TAK ADA YANG SEMPURNA

Ini kisahku, ini jalan hidupku dan ini takdirku~ Aliandra Bima Iskandar

Segala ketetapan-Nya tak mampu kita lawan, hanya tabah dan sabar yang dapat kita lakukan untuk menjalaninya~ Illya Dewi Asmara

~#~#~#~#~#~#~

Pernikahan telah diselenggarakan, bisikan kecil terdengar selentingan di telinga mempelai wanita.

"Beruntungnya dia, dapat suami kaya, ganteng dan pengusaha muda."

Bisikan itu memang menyakitkan hati sang mempelai, dinikahi pengusaha muda dan sukses membuat dia minder karena, apalah arti dirinya yang hanyalah dari kalangan keluarga biasa. Illya Dewi Asmara, menikah dengan seorang pria pilihan orang tuanya, yaitu Aliandra Bima Iskandar. Tak ada landasan cinta di hati keduanya, namun, tanda bakti kepada orang tua, membuat mereka rela menjalani ini semua.

"Illy, mandilah dulu, aku akan mengecek pekerjaanku sebentar," perintah Ali, suami yang baru saja menikahinya hari ini tadi.

"Iya Mas," jawab Illy yang menyelipkan sapaan 'Mas' agar lebih sopan memanggil suaminya.

Ali keluar dari kamar pengantin, dia mengecek pekerjaan yang beberapa hari ini menumpuk di meja kerjanya. Sedangkan Illy membersihkan dirinya, hingga tengah malam, Ali tak kunjung kembali ke kamar. Akhirnya Illy pun menyusulnya ke ruang kerja. Tak sengaja Illy mendengar suara Ali sedang menelepon seseorang.

"Maafkan aku sayang, kalau malam ini aku nggak bisa. Kamu tahu sendiri, hari ini aku baru saja menikah. Apa kata orang-orang kalau aku meninggalkan rumah tengah malam."

Illy terus menguping dari balik pintu.

"Iya, aku tidak akan menyetubuhinya, aku janji sama kamu."

Hati Illy tersayat saat Ali mengatakan itu, berbicara dengan siapa dia sebenarnya? Illy akhirnya kembali ke kamarnya, jika Ali tak akan menyentuhnya, apa gunanya dia diperistri? Illy membaringkan dirinya di tempat tidur, dia meratapi semua jalan hidupnya. Meninggalkan seseorang yang sangat dia cintai demi menikah dengan Ali, Illy lakukan untuk membahagiakan orang tuanya.

Namun, jika Ali tak dapat berjuang dan menjalankan rumah tangga ini bersamanya, terus buat apa semua ini terjadi? Apa yang sedang Engkau rencanakan Tuhan? Apa hidupnya akan sia-sia mengabdi kepada suami yang tak menganggapnya? Tuhan, jika memang ini jalannya, tunjukkan arah agar mereka dapat menjalani sekenario yang telah Engkau ciptakan untuk mereka.

Flashback

Air hujan yang deras sederas air mata yang mengalir dari kedua pasang mata itu. Illy menangis sesenggukan, hatinya tak rela, pedih dan sangaaaaaat sakit.

"Kita berpisah karena keadaan, please, pahami aku." Illy memohon dengan derai air mata yang tak henti-hentinya.

"Apa ini sudah keputusan terakhirmu?" tanya pria itu berat hati melepaskan wanita yang sudah menjadi kekasihnya selama 7 tahun sejak mereka duduk di bangku SMA.

Pria itu tak kalah hancurnya ketika Illy menganggukkan kepala menunduk menangis terisak dan sesekali terdengar sesenggukan.

"Baiklah, aku hargai keputusanmu. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu. Mungkin Allah menginginkan kita belajar banyak hal selama 7 tahun kebersamaan kita. Kesabaran, kesetiaan dan sekarang dia mengajarkan kita untuk ikhlas." Pria tadi melepas genggaman tangan Illy.

Meski berat melepaskan namun mungkin itu lebih baik. Perpisahan mengajarkannya untuk tabah dan ikhlas.

"Maafkan aku," ucap Illy masih terus menangis.

"Sudahlah, kamu sudah memutuskan, jadi aku juga akan memutuskan sesuatu. Mungkin aku akan pindah ke Filipina, dan tak akan kembali lagi."

Bagaikan dihantam ribuan ton beban, tubuh Illy melunglai lemas tak bertenaga. Dia menatap wajah tampan yang sudah basah dengan air mata.

"Al," lirihnya tak mampu mencegah apalagi memintanya bertahan di sisinya.

Pria yang Illy panggil Al itu berusaha tersenyum dalam kepedihan hatinya. Air mata tak dapat membohongi perasaannya yang saat ini sangat terluka.

"Baiklah, aku pergi dulu. Semoga kamu bahagia. Selamat tinggal my life Illya Dewi Asmara. Terima kasih atas kesabaran, kesetiaan dan pelajaran hidup selama kamu denganku. Terima kasih sudah pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku," pamit Al berdiri dari duduknya dan langsung meninggalkan Illy, duduk sendiri di kafe itu.

Matanya nanar melepas kepergian pria yang sudah banyak hal berkorban demi dirinya. 7 tahun, bukanlah waktu yang singkat dan bukan waktu yang sebentar. Tapi kenapa Tuhan membiarkan perpisahan hadir di antara mereka? Mengapa Tuhan sekejam itu kepada mereka yang sesungguhnya masih saling mencintai.

"Al." Illy mengucap pelan ketika Al sudah tak lagi terlihat di matanya.

Dia lantas keluar dan mencari Al, pria yang sudah dia hancurkan hatinya. Tak peduli hujan lebat, Illy mencari. Dia menoleh ke sana dan ke sini. Tak ditemukan sosok Al di sana. Lagi-lagi air matanya jatuh tak tertahankan dan tersamarkan oleh air hujan. Tubuhnya yang sudah basah kuyup tak dia pedulikan, setiap orang yang lewat memandangnya aneh, dia pun menghiraukannya.

"Maafkan aku, Al," sesal Illy mulai melangkahkan kaki untuk pulang membawa pilu terdalam di hatinya.

Ketika dia sampai di persimpangan jalan, matanya menyipit. Segerombolan orang berkerumunan di sana. Dua mobil terlihat ringsek, namun lebih parah mobil sedan bewarna hitam. Rasa takut merasuki hati Illy, cemas, khawatir, bercampur menjadi satu. Bibirnya bergetar, tubuhnya pun juga gemetar bukan hanya karena kedinginan, melainkan rasa ketakutan yang luar biasa. Matanya menajam, ketika melihat seseorang dikeluarkan dari mobil sedang yang diterjang sebuah truk. Bagaikan magnet yang menariknya, kaki Illy berjalan mendekat.

"Denyut nadinya berhenti, dia sudah tidak bernapas," pekik seseorang menghentikan jantung Illy saat itu juga.

Lehernya tercekam sangat sulit untuk bernapas. Dia melihat tubuh itu tergeletak di trotoar terguyur air hujan yang sangat deras.

"Aaaalllllllllll," pekiknya keras.

Flashback off

Air mata Illy jatuh tak tertahankan, rasa bersalah masih tertinggal di hatinya. Jika boleh jujur hingga saat ini, dia masih mencintai Al. Andaikan saja dia tak mengatakan kata perpisahan, mungkin Al masih ada di dunia ini. Namun jika semua sudah takdir-Nya, maut tak akan dapat dicegah dan dihindarkan. Semua akan kembali pada-Nya.

***

Hingga berbulan-bulan tak ada perubahan berarti dalam rumah tangganya. Hidup satu atap namun Illy dihiraukan oleh suaminya. Tak ada obrolan berat dan penting di antara mereka, Illy mengalami tekanan batin selama hidup bersama Ali. Suaminya itu selalu pulang dalam keadaan mabok dan seorang wanita setiap malam selalu pulang bersamanya. Berbagi kamar dengan wanita lain, sungguh menyakitkan. Apakah hidupnya akan selalu seperti itu? Sampai kapan Illy akan menderita?

"Sayang, apakah aku boleh memakai kartu kredit kamu?"

Wanita seksi yang selalu pulang dan tidur bersama suaminya merayu manja bergelayut di lengannya. Mata Illy memanas dan hatinya pun sangat sakit.

"Iya, boleh." Dengan mudahnya bibir itu mengizinkan wanita pemuas nafsunya menggunakan hasil jerih payahnya.

Illy yang berdiri di dapur menyiapkan sarapan, hanya diam menahan air mata. Hampir setiap pagi pemandangan itu dia lihat. Ali bersama wanita yang dia perkenalkan kepada Illy sebagai kekasihnya.

Shela. Iya! Wanita itu adalah kekasih Ali sebelum dia menikah dengan Illy. Canda tawa Ali bersama kekasihnya tercipta semakin manyayat perasaan Illy.

Istri macam apa dia? Kenapa dia tidak bisa membela diri dan memperhatikan haknya sebagai istri Ali? Illy terlalu takut dan sungkan kepada Ali. Secara... dia tak pernah mengenal Ali sebelumnya, meski mereka sudah menikah pun, Illy merasa Ali masih menjadi orang lain. Tawa suami di atas penderitaan seorang istri, apakah pantas?

***

Matanya kembali berderai air mata. Tak henti-hentinya cobaan menghantamnya. Hampir satu tahun menderita berumah tangga bersama Ali dan berselimut rasa bersalah atas kematian mantan kekasihnya, kini ujian Tuhan kembali menimpanya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Ali menahan Shela yang memasukkan pakaiannya ke dalam koper.

"Aku mau pergi," jawabnya membersihkan barang-barangnya di kamar yang seharusnya ditempati Ali dan Illy, namun selama ini Ali menempatinya bersama Shela sedangkan Illy tidur di kamar terpisah.

"Pergi?!!" sentak Ali yang berbaring di atas tempat tidur.

"Iya, pergi. Buat apa aku di sini?"

"Sayang, kamu lihat keadaanku sekarang. Seharusnya kamu ada menemaniku, merawatku, bukan malah meninggalkanku!!! bentak Ali tak mampu melakukan apa-apa selain hanya berbaring di tempat tidur.

"Hah? Apa?! Itu bukan tugasku. Buat apa aku masih bersama pria yang lumpuh tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berbaring di tempat tidur." Shela berjalan tak acuh mengambil dompet Ali yang tergeletak di atas meja kecil samping tempat tidur.

Ali hanya memerhatikannya tanpa dapat mencegah Shela menguras semua uang tunai di dompetnya itu. Tanpa berucap, Shela keluar meninggalkan Ali yang lumpuh karena kecelakaan beberapa bulan lalu, mengakibatkan kerusakan syaraf di kedua kakinya, hingga tak lagi berfungsi.

"Aaaargggg!!!! Wanita jalang!!! Sialan!!!" teriak Ali menyesal telah memanjakan Shela selama ini.

Dia hanya dapat marah dan berteriak tanpa bisa turun dari tempat tidur. Illy masuk ke dalam kamar, membawakan makan siang untuknya. Meskipun Ali tak pernah menganggapnya ada, sejak dia kecelakaan sampai lumpuh hanya dapat berbaring di tempat tidur dan duduk di kursi roda, Illy masih sabar merawatnya.

"Makanlah, setelah itu, aku akan membantumu mandi. Maaf baru sempat, soalnya tadi aku harus pergi ke pasar," ucap Illy membantu Ali duduk bersandar di kepala ranjang.

Illy mengambil meja kecil yang biasa digunakannya untuk meletakkan makanan. Dia memasangnya di depan Ali dan meletakkan makanannya di sana. Ali hanya diam memerhatikan wajah cantik itu. Wanita itu yang selama ini dia hiraukan dan abaikan, malah justru yang merawatnya. Tidak seperti Shela, wanita yang sudah dia cukupi kebutuhannya justru kabur meninggalkannya dalam keadaan yang menyedihkan.

Illy menyiapkan air hangat untuk Ali mandi. Setelah Ali selesai makan, Illy melepas semua pakaiannya dan susah payah dia memapah Ali masuk ke kamar mandi. Dia mendudukkannya di toilet duduk dan mengguyur tubuhnya dari atas. Illy juga menyabuninya, mengeramasinya, sampai menyiapkan pasta gigi di sikat gigi supaya Ali mudah menggosok giginya. Keringat bercucuran di dahinya bercampur air yang menciprat, pakaiannya pun sampai bahas. Tak ada obrolan di antara mereka, setiap hari mereka sama-sama membisu. Setelah selesai, Illy membantu Ali memakaikan pakaiannya, menyemprotkan parfum di tubuhnya dan menyisir rambutnya. Ketika dia ingin pergi, Ali menahan pergelangan tangannya.

"Kenapa kamu lakukan ini?" tanya Ali menatap Illy nanar.

Bibir merah itu tertarik senyum tipis. "Karena aku istrimu dan ini sudah menjadi kewajibanku. Mengurus dan menemani kamu dalam suka maupun duka," jawabnya tulus melepas tangan Ali yang menahannya.

Hati Ali terenyuh mendengar jawaban istrinya. Setelah apa yang dia lakukan padanya selama ini, Illy masih menganggapnya suami. Apa yang sudah dia lakukan selama ini terhadap istrinya itu, rasanya tidak pantas dia disebut suami. Rasa bersalah merasuki tubuhnya dan memenuhi rongga dadanya.

"Oh iya, ada pekerjaan kantor yang sekretarismu bawa ke sini. Apa kamu akan mengerjakannya?" tanya Illy seraya membereskan piring sisa Ali makan dan pakaian kotornya.

Ali terdiam, dia masih memerhatikan Illy. Tangannya masih berfungsi normal, hanya kakinya saja yang tak dapat bekerja. Namun kenapa Illy melakukan semua itu?

"Mas Ali," panggil Illy mengguncangkan tangan Ali.

"Eh iya," sahut Ali terkejut dan gelagapan.

"Kok bengong? Ada sesuatu yang kamu butuhkan? Atau kamu mau melakukan hal lain? Aku bisa membantumu," ujar Illy sudah siap membantu berdiri di samping ranjang.

"Ah nggak, aku tidak menginginkan apa-apa. Hanya saja aku masih heran sama perlakuanmu padaku," ucap Ali.

Illy tersenyum, dia duduk di tepi ranjang. Mungkin dengan kejujurannya, akan mengawali hubungan yang baik dengan Ali.

"Jujur, waktu pertama mendengar kamu kecelakaan, hatiku sangat hancur dan takut. Aku punya pengalaman buruk," kata Illy sedih namun tertutup oleh senyuman tipisnya.

Dahi Ali mengerut dan menuntut agar Illy melanjutkan ceritanya.

"Jangan menatapku seperti itu, aku manusia biasa, seperti kamu yang memiliki perasaan. Aku dan kamu sama, sama-sama memiliki kekasih sebelum kita menikah. Hanya saja kita berbeda, aku melepaskan dia dan kamu memilih untuk mempertahankan dia," lanjut Illy.

Hati Ali semakin digelayuti rasa berdosa, dia sadar bahwa selama ini keputusannya membawa Shela tinggal bersama mereka adalah hal terbodoh dan sangat memalukan. Itu benar-benar keputusan yang salah.

"Terus di mana pacarmu itu?" tanya Ali tertarik ingin mengetahui pria beruntung yang sudah berhasil Illy cintai.

"Pacar???" sahut Illy diiringi senyumnya.

"Maaf, maksud aku mantan pacarmu." Ali memperbaiki kata-katanya.

"Dia sudah meninggalkan aku untuk selamanya." Illy menceritakan kejadian menyedihkan dalam hidupnya kepada Ali.

Selama Illy bercerita diiringi tangisnya, Ali dapat merasakan kesedihan dan rasa bersalahanya selama ini yang dia pendam sendiri. Dia mengelus bahu Illy agar perasaannya dapat lebih tenang.

"Jadi begitu?" ujar Ali setelah Illy menceritakan semuanya.

"Iya, seandainya ak---"

"Jangan menyesal, karena itu sudah menjadi takdir-Nya. Allah lebih menyayangi dia. Sepertinya dia pria yang baik," puji Ali mulai menaruh simpati kepada Illy.

"Baik banget, selama ini dia selalu dapat membuatku nyaman dan bahagia. Tapi ya sudahlah, semua itu tidak akan kembali lagi." Illy tertawa kecil meski hatinya masih belum dapat legowo melepas kepergian Al.

Dia menghapus air matanya dan mengukir senyum di bibirnya. Melihat senyum itu, hati Ali tertarik ingin selalu melihatnya tersenyum.

'Ya Allah, apa aku pantas membuatnya bahagia, setelah apa yang aku lakukan selama ini kepadanya? Apa dia mau memaafkan semua kesalahanku selama ini, yang sudah menghianatinya? Ya Allah kenapa baru sekarang Kau buka pintu hatiku? Begitu tulus wanita di depan mataku, tapi mengapa baru aku sadari setelah semua ini terjadi?' Ali membatin dan tersenyum tipis menatap Illy yang masih sibuk mengeringkan air matanya.

"Sudah ah, aku mau ambil pekerjaanmu dan membersihkan badanku. Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saja. Aku ada di kamar sebelah," ujar Illy bangkit dari duduknya.

"Kenapa aku harus berteriak? Ini juga kamar kamu. Kita bisa menempatinya bersama," ujar Ali berharap agar Illy mau tinggal bersamanya di kamar itu setelah sekian lama dia tempati bersama Shela.

"Terima kasih, tapi aku lebih nyaman di kamar sebelah. Istirahatlah," tolak Illy halus menyinggung perasaan Ali.

"Apa karena kamar ini bekas Shela, jadi kamu tidak ingin menempatinya bersamaku?"

"Bukan itu, maaf jika aku menyinggung perasaanmu. Tapi sumpah, aku tidak bermaksud menyakiti hati kamu. Maaf," ucap Illy sungguh-sungguh meluruskan penolakannya tadi.

"Baiklah kalau memang begitu, kenapa tidak aku saja yang kamu pindahkan ke kamar sebelah?" tawar Ali.

Illy berpikir, dia belum terbiasa tinggal satu kamar dengan seorang pria. Meski Ali suaminya, namun selama ini mereka tidak pernah sama sekali tidur satu ranjang.

"Kenapa kamu diam? Bukankah aku suami kamu?" tanya Ali menanti jawabannya.

Illy menggigit bibir bawahnya, dia masih bingung, jika dia menolak lagi, Ali pasti akan tersinggung.

"Baiklah," jawabnya.

Ali tersenyum dan berucap," Terima kasih."

Kata itu mampu menghangatkan perasaan Illy. Baru kali ini Ali mengucapkan kata itu kepadanya.

***

Illy merasa gusar dan tidak nyaman, sedari tadi dia memunggungi Ali dan meringkuk memeluk dirinya sendiri. Illy tidur dengan jarak jauh dari Ali, dia benar-benar tidak nyaman dengan situasi itu.

"Ly, apa kamu sudah tidur?" tanya Ali sedari tadi melihat punggungnya.

"Belum, kamu butuh sesuatu?" tanya Illy takut tanpa memutar tubuhnya.

"Tidak. Kenapa kamu dari tadi memunggungiku?"

Illy terdiam tidak menjawab apa pun. Dia menetralkan jantungnya yang berdebar-debar, takut jika Ali menyentuhnya.

"Aaa!!!" Illy tersentak dan langsung turun dari tempat tidur ketika Ali memegang bahunya. Wajahnya terlihat takut dan dahinya berkeringat, napasnya pun memburu.

Dahi Ali mengerut. "Kamu kenapa terkejut? Aku hanya ingin kamu berbaring menghadapku?" tanya Ali heran.

"Mmm...mmm... eeee...eeee... a...a...a...aku aku... aku haus. Aku mau ke dapur dulu," elak Illy menghidari Ali dan pergi keluar kamar.

Ali menatap kepergiannya heran. "Ada apa dengannya? Kenapa dia sangat ketakutan? Aku kan tidak menyakitinya?" gumam Ali.

Dia berpikir keras, setelah mendapat jawabannya baru Ali menyadari sesuatu. Illy kembali masuk, membawa air minum. Dia terdiam dan malah duduk di sofa. Ali memerhatikan cara duduknya yang gusar dan tak nyaman.

"Ly, apa kamu jijik denganku? Apa karena aku selama ini bersetubuh dengan Shela, dan bukannya denganmu?" tanya Ali sedih.

Illy tersentak kaget dan menatapnya. "Bukan Mas! Ya Allah, kenapa kamu punya pikiran seperti itu?"

Illy menjadi bingung, harus bagaimana dia menjelaskan kepada Ali?

"Lalu? Kenapa kamu terkejut saat aku memegangmu? Kamu seperti menghindariku. Apa aku terlalu hina bagimu, sampai kamu tidak mau aku sentuh?"

"Astogfirulloh Mas, bukan begitu." Illy mendekati Ali dan berdiri di samping ranjang dengan jarak dua langkah sehingga Ali tidak dapat menggapainya.

"Terus kenapa?" sentak Ali frustrasi.

"Maaf Mas, aku belum siap," jawab Illy menunduk meremas-remas tangannya tak tenang.

"Belum siap?" tanya Ali heran menatapnya dengan kerutan di dahinya.

"Iya Mas, maaf, aku belum siap memberikanmu nafkah batin. Aku...," ucapan Illy terpotong saat Ali tertawa.

Dia mendongakkan kepalanya menatap Ali.

"Siapa sih yang mau meminta nafkah batin? Aku hanya ingin kamu tidur menghadapku, jangan memunggungiku. Tenanglah, aku tahu, mungkin sulit mengendalikan nafsuku, setelah merasakan itu hampir setiap hari. Tapi, aku tidak akan memaksamu. Sini, kembalilah berbaring, aku janji tidak akan menyentuhmu sebelum kamu benar-benar siap," ujar Ali menepuk-nepuk kasur sampingnya yang kosong.

Illy mesih ragu, dia menatap Ali takut. Ali menghela napas dalam, istrinya benar-benar wanita yang baik, dia sangat menjaga kehormatannya.

"Percayalah padaku, Ly. Kalau kamu ragu, ini ada dua guling." Ali menata guling itu di tengah. "Guling ini yang akan membatasi kita dan aku akan tidur di ujung seperti ini." Dia juga menggeser tubuhnya ke tepi ranjang.

Namun Illy masih mematung di tempat, dia masih meragukan Ali. Secara selama dia bersama Shela dulu, Ali begitu ganas dan tidak memandang tempat untuk menumpahkan nafsunya. Meski ada perasaan yang mengganjal di hatinya karena dulu sering memergoki Ali bercinta dengan Shela, namun Illy berusaha tetap menunggu keajaiban dari Tuhan. Dia bertekad tak ingin gagal dalam berumah tangga. Baginya, menikah hanya sekali untuk seumur hidup. Dan benar saja, Tuhan memberikan mukjizat pada rumah tangganya, meski keadaan Ali yang sekarang lumpuh.

"Masih tidak percaya?" tanya Ali menunggu Illy bertindak. "Kalau begitu, sebaiknya aku kembali ke kamar yang dulu." Ali berusaha menggapai kursi rodanya yang ada di depan meja kecil samping ranjang.

Illy menahan tubuh Ali ketika dia hampir terjatuh. Air matanya menetes menatap Ali.

"Maaf, jangan, tetaplah di sini. Aku akan tidur," ucap Illy membenarkan tubuh Ali agar berbaring.

Air mata Illy menetes membasahi tangan Ali. Hati itu disejukkan dengan air mata tulus istrinya. Illy berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Dia menyelimuti Ali dan berbaring.

"Terima kasih," ucap Ali.

Illy tersenyum dan mengusap air matanya.

"Tidurlah, selamat malam Mas Ali." Illy mengeratkan selimutnya dan mulai menutup mata.

"Selamat malam istriku," balas Ali menimbulkan senyum di bibir Illy dalam tidurnya.

Masa lalu memang tak dapat diubah, namun keburukan di masa lampau dapat ditebus dengan kebaikan di masa kini dan untuk masa mendatang.

***

Suasana hati mereka kini sedang baik. Berusaha menerima kekurangan pasangannya dan saling menerima masa lalu adalah keputusan yang baik untuk mengawali kehidupan yang baru.

"Kasihan ya ceweknya, cantik, tapi kok dapat cowok cacat."

"Iya, ya? Beruntungnya pria itu mendapat wanita yang setia dan baik."

Selentingan itu terdengar oleh Ali dan Illy. Illy yang sedang mendorong kursi roda Ali hanya tersenyum, dia mengingat sesuatu.

"Beruntungnya dia, dapat suami kaya, ganteng dan pengusaha muda."

Dia memegang kedua bahu Ali dan berkata, "Jangan dengarkan mereka. Mereka tidak tahu cerita sesungguhnya di antara kita. Mereka hanya melihat dari luar tanpa mau memerhatikan lebih jauh."

Ali tersenyum, begitu mulianya hati istrinya. Dia menyentuh tangan Illy agar istrinya itu berpindah posisi berdiri di depannya. Illy berjongkok di depan kursi roda Ali dan menggenggam tangan suaminya.

"Mereka benar, aku yang beruntung mendapatkan istri sebaik seperti kamu, dan sesabar kamu. Maaf, aku tidak sempurna. Aku...." Bibir Ali mengatup ketika tangan Illy menutupnya.

Senyum manis terukir di bibir Illy. "Aku tidak butuh orang yang sempurna untuk mencintaiku. Aku butuh dia yang kuat dan bertanggung jawab untuk menyempurnakan hidupku. Dan orang itu adalah kamu. Di mataku, kamu sempurna." Illy mencium tangan Ali.

Setetes air mata haru membasahi pipi Ali, dia tak pernah menyangka akan hidup bersama wanita itu. Ali mengelus kepalanya dan membalas senyum manis yang kini selalu terukir di bibir istrinya.

"Baiklah, kita lanjutkan jalan-jalannya."

Illy berdiri dengan susah payah karena perutnya kini sudah membuncit. Ada buah cinta mereka kini bersemayam dalam rahimnya. Illy kembali mendorong kursi roda Ali, menikmati senja di taman kota.

Tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Kesempurnaan hanya milik-Nya. Namun, untuk menjadi sempurna, kita perlu patner yang cocok dan klop. Saling mengisi, memberi dan menerima untuk tetap utuh dan lengkap. Penyeimbang sangat dibutuhkan untuk melengkapi hidup kita.

THE END

#######

SUMPAH... aku mewek ngetik ini😭😭😭
Nyesek rasanya, gimana gitu. Nggak tahulah. No comment.

Terima kasih untuk vote dan komentarnya ya?

APA YANG DAPAT KALIAN AMBIL DARI KISAH INI?
Isi di komentar ya?😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top