PRAJURITKU

###########

Entah mengapa semenjak Al mengenal Ayu Lestari di atas pesawat kala itu, dia tak bisa sedetik pun melupakan paras cantiknya. Profesinya sebagai pramugari memang dituntut untuk selalu cantik.

"Al, mau kemana kau?" Suara Ucok kawan seperjuangannya di perbatasan Sumatra dan Malaysia saat ini.

"Aku mau makan di luar sama Ayu. Kenapa?" tanya Al sambil menyemprotkan minyak wangi pada seluruh bagian tubuhnya.

"Ingat istri dan anak mu di Wonosobo."

"Mereka jauh dan tidak akan pernah tahu apa yang aku lakukan di sini. Jadi kamu tenang saja ya?" Al menepuk bahu Ucok dan berlalu keluar dari barak kamar tempat mereka para prajurit berteduh.

Apa kah Al sedang mengalami yang namanya jatuh cinta kedua? Entah lah, namun kedekatannya selama ini dengan Ayu membuat Al melupakan keluarganya di kampung. Sudah beberapa minggu Al tak memberi kabar kepada istri dan anaknya.

"Hay," sapa wanita cantik dengan dandanan sedikit terbuka. Rok mini dan baju tanpa lengan.

"Hay, sudah lama menungguku? Maaf aku tadi lepas tugas sudah malam. Jadi terlambat datang ke sini," jelas Al duduk di sebelah Ayu.

"Kamu mau makan apa? Di sini hanya jual makanan sederhana. Berbeda jika kita ke kota." Al tersenyum manis memperhatikan Ayu.

"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Ayu malu-malu kucing.

"Kamu cantik Ayu." Al mengelus pipi Ayu lembut membuat Ayu semakin malu.

"Ah, kamu bisa saja menggombal. Masih cantik istrimu di kampung." Ayu berkata pura-pura karena dia memiliki maksud terselubung dengan ucapannya tadi.

"Jangan bahas keluargaku jika kita sedang berdua. Itu merusak suasana hatiku."

Ayu tersenyum puas mendengar kata Al tadi. Usahanya selama ini sukses untuk membuat Al bertekuk lutut padanya. Sejak bersama Ayu, Al tak lagi mengirim seluruh gajinya untuk Ily yang berada di kampung. Dia hanya mengirim separuh gajinya, dengan alasan biaya hidupnya di sini sangat tinggi, berbeda saat di jawa.

"Baiklah, sekarang kamu mau makan apa? Pasti kamu sudah lapar bukan?" tanya Ayu dengan suara menggoda.

"Ayam bakar dan es teh, cukup."

Ayu mulai memesankan pesanannya dan Al kepada pelayan kedai sederhana itu. Ibarat orang sedang jatuh cinta, Al kini berasa tuli dan buta. Yang ada di pikirannya hanyalah Ayu seorang. Dia tak sedikit pun ingat dengan istri yang setia menunggunya di rumah.

***

Apa yang kalian bayangkan tentang dataran tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo?
Kota Asri ini menjadi pemukiman ideal dan menjadi idaman bagi penghuninya. Selain hawa udaranya terkenal sejuk, Wonosobo dikenal memiliki air yang melimpah, terutama di kawasan pedesaan.

"Ndoro putri, ini teh panasnya." Suara lembut berlogat jawa medok menghampiri wanita berparas ayu dan manis. Dia menuruni tangga dengan anggun dan lembut.

"Terimakasih Mbak Bie." Ily sapaan wanita cantik itu menerima secangkir teh panas petikan kebunnya sendiri.

"Apa Tole Reza sudah tidur Ndoro?" tanya Ebie, wanita yang selama ini menemani Ily tinggal di rumah yang terlihat megah diantara rumah yang lain.

"Sudah, kasihan dia Mbak Bie. Kangen sama Ayah-nya sampai panas badannya."

Menjadi seorang istri prajurit negara, Ily harus rela dan sabar saat melepas suaminya ditugaskan hingga ke pedalaman negeri ini.

"Yang sabar Ndoro. Mungkin Ndoro Kakung di sana sedang tugas. Tahu sendiri sekarang keamanan negara ini, di perbatasan sedang tidak aman. Banyak negara-negara tetangga menyelundupkan barang ilegal."

Ily tersenyum manis saat mendengar Ebie selalu mampu menenangkan hatinya dan meyakinkan hatinya kembali untuk percaya dengan suaminya yang sedang bertugas di pedalaman Sumatra

***

Keesokan hari kicauan burung terdengar merdu dan luasnya hamparan hijau menyejukkan mata Ily, berteman udara bersih di kaki gunung Dieng. Betapa indahnya lukisan tangan Tuhan jika kita mampu mensykurinya setiap saat.

"Ily, Mama mau ke Gudang Garam. Mau mengecek pasokan tembakau yang kemarin kita antar." Mona itu adalah sapaan mama mertua Prilly yang sudah lama menjanda dan tinggal satu rumah bersama Ily.

"Iya Ma, mau Ily antar?" tawar Ily dengan tangan sibuk memetik sayur bayam yang sengaja ia tanam di pekarangan rumahnya yang lumayan luas itu.

"Tidak usah. Biar Mama sama Mas Antok saja."

"Mama hati-hati ya."

"Iya."

Mona berlalu mencari supir yang biasa mengantarnya bepergian. Usaha peninggalan almarhum suaminya yang memiliki perkebunan tembakau dan perkebunan teh yang luas, menjadi kesibukan Mona agar tidak terlalu bosan menjalani hari-harinya.

"Bu Lurah, lagi apa?" Seorang wanita cantik berbaju rapi berdiri di depan pagar rumahnya, menyapa Ily yang masih sibuk di pekarangan.

"Oh, ini Mbak Yanthi sedang petik sayur bayam. Mau di masak buat nanti." Ily berjalan membukakan pagar kayu agar Yanthi dapat masuk.

"Bagaimana Mbak Yanthi sensus kelahiran di desa kita ini?" tanya Ily sambil mengajak Yanthi masuk ke dalam rumah.

"Ini Bu, datanya. Angka kelahiran dan kematian sebanding." Yanthi memperlihatkan selembar kertas kepada Ily.

Ily serius membaca selembar kertas itu. Sebagai kepala desa di daerahnya membuat dia harus aktif bersosial. Yanthi dan Ily duduk di teras rumah yang terasa sejuk dan teduh.

"Ini Bu Bidan, di minum tehnya. Kebetulan tadi baru sangrai sendiri." Ebie menurunkan dua cangkir teh yang masih mengepul di meja.

"Terimakasih Mbak Bie. Jadi ngerepotin." Yanthi sedikit berbasa-basi kepada Ebie.

"Ndak merepotkan kok Bu. Ayo Bu, di unjuk mumpung masih panas untuk menghangatkan badan." Ebie membujuk Yanthi agar tidak malu untuk mengambil cangkirnya.

"Ndoro putri, Tole Reza sudah selesai mandi," kata Ebie sopan kepada Ily.

"Iya Mbak Bie. Tolong lanjutkan petik sayur bayamnya sekalian petik cabe dan tomat buat sambal. Nanti pulang dari antar Reza sekolah dan pulang dari kelurahan aku mampir ke warung beli lauknya," jelas Prilly.

"Baik Ndoro putri." Ebie berlalu melanjutkan pekerjaan yang Ily tinggal tadi.

"Mbak Yanthi, aku masuk ke dalam dulu ganti baju. Nanti kita berangkat ke puskesmas bareng."

Ily berlalu masuk ke dalam rumah, sedangkan Yanthi menunggu sambil membantu Ebie memetik sayuran.

***

"Vitta ...." Ayu berteriak girang memeluk temannya.

"Ih, kenapa sih kamu Yu?" tanya Vitta merenggangkan pelukan Ayu.

Ayu terlihat sangat bahagia sambil memamerkan cincin mas 24 karat di jari manisnya kepada Vitta.

"Dapat dari mana kamu, Yu?" tanya Vitta curiga.

"Di belikan sama Al." Ayu menjawab ringan membuat Vitta menghela nafas dalam.

"Sudahlah Yu, ingat dia itu sudah punya keluarga. Kasihan kalau istri dan anaknya di kampung sampai tahu." Sudah kesekian kalinya Vitta menasehati sahabatnya itu.

"Persetan sama keluarganya di Jawa sana. Yang penting Al sudah bertekuk lutut padaku." Ayu berkata sombong dan bangga.

"Itu juga karena bantuan Mak Pini. Kalau bukan karena peletnya dia, nggak mungkin Al sampai tergila-gila sama kamu," cerca Vitta tidak suka dengan sikap temannya itu.

"Dia juga mau sama aku Vit." Ayu masih saja membela dirinya sendiri.

"Terserah kamu Yu, ingat karma itu masih berlaku. Jika kamu merusak rumah tangga orang, suatu saat Allah membalas. Apa bila balasannya rumah tanggamu di rusak orang lain, kamu jangan bilang jika Allah tak adil. Karena saat ini kamu juga nggak adil sama keluarga Al." Vitta berjalan masuk ke bagian cabin tengah membersihkan tempat duduk di sana.

Ayu berdiam diri, memikirkan dan mencerna kata-kata Vitta tadi. Namun sia-sia, saat ini dia dikuasai oleh pikiran setan dan ego yang tinggi. Dia tak memperdulikan orang lain, dia hanya inginkan Al yang dapat menuruti semua kemauannya dan bertekuk lutut padanya.

"Kamu mau bekerja atau cuma melamun di situ saja, Ayu?" Purser pada penerbangan itu menegur Ayu yang mematung di tempat sambil melamun.

Ayu segera tersadar dan menjalankan tugasnya.

***

"Al, sudalah kau telepon istri kau. Apa kau tak merindukannya? Pasti anak kau sudah merindukan bapaknya." Ucok kembali mengingatkan Al saat mereka sedang makan siang di barak.

Al terdiam seolah dia tak mendengarkan nasehat Ucok tadi.

"Aku rasa kau ini sudah terkena pelet si Ayu, Al." Ucok berkata asal membuat Al menoleh dan menatapnya tak terima.

"Maksudmu apa? Ayu gadis baik-baik dan nggak mungkin dia melakukan hal itu. Aku akan membawanya pulang ke jawa untuk menikahinya di sana."

"Apa?! Kamu sudah gila Al? Jika sampai negara tahu, kamu akan terkena sanksi. Kamu sudah tak waras Al," kata Ucok meninggikan suaranya dan berlalu meninggalkan Al dengan perasaan emosi.

Al berbuat seperti ini karena merasa tertantang oleh perkataan Ayu dua hari yang lalu. Saat itu dia dan Ayu sedang makan di sebuah restoran di kota terdekat dengan perbatasan itu.

"Jika kamu benar-benar mencintaiku dan tidak ingin kehilanganku, nikahi aku segera Al," pinta Ayu dengan desakan agar Al tak memiliki pilihan lain.

Tanpa mengingat Ily dan keluarganya di kampung Al segera mengangguk. Entah apa yang sedang menguasai Al saat ini. Dia yang dulu sangat mencintai istrinya dan sangat menyayangi keluarganya kini berbalik banding 180°.

"Aku akan membawa mu pulang ke jawa dan kita akan menikah di sana. Tapi aku mohon bersabarlah, jika kamu menginginkan pernikahan kita resmi diakui negara. Kamu tahu peraturan seorang pengabdi negara sepertiku." Al menggenggam erat tangan Ayu.

"Iya, aku akan sabar menunggu hari itu Al." Hati Ayu lega saat pujaan hatinya mengiyakan permintaannya.

Ini yang diinginkan Ayu selama ini. Menjadi wanita yang jelas bagi kekasih yang jelas dia ketahui jika Al sudah memiliki keluarga di Jawa.

"Setelah ini kita mencari cincin dan aku akan melamar kamu di depan kedua orangtuamu." Al mengucap itu tanpa beban dan memikirkan hal lain yang akan terjadi pada nasib rumah tangganya bersama Ily nanti.

Ucok duduk di kantor dengan perasaan ragu. Walau Al sahabat satu perjuangannya, jika dia salah melangkah kewajiban Ucok hanyalah mengingatkan. Namun jika Al sulit di ingatkan apa yang dapat ia lakukan, kecuali memberi kabar kepada keluarga di kampungnya agar tahu keadaan Al saat ini.

"Ya Tuhan ... apa aku tega memberi tahu istri Al, yang sebenarnya terjadi dengan suaminya di sini?" Ucok masih memiliki rasa kasihan jika istri Al mengetahui yang sebenarnya. Itu akan membuat hati Ily semakin tidak tenang.

"Jika ini tetap di biarkan aku yakin rumah tangga Al akan porak poranda dan bisa-bisa Al akan menceraikan Ily. Kasihan si Reza, dia masih kecil." Ucok memantapkan hatinya demi menyelamatkan rumah tangga sahabatnya itu.

"Maafkan aku Al, ini demi kebaikan dan keselamatan mu." Ucok berkata demikian sambil tangannya bertumpu pada gagang telepon.

Ucok meyakinkan diri lalu segera mengangkat gagang telepon dan memencet nomer telepon rumah Al di Wonosobo.

***

Derai air mata membasahi mukena Ily sepertiga malam ini. Tak henti-hentinya dia menangis semenjak Ucok memeberikan kabar yang sebenarnya, bagaimana keadaan Al saat ini. Mata hatinya sedang tertutup dengan cinta palsu wanita yang dikenalnya saat mereka berada di atas awan.

"Ya Allah, mengapa Engkau uji rumah tangga kami seperti ini. Mengapa Engkau hadirkan dia diantara kami. Jika memang itu untuk menguji kesabaran hamba, tolong lapangkanlah dada hamba. Segera tunjukan jalan terang untuk suami hamba. Jangan biarkan dia terlalu dalam terjerumus dalam lembah dosa." Ily bersimpuh dengan derai air mata yang deras membasahi pipinya.

Hatinya yang terluka dan kecewa tak membuatnya benci kepada suaminya. Ily hanya meminta agar Tuhan mengembalikan Al untuk kembali ke jalan yang benar. Dan segera dapat mengingatnya dan anak semata wayangnya.

"Bunda," panggilan lirih terdengar dari belakang tubuhnya.

Ily segera menghapus air matanya agar Reza tak melihat dia sedang bersedih. Dia melepas mukenanya, melipat dan menyimpan bersama sajadah.

"Iya, ada apa Le?" tanya Ily merangkak naik ke atas ranjang memeluk Reza putranya bersama Al yang kini baru berusia 5 tahun.

"Kapan Ayah pulang, Bun." Ily mengulum bibirnya menahan tangisan agar tak terlepas.

Ily tidak menjawab, dia semakin mengeratkan pelukannya kepada Reza. Ily mengelus punggung Reza lembut, agar Reza kembali tertidur.

"Bun, Reza kangen sama Ayah. Kenapa kita tidak menyusul Ayah saja, Bun." Ily tak kuasa menahan air matanya dan dia biarkan tangisannya lolos karena di dalam dadanya sudah sangat terasa sesak.

"Bunda, kenapa menangis? Apa Reza nakal?" tanya Reza yang tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua orangtuanya.

Reza menghapus air mata Prilly dengan tangan mungilnya, lalu mencium kedua mata Prilly.

"Bunda juga kangen sama Ayah ya?" tanya Reza polos. Ily hanya mengangguk tak kuasa mengeluarkan kata.

"Reza juga kangen sama Ayah. Tapi, Bunda tenang saja. Reza sudah berjanji sama Ayah. Kalau ada yang menyakiti Bunda, pasti Reza akan memukulnya. Kan Reza jagoannya Bunda dan Ayah." Reza berceloteh polos membuat Ily semakin meluluhkan air matanya.

"Sekarang Reza bobo ya? Besok Reza harus berangkat sekolah. Doakan Ayah sehat dan semoga Ayah bisa cepat pulang ya?" Ily membelai wajah Reza penuh kasih sayang dan menyalurkan kehangatan.

"Bunda, jangan menangis lagi ya? Reza nggak suka lihat Bunda menangis. Bunda cantik kalau tersenyum begini." Reza menarik kedua ujung bibir Ily dengan jari telunjuknya. Sehingga bibir bundanya terbentuk seperti bulan sabit.

Ily memeluk Reza agar hatinya merasakan ketenangan, walau sebenarnya dalam hati kecilnya dia mengkhawatirkan suaminya yang jauh dimata namun akan selalu dekat di hatinya.

"Ya Allah, tunjukan jalan pulang untuk suami hamba." Doa Ily sebelum menutup matanya.

***

"Ily ...!!!" Al berteriak langsung duduk dengan peluh bercucuran di dahinya.

Nafasnya memburu dan dadanya kembang kempis. Ucok yang tidur satu barak dengannya lalu menghampiri Al, membawakan air putih agar Al dapat segera meminumnya.

"Ada apa kau? Mimpi buruk?" tanya Ucok setelah Al selesai meminum air tadi.

"Aku bermimpi Ily dan Reza meninggalkanku sendirian di tempat yang lapang." Al memegangi kepalanya yang terasa berat dan pusing.

Ucok menepuk bahu Al pelan, lalu membantu Al kembali berbaring.

"Itu hanya bunga tidur. Sudah, tidurlah kembali."

Ucok kembali ke tempatnya dan melanjutkan tidur. Al menatap langit-langit barak, menerawang masa lalunya dengan Ily. Ingatannya di penuhi kebersamaannya saat bersama Ily dan Reza. Al segera beranjak dari tempat tidurnya dan berlari ke kantor.

"Ada apa dengan Al?" tanya Ucok pada dirinya sendiri saat melihat Al tergesa keluar dari kamar.

Pintu kantor terbuka kasar dan Al segera mencari telepon. Tangannya yang gemetar dan peluh membasahi tubuhnya, Al menekan nomer pada telepon itu. Satu kali tak ada menjawab. Dua kali tetap tak ada yang menjawab. Al menghembuskan nafasnya kasar.

"Angkat telepon aku sayang. Aku mohon. Aku sangat merindukan kalian." Al berkata sambil menempelkan telepon untuk ketiga kalinya menghubungi Ily.

"Hallo, assalamualaikum," sapa dari seberang.

"Waalaikumsalam. Mbak Bie." Al sudah menghafal betul suara orang-orang yang menghuni rumahnya.

"Eh, Ndoro kakung. Sebentar saya bangunkan Ndoro putri." Ebie meletakan teleponnya dan membangunkan Ily ke kamarnya.

Al merasa lega akhirnya panggilannya dapat terjawab.

"Hallo, assalamualaikum Ayah." Sambutan pertama yang Al dengar adalah suara Reza.

"Waalaikumsalam. Reza sudah bangun Nak, jam segini?" tanya Al terdengar nada kerinduan yang sangat dalam.

"Sudah dong Ayah. Reza kan habis solat subuh sama Bunda. Ayah sehat di sana?"

"Alhamdulilah Ayah sehat Nak."

"Ayah kapan pulang? Reza sama Bunda sudah kangen. Kenapa Ayah sudah lama nggak telepon?" Suara Reza terdengar parau.

"Maafkan Ayah sayang. Di sini Ayah sibuk. Reza dan Bunda sehatkan?"

"Alhamdulillah kami sehat Yah."

"Eyang putri dan Oma juga sehat?"

"Eyang putri kemarin habis masuk angin, tapi sudah dikerokin Bunda. Sekarang Eyang sudah sehat." Reza bercerita polos membuat Ebie dan Ily yang mendengarkan mengulum bibirnya menahan tawa. Eyang putri adalah panggilan Reza untuk Ibunda Ily yaitu Neneng.

"Jagain Bunda, Oma dan Eyang putri ya jagoan Ayah?"

"Siap Ayah. Ayah cepat pulang ya? Biar nanti kita bisa berkumpul bersama lagi. Kami semua merindukan Ayah." Ebie dan Ily yang melihat kesedihan di raut wajah Reza, hanya dapat diam menahan air mata haru.

"Iya, Ayah usahakan secepatnya pulang. Di mana Bunda, Ayah mau bicara sama Bunda."

Reza lalu memberikan gagang telepon kepada Ily yang berdiri di depannya bersama Ebie.

"Ayah mau bicara sama Bunda."

Ily menerima gagang telepon itu, lalu duduk di kursi yang tadi Reza tempati.

"Mbak Bie, minta tolong temani Reza mandi dulu ya? Sekalian tolong siapkan sarapannya," titah Ily lembut.

"Baik Ndoro putri."

Ebie berlalu mengajak Reza ke belakang. Ily menghela nafasnya dalam, dan bersikap seolah-olah ia tidak mengetahui apa-apa.

"Assalamualaikum, Yah." Suara Ily tertahan di tenggorokan karena menahan tangisannya.

"Waalaikumsalam. Bunda sakit? Kenapa suaranya serak?" tanya Al terdengar khawatir. Hati Ily menghangat saat mendengar suara kecemasan dari suaminya itu, berarti Al masih memiliki rasa perhatian kepada Ily.

"Cuma lagi batuk biasa, di sini udara sangat dingin. Ayah jaga kesehatan di sana, jangan sampai sakit ya?" Ily tetap berusaha menahan perih di hatinya. Sejujurnya ingin rasanya dia marah kepada Al, namun dia masih menahannya karena menunggu pengakuan dari bibir Al sendiri.

"Bun ...." Dari ujung telepon Ily mendengar keraguan suara Al.

"Iya, ada apa Yah?" Tanya Ily mendengarkan Al serius.

"Maafin Ayah, aku mau pengakuan dosa denganmu. Maaf." Ily mendengar isakan tangis penyesalan dari seberang.

"Maaf untuk apa?" Ily sengaja memancing kejujuran Al. Masih adakah kejujuran diantara mereka? Itulah yang ada dalam pikiran Ily saat ini.

"Ayah tergoda dengan bunga mawar yang berduri tajam di sini. Ayah terluka karena menyentuh durinya. Maaf sudah tidak menghiraukan kalian beberapa bulan ini." Al berkata jujur, karena Al tahu betul bagaimana istrinya.

Ily menahan luka di hatinya dan mencoba menerima kejujuran dari Al. Ily dapat memahaminya, karena ini bukan kemauan Al. Ily lebih menghargai kejujuran dan pengakuan Al dari pada ia selalu dibohongi.

"Cepatlah pulang Yah. Aku dan Reza sudah menunggumu." Ily berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Al tahu jika saat ini pasti hati istrinya sedang sakit dan terluka. Namun dari pada ini akan semakin berlarut, lebih baik Al mengatakan sejujurnya.

"Maafkan kekhilafan Ayah, Bun. Ayah, tidak tahu mengapa semua ini bisa terjadi. Ayah, akan usahakan meminta pindah tugas ke Jawa agar kita bisa selalu berkumpul bersama."

"Lakukan itu Yah. Kami selalu menunggumu untuk pulang. Kembalilah ke dalam pelukan kami." Ily berkata sambil meloloskan tangisan yang sejak tadi ia tahan.

"Tunggu Ayah pasti akan pulang ke Wonosobo, Bun."

Panggilan terputus setelah mereka sama-sama mengucap salam. Kejujuran dan keterbukaan dalam rumah tangga adalah tiang utama dalam mendirikan istana keluarga.

***

"Sialan Mak Pini, katanya dukun terkenal dan tak diragukan lagi. Nyatanya meleset, tetap saja aku kehilangan Al." Ayu membanting tas selempangannya kasar di atas kasur kamarnya.

"Ayu, itu sudah wajar jika Al mengingat keluarganya. Aku bersyukur karena sahabatku tak jadi merusak rumah tangga orang." Vitta berkata sambil mendaratkan pantatnya di tepi ranjang.

"Aku mencintainya dan aku ingin memilikinya." Ayu duduk di sebelah Vitta dengan wajah emosi.

"Ayu, hentikan ini. Lepaskan Al dan ikhlaskan dia. Kamu cantik dan masih muda. Banyak lelaki single yang ada di luar sana. Caramu kotor untuk mendapatkan Al. Cara apa pun jika berhubungan dengan setan dan musrik pasti tidak akan bertahan lama." Vitta tahu yang sebenarnya terjadi.

Awal pertemuan Ayu dan Al kala di pesawat, membuat Ayu jatuh hati pada prajurit tampan itu. Karena sikap Al yang dingin dan acuh membuat Ayu gemas dan gelap mata. Hal pintas pun dia ambil. Ayu pergi ke salah satu dukun ternama di daerahnya mengajak Vitta yang tadinya dia tidak mengetahui niat awal Ayu itu.

"Campurkan ramuan ini ke dalam minuman atau makanannya." Mak Pini dukun yang di percaya Ayu memberikan benda kecil berisi air kepada Ayu.

"Cuma ini Mak?" tanya Ayu memperhatikan benda itu.

"Iya, kamu mau minta apa lagi? Itu saja cukup cuma memikat dan membuat dia lupa dengan keluarganya di kampung."

"Terus pantangan apa yang harus dihindarinya Mak?"

"Jangan sampai dia memakan daun kelor dan pisang mas. Itu membuat luntur mantraku."

Ayu tersenyum miring dalam raut wajahnya, Vitta dapat melihat jelas keculasan dan kelicikan sahabatnya itu. Ini bukan yang Vitta mau, namun apa daya saat itu Vitta hanya bisa berdiam diri walau dalam hatinya ingin sekali dia marah dan menyadarkan sahabatnya itu.

***

Suara lantunan Al qur'an terdengar bersahutan. Ily dan Ebie duduk menunggu Reza mengaji. Rumah sederhana milik ibunda Ily menjadi tempat belajar mengaji setiap sore. Ustadzah Ita adalah pengajar di tempat itu dan dibantu oleh Neneng untuk mengisi hari tuanya.

"Ndoro putri, mau aku buatkan teh?" Ebie menawari Ily yang terlihat melamun duduk di ruang tamu rumah Neneng.

"Iya, boleh Mbak Bie. Terimakasih ya Mbak Bie."

Ebie yang selama ini setia melayani kelurga Mona. Sejak Al berusia 15 tahun, Mona memperkerjakan Ebie di rumahnya hingga saat ini. Tak pernah ada perbedaan untuk Ebie. Ily dan semua keluarga menganggap Ebie salah satu bagian dari mereka.

"Nduk, kapan bojomu pulang?" tanya Neneng menyentuh bahu Ily lembut.

"Ibu sudah selesai mengajar ngajinya?" tanya Ily mengalihkan pertanyaan Neneng.

"Sudah, Ibu-kan cuma mengajar yang masih i'roq. Jadi cepat, yang membaca Al qur'an kan mengaji sama Ustadzah Ita," jelas Neneng dengan suara halus.

"Oh iya. Ibu sudah makan belum?"

"Sudah tadi ditemani Ustadzah Ita."

"Ini Ndoro unjukannya." Ebie menurunkan dua cangkir teh panas untuk Ily dan Neneng.

"Terimakasih ya Nduk Ebie," ucap Neneng mengelus rambut Ebie.

"Njeh Bu."

"Bundaaaaaa." Reza berlari lalu memeluk Ily dan menciumnya.

"Reza ngajinya sudah sampai juz sepuluh loh Bun."

"Wah, pintar anak Bunda." Ily mengangkat Reza duduk di pangkuannya.

"Assalamualaikum." Suara lembut menyapa.

"Waalaikumsalam." Balas mereka bersamaan.

"Sudah selesai mengajinya, Dek?" Neneng bertanya sambil melihat Ustadzah Ita duduk di sofa sebelahnya.

"Sudah, Mbak," jawab Ita halus.

Sebuah obrolan ringan pun terjadi. Hingga langit pun tak terasa sudah mulai gelap. Ily berpamitan pulang, karena jarak rumahnya dan rumah Neneng dekat dia memilih berjalan kaki.

"Ayah." Suara lirih Reza saat mereka sampai di depan pagar rumah.

Ily menatap lurus ke depan, benar saja dia melihat suaminya berdiri tegap menunggu kedatangan mereka di pelantaran rumah.

"Ayaaaaaahhhhh." Reza segera berlari menyambut tangan Al yang sedari tadi terlentang menunggu sambutan hangat dari anak dan istrinya.

"Ayah kangen sama kalian. Apa kalian juga merindukan Ayah?" tanya Al mendekap Reza sambil menangis kerinduan.

"Reza sangat merindukan Ayah." Reza dan Al melepas rindu.

Ebie dan Ily yang masih mematung di tempat meneteskan air mata haru. Rasa rindu yang sudah menggunung menyingkirkan ego dan rasa kecewa Ily pada Al.

"Bunda, Ayah sudah pulang." Reza menarik tangan Ily untuk mendekati Al.

Air mata kerinduan keduanya luluh lantang tak tertahankan. Mereka berdiri berhadapan, tangan Ily menangkup wajah Al dan membelainya lembut.

"Aku merindukanmu, Bun." Al menarik Ily ke dalam pelukannya.

Mona yang melihat pertemuan mengharukan itu, meneteskan air mata begitu pun Ebie.

"Syukur Alhamdulillah Engkau telah menunjukan jalan pulang untuk anakku kembali berkumpul bersama keluarganya." Mona membatin karena walau dia selama ini diam dan tak ikut campur dengan urusan rumah tangga anaknya, tak berarti dia tidak mengetahui apa-apa.

"Masuk yuk? Udaranya dingin." Al merangkul Ily dan menggendong Reza masuk ke dalam rumah.

Cinta akan menuntun kaki untuk melangkah pulang kembali ke pelukan cinta. Dekapan keluarga lebih hangat dan terasa nyaman di banding dekapan selimut tetangga walau pun lebih tebal. Tuhan akan selalu menunjukan jalan ketika hamba-Nya tersesat.

***

Candi dieng adalah pertemuan awal Al dan Ily saat dulu mereka sedang berwisata. Di sini banyak kenangan indah bagi mereka.

"Bunda masih ingat dulu saat awal pertemuan kita di sini?" tanya Al yang berjalan beriringan dengan Ily menuju salah satu candi di sana.

"Masih dong Yah. Nggak akan pernah aku lupakan."

Saat ini mereka sedang berwisata bersama keluarga di Candi Dieng yang merupakan mahakarya dinasti Sanjaya sebagai candi beraliran hindu tertua di Jawa.

"Terimakasih kamu sudah sabar menghadapi aku dan setia menungguku." Al menghentikan langkahnya tepat di depan salah satu candi.

Al membalikan badan Ily untuk menghadapnya. Dia menggenggam erat tangan Ily.

"Maaf sudah menyakiti hatimu karena kekhilafanku dan kebodohanku. Aku bersyukur karena doamu yang tulus aku dapat kembali ke dalam pelukanmu dan anak kita." Al berucap sambil menunduk menyesal.

"Terimakasih sudah kembali kepada kita. Kewajibanku sebagai istri adalah mendoakan yang terbaik untuk suami yang sedang mencari nafkah di luar sana. Jangan ulangi lagi kesalahan yang tak pernah aku harapkan." Ily mengangkat dagu Al agar dia dapat menatap bola mata suaminya.

Ily memeluk Al merasakan pelukan ternyamannya. Al membalas pelukan Ily. Mona, Neneng, Ebie dan Reza yang melihat pemandangan itu merasa ikut bahagia.

"Cinta memang sulit di tebak ya, Bu?" kata Ebie dengan pandangan lurus ke depan melihat Al dan Ily yang masih berpelukan.

"Cinta nggak butuh banyak kata. Karena hati yang saling berbicara," timpal Mona menatap lurus ke depan.

"Karena takdir Allah itu lebih indah walau jalannya terjal." Neneng tak mau kalah menyahut.

"Bundaaaaa ... Ayaaaahhhhh." Reza berteriak lari menghampiri Al dan Ily.

Al menangkap Reza dan menggendongnya. Reza merengkuh leher Ily dan Al. Mereka bertiga memandang candi yang berada di depan. Udara dingin pegunungan terasa hangat saat menyaksikan bersatunya kembali keluarga yang kini menjadi utuh.

"Aku mencintaimu, prajuritku." Ily berkata dengan pandangan lurus ke depan.

"Aku juga mencintaimu, Bu Kades." Al membalas ucapan Ily tadi.

"Reza menyayangi Ayah dan Bunda." Reza menyahut membuat Al dan Ily saling pandang lalu tertawa bersama.

Sungguh Tuhan memiliki jalan sendiri untuk menguji umatnya sebelum Dia menaikan derajat hambanya. Jalan berliku dan terjal untuk mencapai titik tertinggi sebuah kebahagiaan akan tercapai jika kita ikhlas dan sabar menghadapi semua ujian dan rintangan yang Allah hadangkan dalam perjalanan hidup ini.

Setan akan selalu menghasut umat Tuhan hingga akhir kehidupan ini. Hanya doa dan perlindungan Tuhan yang mampu membebaskan kita dari jeratan setan. Cinta dan kasih Tuhan lebih besar dan kuat mengalahkan segala kasih yang ada di dunia ini.

END

################

Cerita ini hanya pelajaran hidup dan gambaran semata. Jika menyinggung pihak tertentu mohon maaf tidak ada unsur kesengajaan.

Terimakasih untuk Keluarga Rex yang sudah ikut partisipasi dalam cerita ini. Dukungan kalian luar biasa untuk saya.

Terimakasih untuk para sahabat dan kesayangan Rex semua, yang masih setia membaca dan suka rela memberi vote dan komennya. Itu akan semakin membuat saya bersemangat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top