya.
"Kenapa, Mbak?" tanya Pria itu bersuara nge-bass.
"Tidak apa-apa, Mas." Bergegas Salsa mengambil botol jus instan lalu ke kasir.
Buru-buru dia keluar dari mini market. Sampai di teras mini market, Salsa bertemu Jeremi.
"Sa, kamu kenapa?" tanya Jeremi memegang bahu Salsa.
"Enggak apa-apa kok, Jer." Salsa sambil melirik ke belakang, melihat pintu kaca mini market.
Sosok wanita bibir pucat itu mengamatinya.
"Aduh, kenapa masih lihatin sih," gerutu Salsa pelan.
"Ngomong apa, Sa? Enggak kedengaran," kata Jeremi, dikira Salsa mengajaknya bicara.
"Eh, bukan apa-apa kok, Jer. Kamu mau beli sesuatu dulu atau langsung balik ke sana." Salsa menunjuk mal, tempat mereka bekerja.
Jeremi bekerja satu tempat dengan Salsa. Dia sebagai supervisor. Mereka sudah sangat akrab karena Jeremi berteman dengan Salsa sejak masih sekolah dasar.
"Aku mau beli minuman dingin dulu. Tungguin, ya?" kata Jeremi lalu berlari kecil masuk ke mini market.
Salsa memandang tubuh tinggi dan tegap Jeremi saat masuk ke mini market, dia terkejut saat Jeremi menembus wanita yang sedari tadi mengamatinya di balik pintu kaca itu.
"Astogfirulloh haladzim." Salsa semakin yakin jika itu mahkluk astral.
***
Sepi, tak ada siapa pun selain dia. Setiap pulang kerja, Didit selalu teringat Siti. Dulu Siti menyambut Didit dengan senyum manis dan memasak makanan kesukaannya.
Didit duduk di kursi ruang tengah, yang biasa mereka gunakan menonton televisi. Rumah minimalis yang dia beli bersama Siti setelah menikah beberapa tahun lalu, menyimpan banyak kenangan di setiap sudutnya.
"Dek, apa kamu juga kangen aku? Rasanya kok aku selalu lemes sejak enggak ada kamu. Semangatku hilang."
Setiap rindu Siti, dia mengobrol dengan foto pernikahan mereka yang dibingkai besar, terpajang di tembok belakang televisi.
"Andai aku enggak sibuk kerja, pasti kita sudah menghabiskan banyak waktu bersama. Maafin aku, Dek. Sekarang aku menyesal, andai waktu bisa diputar, aku akan lebih sering menemani kamu, menjagamu, dan membahagiakanmu."
Penyesalan selalu datang setelah orang yang kita sayangi pergi. Hanya bisa berandai-andai tanpa dapat memutar waktu dan memperbaiki kesalahan itu.
"Mas, aku di sini." Roh Siti yang masih gentayangan berusaha menggapai tangan Didit. Namun, percuma! Tak akan bisa.
Siti selalu menangis, dia tidak tenang, ada sesuatu yang menghambatnya pergi.
"Jangan sedih, Mas. Aku selalu di sampingmu." Siti duduk di samping Didit, menatapnya nanar. Air mata Siti tak pernah kering.
Didit tak merasakan kehadiran Siti, dia juga tidak bisa melihat arwah istrinya itu. Lalu dia merebahkan diri di sofa, seperti Siti memangku kepada Didit, tetapi tembus.
Air mata Siti semakin deras, dia kesal tak dapat menyentuh suaminya. Tak sadar akibat kekesalannya itu, dia melepaskan kekuatan yang entah datang dari mana, hingga vas keramik yang ada di meja tergeser.
Didit terperanjat, dia bangun dan mengamati sekelilingnya. Sekujur tubuhnya merinding, lantas Didit pun buru-buru masuk ke kamar.
***
Pukul 18.40 WIB, Salsa yang baru selesai salat Isya, menyimpan mukena dan sajadahnya ke lemari. Ketika menutup pintu, jantung Salsa hampir lepas dari tempatnya. Bagaimana tidak, mahkluk astral yang Salsa lihat di mini market beberapa hari yang lalu tiba-tiba uncul.
Jantung Salsa berdebar-debar tak kerun. Dia mengusap dadanya berulang kali.
"Kalau kamu mau ganggu aku, percuma. Aku enggak takut," ucap Salsa tak acuh melewati sosok pucat pasi yang masih mematung di depan lemari itu.
Salsa keluar dari kamar, dia menghampiri orang tuanya yang sedang menonton televisi.
"Pak, Bu, apa Salsa kredit motor saja, ya?" ujar Salsa setelah dia bergabung bersama orang tuanya.
"Memangnya gaji kamu sudah cukup buat cicilan per bulan? Katanya gaji kamu di bawah UMR," ujar Syafii, bapak Salsa.
"Alhamdulillah, kan, Salsa udah melewati masa training, Pak. Jadi, sekarang gaji Salsa sudah normal, sesuai UMR di Kabupaten Semarang."
"Oh, begitu? Ya sudah, kalau memang kamu membutuhkan itu, ambil saja. Insyaallah kalau Bapak ada rezeki, nanti bantuin bayar cicilannya."
Keluarga Salsa sangat sederhana, bapaknya sebagai petani, sedangkan ibunya guru, mengajar di SD.
Ketika mereka asyik menonton acara komedi di televisi, bulu kuduk Syafii dan Salsa berdiri. Tubuhnya merinding. Kelebihan Salsa itu didapat dari leluhur. Bapaknya juga bisa melihat mahkluk astral.
"Pak, apa Bapak juga merasakan?" bisik Salsa di samping Syafii.
Tanpa berucap, Syafii mengangguk. Sedangkan Sekar, ibu Salsa, masih santai dan asyik menonton televisi. Tiba-tiba lampu berkedip.
"Kenapa lampunya begini, Pak? Udah mau putus kayaknya ini," ucap Sekar mendongak, melihat lampu yang semakin meredup.
Safii membaca ayat-ayat pendek, sedangkan Salsa mematung, tak berani menoleh ke arah mana pun. Padahal rumah mereka tembok, pintu dan jendela ditutup, tetapi angin berembus kencang.
Tadinya Sekar tak berpikir macam-macam, setelah melirik Salsa dan Safii, tubuhnya menjadi kaku dan tegang. Sekar yang tadinya duduk selisih satu kursi, pelan-pelan mendekati Salsa dan memeluknya.
"Sa, kamu lihat apa?" tanya Sekar berbisik.
"Ibu, sssssst." Salsa memeluk Sekar.
Terdengar wanita menangis lirih, semakin lama tangisan itu jelas. Sekarang dan Salsa menutup telinga. Safii terus membaca doa-doa sampai tangisan itu hilang dan lampu berderang kembali.
"Alhamdulillah," ucap mereka serentak.
"Bapak, ada apa tadi?" tanya Sekar menegakkan tubuhnya, menjawil Syafii.
"Bapak juga enggak tahu, Bu. Kok tiba-tiba ada tamu enggak diundang." Syafii bersikap santai, dia beranjak lalu membenarkan sarungnya. "Ayo, kita tidur saja."
Bergegas Sekar menggandeng lengan Safii. Sementara Salsa masih bergeming di ruang itu sendiri.
Siapa dia? Kenapa sepertinya berusaha berinteraksi? Salsa berpikir keras.
"Sa, masuk kamar. Ayo tidur," titah Safii sebelum masuk kamar.
"Iya, Pak."
Salsa pun beranjak ke kamarnya.
***
Sastro mengemudi sendiri dalam kondisi setengah sadar. Sebagai calo tiket bus dan preman terminal, sudah biasa baginya pulang tengah malam seperti ini.
Saat melewati jembatan, mendadak dia menginjak rem. Sekelebat bayangan hitam lewat depan mobil. Sastro seperti melihat orang menyeberang. Setelah dicek tak ada siapa pun, dia kembali mengemudi.
Mengusir rasa takut, Sastro memutar musik. Sengaja dia keraskan agar tidak mendengar suara yang membuat bulu kuduknya berdiri.
"Sastro." Suara lirih wanita memanggil. Sekujur tubuh Sastro merinding. Dia pun menambah kecepatan mobilnya.
Di tempat lain, ketika Salsa tidur, dia merasa ada seseorang yang membisikkan sesuatu padanya.
"Tolong. Bantu aku."
Sekejap itu juga Salsa membuka mata dan melihat jam dinding, pukul 23.55 WIB. Salsa menarik napas dalam lalu mengembuskan kasar. Dia mengusap wajah dan menyibak rambut panjangnya ke belakang.
"Salsa, bantu aku."
Terdengar lagi bisikan itu. Salsa menoleh ke sumber suara. Kosong, kamarnya tidak ada siapa pun kecuali dia.
"Tolong, bantu aku."
Kali ini suaranya semakin dekat, seperti di sampingnya.
"Hei, kalau mau minta tolong perlihatkan wujudmu. Jangan begini," ujar Salsa kesal karena mahkluk astral itu hanya bersuara tanpa menampakkan diri.
Set! Bayangan hitam berkelebat di depan Salsa. Dalam hati Salsa membaca surat pendek. Terdengar lirih suara wanita menangis pilu. Lama-lama Salsa merasa kasihan mendengar tangis menderita sosok tak tampak bentuknya itu.
"Kamu mau minta tolong apa? Kalau aku bisa bantu, insyaallah aku akan bantu. Tapi tolong, muncullah, jangan begini. Kamu malah bikin aku takut." Salsa berusaha berkomunikasi.
Beberapa menit menunggu, dari arah jendela, keluar sosok wanita yang Salsa temui di mini market tempo lalu.
"Kamu kenapa mengikutiku?" tanya Salsa setelah mahkluk itu berdiri di depan tempat tidurnya.
"Bantu aku," kata mahkluk itu pelan.
"Iya, aku bisa bantu kamu apa?"
"Tolong temui suamiku."
"Hah! Enggak salah? Kenapa aku harus menemui suamimu?"
"Sampaikan pesanku padanya."
"Kamu siapa?"
"Namaku Siti."
"Oke, Mbak Siti. Rumahmu di mana? Lalu pesan apa yang harus aku sampaikan ke suamimu?"
"Aku dibunuh ...."
"Dibunuh? Sama siapa?"
"Sastro."
"Siapa Sastro? Kenapa dia membunuh Mbak Siti?"
"Aku tidak sengaja melihat dia memerkosa gadis SMA di kebon karet."
"Hah! Terus?"
"Aku berlari waktu Sastro mengajarku dengan sepeda motor. Sampai di jalan besar, dia menendangku sampai tubuhku ke tengah jalan dan tertabrak truk."
"Innalillahi wa innalillahi rojiun." Salsa menutup mulutnya. "Apakah Sastro pria yang kamu ikuti saat aku melihatmu di mini market waktu itu?"
Arwah Siti mengangguk.
"Terus bagaiamana aku bisa menyampaikan kepada suamimu? Tidak mungkin dia percaya kalau aku sekadar ngomong tanpa bawa bukti, kan?"
"CCTV di depan toko sembako Putra Jaya." Setelah berucap itu, arwah Siti memudar dan hilang dari hadapan Salsa.
***
Pulang kerja, pukul 19,00 WIB, Salsa mengajak Jeremi mencari alamat yang diberikan Siti.
"Kamu yakin jalannya ini, Jer?" tanya Salsa yang membonceng sepeda motor Jeremi.
"Kalau sesuai map sih ini jalannya, Sa. Kamu ada-ada saja sih, malam-malam cari alamat orang. Jangan bilang kamu mau bantu ...."
"Sssssst, hati-hati kalau bicara. Entar malah datang loh."
Bibir Jeremi mengatup rapat. Dia tahu kalau Salsa sejak kecil memang sudah bisa melihat mahkluk tak kasat mata. Jeremi salah satu saksi perjalanan Salsa yang sering dimintai tolong makhluk seperti itu. Walaupun aslinya Jeremi penakut, demi membantu teman baiknya itu, dia rela membuang jauh-jauh rasa takutnya.
"Jer, stop!"
Jeremi ngerem mendadak.
"Kenapa sih, Sa?" tanya Jeremi sedikit kesal karena Salsa menghentikannya mendadak.
"Itu lihat, toko Putra Jaya." Salsa menunjuk toko sembako pinggir jalan yang masih buka.
"Iya, terus?"
"Kita ke sana dulu yuk."
"Mau ngapain sih?"
"Beli minum. Aku haus."
"Ck, tadi di sana ada Indomaret, kenapa enggak minta berhenti di sana aja sih."
"Ah, ayo dong, Jer. Please."
"Ya, iya." Meski terdengar keberatan, tetapi Jeremi mengikuti perintah Salsa.
Sampai di depan toko, Jeremi menunggu di luar, duduk di sepeda motornya. Salsa masuk ke toko itu sendiri.
Dari luar, Jeremi mengamati Salsa yang tampak berbincang serius dengan pemilik toko. Mereka seperti menyepakati sesuatu.
"Ayo, Jer," ajak Salsa setelah keluar dari toko tersebut.
"Mau ke mana lagi kita?" tanya Jeremi sambil memakai helemnya.
"Cari alamat yang tadi. Kita perlu ketemu seseorang."
Jeremi pasrah, mereka pun melanjutkan pencarian. Tak jauh dari toko itu, mereka masuk perumahan. Pelan-pelan menyusuri jalan dan akhirnya berhenti di rumah minimalis, pagar besi bercat hitam. Ketika melihat Siti duduk di teras menemani Didit yang sedang melamun, Salsa semakin yakin jika itu alamat yang dia cari.
"Assalamualaikum," ucap Salsa sopan dari depan pagar.
Didit terlonjak, dia sadar dari lamunannya.
"Waalaikumsalam," balas Didit lalu berdiri, segera mendekati pagar.
"Maaf, Mas, mau tanya. Apa benar ini rumah Mbak Siti Muharoh dan Mas Didit Setiawan?"
"Iya, benar, saya Didit. Kalian ini siapa?"
Didit kebingungan, setahu dia, Siti tidak punya teman yang masih muda. Rata-rata seusia mereka.
"Kami temannya, saya Salsa dan ini teman saya Jeremi. Boleh kami masuk? Ada yang ingin kami sampaikan."
"Boleh, silakan." Didit membukakan pintu pagar.
Salsa dan Jeremi pun masuk ke ruang tamu, mengikuti Didit. Arwah Siti berdiri di belakang Didit. Wajahnya datar dan pucat.
"Mau minum apa?" tawar Didit bersiap berdiri.
"Tidak usah, Mas. Kami cuma ingin menyampaikan amanah dari Mbak Siti saja kok," tolak Salsa karena tak mau merepotkan Didit.
"Maaf nih, Dek. Mbak Siti sudah tidak ada sekitar satu bulan yang lalu. Kecelakaan."
Salsa dan Jeremi saling memandang. Sebelumnya Jeremi sudah Salsa ceritakan kejadian yang dialami Siti. Di belakang Didit, arwah Siti menangis.
"Mas Didit, mohon maaf sekali. Jadi, sebenarnya beberapa hari yang lalu, Mbak Siti menemui teman saya." Jeremi memegang bahu Salsa, dia berusaha pelan-pelan menjelaskan kepada Didit. "Salsa ini punya kelebihan. Dia indigo, bisa melihat yang kita tidak bisa lihat."
"Terus hubungannya dengan Siti apa?" Didit semakin dibuat bingung.
"Dia pingin menyampaikan sesuatu kepada Mas Didit. Kalau sebenarnya dia meninggal bukan murni kecelakaan. Tapi ...." Salsa pun bercerita apa yang Siti ceritakan kepadanya waktu itu.
"Apa kamu yakin?" Didit sedikit ragu dengan cerita Salsa.
"Mas, Mbak Siti ada di sini. Dia belum bisa pergi karena ada urusan yang belum selesai. Kalau Mas Didit tidak percaya, kita ke toko sembako Putra Jaya. Di sana ada CCTV."
"Ah, kalian ini pasti mengada-ada, kan? Mana bisa orang yang sudah meninggal berkomunikasi dengan kita? Mungkin itu jin jahat yang menyerupai istri saya." Didit berusaha mengelak, dia tak ingin dibodohi anak muda.
"Mas, saya sebelumnya tidak kenal Mbak Siti dan Mas Didit, kan? Saya SPG di salah satu mal dan rumah saya pun jauh dari sini. Tapi, Mbak Siti selalu muncul di depan saya dan berusaha menyampaikan ini kepada saya maupun bapak saya. Tolong Mas, bantu meringankan jalan Mbak Siti. Kasihan dia belum bisa pergi."
Sejenak Didit berpikir. Apa salahnya mengikuti permainan dua pemuda di hadapannya itu, pikirnya. Apalagi selama ini Didit juga merasa ada yang mengganjal dengan meninggalnya Siti. Bagaimana bisa orang ketabrak truk padahal jalan tidak terlalu ramai dan tidak lebar, cukup dua mobil berpapasan.
"Baiklah." Akhirnya Didit mau ikut mereka.
Tujuan pertama di toko Putra Jaya. Seperti yang Salsa bicarakan kepada pemilik toko tadi sebelum menemui Didit, mereka memutar balik CCTV satu bulan lalu. Tanggal dan hari kejadian Salsa kecelakaan. Tampak jelas dari layar itu, Salsa dikejar pria berkendara sepeda motor dan ditendang sampai tubuh langsing itu tersungkur di tengah jalan. Saat ingin bangkit, truk menabraknya hingga terpental.
Wajah Didit mengeras, kedua tangannya mengepal. Darahnya seperti mendidih sampai di ubun-ubun.
Keesokan harinya Didit melaporkan kejadian itu ke pihak berwajib dengan bukti CCTV. Mereka melacak pelaku dari nomor plat yang terekam CCTV. Laporan perkara diproses kepolisian. Semua informasi yang berhubungan dengan pelaku sudah dikumpulkan.
Sekitar pukul 20.00 WIB, ditemani Jeremi dan Salsa, Didit beserta pihak berwajib mendatangi rumah pelaku. Didit sudah tidak sabar ingin memberi perhitungan kepada pelaku.
"Sa, apa Siti ada di sini?" tanya Didit setengah berbisik saat mereka menunggu polisi mengepung rumah pelaku.
"Iya, Mas. Dia selalu ada di samping Mas Didit. Dia enggak pernah jauh kok dari Mas Didit," jelas Salsa menatap Siti yang berdiri di samping Didit.
"Apa dia mendengar yang kita bicarakan?"
"Iya, dia selalu mendengar apa yang kita obrolin, Mas."
Perasaan Didit sedikit menghangat, sepertinya dia tenang mendengar wanita yang dicintainya, ternyata selalu ada di dekat dia.
Pengepungan selesai, seorang polisi mengetuk pintu rumah. Pelaku keluar dan langsung kaget melihat dua polisi di depan pintu rumahnya. Didit rasanya ingin sekali segera memukul wajah pria itu.
"Selamat malam, apa benar ini rumah Bapak Sastro?" tanya salah satu polisi.
"Iya. Ada apa ini? Kenapa kalian ke sini?" Sastro sudah tampak ketakutan dan kalang kabut.
Saat dia ingin membalikkan badan, dengan sigap dua polisi itu menahan tubuhnya.
"Salah saya apa?" Sastro memberontak, meminta dilepaskan.
Didit mendekati lalu mengepalkan tangan. Saat ingin menjotos Sastro, seorang polisi menahannya.
"Jangan, Pak Didit. Anda bisa terkena pasal pidana kekerasan. Biar kami yang memproses secara hukum," kata polisi itu.
Didit menahan diri, napasnya sudah tersengal-sengal. Jeremi merangkul Didit.
"Mas, tenang, sabar. Pasti dia akan mendapat ganjaran yang sebanding dengan kesalahan dia," ujar jeremi menepuk bahu Didit.
Karena tak tahan dan dadanya dongkol, Didit memecahkan tangisnya. Dia menutup wajah dengan kedua tangan.
Siti membisikkan sesuatu kepada Salsa. Setelah itu Salsa menyampaikan kepada Didit.
"Mas Didit, kata Mbak Siti, ada lagi yang ingin dia sampaikan."
Didit menegakkan kepalanya, menghapus air mata dengan telapak tangan.
"Apa, Sa?" tanya Didit bersuara parau.
"Di laci meja rias Mbak Siti ada sesuatu, Mas. Katanya, dia mau memberi tahu Mas Didit, tapi belum sempat."
Segera Didit berlari mengendarai sepeda motornya. Jeremi dan Salsa yang mengkhawatirkan keadaannya pun menyusul.
Sampai di depan rumah, Didit buru-buru masuk. Jeremi dan Salsa mengikuti. Didit mencari-cari yang Siti maksud. Di depan pintu kamar, Jeremi dan Salsa menunggu. Didit menemukan sesuatu, dia memecahkan tangisannya. Arwah Siti yang mengikuti mereka pun terisak-isak.
"Sa, tugasku sudah selesai. Terima kasih," ucap Siti kepada Salsa.
Tanpa menjawab, Salsa mengangguk. Arwah itu memudar dan hilang. Didit tersungkur di lantai, dia menangis sambil memegangi selembar kertas.
"Masuk yuk!" ajak Jeremi.
Salsa mengangguk, lalu mereka masuk mendekati Didit.
"Mas, yang sabar, ikhlas, insyaallah Mbak Siti tenang di alamnya. Semoga jalannya terang dan luas," ucap Jeremi membantu Didit berdiri dan membimbingnya duduk di tepi ranjang.
Didit menghapus air matanya, dia membaca lagi hasil tes itu. Di sana jelas menyatakan bahwa Siti positif hamil. Pastilah sangat hancur hati Didit. Seharusnya dia sekarang bahagia akan menyambut buah cintanya bersama Siti.
Jangan sia-siakan waktu bersama orang tercinta. Manfaatkan waktu yang Tuhan berikan. Buat dia bahagia dan lakukan apa pun sebelum penyesalan datang.
♤♤♤♤♤♤♤♤ End ♤♤♤♤♤♤♤♤
A story horror by Kristianto
Teman-teman, rindu sama cerita pendekku enggak? Ditunggu, ya? Aku bakalan bikin.
Ini karya teman saya. Semoga kamu suka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top