My Family
Tumbuh kembangnya beberapa aspek manusia baik fisik atau psikis, sosial, dan spiritual, yang paling menentukan bagi keberhasilan kehidupannya, sangat ditentukan oleh lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang kondusif menentukan optimalisasi perkembangan pribadi, penyesuaian diri, kemampuan bersosialisasi, kecerdasan, kreativitas, moral, juga peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan. Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling awal dikenal dan dekat dengan anak, hal ini menjadikan peranan keluarga dalam pendidikan dan proses pembentukan pribadi tampak dominan. Karena pada dasarnya manusia itu memiliki potensi yang positif untuk berkembang akan tetapi potensi itu bisa teraktualisasikan atau tidak, sangat ditentukan oleh peran pendidikan dalam keluarga. My family is my life. Keluargaku adalah hidupku.
"Selamat pagi, Oma, Mami?" Gadis manis yang sudah rapi dengan baju kantor berhijab warna merah muda sangat ceria menyambut sang surya pagi itu.
"Pagi, Ebie," balas Neneng dan Delmora serentak.
Delmora adalah single Mother yang memiliki dua anak. Dia tinggal di rumah peninggalan mendiang suaminya, mengurus ibu mertua dan ibu kandungnya di rumah yang sangat luas dan besar. Tak hanya mereka, adik satu-satunya mendiang suaminya juga tinggal di rumah itu bersama anak semata wayangnya.
"Bangunkan kakakmu, Ebie," titah Neneng lembut.
"Siap, Oma." Ebie segera menaiki anak tangga untuk membangunkan kakaknya.
"Selamat pagi," sapa mertua Delmora.
"Pagi, Mam." Delmora mencium pipi Itha yang baru saja datang ke ruang makan.
"Masak apa ini, Jeng?" tanya Itha pada Neneng.
Delmora hanya tersenyum melihat keakraban orang tuanya. Hanya mereka yang dia punya sekarang.
"Ini masak semur jengkol, ada gulai ayam, sop ayam jamur, lele goreng sama sambal tomat." Delmora tersenyum saat ibundanya menunjuk satu per satu masakan yang sudah siap di meja makan.
"Masya Allah, Jeng Neneng. Siapa yang mau menghabiskan ini? Sayang kalau nggak habis," celah Itha sambil menyapu pandangannya menatap masakan yang ada di atas meja.
"Keluarga kitakan besar, pasti habis. Lihat saja nanti," kata Neneng percaya diri.
Sedangkan Ebie sangat sibuk membangunkan kakak satu-satunya di dalam kamar yang bernuansa hitam putih. Ebie sudah mengguncangkan tubuhnya, namun tetap saja tak ada pergerakan.
"Ini orang mati apa tidur sih?" Ebie menggerutu saat kakaknya tak kunjung bangun.
"Kakak!!!" Ebie berteriak tepat di telinga kakaknya, namun bukannya terusik dia justru menutup seluruh tubuhnya dengan bed cover.
"Mamiiiiiii ... Kak Al nggak mau bangun!!!" Ebie berteriak keras mengadu kepada maminya.
"Isshhh ... berisik! Sekalian aja pakai toa masjid sana! Dasar tukang ngadu!" Al bangun dari tidurnya sambil mengomel.
"Biarin! Wlek!!! Kalau nggak gitu Kakak nggak mau bangun." Ebie menjulurkan lidahnya ke arah Al.
Dengan wajah kesal Al bersiap ingin melempar bantal ke arah Ebie. Namun sebelum Al melakukannya, Ebie sudah lebih dulu lari ke luar kamar.
"Awas kamu, nanti Kakak nggak mau beliin kamu HP keluaran baru!" ancam Al dari dalam kamar.
"Bodoh amat! Minta sama Mami. Wlek!" Ebie menyaut namun hanya menyembulkan kepalanya di ambang pintu sambil meledek Al.
Ebie tertawa puas sudah berhasil mengerjai kakaknya dan membuat dia naik darah pagi ini. Ebie menuruni anak tangga masih dengan gelak tawanya hingga sampai di meja makan dia masih tetap tertawa. Semua sudah hafal, jika Ebie seperti itu pasti sudah bikin kakaknya kesal.
"Kamu itu, dari dulu sampai sekarang masih aja suka godain kakakmu. Rasain nanti kalau kakakmu sudah nikah, mau ngerjain siapa kamu?" tegur Delmora yang sudah siap dengan busana kantornya.
"Tapi Ebie suka Mami, lihat wajah kesal Kak Al. Lucu dan gemesin," bantah Ebie duduk di sebelah Delmora.
"Selamat pagi semuanyaaaaa," sapa suara cempreng dan menggelegar hingga memenuhi ruang makan pagi itu.
"Pagi Vini, Vitta," jawab mereka serentak yang sudah duduk di ruang makan sedari tadi.
"Mam, aku sama Vitta mau jalan-jalan ke Paris. Sudah tiga bulan ini kita nggak liburan. Suntuk di rumah terus," ujar Vini pada Itha setelah dia duduk di kursi yang biasa di tempati. Terkesan sombong tapi sebenarnya mereka baik.
"Gampang mengusir suntukmu itu. Bantu Kak Mora mengurus bisnis kakakmu. Itu juga salah satu peninggalan papamu kan?" sahut Itha tak acuh sambil mencentongkan nasi ke dalam piringnya.
"Mam, aku sudah sering membantu, tapi kali ini aku sudah bosan dan ingin sekali jalan-jalan," rajuk Vini memasang wajah memelas.
Itha menaruh sendok dan garpunya sedikit kasar dan meminum air putih yang sedari tadi memang sudah disiapkan di setiap bagiannya sendiri-sendiri. Ini bukan kejadian kali pertama di keluarga mereka, sudah terlalu sering.
"Kamu tidak pernah bisa menghargai kerja keras kakakmu. Bayangkan, dia sampai jungkir-balik hanya untuk menjalankan bisnis keluarga kita agar tidak gulung tikar. Sedangkan kamu malah enak-enakkan mau berfoya-foya dengan jerih payah orang lain." Itha menegur Vini langsung di depan keluarganya.
"Mam, sudah. Mama tenang dulu, ingat kesehatan Mama." Delmora mengelus lengan tangan Itha sedangkan Ebie memberikan air minum agar Itha dapat meredakan emosinya.
"Eyang, yang sabar." Ebie mengelus lengan Itha lembut.
"Kamu kapan mau berangkat?" tanya Delmora halus pada Vini.
"Besok!" jawab Vini menyiratkan rasa ketidaksukaannya kepada Delmora.
Vitta yang melihat betapa angkuh dan sombongnya mommy-nya hanya dapat mengelus dada.
"Pagi semua?" sapa Al yang baru saja datang di ruang makan.
Al langsung menarik kursi di sebelah Delmora, hingga kini Delmora diampit kedua buah hatinya. Suasana tegang menyelimuti sarapan pagi itu. Rasa tidak nyaman dan sungkan selalu terasa di setiap pertemuan Delmora dengan Vini. Entah apa salah Delmora, hingga membuat Vini sejak dulu tak menyukainya. Sejak mendiang suami mereka masih ada, sebelum kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa suami mereka, rasa tidak suka Vini kepada Delmora sudah ada.
"Kamu mau makan sama apa, Al?" tanya Neneng memecah keheningan di meja makan.
"Itu aja, Oma." Al menunjuk sop ayam jamur.
"Mau lauk apa?" timpal Neneng siap mengambilkan lauk untuk Al.
"Sama lele itu dan sambal tomat," seru Al menunjuk yang dia inginkan.
"Sudah dewasa makan aja masih dilayani!" cerca Vini jutek yang bernada menyindir.
"Kenapa? Tante juga pengin dilayani? Sebelum dilayani hargai dulu orang yang akan melayani kita, biar dia melakukan sepenuh hati." Al memang selalu berani membantah Vini karena dia tahu betul bagaimana tantenya itu.
"Eh, kamu makin besar malah makin kurang ajar sama tantemu ini ya? Apa mamimu nggak pernah ngajarin kamu sopan santun? Dasar anak kurang ajar," tukas Vini menatap Al tajam, namun yang ditatap bukannya takut justru tersenyum miring dan bersikap tak acuh.
"Mom, stop! Jangan memalukan diri Mommy sendiri." Vitta kali ini angkat bicara karena sudah sangat merasa malu dengan sikap Vini.
Tanpa berucap apa pun Vini meninggalkan ruang makan denga perasaan kecewa dan emosi. Semua yang melihat itu hanya diam. Itha harus mengurut dada sabar untuk menghadapi anak perempuan yang tinggal satu-satunya itu.
"Tante, Kak, Oma, Eyang, maafin sikap Mommy tadi ya?" ucap Vitta sungkan dan menahan malu.
"Sudah, tidak apa-apa. Mungkin mommy-mu sedang ada pikiran, jadi begitu," kata Delmora lembut menghangatkan hati Vitta.
"Iya keles, emak lo yang sepertinya kurang liburan, jadi...."
"Ebie," sela Delmora menghentikan cercaan Ebie terhadap Vitta.
"Iya Mi, maaf. Habis Ebie sebel kalau Tante Vini gituin Mami. Coba Mami nggak halangin Ebie buat nyakar itu wajah Mak Lampir, udah Ebie cakar pakai garpu!" kata Ebie kesal membuat yang lainnya mengulum senyum menahan tawa termasuk Vitta terkecuali Delmora.
"Mami nggak pernah ngajarin kamu bersikap kurang ajar sama orang lain, apa lagi orang itu lebih tua dari kamu." Delmora menegur Ebie tegas.
"Iya... ya Mami. Maaf," ucap Ebie menyesal.
"Kenapa minta maafnya sama Mami? Kamu berbuat salah sama siapa, yang harusnya kamu mintai maaf siapa?" elak Delmora.
Delmora bukannya ingin memarahi Ebie, namun dia hanya mendidik Ebie agar tidak sembarangan berbicara dan agar dia dapat bisa lebih menghargai orang lain.
"Maaf ya Vitta, gue emosi karena Tante Vini selalu benci sama Mami." Ebie mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Vitta.
"Iya Kak, aku ngerti kok. Maafin mommy aku juga ya?"
"Sudah, drama queen-nya? Ini sudah pukul 7. Waktunya kita berangkat ke kantor." Al sudah selesai sarapan dan bersiap mengenakan blazer-nya.
"Oh, iya." Ebie melirik jam tangannya lalu mengenakan blazer hitam.
"Mami bareng kita, apa mau bawa mobil sendiri?" tanya Al.
"Kalian duluan saja, Mami mau mampir dulu ke kantornya Tante Mona."
"Ya udah, kita duluan kalau gitu." Al mencium kening Delmora, beralih mencium pipi Neneng dan Itha.
Rutinitas hangat di keluarga itu, terasa harmonis dan kekeluargaannya erat.
"Salim dulu." Al memajukan tangannya di depan Vitta.
Vitta menyambutnya, menjabat tangan Al dan menciumnya, menandakan rasa hormat kepada kakak sepupunya itu.
"Ebie juga mau berangkat dulu ya?" Ebie mencium pipi Delmora, Neneng dan Itha bergantian. Saat dia melewati Vitta, Delmora menarik tas selempangannya hingga tubuhnya berjalan mundur.
"Vitta kan juga adik kamu. Pamiti dia juga dong." Delmora mengingatkan Ebie, walau bagaimanapun bagi Delmora ikatan keluarga lebih dari segala-galanya.
"Gue mau berangkat kerja dulu. Kalau lo ada niat mau kerja, langsung aja nemuin gue atau nggak Kak Al di kantor," ujar Ebie dengan wajah terpaksa.
"Iya Kak, makasih. Besok deh aku main ke kantor." Vitta menyambut perkataan Ebie dengan perasaan sukacita.
"Katanya besok mau jalan-jalan ke Paris?" Ebie sengaja menyindir mengingatkan perkataan Vini tadi.
"Sudah. Ayo kita berangkat! Keburu siang, nanti macet." Al menarik tangan Ebie.
"Assalamualaikum," ucap Al dan Ebie dari ambang pintu ruang makan.
"Waalaikumsalam," jawab semua bersamaan.
Selepas kepergian mereka, Delmora pun bersiap menyusul.
"Bun, Mam, aku juga berangkat dulu ya?" Delmora mencium tangan Neneng dan Itha. Menandakan dirinya yang patuh dan menghormati mereka.
"Iya, kamu hati-hati. Jangan diambil hati kalau adikmu bicara. Nanti akan menyakiti hati kamu." Itha berkata sambil mengelus lengan Delmora.
"Mama tenang saja, aku sudah kebal dan biasa menghadapi Vini seperti itu."
Sebelum pembicaraan berlanjut, sebaiknya Delmora segera pamitan. Dia mencium pipi Neneng dan Itha bergantian.
"Vitta, kalau mau main ke kantor, main saja. Nanti Tante ajari kamu mengolah data dan managemen," kat Delmora sambil mengenakan blazer abu-abu.
"Iya, Tan. Besok Vitta datang ke kantor. Sayang kan, udah lulus kuliah nggak buat kerja. Sia-sia ijazah yang Vitta punya." Delmora tersenyum bangga mendengar kata Vitta.
"Baiklah, Tante berangkat dulu ya?" Delmora mencium kening Vitta membuat hati gadis itu bergetar hangat merasakan kasih sayang seorang ibu yang tulus.
"Iya Mamora, hati-hati," pesan Vitta membuat Delmora mengerutkan dahi menatap Vitta bingung.
Vitta terkekeh melihat wajah heran Delmora.
"Mama Delmora, biar simpel aku singkat jadi Mamora," jelas Vitta membuat Delmora tersenyum manis dan kedua neneknya tertawa.
"Kamu itu ada-ada aja," seru Neneng di sela tawanya.
Delmora segera pergi dari ruang makan dengan senyum manisnya.
***
Jam makan siang telah datang, Al masih sibuk dengan berkas-berkas yang ada di hadapannya. Pintu ruang kerjanya terbuka lebar, memperlihatkan wanita cantik dengan baju serba mini berjalan menghampirinya.
"Kamu masih sibuk ya?" kata wanita itu manja sambil bergelayut di lengan Al dan dagunya ia letakkan di bahu kanannya.
"Iya, Ayu. Aku masih sangat sibuk." Al menjawab namun tak memandang Ayu.
Ayu adalah wanita yang dekat dengan Al dua tahun ini. Bisa dikatakan, Ayu saat ini adalah pacar Al. Namun sikap Al yang tak acuh dan dingin terkadang membuat Ayu jera, namun Ayu tak ingin melepaskan Al, entah karena alasan apa dia tetap kukuh mendampingi pacarnya yang super duber dingin itu.
"Aku mau mengajakmu makan siang," rajuk Ayu manja.
"Yu, kamu lihat, pekerjaanku banyak dan masih menumpuk." Al memperlihatkan kertas-keras yang baru dia koreksi.
"Kamu selalu mementingkan pekerjaanmu daripada aku." Ayu menegakkan tubuhnya lalu beralih duduk di pangkuan Al.
Al yang merasa terganggu hanya menghela napas dalam dan memijat pelipisnya. Kepalanya yang tadi terasa pening kini semakin bertambah karena kehadiran Ayu.
"Kak Al!!!" pekik Ebie dari ambang pintu membuat Ayu dan Al terkejut.
"Oh, jadi begini kelakuan direktur utama PT Jayawijaya yang sudah mendunia. Memalukan!!!" cibir Ebie berkacak pinggang dari ambang pintu menatap tajam ke arah Al dan Ayu.
Al segera menurunkan Ayu dari pangkuannya lalu menghampiri Ebie dan berniat membekap mulutnya, namun Ebie menangkis tangan Al yang hampir menutupi mulut toanya.
"Ebie aduin sama Mami nanti!" imbuh Ebie mengancam.
"Ini nggak seperti yang kamu lihat. Kakak nggak ngapa-ngapain sama Ayu." Al berusaha menjelaskan agar Ebie tidak salah paham.
"Nggak ngapa-ngapain kok si Ayu duduk di pangkuan Kakak!" Ebie berlalu meninggalkan ruang kerja Al dengan wajah emosi dan ketidaksukaannya terhadap Ayu.
"Maafin adik aku ya, Yu. Oke, kita pergi makan siang." Al segera mengambil blazer yang digantung di sandaran kursi dan segera mengajak Ayu keluar meninggalkan kantor.
Ebie berjalan sambil menggerutu tidak jelas menuju ke ruang pimpinan perusahaan itu.
"Mami," rengek manja Ebie setelah membuka pintu.
"Iya, kamu kenapa cemberut?" tanya Delmora saat melihat anak perempuannya masuk dan duduk di depannya dengan wajah tertekuk seperti baju kusut.
"Tadi Ebie niatnya mau ngajakin Kak Al makan siang, eh malah udah keduluan si Ayu kampret itu." Ebie mengadu sebal kepada maminya.
"Ya wajarlah Ebie, kan Ayu pacarnya Kak Al. Ya udah, Ebie makan siang sama Mami aja ya, sekalian sama Tante Mona, teman masa kecilmu sudah datang dari Amerika." Delmora melepas kacamatanya dan berdiri bersiap untuk pergi.
"Hah?! Si kurcaci pulang, Mam?" tanya Ebie memastikan bahawa yang datang memang benar-benar sahabat kecilnya dulu.
"Tadi pagi Mami udah mampir ke kantor Tante Mona, tapi belum ketemu sama dia. Makanya Mami janjian makan siang sama mereka sekarang," jelas Delmora pelan dan lembut.
"Oke Mami, kita berangkat sekarang!" Ebie berdiri, antusias tak sabar ingin bertemu teman mainnya semasa kecil dulu. "Aaaaa udah nggak sabar pengin ketemu si kurcaci imut yang nyebelin itu, Mamiiiii." Ebie membayangkan sahabat kecilnya itu sambil menggandeng tangan Delmora keluar dari ruang kerja maminya.
***
"Gimana kakak ipar lo itu, Vini?" tanya seseorang yang berdiri di sebelah Vini.
"Makin sebel gue sama dia. Makin lama semakin merajalela. Gedek, pengin rasanya gue tendang dari rumah, Yan," cerita Vini yang saat ini sedang berada di balkon kamar Yanthi, teman dekat Vini.
"Lo sabar-sabarin aja dulu, sampai Ayu bisa jadi istrinya Al dan setidaknya Ayu bisa sedikit demi sedikit akan menguras tabungan dan harta yang Al miliki. Nanti kita bagi hasil," ujar Yanthi dengan wajah licik dan perkataannya yang percaya diri.
"Makanya, lo harus cepet nikahin Ayu sama Al. Tadi pagi aja gue mau minta jalan-jalan ke Paris malah jadinya berantem di meja makan sama Mama. Kesel hati gue, Yan." Vini berjalan masuk ke dalam kamar Yanthi mengambil minuman dingin yang dibuatkan ART.
"Mama Itha masih aja mempertahankan dia di rumah itu. Padahal kan Kakak lo udah nggak ada. Ngapain coba?!" Yanthi berusaha mengompori kebencian Vini pada Delmora.
"Nggak tahu tuh, orang tua satu itu. Dia juga sekarang lebih sering belain menantunya yang sok-sokan baik. Apalagi setelah kedatangan ibu kandungnya si Delmora ke rumah, Mama semakin sayang sama mereka. Ih, makin benci gue sama keluarga yang sok harmonis itu."
Yanthi tersenyum miring mendengar aduan sebal Vini terhadap keluarganya.
"Ya udah, daripada lo ngomel-ngomel nggak jelas, lebih baik kita belanja dan jalan-jalan, cuci mata. Gue lagi ngincer tas keluaran terbaru," ajak Yanthi.
"Oke." Vini segera mengambil tas jinjingnya lalu mereka keluar dari kamar.
***
Al berlari kecil terlihat terburu-buru menaiki anak tangga di rumahnya. Hingga tak dia sadari ada seseorang yang baru saja keluar dari kamar Ebie.
"Aw!" pekik wanita yang baru saja Al tabrak.
"Maaf," ucap Al sambil menunduk tak memerhatikan wajah wanita tadi.
"Makanya kalau jalan dipakai matanya," cerca Ebie yang berdiri di ambang pintu.
"Kam---" Al menghentikan ucapannya saat ingin membantah Ebie namun dia melihat wanita cantik di hadapannya seakan gravitasi di bumi ini seketika tak bekerja.
Al diam mematung dengan debaran jantung abnormal. Ebie yang menyadari itu hanya tersenyum penuh arti.
"Cailah malah melongo. Lihat bidadari, Pak? Awas noh mata lepas dari tempatnya. Inget udah punya pacar, mau dikemanain si kampret Ayu?" cela Ebie membuat Al seketika tersadar atas kekagumannya dengan paras cantik nan rupawan milik wanita tadi.
"Ayo Pril, kita turun! Nggak baik lama-lama di sini. Takutnya entar tatapan Kak Al nyetrum dan bikin kamu kejang. Bisa diterkam singa peliharaan dia." Ebie menggandeng tangan Prilly mengajaknya turun ke lantai bawah.
Al masih saja mengagumi Prilly hingga sampai tak berkedip. Prilly yang merasa diperhatikan menjadi salah tingkah dan tersipu malu.
Masya Allah, ya Allah, kuatkan iman hamba. Ya Allah, cantik banget sih gadis itu. Gerutu Al dalam hati masih setia menatap Prilly yang sudah sampai di lantai bawah.
Prilly yang merasa diperhatikan lalu mendongak ke atas melihat Al yang masih memerhatikannya. Prilly salah tingkah, melempar senyum terbaiknya menyapa Al. Seketika hati Al luluh dan kakinya terasa lemas. Tubuhnya kaku seperti tak bernyawa. Prilly mengikuti Ebie menghampiri Delmora dan Mona yang masih asyik mengobrol di ruang tengah.
"Ngobrolin apa sih, asyik banget," tanya Ebie yang langsung duduk bergelayut manja di lengan Delmora.
Prilly duduk di sebelah Mona, mengingat wajah Al yang tampan mampu membuat hatinya bergetar.
"Prilly udah punya pacar ya?" goda Delmora membuyarkan lamunan Prilly.
"Eh, apaan sih, Tante. Cuma temen deket aja kok, Tan." Prilly mencoba menepis godaan Delmora.
"Mamamu yang cerita sama Tante, kalau kamu sudah pacaran sama ... mmm ... sama ... siapa Say Mon tadi calon menantumu itu," tanya Delmora yang lupa nama kekasih Prilly.
"Arbian, Beb Del," jawab Mona.
"Oh iya, Arbian," kata Delmora memperjelas.
"Cieee, Prilly udah punya pacar." Ebie menggoda Prilly membuat teman kecilnya semakin tersipu malu.
"Makanya, lo cari pacar sono biar kita bisa double date," ujar Prilly mengejek Ebie yang masih setia menjomblo.
"Lagi males pacaran, bikin ribet. Enak jalan-jalan sama Mami. Bisa manja-manjaan kalau minta apa-apa dibeliin," ujar Ebie menyandarkan kepalanya di dada Delmora membuat Mona dan Delmora tertawa.
"Kamu ini udah gede, masih aja manja sama mamimu," cibir Mona.
"Biar dong, Tante. Kalau nggak sama Ebie, entar mami digodain om-om genit. Kalau Mami jalan sama Ebie kan mereka nggak berani melirik Mami. Berani melirik, Ebie mau congkel mata keranjang mereka," tukas Ebie posesif semakin membuat mereka tertawa lepas.
"Hidih, lo ya sama Tante Mora begitu. Lihat aja entar kalau kamu udah punya pacar ...."
"Kenapa?" sahut Ebie sebelum Prilly menyelesaikan kata-katanya.
"Bakalan sibuk ngurusin pacarnya daripada mamanya," sahut Mona cepat membuat Prilly menatap mamanya.
Semua tertawa melihat wajah lucu Prilly saat cemberut.
"Eh, tumben rumah rame," sela Neneng dan Itha yang datang ke ruang tengah.
"Hay, Tante. Bagaimana kabarnya?" sapa Mona menyambut hangat tangan Neneng dan Itha sambil menciumnya.
"Alhamdulillah, kita baik-baik aja. Sudah lama kamu nggak main ke sini, Mona." Neneng dan Itha saling membantu duduk di kursi, berseberangan dengan kursi yang di tempati Mona dan Delmora.
"Maaf Tan, pekerjaan di kantor menumpuk, jadi nggak sempat main-main. Ini aja tadi karena sudah selesai menandatangi kontrak baru dengan perusahaan dari Malaysia, sekalian nih nemenin Prilly, katanya kangen sama Ebie," jelas Mona sambil mengelus rambut Prilly lembut.
"Oh, ini Prilly yang dulu kecil dan cengeng itu kan ya?" Neneng memang sudah mengenal Mona dan Prilly lama karena sejak dulu memang Prilly adalah teman sekolah Ebie di taman kanak-kanan.
"Iya, Oma." Prilly mendekati Neneng dan Itha lalu menyalami mereka.
"Cantik, pinter, cocok buat Al," celetuk Itha membuat semua terkejut.
"Eyang, Kak Al kan udah punya pacar si kampret Ayu itu," sela Ebie.
"Kalau Eyang nggak suka gimana?" sahut Itha terang-terangan. "Eyang suka yang kalem dan berpakaian sopan. Nggak kayak si Ayu yang sukanya pakai rok mini sama itu apa kotang ...."
"Bikini, Eyang." Ebie memperjelas maksud Itha.
"Iya, itu kan nggak bagus. Mengumbar aurat di muka umum," imbuh Itha.
"Tapi kalau di pantai memang busananya seperti itu, Eyang," timpal Ebie lagi.
"Pokoknya Eyang nggak suka!"
"Iya-iya, terserah Eyang ajalah!" kata Ebie mengalah karena dia tak ingin berdebat dengan Itha.
"Sudah ketemu sama Al?" tanya Neneng lembut pada Prilly.
"Udah tadi, Oma. Tapi kayaknya mereka saling lupa deh. Soalnya tadi Kak Al nggak ngenalin Prilly," sahut Ebie yang menjawab.
"Oh, tadi itu Kak Al?" pekik Prilly yang baru menyadari bahwa pria yang bertabrakan dengannya itu Al.
"Iya, kenapa? Cakep ya?" Ebie berusaha menggoda Prilly.
"Mmm ... nggak ... nggak ... nggak begitu, Ebie. Cuma beda aja sama dulu pas kita masih kecil," sahut Prilly cepat mengelak.
"Yaiyalah beda, dulu masih ingusan sekarang udah tahu pacaran," sahut Ebie membuat semua tergelak tawa.
Obrolan itu mengalir begitu saja, ruang keluarga terasa ramai dengan perdebatan kecil yang menimbulkan keakraban dan tawa. Al yang mendengar keramaian itu lalu menghampiri ke ruang tengah.
"Ada apa ini? Tumben rame?" tanya Al berdiri di sebelah sofa yang diduduki Ebie dan Delmora.
"Sini!" Delmora sedikit bergeser agar Al duduk di sebelahnya.
"Lagi nostalgia dan mengenang masa kecil kalian dulu yang masih nakal dan bandel," jelas Delmora setelah Al duduk di sampingnya.
"Kak Al, inget nggak, gadis yang dulu sering boncengan sepeda sama Kakak, terus kalau dia nangis gara-gara ada kucing maunya di gendong Kakak?" tanya Ebie mengerling jahil ke arah Prilly. Al tampak berpikir dan mengingatnya.
"Oh, si kurcaci ... ingetlah, anak cengeng dan manja seperti dia. Mana Kakak lupa," jawab Al setelah mengingatnya.
"Halah, katanya nggak lupa, tadi apa, ketemu sama anaknya aja melongo sampai nggak berkedip." Al menautkan alisnya menatap Ebie meminta penjelasan. "Yang tadi tabrakan sama Kakak di atas, ya ini orangnya!" Ebie menunjuk Prilly yang bersembunyi di belakang lengan Mona.
Al melihatnya dengan pandangan tak percaya. Gadis kecil yang dia kenal dulu menjelma menjadi wanita cantik bak bidadari bersayap yang turun dari kayangan. Al memerhatikan Prilly dari atas hingga bawah, tak berkedip membuat semua tertawa, terutama Ebie yang melepaskan tawanya hingga Delmora menutup telinga.
"Kenapa? Al suka sama Prilly? Eyang juga," celetuk Itha membuat Al tersipu malu dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Cieeee, pipi Kak Al merah." Ebie mencolok pipi Al yang memang memerah menahan malu.
"Cieee, anak Mama juga pipinya kayak tomat." Mona mencolek pipi Prilly.
"Aaaaa, jangan begitu Mama, Prilly malu," rengekan manja Prilly lalu bersembunyi di balik punggung Mona dan memeluknya dari belakang menyembunyikan wajahnya yang bersemburat merah.
Gelak tawa memenuhi ruang tengah sore itu. Tak ada kebahagiaan yang melebihi curahan kasih sayang keluarga. Kehangatan dekapan keluarga mengalahkan dinginnya hembusan angin yang menerpa. Selimut keluarga yang akan selalu setia memberi perlindungan.
***
Seiring waktu yang berjalan kedekatan Prilly dan Al bergulir begitu saja. Apalagi perusahaan Delmora dan Mona yang kini menjalin kerja sama membuat Al dan Prilly sering bertemu. Tak mereka sadari dari seringnya intensitas bertemu di antara mereka menumbuhkan benih-benih cinta di hati keduanya. Namun sayang, mereka menyadari jika ada orang lain yang menggenggam hati masing-masing. Hingga keduanya harus menahan perasaan cinta yang mereka miliki.
"Pril, makan siang yuk!" ajakan Arbian menghampiri Prilly ke kantor Mona.
"Oke, mau makan di mana kita?" Prilly menutup map merah yang baru saja selesai dia bumbui tanda tangan.
Entah mengapa hatinya merasa menggantung saat jalan bersama Arbian yang jelas dia kekasih hatinya. Pikiran Prilly tak tenang dan selalu terbayang Al. Saat Prilly mengenakan blazer dentingan ponselnya bunyi. Dia membuka notif BBM, senyum tersungging di bibirnya.
Aku makan siang di restoran Suka Rasa di seberang kantor kamu.
Pesan singkat dari Al yang dikirimkan untuk Prilly.
"Ayo! Kok malah mainan HP sih?" tegur Arbian yang sudah menunggu Prilly.
"Eh, iya. Ini mendadak aku harus menemui rekan bisnis dan harus menemaninya makan siang. Mama yang menyuruh." Prilly beralasan hanya agar dapat membatalkan makan siang bersama Arbian.
"Terus?"
"Mmm...." Prilly merasa bingung antara menerima ajakan Al atau menemani Arbian makan siang.
"Oke, kalau gitu siang ini kamu temani makan rekan bisnis kamu itu, tapi nanti malam aku akan menjemputmu. Kita dinner." Arbian mencium pelipis Prilly lalu berlalu keluar.
Rasa bersalah menjalar di hati Prilly, ini bukan yang pertama buat Prilly membohongi Arbian dan lebih memilih pergi bersama Al. Tapi Prilly juga tak dapat memungkiri bahwa hatinya merasa lebih nyaman jika bersama Al. Prilly menepis rasa bersalahnya pada Arbian, lalu dia segera menuju ke restoran yang ada Al di sana.
Tak butuh waktu lama akhirnya Prilly sampai di restoran yang dijanjikan Al. Prilly menyapu pandangannya, melihat Al duduk sambil membaca buku menu. Dia segera mendekatinya.
"Hay, maaf lama ya?" ucap Prilly menarik kursi di depan Al.
"Nggak kok, aku juga baru menunggu sekitar 10 menit yang lalu." Al menjawab dengan senyum yang memesona, membuat hati Prilly tak dapat mengelak cinta yang sudah datang menghampirinya.
"Kamu sudah pesan?" tanya Prilly membuka buku menu yang sudah ada di hadapannya.
"Belum, masih bingung mau makan apa," kata Al sambil memilih menu yang akan menjadi santapannya siang ini.
"Kamu suka makanan Jepang?" tanya Prilly menatap Al.
"Lidahku suka rasa lokal. Indonesia food."
"Kak Al kalau ngomong irit banget sih dari dulu. Bikin males." Prilly mencebikkan bibirnya membuat Al yang mengerling melihat wajah lucu Prilly hanya dapat mengulum bibir menahan senyum.
"Kenapa? Nggak suka?" tanya Al dibuat sok dingin dan singkat.
"Males aja, terkesan dingin."
"Ya udah, angetin dong, biar nggak dingin lagi." Al mencoba menggoda Prilly.
"Ih, Kak Al apaan sih." Prilly memukul kecil lengan Al yang berada di atas meja. "Angetin pakai kompor ya?"
"Kita kan udah sama-sama gede, angetinnya ya ... dengan cara orang dewasa," ujar Al membuat Prilly menatapnya tajam. Bukannya takut Al justru melepaskan tawanya.
"Kak Al apa-apaan sih? Diam nggak? Malu tahu dilihatin banyak orang." Prilly menutup wajahnya dengan buku menu karena mereka sekarang menjadi pusat perhatian.
Al yang menyadari hal itu lalu, menghentikan tawanya dan bersikap stay cool.
"Udah, jangan malu. Aku juga udah pernah lihat semua bentuk tubuh kamu, mungkin sekarang udah beda aja ukurannya," ujar Al santai membuat Prilly menatapnya terkejut dan menahan malu.
"Iiiih, Kak Al! Ngeselin banget sih! Ah males sama Kak Al."
"Ya kan dulu kita pernah mandi bareng sama Ebie juga." Al kembali melanjutkan ucapannya membuat Prilly semakin malu setengah mati.
"Kak Al, udah jangan dibahas lagi. Itu kan kita masih kecil." Prilly merajuk manja membuat Al tersenyum menggelengkan kepalanya.
"Iya-iya, ya udah kamu mau makan apa?" tanya Al lembut.
"Aku mau makan sapo tahu seafood, minumnya rainbow float," ujar Prilly sambil menulis pesanannya di atas kertas. "Kamu mau apa?" tanya Prilly mendongak, memergoki Al yang sedang memerhatikannya.
"Apa aja, terserah kamu. Apa pun yang kamu pesan pasti aku makan."
"Samain aja ya?" ucap Prilly.
"Oke."
Prilly lalu menambahkan tulisan di pesanannya.
"Al!!!" Suara Ayu mengagetkan Al yang sedari tadi sibuk memerhatikan Prilly.
"A...a...ayu." Al berucap terbata.
"Kamu katanya makan siang sama klien. Ini ...?" Ayu menunjuk Prilly membuat Al bingung mencari alasan.
Prilly langsung bisa menangkap alasan yang disebutkan Ayu, lalu dia berdiri dan menyapa Ayu.
"Maaf, iya. Saya klien bisnis Mister Al. Kami sedang membahas bisnis." Prilly mengulurkan tangan berniat menyambut baik Ayu.
Ayu menatap curiga ke arah Al yang diam mengelus keningnya menjadi salah tingkah. Al mengambil air putih yang disediakan di setiap meja restoran.
"Gue Ayu, pacar Al." Ayu menerima uluran tangan Prilly. "Bener cuma klien?" timpal Ayu bertanya menatap Al tak yakin.
Debaran jantung Prilly berdetak kencang, hatinya risau takut jika kehadirannya akan merusak hubungan Al dan Ayu.
"Sayang, kamu juga makan di sini?" Arbian yang kebetulan baru saja datang bersama rekan bisnisnya menyapa Prilly.
"Eh, i...iya. Ka...kamu sama siapa?" tanya Prilly gelagapan seperti orang yang baru saja kepergok melakukan kesalahan.
"Itu sama Pak Andri." Arbian menunjuk pria paruh baya yang datang bersamanya.
"Oh, iya sudah. Sepertinya urusan aku di sini juga sudah selesai. Jadi aku balik ke kantor saja." Prilly melirik Al yang menatapnya penuh arti.
"Oke, maaf aku nggak bisa mengantarmu." Arbian mencium kening Prilly tepat di depan Ayu dan Al.
Hati Al merasa bergemuruh panas, ada rasa cemburu yang menguasai rongga dadanya saat melihat Prilly dan Arbian bermesraan di depannya.
"Maaf, saya permisi dulu." Prilly mengambil tasnya dan berlalu meninggalkan Al dan Ayu setelah Arbian menjamu tamunya.
Ayu menatap punggung Prilly yang semakin menjauh. Tatapannya menyiratkan kecurigaan dan rasa iri.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Al menahan emosi karena kedatangan Ayu merusak kebersamaannya dengan Prilly.
"Aku nemenin sepupu kamu makan. Tadi kita baru aja pulang dari mal, sekarang lagi mau makan." Ayu duduk di kursi yang tadi diduduki Prilly.
Ayu melihat tulisan tangan Prilly yang belum sempat dia berikan kepada pelayan.
"Kamu belum jadi makan? Kenapa dia sudah pergi?" tanya Ayu mengintimidasi Al.
Al menghela napas dalam untuk menghadapi rasa curiga Ayu. Al berusaha stay cool agar Ayu tak semakin berpikir negatif tentangnya.
"Tadinya kami ingin membicarakan soal bisnis sambil makan siang," kata Al santai.
"Terus sekarang kamu mau pesan apa?" Ayu siap menulis pesanannya. Belum juga Al menjawab Vitta lebih dulu datang.
"Ayu, gue pikir lo tadi duduk di meja sana, nggak tahunya malah asyik pacaran!" sela Vitta yang baru saja datang menghampiri mereka setelah dari toilet.
"Iya, tadi gue lihat Al, jadi gue samperin." Dengan wajah bad mood Vitta duduk di kursi sebelah Al.
Al yang merasa malas karena mood-nya seketika hancur lalu berdiri berniat untuk pergi.
"Aku balik ke kantor. Aku masih banyak kerjaan," pamit Al dingin tak memandang Ayu ataupun Vitta.
Al berlalu begitu saja meninggalkan mereka.
Nggak semudah itu kamu lepas dari aku, Al. Batin Ayu menatap licik kepergian Al.
***
"Berhati-hati dalam memilih apa yang diinginkan. Setelah itu, berupaya dengan niat dan kesungguhan untuk mendapatkannya." Delmora berkata tegas saat mengetahui kedekatan Al dan Prilly di belakang pasangan mereka masing-masing.
"Tapi, Mi...." Al berniat membantah, namun dia urungkan saat Delmora menatapnya tajam.
"Kamu lelaki dan seorang lelaki itu yang dipegang adalah janji dan ucapannya. Sekarang Mami mau tanya sama kamu, siapa yang kamu pilih? Prilly atau Ayu?" Delmora hanya ingin menegaskan pilihan hati Al, agar anak lelakinya itu tak terombang-ambing dalam menentukan tambatan hati. "Memang Mami dan Tante Mona adalah sahabat baik, tak memungkiri jika ada harapan untuk kami mengikat persahabatan itu untuk menjadi satu keluarga yang utuh. Tapi, jika itu terjadi berarti kamu harus mengorbankan perasaan orang lain. Ingat Al, dalam suatu pilihan memang harus ada yang dikorbankan."
Al menunduk berpikir dan mencerna setiap kata yang keluar dari bibir maminya. Saat ini mereka sedang berada di kamar Delmora. Ebie yang duduk di sebelah Al hanya dapat menunduk dan memainkan ujung bajunya. Walau Ebie tak tahu apa-apa, namun bagi Delmora segala sesuatu yang terjadi di keluarga mereka, semua berhak tahu agar dapat memilih jalan keluar yang terbaik atas permasalahan yang sedang mereka hadapi.
"Ebie, ini pelajaran untuk kamu. Jangan mudah percaya dengan kata manis lelaki dan janji lidah tak bertulang. Pintar-pintarlah bergaul dan memilih pria yang bertanggung jawab dan mampu membahagiakanmu. Kebahagiaan bukan terukur dari berapa harta dan uang yang kita punya. Dasar bahagia itu dari rumah kita sendiri yaitu keluarga." Delmora menatap tajam kedua buah hatinya yang duduk menunduk tak berani membalas tatapannya.
"Iya, Mi." Hanya kata itu yang dapat terucap dari bibir Ebie.
Beginilah Delmora, seorang single mother yang tak ingin gagal memberi pendidikan buah hatinya. Tegas berbeda dengan galak, apa yang dilakukan Delmora saat ini adalah tegas. Ada kalanya dia menjadi seorang teman bagi putra-putrinya, ada kalanya dia menjadi seorang guru dan seorang kepala rumah tangga untuk buah hatinya.
"Ya sudah, kalian pergilah istirahat. Mami juga mau istirahat." Delmora mengelus keningnya yang terasa pening.
Mendidik dua anak yang beranjak dewasa tak semudah orang di luar sana bayangkan. Mengarahkan mereka di jalan yang baik tak semulus pandangan orang. Delmora berbaring di ranjang yang setia menemaninya setiap malam kala dia melepas lelah dan letih karena seharian beraktivitas. Sedangkan Ebie dan Al masih duduk di sofa menatap wajah lelah maminya. Rasa bersalah dan berdosa menjalar di hati keduanya. Ebie dan Al saling memandang dengan tatapan penuh arti. Al tersenyum dan mengangguk memahami ajakan Ebie yang berbicara lewat tatapan mereka.
Al dan Ebie berjalan menghampiri ranjang Delmora. Ebie merangkak naik ke atas ranjang dari sisi kiri, sedangkan Al dari sisi kanan. Keduanya bersamaan memeluk Delmora yang ternyata menitikan air mata di dalam tidurnya.
"Maafin kami ya, Mi," ucap tulus Al dan Ebie membuat hati Delmora bergetar.
Tubuh Delmora terguncang karena menahan air mata haru, begitupun Al dan Ebie yang meneteskan air mata bersalahnya karena sudah membuat maminya mengeluarkan air mata. Dinginnya malam terbalut kehangatan dekapan kasih dari kedua buah hati tercinta.
***
"Ayu, maaf kita nggak bisa melanjutkan hubungan ini, karena aku sudah memilih orang lain untuk mendampingiku." Al berucap lembut agar tak menyakiti hati Ayu.
Mata Ayu memanas mendengar keputusan Al yang sepihak. Hatinya terluka dan semua impiannya untuk hidup bersama Al sirna begitu saja. Pandangannya mengabur seiring air matanya menetes di pipi.
"Kenapa? Apa salahku?" kata Ayu memecahkan tangisannya.
"Kamu nggak salah, aku yang salah karena sudah menikung di tengah jalan. Hatiku lari menuju rumah yang lain. Aku nggak mau jika memaksakan hubungan kita, itu akan lebih menyakitimu dan tentunya hatiku. Maaf." Al menggenggam tangan Ayu, berusaha menenangkan hatinya.
"Kata maaf saja nggak cukup untuk menghapus luka di hati aku, Al. Kamu jahat! Kamu...!!! Aaarrrggghhhh!" Ayu tak kuasa melanjutkan kata-katanya lalu menepis kasar tangan Al yang menggenggamnya erat.
Ayu dengan gerakan kasar mengambil tasnya yang berada di atas meja kerja Al. Karena saat ini mereka berada di kantor. Al meraup wajahnya frustrasi, dia tahu bahwa saat ini sudah melukai hati Ayu yang sudah bersamanya lebih dari dua tahun dan bahkan hampir tiga tahun mereka merajut kasih. Namun apa daya, jika hati sudah tak tertarik dan rasa cinta sudah memudar jalan terbaik adalah berpisah, daripada mereka akan hidup di dalam kedustaan hati.
"Kak Al." Ebie berjalan masuk mendekati Al.
"Kakak sudah memutuskan." Al berkata sambil memejamkan matanya dan bersandar di sandaran kursi kebesarannya.
"Apa yang Kakak putuskan?" tanya Ebie yang memang tak memahami maksud Al.
"Aku memilih Prilly dan meninggalkan Ayu." Bibir Ebie tertarik ke atas hingga membentuk seperti bulan sabit.
Rasa lega yang ada di hati Ebie mengiringi rasa syukurnya karena dia yakin bahwa kakaknya tak akan pernah mengambil keputusan yang akan merugikan dirinya sendiri maupun keluarganya.
"Aku turut bahagia jika itu memang pilihan Kakak. Orang baik, Insya Allah akan mendapat yang baik juga. Kakak pria yang baik dan bertanggung jawab dan Prilly wanita yang baik dan penurut. Ebie berharap semoga keluarga kita dapat menyambut baik kabar bahagia ini." Ebie mengelus lengan Al, memberikan kekuatan dan kepercayaan kepada kakak satu-satunya itu.
"Ya sudah, ayo kita pulang. Mami udah pulang belum?" ajak Al bersiap membereskan perlengkapan bekerjanya yang masih morat-marit di atas meja.
"Sudah, katanya tadi Mami mau beliin titipan Eyang dulu. Eyang minta dibeliin martabak manis." Ebie membantu Al membereskan kertas-kertas penting yang tadi Al pelajari.
"Udah, yuk!" Al menarik kepala Ebie dan mengampitnya di bawah ketiak.
"Aaaa, Kakak bau asem!" pekik Ebie meronta ingin lepas dari rangkulan Al.
Namun percuma saja karena kekuatan Al lebih besar daripada Ebie. Begitulah keakraban persaudaraan yang terjalin di antara mereka. Keributan kecil adalah bumbu keharmonisan mereka dan pada dasarnya mereka tetap saling menyayangi seperti yang sudah ditanamkan Delmora sejak mereka masih kecil.
***
"Aku nggak rela Mom, Al mutusin aku!" Ayu berteriak sebal dan menghempaskan tubuhnya di sofa.
"Eeee, kamu kenapa sih datang-datang ngomel-ngomel nggak jelas," tegur Yanthi yang baru asyik merumpi bersama Vini dan Vitta di ruang tamu rumah Yanthi.
"Mommy bayangkan aja, Al mutusin aku dengan alasan dia sudah punya cewek lain. Apa itu nggak makin bikin hati aku sesek!" Ayu bercerita dengan perasaan yang terluka dan amarah yang meluap.
Kabar mengejutkan itu membuat Yanthi dan Vini saling berpandangan penuh arti. Berbeda dengan Vitta yang sudah tahu rencana jahat mereka, dia hanya tersenyum lega dalam hati, ternyata Al tak sebodoh yang mereka kira.
"Kita harus melakukan sesuatu," kata Vini menyeringai ke arah Yanthi.
Pembicaraan rencana gila pun terbahas di depan Vitta. Rasa tak sepihak mengulir di hati Vitta.
Ya Allah lindungi Mamora. Batin Vitta saat Yanthi menelepon seseorang.
Vitta memainkan HP-nya dengan perasaan gusar. Jika dia memberi tahu Ebie atau Al melalui pesan singkat, itu justru akan memicu kecurigaan yang menjurus keselamatannya dan mamanya. Vitta hanya dapat pasrah dan diam mendengar semua percakapan mereka tanpa bisa melakukan apa pun.
"Sempurna!" kata Yanthi tersenyum puas dan licik.
***
Awan mendung menyelimuti ibu kota. Kabar duka menjadi hal yang sangat terpukul bagi keluarga besar Al. Vitta dan Vini yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung dapat merasakan suasana duka. Isak tangis dari beberapa orang memenuhi ruang tengah. Dalam hati Vini tersenyum puas tidak untuk Vitta. Rasa takut dan merasa bersalah menyeruak di hatinya.
"Apa yang terjadi?" Suara lantang yang baru saja datang masuk ke dalam rumah membuat Vini terkejut hingga melebarkan matanya sempurna.
Delmora bersama dengan Mona dan Prilly masuk ke dalam rumah. Ebie berlari memeluk Delmora erat sedangkan Prilly langsung mendekati Al dan memeluknya dari samping.
"Apa yang terjadi?" tanya Prilly lembut kepada pria yang sudah resmi menjadi kekasihnya setelah dia memutuskan hubungannya bersama Arbian.
"Mang Ujang mengalami kecelakaan sampai dia tewas di tempat," jelas Al membalas pelukan Prilly hingga kini tubuh mungilnya berada dalam dekapan ternyamannya.
"Mami, Ebie pikir mami ada di dalam mobil itu. Ebie takut, Mi." Ebie memeluk Delmora erat membuat Mona dan Delmora saling menatap tak mengerti.
"Mam, Bun, ada apa ini?" tanya Delmora kepada Neneng dan Itha sambil melepas pelukan Ebie.
Pandangan Delmora tertuju pada sesosok yang tertutup kain dan di kelilingi anak serta istri sopir kepercayaannya. Delmora membekap mulutnya sendiri, karena baru menyadari jika Ujang yang berada di bawah kain itu.
"Ujang mengalami kecelakaan beruntun saat dia pulang menjemputmu di kantor," jelas Itha.
"Mami ke mana aja sih, pulang dari kantor bukannya langsung ke rumah? Bikin Ebie dan yang lain khawatir. Katanya pulang cepet mau beliin Eyang martabak," omel Ebie dengan perasaan khawatir dan cemas.
"Maaf, tadi mami mampir dulu ke butiknya Tante Mona. Memang tadi Mang Ujang mami suruh pulang duluan bawain martabak titipan Eyang," jelas Delmora merasa bersalah kepada keluarga Ujang.
Delmora mendekati keluarga Ujang yang masih sesenggukan mengitari jazat Ujang yang sudah kaku tertutup kain.
"Bi Sum." Delmora menyentuh bahu asisten rumah tangganya, dia adalah istri Ujang.
"Nyonya." Bi Sum memeluk Delmora dan menumpahkan tangisan di dada majikannya.
Perasaan bersalah menyelimuti hati Delmora saat melihat dua putri Ujang yang masih duduk di bangku SMP dan SMA menangis tak henti-hentinya di depan tubuh ayahnya.
"Maafkan saya, Bi," ucap Delmora bergetar karena menahan tangis.
"Ini bukan salah, Nyonya. Ini sudah suratan takdir. Nyonya jangan merasa bersalah."
Sungguh betapa mulia hati Bi Sum yang dapat memahami dan menerima dengan lapang dada keadaan mereka saat ini.
"Kita masih harus bersyukur karena Nyonya tidak bersama Abah Ujang. Saya akan semakin terpukul jika sampai Nyonya ikut dalam kecelakaan itu," imbuh Bi Sum membuat hati Delmora bergetar merasa terharu sekaligus sedih.
Vini mengeraskan rahangnya saat mengetahui bahwa rencananya dan Yanthi gagal total. Dengan perasaan kecewa dia tak acuh berjalan terburu masuk ke dalam kamar pribadinya.
"Tante Vini nggak tahu situasi banget sih, lagi suasana duka begini setidaknya kita menemani keluarga Bi Sum, eeee malah masuk ke dalam kamar," sungut Ebie yang berdiri bersebelahan dengan Vitta.
"Maafin Mommy ya Kak, mungkin dia kecapekan," ucap Vitta menahan rasa takut.
"Ya udah sana, kamu susul mommy-mu yang aneh itu," sungut Ebie tidak suka.
Vitta hanya menghela napas dalam, dia sangat menyadari ketidaksukaan saudara sepupunya kepada dia, itu karena ulah Vini selama ini dan berimbas pada Vitta.
"Aaarrggghhhh! Gagal semua rencana gue, buat merebut harta peninggalan Mas Andre," pekik Vini membanting tasnya di atas kasur.
"Mommy! Cukup!" Vitta yang menyusul Vini masuk ke dalam kamar langsung menegur dengan linangan air mata.
"Apa?! Kamu mau bela wanita sialan itu. Hah?!"
Mata hati Vini sudah tertutup oleh penyakit dengki dan iri yang membuat dia selalu dikejar rasa terobsesi ingin memiliki dan menguasai harta Andre mendiang suami Delmora.
"Mom, buka mata hati Mommy. Harusnya kita masih bisa bersyukur karena Mamora masih selalu berusaha mempertahankan bisnis keluarga kita. Apa Mommy bisa mengelolanya jika semua aset perusahaan jatuh di tangan kita?! Dan apa maksud Mommy berencana untuk mencelakakan Mamora!?" Kini Vitta berani membantah karena dia sudah merasa sangat kecewa dengan tindakan yang sudah Vini lakukan hingga menjatuhkan korban.
"Kamu...!" Vini bersiap untuk melayangkan tamparan di pipi Vitta hingga Vitta memejamkan mata menghalangi wajahnya dengan kedua lengannya.
Vitta menunggu namun tak juga dia merasakan telapak tangan Vini mendarat di kulitnya.
"Jadi ini rencana Tante yang ingin mencelakakan Mami. Hah?!"
Tubuh Vitta menegang saat suara Ebie menggelegar menguasai ruang kamar Vini.
Tadi saat Vitta menyusul Vini masuk ke dalam kamar, Ebie merasakan sesuatu yang tak beres. Rasa penasarannya mengajak dia untuk mengikuti Vitta hingga dia mendengar pembicaraan Vitta dan Vini dari depan pintu.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Al baru saja masuk bersama Prilly langsung mendekati Ebie yang menahan tangan Vini yang sudah berniat untuk menampar Vitta.
"Turunkan, Ebie," titah Al.
"Jadi Tante yang mencoba mencelakai Mami, tapi dia salah sasaran. Dia pikir Mami ada di mobil itu," cerita Ebie kepada Al.
Wajah Vini memucat pasih, dia ketakutan saat Neneng dan Itha masuk ke dalam kamar, yang merasa terganggu dengan keributan itu.
"Kalian apa-apan sih, malah ribut di sini. Bukannya ikut prihatin. Di luar sedang ada duka," tegur Itha tegas.
"Ini Eyang, Tante ...." Belum juga Ebie menyelesaikan ucapannya, Vini berlari lalu bersimpuh di kaki Itha.
"Mama, ini bukan sepenuhnya salah Vini, aku hanya mengikuti rencana Yanthi," ujar Vini menangis di kaki Itha.
Itha memandang Vitta tajam, menuntut penjelasan. Vitta yang ditatap neneknya seperti itu, hanya dapat menunduk takut.
"Yanthi, mommy-nya Ayu?" tanya Al memperjelas pengertiannya.
"I...iya, Kak," jawab Vitta takut.
Rahang Al mengeras dan tangannya mengepal menahan amarahnya. Dalam hati dia bersyukur telah memutuskan Ayu.
"Alasan apa yang membuatmu dan Yanthi melakukan hal senekad itu, Vini?" tanya Neneng berlinang air mata, yang tak terima jika anak semata wayangnya ada yang berniat menyelakai.
"Mommy iri dengan warisan yang ditinggalkan Om Andrian untuk Mamora, Kak Al dan Kak Ebie. Karena Mommy merasa dia adalah adik kandung Om Andrian, jadi Mommy lebih pantas untuk mendapatkannya. Soal Tante Yanthi, setahu Vitta, dia marah karena bisnis Mamora lebih unggul dari perusahaannya. Ditambah, dia kalah tender dengan Mamora beberapa waktu lalu." Vitta menjawab dengan tubuh gemetar menahan takut.
Ebie yang sedari tadi menahan amarahnya ingin sekali saat itu juga mencakar dan mengacak-acak wajah tantenya.
"Vitta, kamu tahu semuanya?" tanya Al mengintimidasi.
Vitta mengangguk tak berani berucap. Vini hanya meratapi kesalahannya dan masih setia memeluk kaki Itha.
"Kamu!!!" Al menunjuk Vitta geram dengan mata yang menyalang amarah hingga berwarna merah.
Prilly menahan tangan Al agar tidak lepas kontrol. Ebie yang mendengar hal itu lalu menarik tangan Vitta keluar dari kamar, membuat suasana riuh. Semua mengejar Ebie yang menarik Vitta kasar.
"Ebie, mau kamu bawa ke mana Vitta?" tanya Al mengejar.
Ebie tak menjawab pertanyaan kakaknya, dia masih tetap menyeret tangan Vitta dengan wajah keras menahan amarah.
Semua pelayat yang sedang mengaji tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Begitupun Mona dan Delmora yang sedang menemani keluarga Bi Sum. Mona dan Delmora bingung melihat Ebie menarik kasar Vitta dan diikuti Al yang menggandeng Prilly di belakangnya.
"Beb, kenapa anak-anak kamu itu?" tanya Mona masih setia menatap mereka yang keluar dari rumah.
"Nggak tahu, Say Mon. Kamu di sini dulu, aku cari tahu." Delmora berdiri menyusul Al dan Ebie yang sudah ke luar rumah.
"Al, Ebie!!!" seru Delmora saat melihat Ebie menghempaskan tubuh Vitta kasar masuk ke dalam mobil.
Delmora mendekati mereka yang sudah siap ingin membawa Vitta ke suatu tempat.
"Mau kamu ajak ke mana Vitta? Rumah sedang berduka kalian malah mau pergi," tegur Delmora melihat Vitta sudah menangis sesenggukan.
"Mau Ebie bawa ke kantor polisi. Dia adalah saksi dari semua kejahatan Tante Vini dan Tante Yanthi," ujar Ebie kesal.
"Memangnya apa yang dilakukan mereka?" tanya Delmora bingung.
"Mereka ingin mencelakai Mami, tapi justru yang menjadi korban Mang Ujang," jelas Al membela Ebie.
Prilly mengelus lengan Al agar dapat sabar menghadapi situasi ini. Prilly selalu setia di samping Al. Setidaknya dia bisa mengingatkan Al agar tidak lepas kontrol.
"Apa benar Vitta, yang dikatakan kakak-kakakmu?" tanya Delmora lembut menahan rasa terkejutnya atas penjelasan Al tadi.
Vitta turun dari mobil dan berhamburan memeluk Delmora. Vitta menangis sesenggukan dalam pelukan Delmora.
"Maafin Vitta, Mamora. Vitta tahu semua apa yang direncanakan Mama dan Tante Yanthi. Tapi Vitta terlalu takut untuk mengatakan sejujurnya sama Mamora."
Delmora dapat memahami perasaan Vitta, berbeda dengan Al dan Ebie. Walau bukan Vitta yang melakukan kejahatan, namun di mata Al dan Ebie Vitta tetaplah saksi kunci dari kejahatan Vini dan Yanthi.
***
Tak ada yang sempurna di alam semesta ini dan kesempurnaan hanya milik Sang Penguasa Alam. Sebesar apa pun kesalahan jika kita bersungguh-sungguh bertaubat maka Tuhan akan mengampuni. Begitupula sebesar apa pun kesalahan, jika kita tulus meminta maaf maka pintu maaf akan terbuka lebar.
Seluruh keluarga berkumpul di ruang tengah, setelah proses pemakaman. Itha mengeraskan rahangnya tak kalah dengan yang lainnya, kecuali Delmora dan Mona. Mona selalu dapat menenangkan hati calon besannya. Tak sedikit pun dia jauh dari sisi Delmora walau hanya sekadar memberikan support atas masalah yang menimpa dirinya dan keluarga. Tak hanya mereka, setelah penjelasan dari mulut Vitta akhirnya Al dan Ebie pergi menjemput Yanthi dan Ayu secara paksa agar ikut bersama mereka. Kini mereka ikut bergabung dalam pembicaraan keluarga.
"Saya serahkan semua keputusan di tangan Bi Sum. Karena ini menyangkut keluarga Bi Sum." Delmora memulai pembicaraan.
Bi Sum menatap Vini dan menunduk takut berselimut rasa kecewa.
"Bi Sum, jangan takut. Kebenaran harus ditegakkan. Jangan pernah melepaskan penjahat, kalau Bi Sum tidak mau yang lain menjadi korban selanjutnya," ujar Al yang tahu ketakutan Bi Sum.
"Kalau perlu kita angkat masalah ini ke pihak yang berwajib, biar mereka mendapat balasan setimpal dan sesuai dengan hukum yang ada." Ebie menimpali pembicaraan kakaknya.
"Sudah-sudah, semua keputusan di tangan Bi Sum. Dan kamu Vitta, jika masalah ini sampai ke jalur hukum, apa kamu siap menjadi saksi kunci atas kejahatan mereka?" tanya Itha mengintimidasi Vitta dan menunjuk Yanthi, Ayu, dan Vini yang menunduk takut.
"Iya, Eyang." Vitta mengangguk tak berani menatap Vini.
"Dasar anak kurang ajar! Kamu mau lihat mommy-mu mendekam di penjara? Hah?!" pekik Vini geram mendekati Vitta yang duduk di sebelah Delmora. Tangannya sudah siap melayang ke udara.
"Tante! Cukup!" Al menahan tangan Vini agar tidak mendekati Vitta dan maminya.
Vitta menangis ketakutan di pelukan Delmora dan rasa iba merasuki hati Ebie. Untuk kali pertamanya Ebie mengelus rambut Vitta lembut, menyalurkan rasa sayang dan kekuatan untuk adik sepupunya.
"Sudah, lo jangan takut. Lo harus bisa menegakkan keadilan dan kebenaran. Semua keluarga akan ngelindungi lo. Jadi lo harus kuat, jangan cengeng. Jadi cewek harus tangguh." Ebie berbisik di sela tangisan Vitta di dada Delmora.
"Iya, Kak," ujar Vitta menghapus air matanya.
"Bagaimana, Bi Sum?" tanya Neneng kali ini ikut bicara.
"Maaf Nyonya, Aden, Nona, dan semua yang sekarang berkumpul di sini. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada keluarga ini, saya dan anak-anak memutuskan untuk menyelesaikan ini secara kekeluargaan," tukas Bi Sum membuat Al dan Ebie tak terima.
"Bi Sum, yakin? Bi Sum dia ...." Delmora menahan lengan Al yang berniat membantah.
"Den, Bi Sum sudah lama ikut keluarga ini. Dari Non Vini kecil sampai sudah punya anak Non Vitta. Pada dasarnya Non Vini itu baik, mungkin karena rasa irinya yang menyebabkan dia melakukan hal itu. Saya juga belajar banyak hal dari keluarga ini. Walaupun banyak ujian dan cobaan, namun keluarga ini tetap tegar dan bisa saling menjaga. Maaf jika keputusan kami ini kurang memuaskan untuk yang lainnya." Bi Sum memeluk kedua putrinya.
"Bi Sum, sudah yakin dengan keputusan itu?" tanya Itha sekali lagi menegaskan.
"Iya, Nyonya. Kami yakin."
"Al, telepon pengacara keluarga kita, sekaligus notaris," titah Itha.
"Baik, Eyang." Al sedikit menjauh untuk menelepon.
"Yanthi, saya bersyukur Al masih bisa memilih mana yang baik untuk pasangan hidupnya. Dari awal saya sudah kurang yakin pada Ayu," ujar Neneng sungguh sangat menyakitkan hati Yanthi dan Ayu.
Namun memang begitulah kejujuran hati, lebih menyakitkan. Yanthi dan Ayu hanya dapat pasrah dan menunggu apa yang akan dilakukan keluarga ini terhadap mereka. Rasa bersalah dan menyesal kini menggelayuti hati Vini, Yanthi, dan Ayu.
"Sudah kamu hubungi, Al?" tanya Itha setelah Al kembali bergabung di tengah-tengah mereka.
"Sudah, Eyang. Mungkin sekarang sedang di jalan." Al merengkuh pinggang Prilly untuk menghilangkan jarak di antara mereka.
Ayu melihat hal itu masih ada rasa cemburu dan tak rela, namun apa daya semua sudah terjadi dan dia harus bisa menerima kenyataan.
"Sekalian, mumpung kita semua berkumpul di sini, tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada keluarga Bi Sum yang sedang berduka, saya akan mengumumkan bahwa dua bulan lagi, Al dan Prilly akan saya nikahkan!" seru Itha tak terbantahkan membuat semua yang berada di sana tercengang apalagi Delmora yang tak tahu menahu tentang rencana itu.
"Mam, tapi...." Delmora berusaha membantah, namun dengan cepat Itha mengisyaratkan agar semua kembali tenang.
"Ini sudah keputusan Mama dan bunda kamu. Di keluarga ini, kami berdua yang lebih tua, jadi segala keputusan ada di tangan kami. Bagaimana, Mona? Apa kamu menerima lamaran dari keluarga ini? Lamaran resmi nanti akan menyusul," tanya Itha menuntun jawaban dari Mona saat itu juga.
"Saya serahkan semua keputusan di tangan putri saya saja, Tante." Mona melihat Prilly yang bersembunyi di balik lengan kekar Al, menahan malu karena menjadi pusat perhatian pasang mata orang yang berada di sana.
"Loh, malah main umpet-umpetan. Ayo, jawab," desak Ebie yang tak sabar mendengar jawaban Prilly.
"Ayo jawab, kamu mau nggak jadi istri aku? Jarang-jarang loh dilamar keluarga besar begini. Mungkin cuma 1001 di dunia ini yang model lamarannya kayak aku ini. Nggak cuma aku yang minta, tapi langsung semua keluarga aku," ujar Al menarik Prilly lembut agar tak menyembunyikan wajah ayunya di balik lengan dia.
"Oh, apa perlu Mami yang melamar?" Delmora berdiri mendekati Al dan Prilly yang sedari tadi berdiri di samping sofa.
Delmora melepas cincin kawinnya yang masih setia melingkar di jemari manis walau sudah lama suaminya meninggal. Lalu menyelipkan di jari manis Prilly.
"Ini cincin kawin Mami dan Papi dulu. Apa kamu bersedia menjadi menantu di keluarga ini, Nak Prilly? Menjadi istri dan ibu dari anak Mami ini?" Delmora merengkuh bahu Al.
Prilly menatap Mona yang duduk memerhatikannya. Mona berdiri dan menghampiri putrinya.
"Mama serahkan semua keputusan di tangan kamu. Kebahagiaan kamu menjadi kebahagiaan Mama juga." Mona meyakinkan Prilly dan merangkul bahu Prilly.
"Iya, Prilly mau," jawab Prilly malu-malu lalu menyembunyikan wajahnya di pelukan Mona.
Semua mengucap syukur dan merasa lega. Tak berapa lama pengacara dan notaris datang. Perjanjian hitam di atas putih pun terjadi antara keluarga Bi Sum dengan Yanthi, Ayu dan Vini.
Tolak ukur kasih sayang sifatnya memang general, akan tetapi wujudnya akan sangat terasa ketika aroma kasih sayang tersebut hadir dan berkembang dalam lingkungan keluarga. Sebesar apa pun ruang yang diberikan Tuhan pada kita, akan terasa sempit jika tanpa perjuangan dan doa. Semua yang kita dengar adalah pendapat, bukanlah fakta. Dan apa yang kita lihat hanyalah cara pandang kita, bukan kebenaran.
END
###########
Makasih untuk keluarga Rex yang berpartisipasi ebiiefebriana itamustafa monalisasalimmm NaaNav SorayaMagdalena YanthiAfendi @vinicuex @ayulestary
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top