USING

Bahagia saat aku melihat patung penyambutan kabupaten paling ujung timur di wilayah pulau Jawa ini. Banyuwangi menyimpan banyak tradisi budaya maupun wisata alam yang tidak kalah bagus dengan luar negeri. Daerah ini merupakan kabupaten terbesar di pulau Jawa dengan luas 5.782,50 km². Sebelah utara dan selatan Banyuwangi tertutupi alas angker yang dinamakan Alas Purwo, sedangkan bagian barat dan timur adalah pegunungan dan laut.


Patung penari gandrung adalah sambutan pertama saat aku datang dari arah Situbondo yang nantinya tembus di Banyuwangi utara. Ini kisah hidupku, menjadi salah satu koki di kapal KMP Gerbang Samudra 2 yang memiliki semboyan The Spirit of Journey. Dipimpin nahkoda wanita yang tegas dan ketat. Namanya Kapten Annisa.

Sejak aku dimutasi dari kapal KMP Gerbang Samudra 3, kapal feri penyeberangan Lembar-Padangbai, hatiku sudah jatuh cinta dengan kota ini. Using! Kalian tahu apa itu?
Dulu sebelum dibakukan, banyak orang menulis dengan kata osing, kadang juga oseng, namun setelah diurai secara fonetis oleh pakar Linguisitik dari Universitas Udayana Bali, Prof. Heru Santoso, diperoleh kesepakatan resmi dengan menulis kata using, yang berarti tidak.

Suku Using adalah penduduk asli Banyuwangi atau juga disebut sebagai wong Blambangan dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan, Kabupaten Banyuwangi. Predikat using dilekatkan kepada masyarakat Blambangan karena kecenderungan mereka menarik diri dari pergaulan dengan masyarakat pendatang pascaperang Puputan Bayu.

Entah bagaimana awal sejarah itu, namun yang jelas aku sudah banyak membaca dan bertanya kepada penduduk asli Using. Sungguh suku yang unik dan daerahnya memesona dengan berbagai pesona di dalam daerah ini yang belum banyak orang tahu. Aku tidak tahu mengapa penilaian masyarakat luar terhadap orang Using menunjukkan bahwa dengan budayanya terkenal mistik dan selalu mengaitkan orang Using dengan pengetahuan ilmu gaib yang sangat kuat. Selama aku hidup di Banyuwangi, tidak merasakan hal mistik dan lain sebagainya yang orang luar sana bicarakan. Memang budaya di sini masih kental, tapi aku merasakan masih lebih kental suku Bali.

"Imel, apa sudah siap sarapannya?"

Aku tersenyum saat Kapten Annisa menghampiriku ke dapur. Hampir setiap pagi, dia selalu bertanya seperti itu. Bagiku ini hal biasa, karena dia orang yang selalu one time dan benar-benar disiplin.

"Sudah, Kap," kataku sambil membawa sambal ke meja makan kru kapal.

"Kamu siap-siap, 10 menit lagi sandar di Ketapang."

Ini salah satu yang aku suka dari Kapten Annisa. Walaupun dia cerewet dan bawel, suka berteriak, tapi dia selalu memerhatikan seluruh tugas anak buahnya.

"Siap, Kap."

Rutinitasku setiap pagi setelah memasak untuk ABK, jika kapal sandar di Ketapang, aku harus turun belanja bahan masakan di pasar tradisional Ketapang. Aku memiliki waktu di darat sampai sebelum jam makan siang. Sekitar pukul 10 atau 11 aku harus sudah berada di atas kapal lagi.

***
P

OV Author

Imel adalah seorang koki pindahan dari kapal penyeberangan Lembar-Padangbai. Karena atas permintaan nahkoda kapal feri Gerbang Samudra 2, Imel sekarang menjadi koki di kapal penyeberangan Gilimanuk-Ketapang. Gadis berparas manis keturunan darah Solo yang selalu ceria dan tak pernah mengeluh walau pekerjaannya tidak pernah ada kata libur.

"Imel, apa kamu tidak ingin jalan-jalan seperti yang lainnya?" tanya Annisa, saat ini mereka sedang duduk di salah satu bangku haluan kapal.

"Mana tenang Capt saya jalan-jalan. Sekarang saya harus masak tiga kali sehari untuk makan teman-teman. Kapan ada waktu luang untuk saya jalan-jalan," jawab Imel dengan senyuman manisnya.

"Berapa usia kamu, Mel?"

"Baru 23, Capt."

"Kamu sudah punya pacar?"

Imel tertawa saat Nahkoda cantik itu menanyakan hal yang menyangkut pribadinya. Pasalnya selama dia bekerja satu kapal bersama Annisa, baru kali ini Annisa menanyakan tetang masalah pribadi.

"Tumben Capt Nissa bertanya seperti itu?" Imel menatap heran ke sampingnya, karena memang mereka saat ini sedang duduk bersebelahan.

"Aku mau mengenalkan kamu dengan koordinator kantin di kapal ini. Tapi, selisih usia kalian jauh. Dia sudah 30 tahun, mungkin tahun ini dia 31."

Lagi-lagi Imel tertawa lepas saat Annisa berbicara apa adanya seperti itu. Kedekatannya dengan Annisa yang sudah dia anggap seperti kakaknya, membuat dia selalu terbuka. Dia merasa nyaman jika mencurahkan isi hatinya dengan Annisa sejak mereka di satukan dalam satu kapal penyeberangan Surabaya-Banjarmasin.

"Capt Nissa ada-ada aja. Mana mau dia sama aku. Aku ini orang yang nggak punya," kata Imel merendahkan diri.

"Jangan menghakimi diri sendiri. Yang berhak menilai kita berbeda adalah Tuhan. Aku tidak suka kamu berkata seperti tadi. Hargai diri sendiri dulu, jika kamu ingin dihargai orang lain."

Imel terdiam, beginilah Annisa. Wanita acuh dan tegas, sekali berbicara selalu sadis dan mengena di hati. Bukan berarti dia jahat, tapi memang pembawaan kepemimpinannya selama ini seperti itu. Jika sudah mengenal lebih jauh, sebenarnya dia asyik dan baik hati.

"Maaf Capt, tapi aku merasa tidak pantas. Pasti dia orang yang berpendidikan dan orang yang berada."

"Apa menurut kamu hidup di dunia ini terukur dengan materi, Imel?"

Imel terdiam memikirkan pertanyaan Nahkodanya itu. Tak semua kebahagiaan dan hal yang ada di dunia ini dapat di ukur dengan materi. Itulah yang Imel pikirkan.

"Tidak, Capt," jawab Imel menatap Annisa yang tersenyum mendengar jawabannya.

"Ikut denganku nanti malam. Aku ada janji di taman Sritanjung, Banyuwangi kota."

Annisa beranjak dari tempat duduknya, melenggang pergi meninggalkan Imel sendiri yang masih terpaku di sana. Imel menatap punggung Annisa yang semakin menjauhinya.

***

Kapal ini adalah rumah bagi mereka ABK yang bekerja di sini. Suka duka anak buah kapal, nakoda dan masinis tentu banyak cerita manis dan akan selalu manis. Walau pun digoyang ombak dan diterpa badai, pelaut tiada pernah takut tetapi jiwa besar berpasrah dalam lindungan-Nya.

"Imel, aku tunggu kamu di cardeck ya?" ujar Annisa menyembulkan kepalanya di jendela kamar Imel.

Kamar Imel terpisah dari para perwira dan kru yang lain. Kamarnya terletak di dekat dapur, jika ingin masuk ke kamarnya, Imel biasanya lebih dulu masuk ke ruang makan.


"Iya Capt," jawab Imel.

Karena tak ingin Annisa menunggunya lama, akhirnya Imel pun menyusul turun ke cardeck.

"Capt, kita naik apa ke Banyuwangi kota?" tanya Imel.

"Tenang saja, aku sudah pinjam motor sama orang kantor."

Mereka pun turun dari kapal melewati lambung kiri yang menempel dengan daratan. Jika kapal sedang off, biasanya kapal akan berlabuh jangkar atau sandar di tempat yang sudah di sediakan oleh PT. ASDP.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di Taman Sritanjung dari Ketapang. Taman Sritanjung berada di pusat Kota Banyuwangi, persis di seberang Masjid Agung Baiturahman. Taman kota ini menjadi oase kesejukan di siang hari yang terik di Banyuwangi.

Imel dapat berpergian bebas ketika sudah malam, karena dia tak memiliki beban untuk memasak. Itu pun dengan waktu yang terbatas karena mengingat tanggung jawabnya yang harus bangun subuh untuk mulai memasak.

"Kalian ada di mana?" tanya Annisa kepada seseorang yang dia telepon.

Imel hanya diam berdiri, menyapu pandangannya ke seluruh taman itu. Pandangan Imel terutama tertuju pada kedai yang berjejer rapi menjual berbagai makanan.

"Ayuk, Mel." Annisa mengajak Imel masuk ke dalam taman.

Imel terpukau melihat taman yang indah dan ada bangku-bangku taman di tiap titik Taman Sritanjung tersebut. Asyiknya, bangku taman tersebut berada tepat di bawah pepohonan yang rindang. Di sisi luar Taman Sritanjung berderet pepohonan tinggi. Ini memberikan keteduhan bagi pejalan kaki atau warga sekitar yang melintasi taman.

"Dimana sih anak-anak nongkrongnya?" gerutu Annisa berjalan mendahului Imel yang masih sibuk meneliti setiap inci taman itu.

"Captain!!!" seru suara keras dari salah satu penjuru taman.

Annisa yang merasa tak asing dengan suara tersebut lalu menoleh mencari sumber suara. Annisa mengangkat tangannya ke udara menyapa orang-orang yang memiliki janji dengannya.

"Ternyata di sini?" Annisa menyalami orang-orang yang sedang duduk dekat dengan air mancur yang tepat berada di tengah taman tersebut. Taman Sritanjung juga sudah dilengkap fasilitas WiFi.

"Kamu ikut juga, Mel?" tanya Nia salah seorang perwira deck yang juga mengenal Imel.

"Iya," jawab Imel singkat.

"Pindah yuk, sekalian nongkrong dan makan." Annisa mengajak semua berpindah tempat yang lebih nyaman untuk mengobrol.

"Nah, begini baru enak," seru Awang yang sekarang mereka sudah duduk di tempat lesehan yang di sediakan para pedagang kedai.

"Oh, Iya ... sini Mel duduk." Annisa menarik tangan Imel agar duduk di sebelahnya.

"Herman mana? Tadi dia ikut?" tanya Annisa tak melihat seseorang yang akan dikenalkan pada Imel.

"Lagi ke toilet. Aku sudah sms dia kalau kita sudah di sini," sahut Nia.

Yang menjadi keunikan tersendiri di tempat ini adalah letak toiletnya yang berada di bawah tanah. Jika orang tak peka dan tak pernah tahu letak Taman Sritanjung ini, mungkin saja tak sadar saat melihatnya.


"Nah, itu Herman." Awang menunjuk seorang pria bertubuh tegap dan berparas tampan menghampiri mereka.

Imel yang menyadari hal itu entah mengapa jantungnya berdetak tak tenang. Ia susah payah menelan ludahnya, apa lagi saat Herman duduk tepat di depannya.

"Man, kenalin ini koki di kapal yang pernah aku ceritakan sama kamu." Annisa menepuk bahu Imel, membuat tubuhnya semakin tegang dan gemetar.

"Hay, aku Herman. Aku banyak mendengar tentang kamu dari Captain Nissa. Walau aku sering naik ke kapal, kenapa aku tak pernah melihat kamu ya?" tanya Herman sambil menyalami Imel.

"Aku Imel, mungkin aku terlalu sibuk di dapur atau bisa saja aku sedang berbelanja di pasar saat kamu naik ke kapal."

Obrolan itu bergulir dengan sendirinya. Malam yang cerah dan udara yang sejuk menjadikan suasana malam itu semakin terasa asyik untuk bercanda gurau, saling mendekatkan diri satu sama lain. Dendangan lagu osing pun menjadi lantunan merdu diantara Imel dan Herman saat ini. Entah mengapa saat mendengar lagu osing hati Imel ikut bergetar dan ada kenikmatan sendiri baginya.

***

Ketika matahari mulai redup, sang awan pun dengan seksama menjadi penguasa langit.

"Aku sudah melihat jutaan senja, tapi tidak satu pun diantara mereka yang lebih indah dari pada ketika kamu memelukku sebagai sore yang sederhana seperti saat ini." Herman memeluk Imel dari belakang menatap ke depan sang mentari terlihat perlahan mulai tenggelam ke peraduannya.

"Aku mencintaimu, katamu selirih angin sore. Namun aku takut, ketika aku membuka mata dan kamu tak lagi ada." Imel mengeratkan pelukan tangan Herman yang melingkar di lehernya sambil memejamkan mata.

"Jangan takut, karena aku akan selalu ada bersamamu. Bukalah matamu dan lihatlah goresan tangan Tuhan yang luar biasa di depan sana."

Imel menuruti bisikan Herman, perlahan dia membuka mata dan menatap indahnya langit orange dan lautan luas di pantai G-Land seakan ikut berwarna orange.

"Ini sangat indah Herman," seru Imel takjub dengan apa yang saat ini dia lihat.

Tiga bulan lebih setelah hari perkenalan mereka di Taman Sritanjung kedekatan pun terjalin alami. Hari ini mereka resmi berpacaran setelah Herman tadi mengungkapkan perasaannya dan Imel menjawabnya.

"Ke sana yuk?" Herman menggandeng tangan Imel berjalan menyusuri pantai, melewati bebatuan karang dan pasir putih untuk mencari angle foto terbaik.

Matahari yang terlihat bulat memancarkan cahaya kuning keemasan mulai terlihat jelas. Saat itu, langit pun sedang terlihat indah dan Herman pun berhasil mendapatkan angle terbaik dalam kamera.

"Ini sangat indah Herman. Aku tak pernah melihat keindahan alam yang mempesona seperti saat ini." Imel tak kuasa menahan kebahagiaannya saat melihat hasil jepretan kamera Herman.

"Duduk sini." Herman mengajak Imel duduk di atas hamparan pasir putih dan mereka terpukau melihat sunset berwarna kuning keemasan yang ada di depan mata.

Imel meletakan kepalanya di bahu Herman. Deru ombak seolah menjadi alunan musik alam yang syahdu mengiringi matahari terbenam. Suasananya benar-benar alami.

"It's so amazing and very beautiful," ujar Imel hanya kata itu yang dapat menggambarkan suasana di depan matanya saat ini.

***

Puas menyaksikan sunset di Pantai G-Land kini mereka kembali melanjutkan wisatanya memburu makanan khas Banyuwangi. Walau mereka bukan asli dari Banyuwangi, namun hati mereka sudah jatuh hati di kota yang menyatukan cinta mereka.

"Mau makan di mana ya kita?" tanya Herman melajukan mobilnya pelan saat mereka sudah sampai di pertengahan kota Banyuwangi.

"Aku nggak tahu tempat makan yang enak sesuai dengan lidah kamu. Tapi aku sering di ajak Captain Nissa jajan di Dapur Oesing." Imel berkata sambil melihat-lihat keramaian kota Banyuwangi malam itu.

"Kamu tahu di mana tempatnya?"

"Iya, aku masih ingat tempatnya. Lokasinya di Jalan Ahmad Yani, sekitar 1 kilometer utara kantor Pemerintah Banyuwangi," kata Imel.

"Okey, kita ke sana."

Herman segera melajukan mobilnya ke tempat yang Imel tunjukan tadi. Sesampainya di area yang cukup luas, Herman memarkirkan mobilnya.

"Wah, tempatnya bagus banget. Kamu sering datang ke sini?" tanya Herman saat mereka melangkah masuk ke rumah kuno dua lantai peninggalan kolonial Belanda.

Penyambutan yang unik saat mereka pertama memasuki area tersebut adalah bangunan rumah kolonel Belanda masih kental terasa. Lagu daerah Banyuwangi menghentak-hentak dari pengeras suara.

"Kamu mau makan apa? Di sini jual makanan tradisional dan khas Banyuwangi, ada juga kok makanan lain," ujar Imel masih melihat-lihat tempat yang cukup luas.

"Aku sudah lama di Banyuwangi, tapi baru kali ini masuk di sini. Tempatnya unik dan enak." Imel tersenyum karena Herman bukannya menjawab pertanyaannya, justru masih asyik mengagumi tempat itu.

Konsep wisata kuliner Dapur Oesing melibatkan usaha kecil menengah. Ada 20 UKM yang menjajakan masakan tradisionalnya, lengkap dengan gerobak-gerobak yang didesain seperti rumah mini, hal itu yang membuat Herman tak henti-hentinya mengagumi tempat itu.

"Sudah mengaguminya. Sekarang kita makan dulu ya? Kamu mau makan apa?" Imel mengajak Herman duduk di sebuah bangku.

"Aku mau pesan rujak soto aja. Lagi pengen yang berkuah." Herman berkata masih sibuk mengambil berbagai objek di tempat itu.

Imel memahami hobby kekasihnya yang sangat menyukai fotografer itu. Walau kuliahnya mengambil bisnis, memfoto hanyalah sekedar hobby-nya saja.

"Baiklah aku mau makan sego tempong." Imel segera memesan menu yang sudah mereka pilih.

Kedua makanan yang mereka pesan adalah menu khas Banyuwangi. Beberapa menit menunggu akhirnya pesanan datang. Imel dan Herman sudah bersiap untuk menyantap pesanan mereka.

"Rujak soto, makanan yang unik. Dua menu makanan di kolaborasi jadi satu rasa." Herman mengomentari makanan yang ia pesan tadi.

Memang makanan ini unik dan hanya dapat ditemui di Banyuwangi sini.
Merujuk pada namanya, rujak soto berarti rujak yang dicampur soto. Rujak terdiri dari aneka sayuran, lontong, yang dicampur bumbu kacang. Kemudian disiram dengan kuah soto berisikan kulit sapi.

"Kalau aku suka pedas, jadi aku pesan sego tempong. Kamu tahu nggak arti nama sego tempong itu apa?" tanya Imel melihat Herman yang mengerutkan dahinya sedang berfikir.

"Nggak tahu. Memang apa?" Herman justru merasa penasaran dengan nama makanan itu.

"Sego alias nasi, tempong berarti 'menampar'. Jadi sego tempong itu nasi yang menampar. Maksutnya adalah rasa pedas sambal yang membuat wajah memerah seperti kena tampar." Imel menjelaskan sesuai dengan gagasannya dan memang dia pernah membaca artikel demikian. Herman tertawa lepas mendengar jawaban kekasihnya itu.

Sego tempong itu terdiri dari berbagai sayuran, ikan asin, perkedel jagung, serta sambal. Sambalnya pun berbeda dengan daerah lainnya. Sambal terasi yang di haluskan dengan cabai dan tomat. Hmmmm sungguh nikmat!

"Kamu ini ada-ada aja. Tapi kalau di pikir-pikir ada benarnya juga sih."

Mereka pun menikmati makan malam dengan diiringi melodi lagu Osing yang di nyanyikan oleh artis lokal.

"Andai kita ke sininya siang," kata Imel di sela makan mereka.

"Memangnya kenapa?" tanya Herman menghentikan makannya sejenak memperhatikan Imel.

"Kalau siang kita bisa jalan-jalan ke Baluran."

"Memang ada apa di sana?"

"Di Baluran hampir separuhnya merupakan vegetasi savana. Pada musim kemarau antara April sampai Oktober seperi saat ini, savana mengering sehingga kita seperti berada di Afrika." Imel menjelaskan sambil menikmati sego tempongnya dengan sambal yang pedas.

"Afrika van Java dong," sahut Herman.

"Mang itu julukannya tempat itu."

"Selain itu ada apa lagi?" Herman sepertinya tertarik dengan tempat yang Imel katakan tadi.

"Baluran menjadi habitat jenis mamalia seperti banteng, kerbau, ajag, kijang, rusa, macan tutul, dan kucing bakau. Banyak burung juga menggantungkan hidupnya di hutan itu. Di antara satwa itu, banteng bos Javanicus menjadi maskot taman nasional di sana."

"Kamu kok tahu banyak sih tempat di sana?" tanya Herman curiga.

"Jangan curiga dulu, aku belum pernah langsung mendatangi tempat itu, dengar cerita dari Captain Nissa dan teman-teman yang lain. Mana bisa aku jalan-jalan kalau aku belum meninggalkan makan malam untuk kru. Bisa-bisa aku di pecat." Imel terkekeh setelah mengatakan itu.

"Kamu ini sok-sokan tahu, padahal belum pernah ke sana."

"Ya ... namanya juga penasaran dan sudah mendengar cerita banyak orang, yang pasti sudah ada bayangan tempat itu dong." Imel membela diri tak mau mengalah.

"Iya, besok kalau kamu ambil cuti kita main ke sana ya? Kayaknya tempatnya bagus dan bisa buat objek." Herman mengelus kepala Imel lembut.

"Captain Nissa itu luarnya cewek tapi jiwanya laki ya, Say?" kata Herman membuat Imel menatapnya tak rela.

"Enak aja ngatain kakak aku begitu. Dia itu wanita tangguh dan jagoan. Apa-apa dia bisa berusaha dan kerjakan sendiri kalau dia mampu. Tapi, sayangnya banyak yang nggak suka sama kepemimpinannya dia." Imel merasa sedih jika mengingat hal itu.

"Kenapa?"

"Captain Nissa itu banyak aturan dan disiplin. Apa-apa sesuai dengan porsinya. Awalnya aku juga sebal dengannya, tapi setelah aku menjalankan dengan ikhlas dan menerapkan peraturan yang ada, justru membuat aku enjoy dan menjalaninya dengan asyik tanpa beban. Yang ada aku merasakan keuntungannya." Memang itulah yang Imel rasakan selama mengenal Annisa.

"Aku mengerti maksud dan tujuan Captain Nissa seperti itu. Sebenarnya dia ingin hal yang terbaik untuk ABK dan kapal itu sendiri, hanya kadang orang berfikirnya terlalu sempit. Makanya begitu."

"Iya sih. Captain Nissa juga sering mendaki gunung. Itu salah satu hobby-nya. Gila, kalau orang nggak kenal dia lebih jauh pasti mengira, dia wanita yang lemah lembut gemulai. Padahal kalau di bongkar, behhhhh! Jagoan!" Imel dan Herman tertawa lepas.

Mereka sangat menyadari berkat jasa Annisa, mereka dapat mengenal sejauh ini dan yang pasti juga berkat campur tangan Tuhan juga.

***

"Sejauh apa hubunganmu dan Imel, Man?" tanya Annisa yang kini duduk di salah satu kursi cafetarian kapal bersama Herman.

"Lancar dan aman Capt. Tapi aku belum membicarakan tentang dia kepada keluargaku. Aku takut ...."

"Takut keluarga kamu menolak dan tidak merestui hubunganmu dan Imel?" tanya Annisa menebak sebelum Herman menyeselaikan kata-katanya tadi.

Herman mengangguk karena dia tahu betul bagaimana kemauan keluarganya. Ini akan menjadi ujian dalam hubungannya. Annisa menyecap moccacino panas sedikit demi sedikit.

"Itu urusanmu dan aku sudah bicarakan semuanya dengan Imel bagaimana karakter keluarga kamu. Dia sudah memahaminya dan kini saatnya kalian mempertahankan apa yang seharusnya kalian perjuangkan." Annisa sudah benar-benar mengenal keluarga dari seluruh ABK dan kru yang ada di kapal itu.

Ini memudahkannya jika suatu hal terjadi pada anak buahnya. Termasuk anggota dan pengurus kantin di kapal itu. Apa lagi berkat pertolongan Annisa, keluarga Herman saat ini dapat memperluas bisnisnya dengan menyewa kantin di seluruh kapal di perusahaan kapal itu.

"Iya, Capt. Doakan saja semoga aku dan Imel dapat meluluhkan hati keluargaku dan mendapat restu dari mereka."

"Restu keluarga penting dalam membina rumah tangga. Bersabarlah dan jangan lupa selalu meminta pertolongan sama Sang pencipta." Annisa menepuk bahu Herman yang masih duduk mematung. Sedangkan Nahkoda cantik itu melenggang pergi membayar minumannya dan kembali bertugas di anjungan.

Herman melangkah keluar cafe, berjalan ke geladak paling atas sejajar dengan anjungan.

"Benar-benar wanita hebat, beruntung sekali Captain Tius memperistri Captain Nissa. Penerbangan dan pelaut hidup dalam satu cerita? Wow, luar biasa," gerutu Herman mengagumi sosok ibu rumah tangga yang tetap eksis di bidang pekerjaan yang sudah mendarah daging baginya itu.

Herman tersenyum melihat Annisa yang berteriak lewat HT memberi komando kepada ABK yang menempati bagiannya masing-masing untuk menyandarkan kapal di Gilimanuk.

"Kenapa melihatnya seperti itu?" tanya Imel yang baru saja datang berdiri di samping Herman yang sibuk memperhatikan Annisa dan ABK yang lainnya.

"Kagum saja sama ibu muda itu. Walau sudah punya anak satu masih saja dia bisa gesit dan melakukan tugasnya dengan baik." Herman menoleh dan merangkul bahu Imel.

Imel hanya tersenyum ikut memperhatikan pekerjaan seluruh ABK yang saling bekerja sama saat bertugas menyandarkan kapal.

***

Herman bersimpuh di depan kaki mamanya. Sudah berbulan-bulan dia mengejar restu dari orangtuanya untuk menikahi pujaan hatinya, Imel.

"Herman dan Imel saling mencintai dan kami sudah berkomitmen apa pun yang terjadi tetap akan bersama, Ma." Herman tak lelah membujuk ibu kandungnya untuk memberi restu untuknya dan Imel.

Sudah satu minggu Herman berada di rumah orangtuanya, tepatnya di Jakarta. Itu ia lakukan untuk membujuk orangtuanya agar mau melamarkan Imel untuknya.

"Apa kamu sudah pikirkan bebet, bibit dan bobotnya Herman? Mama tidak mau jika nanti hidupmu susah."

"Ma, Imel gadis yang baik dan dia juga gadis yang rajin. Herman sudah mengenal keluarganya di Solo. Kurang apa lagi, Ma."

"Keluarga dia dari kalangan biasa. Apa kamu tidak malu jika menikahinya akan menjadi gunjingan orang-orang dan keluarga besar kita." Mama Herman berkata tanpa melihat Herman yang sedari tadi berlutut di depannya. Pandangannya lurus ke depan, jika dia menatap wajah memelas Herman, benteng pertahanannya beberapa bulan belakangan ini pasti akan runtuh, karena merasa tidak tega.

"Mama, Herman sudah dewasa. Dia tahu mana yang baik untuknya. Sudahlah, biarkan saja dia menikah. Usia dia nggak lagi muda, kita sebagai orangtua hanya dapat memberi restu dan mendoakan mereka. Yang akan berumah tanggakan mereka dan yang akan menjalani juga mereka." Papa Herman membantu membujuk mama Herman. Mama Herman terdiam tak menjawab.

"Restu Mama dan Papa adalah cahaya bagi perjalanan rumah tangga Herman nanti. Tanpa restu kalian, jalan Herman gelap dan pasti kami akan tersesat. Tolong Ma, kenali Imel lebih jauh lagi," pinta Herman tulus dengan air yang sudah menggantung di pelupuk matanya.

"Baiklah, jika memang dia pilihanmu. Kapan kita akan ke Solo bertemu keluarganya?" Mama Herman berkata pasrah.

"Mama yakin?" tanya Herman dengan mata berbinar.

Mama Herman mengangguk dan menyentuh pipi anak bontotnya itu.

"Kebahagiaanmu segalanya bagi Mama. Harta dan materi dapat di cari dengan kita selalu berusaha dan berdoa. Tapi yang lebih membuat Mama merasa bahagia, saat melihat kamu bahagia dan tersenyum senang."

"Terimakasih Ma, Pa." Herman memeluk mama dan papanya.

Hatinya merasa lega karena sudah berbulan-bulan dia membujuk kedua orangtuanya, kini usahanya berbuah manis. Tak ada yang sia-sia dalam sebuah usaha. Dengan kesabaran dan ketulusan, semua usaha akan mendapatkan hasil yang memuaskan.

***

Inilah kisahku, Tuhan mempertemukan aku pada cinta sejati di tanah Using. Ketapang adalah awal cerita hidupku yang penuh warna. Taman Sritanjung adalah saksi pertemuanku dengannya dan Pantai G-Land adalah penyatuan cinta kami.

"Terimakasih kamu adalah keindahan yang Tuhan ciptakan untuk melengkapi hidupku." Bisikan pelan dari arah belakang.

Aku dapat mengenali suara indah ini, dia adalah suamiku. Herman Budiawan. Tangan kekar yang sudah dua bulan ini halal untukku melingkar indah di perutku. Sebesar apa pun ruang yang diberikan Tuhan pada kita, akan terasa sempit jika tanpa perjuangan dan doa.

"Aku bersyukur Tuhan mempertemukan kita, dari-Nya kita dapat belajar arti perjuangan di setiap langkah perjalanan hidup ini." Aku membalas pelukan ternyamanku dari suami tercinta.

"Aku nggak pernah bisa bayangin kalau aku nggak sama kamu." Herman membalikan tubuhku untuk menghadapnya.

Suasana air di tengah laut yang tenang, udara hangat di senja perairan Ketapang-Gilimanuk, menyempurnakan kebahagiaanku saat ini. Aku dapat melihat sang surya kembali keperaduannya. Banyak kapal-kapal berlalu lalang menyebar di perairan ini.


Sungguh indah lukisan tangan Tuhan yang tak ada duanya.

"Aku akan selalu mencintaimu hingga hembusan nafas terakhirku."

Hatiku menghangat seraya bibir Herman melumat lembut bibirku di buritan kapal KMP. Gerbang Samudra 2 ini. Saksi bisu perjalanan cinta seorang koki dan koordinator kantin di kapal ini. Goyangan ombak tak mengurangi keromantisan kami sore ini.

Tak ada yang mustahil selama ada kemauan untuk mencoba. Yakinkan dirimu dan berusaha sebaik mungkin. PERCAYA DIRI itulah yang selalu tertanam di otakku, semenjak Captain Nissa meyakinkanku saat dulu aku merasa pesimis karena tak pantas untuk mendampingi Herman.

Perlu mengenal lebih dalam untuk mengetahui dimana letak kelebihan dan kekurangan setiap pasangan kita. Mungkin, Tuhan memberiku waktu yang lama untuk lebih mengenal Herman, ketika keluarganya tak langsung menyetujui hubungan kami. Perlu waktu tiga tahun kami menunggu datangnya restu dari orangtua Herman. Kesabaran dan usaha kami berdua telah membuahkan hasil.

Perasaan TAKUT dan KECEWA hanya akan membuat kita takut menatap masa depan. Ketika kita berbicara tentang cinta, pastikan bahwa tindakan kita telah sesuai dengan perkataan. Karena mulut kita adalah harimau kita seperti kata pepatah 'mulutmu harimaumu'. Aku selalu berusaha bertutur baik, agar tak menyakiti hati orang lain. Jika, itu sampai terjadi aku bisa pastikan orang yang hatinya terluka karena kita, dia akan selalu mengusik hidup kita hingga keinginannya tercapai, yaitu melihat kehancuran kita.

"Terimakasih tanah Osing, karena keberadaanmu aku menemukan arti sebuah kehidupan yang sesungguhnya."

Aku memeluk Herman erat dan aku melihat Captain Nissa di geladak teratas, melipat kedua tangannya di depan dada dengan pandangan lurus ke depan. Mungkin dia sedang menikmati suasana dan langit senja ini. Senyum manis tersungging di bibirnya saat melihat aku dan Herman berpelukan di buritan kapal.

"Thank you very much." Aku berkata hanya dengan gerakan bibir tanpa ada suara ke arah Captain Nissa.

Captain Nissa mengangguk dan tersenyum membalas ucapanku. Dia membalikan badannya dan melangkah pergi.

THE END

############

Kita jalan-jalan ke Banyuwangi setelah kemarin ke dataran tinggi Dieng, Kab. Wonosobo.

Terimakasih untuk vote dan komennya. Yang selalu setia mengikuti dan mengambil setiap pesan" dari cerita aku, makasih banget ternyata apa yang aku tulis ada manfaatnya juga dan semoga berguna untuk teman-teman menjalani kehidupan yang keras ini.

Love you all
Muaaaahhhhhhh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top