My Boyfriend

Cowok cool yang jarang ngomong dan cuek, sekalinya ngomong bikin orang sakit hati, dia adalah Ali Frank Dewana. Remaja 16 tahun yang sekarang duduk di bangku kelas XII SMA Marsudirini. Setiap pagi dia datang ke sekolah menunggangi kuda besinya yang bewarna merah.

Rambut lurusnya dipotong pendek acak yang tampak seperti tidak disisir tanpa ada belahan rambut, terlihat simetris di semua sisi kepala. Menambah kesan maco padanya, didukung wajahnya yang tanpan, tetapi datar tak pernah terlihat senyum.

Saat Ali menginjakkan kaki di koridor kelas, tak sedikit siswi berbisik dan kasak-kusuk membicarakannya. Selentingan-selentingan memang terdengar di telinganya, tetapi Ali tak mengacuhkan.

Gadis mungil berambut lurus sebahu yang terkenal ramai dan heboh berjalan mundur sambil bercerita dengan teman-temannya. Setiap dia ngomong, seantero sekolah mungkin bisa mendengarnya. Suara yang cempreng dan volume keras, menjadi ciri khas dia. Prilly Staruna, itulah namanya.

Karena asyik bercerita, dia sampai tak peduli jika jalannya abnormal. Yang penting di pikirannya, dia bisa menjelaskan apa pun sambil melihat wajah temannya. Alih-alih memedulikan kode temannya, Prilly justru semakin antusias bercerita.

Bug!

"Aw!" pekik Prilly menabrak seseorang. Dengan cepat dia membalikkan badannya.

Yang ditabrak hanya memperlihatkan wajah datar tanpa ekspresi.

"Kalau jalan yang bener, pakai mata," ucap Ali ketus menatap Prilly jutek.

Mulut Prilly sedikit menganga, selalu saja Ali seperti itu jika bicara padanya. Sedikit, tetapi menjengkelkan!

"Heh, lo tuh yang salah! Jalan, ya, pakai kaki, masa pakai mata!" bantah Prilly.

"Terserah!" ucap Ali berlalu melewati Prilly dan temannya.

"Dasar cowok aneh!" pekik Prilly terdengar keras di koridor.

Ali juga mendengar, hanya saja dia tak peduli. Dia masuk ke kelasnya dan duduk di meja paling pojok belakang.

Seorang gadis mendekatinya, lalu duduk di dekat Ali. Meskipun wajahnya datar, dia memerhatikan gadis itu.

"Mau ngapain lo ke sini?" tanya Ali tanpa menurunkan bukunya.

"Jangan begitu dong, Li. Gue cuma ..."

Bug!

Ali membuang bukunya keras di meja. Lantas dia menatap gadis di depannya tajam.

"Pergi lo!" usir Ali yang merasa terganggu.

"Tap---"

"Pergi!" sentak Ali keras hingga teman-teman yang di dalam kelas memandangnya aneh.

Gadis itupun beranjak pergi, saat sampai di ambang pintu, dia berucap, "Gue minta maaf."

Namun, Ali tidak menggubrisnya sama sekali.

***

Hari demi hari berganti, malam ini hujan turun sangat deras. Prilly adalah putri semata wayang Dedi. Seorang koki sekaligus pemilik restoran.

"Bagaimana ini, Yah? Kita akan pergi ke mana?" Wajah Prilly sangat sedih.

Restoran sekaligus tempat tinggal mereka disegel bank karena Dedi menunggak cicilan empat bulan.

"Ayah juga bingung, Sayang."

Prilly menjatuhkan kepalanya di meja, tiba-tiba dia berucap, "Ayah, apa restoran ini bukan milik kita lagi?"

Banyak kenangan di tempat itu, bersama bundanya yang sekarang sudah tidak ada lagi.

"Kita bisa memilikinya lagi, Sayang. Asal Ayah bisa melunasi pinjaman di bank." Dedi menyapu seluruh bagian restoran itu.

Dia pun sangat sedih akan meninggalkan tempat itu. Usaha yang dia rintis dari nol bersama mendiang istrinya, ketika sudah besar dan berpenghasilan lebih dari cukup, Tuhan menguji keluarga mereka. Yunita, ibunda Prilly, menderita sakit kanker payudara.

Kala itu, dalam keadaan mendesak, Dedi berani mengambil risiko besar. Dia menggadaikan sertifikat tanah dan bangunan ke bank, agar Yunita bisa segera dioperasi. Namun, takdir berkata lain, Yunita meninggal setelah operasi.

"Dediiiiiii," pekik seorang pria paruh baya masuk ke restoran yang sudah bersih dan kursi-kursinya ditata terbalik di meja.

"Teguh?" sambut Dedi terkejut.

Mereka saling berpelukan ala pria dewasa. Prilly berdiri, melongo melihat keakrban ayahnya dengan seseorang yang asing baginya itu.

"Apa kabar kamu, kawanku. Lama tidak terlihat," ucap Dedi merangkul orang itu dan diajaknya duduk.

"Maaf, kawan. Aku sibuk di kampung, mengurus kopi. Baru tadi pagi aku sampai di Jakarta, tadi sore aku melihat berita. Kenapa bisa sampai disegel restoranmu ini?" tanya Teguh, pria berkacamata, bertubuh tegap, tinggi, dan gagah.

"Ceritanya panjang, bisa berjilid-jilid," canda Dedi disusul tawanya.

Meski suasana hatinya sedang pilu, tetapi Dedi tidak ingin memperlihatkan kesusahannya. Dia tetap periang dan humoris.

"Terus kalian mau tinggal di mana?" tanya Teguh menatap Prilly dan Dedi bergantian.

Terdiam, Dedi bingung saat ingin menjawab. Dia mengalihkan pembicaraan.

"Guh, kenalkan ini putriku. Prilly namanya," ujar Dedi bangga menepuk bahu Prilly.

"Waaaah, sudah gadis ternyata." Tegus memegang kepala Prilly.

Senyum manis tersungging di bibir tipis Prilly, lalu menyalami Teguh dan mencium tangannya.

"Gini saja, Ded. Sementara kamu dan Prilly tinggal di rumahku."

"Jangan, Guh. Kami malah merepotkanmu nanti."

"Sementara, sampai keadaan ekonomimu stabil."

"Tap---"

"Aku tidak mau menerima penolakan, Ded. Kamu dulu banyak membantuku, sekarang giliranku membantumu."

"Bukankah kamu lebih sering ngurus perkebunan kopi di luar kota? Tidak baik kalau aku di rumahmu, Guh. Nanti jadi fitnah kalau kamu pergi, sedangkan ada istrimu juga di rumah itu."

"Tapi, kan, di rumah masih ada anak-anakku. Anakku yang besar juga seumuran sama Prilly."

Dedi menatap Prilly, yang dia khawatirkan hanya Prilly, kalau dirinya sendiri gampang, tinggal di mana pun bisa. Namun, Prilly seorang gadis yang harus punya tempat layak untuk tinggal, demi keamanannya.

"Kalau aku boleh meminta tolong, sementara biar Prilly saja. Aku akan jemput dia setelah urusanku selesai," ujar Dedi menatap Prilly sendu.

"Tapi, Ayaaaah ...." Prilly ingin membantah, karena mendapat tatapan sendu Dedi, dia tidak berani.

"Kamu tenang saja, istriku pasti senang Prilly datang. Aku akan menjaga dia seperti anakku sendiri." Teguh mengelus kepala Prilly.

Awalnya canggung karena Prilly baru mengenal Teguh. Ini adalah pertemuan mereka yang pertama. Selama ini, Teguh dan Dedi sibuk dengan urusannya masing-masing. Terakhir berhubungan, ketika di pernikahan Teguh. Selepas itu karena kesibukan, mereka hanya berkomunikasi lewat ponsel.

Persahabatan mereka terjalin sejak kecil. Terlahir di desa yang sama sampai kuliah pun bersama, hanya beda jurusan. Dedi mengambil tata boga sedangkan Teguh mengambil kehutanan.

Diguyur hujan yang lebat, Teguh mengajak Prilly dan Dedi ke rumahnya. Ini kali pertama Prilly datang ke rumah Teguh. Belum juga mereka memencet bel, seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik membukakan pintu.

Kesan pertama saat membukakan pintu, wajah wanita itu datar. Rasa sungkan dan takut menyeruak dalam hati Prilly.

"Ded, apa kabar?" sapa Renata melebarkan senyum lalu memukul lengan Dedi.

"Baik, Ren," jawab Dedi.

"Ini pasti anak kamu, ya?" Renata menatap Prilly berbinar sambil mengelus pipinya.

"Iya, mirip bundanya, ya?" Dedi merangkul Prilly agar tidak tegang.

"Banget! Ini mah fotokopiannya Yunita," ucap Renata disusul tawa kecilnya.

"Ayo, Ded, masuk. Hujan makin lebat." Teguh membuka pintunya lebar.

Ruang tamu yang luas dan sofa mewah menggambarkan kondisi keluarga Teguh sekarang. Apalagi beberapa koleksi guci Renata terpajang di sana.

"Silakan duduk. Aku buatkan teh."

Ketika Renata ingin melangkah, Prilly menyahut, "Tante, boleh aku bantu?"

"Oh, tentu boleh, Sayang. Tante justru senang."

Walau ini pertemuan pertama Renata dengan Prilly, tapi rasanya seperti sudah lama akrab. Renata langsung klop dengannya.

Saat sampai di ruang keluarga, mata Prilly terbelalak. Dia melihat foto keluarga terbingkai besar di dinding.

"Ayo, Prilly," ajak Renata saat Prilly tiba-tiba berhenti.

"Iya, Tan."

Sampai di dapur, Renata menyiapkan empat cangkir.

"Tante seneng banget pas tadi Om Teguh telepon kamu bakal tinggal di sini," ucap Renata tak lepas tersenyum.

"Iya, Tan. Maaf kalau aku nanti banyak merepotkan."

"Tidak sama sekali. Tante justru sangat senang. Jadi, Tante ada teman di rumah. Dulu waktu zaman pacaran, Tante sama bunda kamu sering double date loh. Kami sangat akrab. Nggak jauh beda kayak ayah kamu sama Om Teguh."

"Dulu kalau nge-date ke mana saja, Tan?" tanya Prilly tertarik dengan cerita masa lalu bunda dan ayahnya.

Sambil mengaduk teh, Renata melanjutkan ceritanya, "Dulu, kami kalau kencan sukanya di danau, terus nyewa bebek-bebekan yang dikayuh gitu. Pulang kuliah pasti bareng, makan bakso, jalan-jalan ke taman. Setelah kami lulus dan kerja, mungkin karena sibuk dengan urusan masing-masing, kami jarang ketemu."

"Biasanya memang begitu, Tan. Kesibukan kadang menjauhkan persahabatan."

"Yaaaa, itulah hidup, Prilly. Walau kita tinggal satu kota, seperti jarak itu jauh. Apalagi zaman dulu mau telepon mahal, nggak kayak zaman sekarang. Saat itu, Tante sedih banget, pas mendapat kabar bundamu nggak ada umur, Tante masih di Ambarawa. Kami dulu tinggal di sana cukup lama, sampai si sulung lulus SMP, baru pindah ke Jakarta lagi."

Saat Renata sedang asyik bercerita, tiba-tiba muncul pria tampan masuk ke dapur. Wajahnya khas orang bangun tidur, mata sembap. Dia belum sadar jika ada orang selain mamanya. Pria itupun hanya fokus mengambil minum lalu meneggaknya.

"Ali," panggil Renata.

"Hmmm," sahut Ali di tengah menengguk minumannya.

Prilly menundukkan kepala, dia sok sibuk menata kue kering ke piring, yang sudah Renata siapkan dari tadi.

"Ada orang, bukannya disapa, main nyelonong."

Selesai minum, Ali meletakkan gelasnya di tempat cucian piring. Dia mendongak, menatap Renata. Fokusnya beralih ke gadis mungil yang menunduk di samping Renata. Renata peka dengan tatapan penuh tanya Ali.

"Ini namanya Prilly, dia mau tinggal di sini sementara waktu. Awas kamu macam-macam," ancam Renata dengan wajah sok dibuat galak.

"Dah kenal," jawab Ali datar.

"Di mana?" tanya Renata menatap Ali dan Prilly bergantian.

"Kami satu sekolahan kok, Tan. Tapi beda kelas," jelas Prilly sambil tersenyum kepada Renata.

"Ooooh, semoga jodoh," lirih Renata. Ali mendengarnya, tetapi Prilly tidak karena dia terlalu fokus dengan kue.

Terdiam seperti patung, wajah Ali tetap datar tanpa merespons apa pun.

"Ayo, Prilly. Bawa kuenya." Renata mengangkat penampan berisi empat cangkir teh panas.

"Iya, Tante." Prilly membawa dua piring berisi bolu yang Renata buat siang tadi dan satunya berisi kue kering.

Saat Prilly lewat di depan Ali, spontan pandangannya beralih menatapnya. Pandanga mereka bertabrakan, tetapi tidak lama karena Ali langsung mengalihkan pandangnnya ke tempat lain.

Ganteng sih, tapi muka trimplek. Datar banget, gumam Prilly dalam hati sambil berjalan ke ruang tamu.

Ali menatap punggung Prilly. Cantik-cantik kok jutek, batinnya.

***

Hari berganti, ini hari pertama Prilly tinggal di rumah Teguh. Semalam, Dedi langsung pamit ketika hujan reda. Kali pertama bagi Prilly terpisah dengan ayahnya. Selama ini, dia tidak pernah jauh dari Dedi. Dia sangat mengkhawatirkannya dan selalu kepikiran.

"Pa, Ma, berangkat dulu." Ali selesai sarapan, dia beranjak dari tempat duduknya.

Saat dia sudah menggendong tas punggungnya, Renata menghadang jalan Ali dengan lengannya.

"Mulai hari ini kamu ke sekolah bareng Prilly," ujar Renata.

"Nggak usah, Tante. Aku biasa naik angkot kok," tolak Prilly tidak ingin menambah repot keluarga itu.

"Prilly, sekalian aja. Kamu satu sekolah, kan, sama Ali. Kenapa berangkat sendiri-sendiri?" bujuk Teguh.

"Tapi, Om ..."

"Lo mau berangkat sekolah nggak?" ujar Ali datar memotong ucapan Prilly.

"Mmm ..."

"Kelamaan mikirnya. Entar dipikirin lagi di jalan, ya? Ini sudah jam setengah tujuh, sana kalian berangkat," kata Renata mendorong Prilly agar ikut bersama Ali.

Dengan cuek Ali lebih dulu keluar dari rumah. Prilly ragu, dia berjalan pelan ke luar rumah. Sampai di teras, Prilly berhenti di tepi, dia menatap Ali yang sudah siap di atas motor dan memakai helmnya.

"Kelamaan gue tinggal nih," ancam Ali mengegas motornya, tetapi belum dimasukkan giginya.

"Heh, lo nggak mikir. Gue pakai rok, gimana naiknya. Motor lo juga ketinggian buat gue."

"Ck, ambil kursi itu." Ali menunjuk kursi kayu yang biasa dipakai Farhan---adik Ali---kalau ingin naik ke boncengan kakaknya.

Prilly mengambilnya lalu naik ke kursi itu. Dia lebih mudah naik ke boncengan Ali. Sebelum menarik gasnya, Ali menoleh ke belakang mengecek keamanan Prilly. Tanpa berucap, dia melepas jaketnya lalu melempar ke belakang, mengenai wajah Prilly.

"Tutup bagian bawah lo pakai itu," ucap Ali flat tanpa menoleh ke belakang.

Prilly menutup pahanya dengan jaket Ali.

"Pakai helmnya," tambah Ali.

"Di mana helmnya?" Prilly menoleh kanan dan kiri, sedari tadi dia tidak melihat helm.

"Lo nggak ambil helm di balik pintu tadi?" sentak Ali menoleh, menatap Prilly jengkel.

Dengan polosnya Prilly menggelengkan kepala. Dari ruang makan, Renata mendengar sentakan Ali, bergegas dia mengambilkan helm lalu mengantarkan kepada Prilly.

"Prilly, helmnya ketinggalan, Sayang."

Seolah seperti tidak mendengarkan sentakan Ali tadi, sambil tersenyum lebar Renata memakaikan helm itu kepada Prilly.

"Terima kasih, Tante," ucap Prilly tersipu malu karena Renata sampai repot seperti itu.

"Sama-sama, Sayang." Renata membenarkan kerah Prilly dan mengelus pipinya.

Tanpa berucap apa pun, Ali menarik gasnya. Motor sport itu melaju di jalanan yang cukup padat. Karena takut Ali ngebut, spontan Prilly memeluk perut Ali dan menyembunyikan wajahnya di punggung Ali. Darah Ali berdesir ketika Prilly memeluknya.

"Gue takut, Li. Jangan ngebut-ngebut." Kali ini suara Prilly lembut, tidak seperti biasanya yang jutek dan nyolot.

Perlahan Ali melorotkan gasnya, yang tadinya jalan 100, sekarang menjadi 60. Prilly menegakkan kepalanya, saat kedua tangan Prilly mengendur dari perut Ali, ada perasaan aneh dalam dada Ali. Perasaan yang sulit dijelaskan, seperti tidak rela.

Sampai di sekolah, semua mata memandang kedatangan Ali yang memboncengkan Prilly. Gadis bersurai panjang nan lurus yang juga baru sampai di sekolah, melihatnya sebal.

"Cepat juga mendapat ganti gue," ucapnya tersenyum miring.

Bel sekolah bunyi, waktunya istirahat. Meskipun tadi pagi mereka bareng, bukan berarti di sekolahan Ali dan Prilly menjadi akrab. Hubungan mereka tetap seperti biasa, tidak ada yang berubah.

Prilly dan teman-temannya makan di kantin. Mereka tertawa, bercanda, bercerita lucu.

Seorang gadis tiba-tiba duduk di samping Prilly, dia tanpa menatap Prilly berkata, "Jadi, lo cewek barunya Ali?"

Awalnya Prilly tidak menggubris, dia tidak merasa diajak bicara. Prilly cuek dan tetap bercanda dengan teman-temannya.

"Woi!" Gadis itu menggebrak meja keras, kantin yang tadinya riuh menjadi senyap. Semua orang menatap ke arah meja Prilly.

"Apaan sih, Re. Nggak jelas lo," ujar salah satu teman Prilly, Dita.

"Gue nggak ngomong sama lo, tapi sama kurcaci ini." Rere menunjuk wajah Prilly.

"Perasaan gue nggak pernah punya urusan sama lo deh, Re." Prilly mengerutkan dahi.

Ali datang ke kantin sendiri, melihat kantin sepi, dia pun mencari sebabnya. Ali melihat Rere sedang menatap tajam Prilly. Yang ditatap bersikap cuek, duduk santai, sedangkan Rere berdiri seperti sedang menantang Prilly.

"Sekarang lo bakalan punya urusan sama gue."

Rere menyiram es teh di kepala Prilly, mata teman-teman Prilly melebar. Semua orang di sana juga ikut terkejut, bahkan Ali yang masih di ambang pintu kantin pun tidak menduga Rere melakukan hal itu.

Merasa dirinya diremehkan Rere dan merasa tidak pernah punya masalah dengan gadis itu, Prilly memberanikan diri menghadapi Rere.

"Apa maksud lo begini? Gue selama ini nggak pernah mengusik ketenangan lo. Kenapa lo nyiram gue!" sentak Prilly, matanya melotot.

"Lo pikir gue takut sama lo." Wajah Rere sok jagoan.

"Gue nggak pernah nyalahin lo, apa masalah lo sama gue?" desak Prilly mencari tahu alasan Rere mempermalukan dia seperti itu.

Ada sesuatu yang mengganjal pandangan Ali. Baju putih Prilly yang basar mencetak kaus dalamnya. Bahkan bra Prilly yang merah semakin jelas. Ali menatap sekelilingnya, tatapan pria di sana fokus ke pemandangan itu.

Tak peduli dengan tatapan orang, Ali melebarkan langkahnya mendekati Prilly. Dia langsung mendekap Prilly dan mengajaknya pergi.

"Heh, urusan kita belum selesai!" teriak Rere.

Kini Ali yang memasang badan, melindungi Prilly.

"Urusan Prilly, urusan gue. Jadi, lo akan berurusan sama gue." Meski datar, tetapi ucapan Ali jelas.

Sambil mendekap Prilly, Ali mengajaknya pergi.

"Lepas!" Prilly memberontak, ingin melepaskan diri dari Ali.

Semua orang di sana menatap aneh Ali dan Prilly.

"Sssst, diem!" Ali tidak melepas dekapannya, justru semakin erat.

"Gue susah jalan, Li."

Mereka berhenti di koridor kelas, Ali melepas dekapannya.

"Waaaah, merah menantang, Pril." Salah seorang pria meledek ketika menyadari seragam putih Prilly basah.

"Apaan sih?" Prilly belum sadar, meneliti tubuhnya. Beberapa orang menertawakannya.

"Pril, bra lo kecetak jelas," ujar teman wanita Prilly yang duduk di pembatas teras kelas.

Baru sadar, Prilly langsung bersembunyi di belakang punggung Ali. Dia malu setengah mati!

"Kenapa lo nggak ngomong dari tadi sih?" ujar Prilly menyalahkan Ali.

Tidak menggubris Prilly, Ali ingin melangkah. Menyadari itu, Prilly langsung mengejar lalu menarik tangan Ali supaya mendekapnya seperti tadi.

"Ngapain sih lo." Ali menolak, menjauh-jauhkan tubuh Prilly darinya.

"Peluk gue kayak tadi."

"Ogah!"

"Please," mohon Prilly dengan tatapan mengiba.

Karena tidak tega, Ali pun mendekap Prilly sampai ke kelasnya. Tidak berucap apa pun, Ali keluar dari kelas Prilly. Tidak berapa lama, dia kembali dan langsung memasangkan jaket ke tubuhnya.

"Cuciin jaket gue," ucap Ali datar lalu keluar lagi dari kelas itu.

Meskipun cuek, tapi perlakuan Ali itu berhasil meluluhkan hati Prilly.

***

Hari-hari mereka jalani monoton, runitisa selalu begitu. Minggu siang ini, Prilly tumben merasa bosan di rumah itu. Biasanya dia melakukan kegiatan bersama Renata, memasak, melakukan pekerjaan rumah, dan apa pun bersama.

Karena Renata harus mendampingi Teguh menghadiri undangan pernikahan, walhasil Prilly kesepian. Meski mereka tinggal satu atap, Ali dan Prilly jarang berinteraksi.

Hari ini, hanya dia dan Ali yang ada di rumah karena Farhan ikut bersama orang tuanya.

"Membosankan!" gumam Prilly yang sedang menonton TV sendiri di ruang keluarga.

Ali jarang keluar dari kamarnya, kalaupun dia keluar dari kamar, daerah kekuasaannya di lantai dua.

"Woi, ngapain lo?" tanya Ali menjenguk dari pembatas lantai dua.

Prilly mendongak, menyahut Ali, "Gue lagi bosen. Nonton TV mulu."

"Sini lo!" pinta Ali.

"Ogah ah!"

"Sini nggak? Atau sendal ini melayang ke kepala lo." Ali mengancam ingin melepas sendalnya.

"Apaan sih!" Meski sebal, tetapi Prilly tetap beranjak.

Sampai di lantai dua, Prilly mendekati Ali. Yang didekati justru berjalan masuk ke kamarnya. Prilly masih mematung di tempat.

"Heh, masuk sini," pinta Ali.

Mata Prilly melotot, pikirannya negatif.

"Mau ngapain lo! Awas berani macam-macam sama gue."

"Ck, pikiran lo ngeres banget. Gue nggak bodoh!"

"Terus ngapain ngajak gue masuk kamar? Kita cuma berdua di rumah."

"Terus apa masalahnya?"

"Ya masalah dong. Kita berlawanan jenis, di kamar, kalau setan menghasut gimana?"

"Gue nggak nafsu sama lo. Kecil begitu mana yang menarik," gumam Ali terdengar Prilly.

"Eeeeh, enak aja lo kalau ngomong. Mulut dijaga tuh!"

"Ssssst! Cerewet banget sih! Sini bantuin gue buangin barang-barang yang nggak kepakai. Sekalian bantuin gue beresin kamar. Mumpung libur, gue mau mindahin letak barang-barang, biar nggak membosankan."

"Ngomong dong dari tadi! Gitu, kan, enak." Prilly memberanikan diri masuk kamar Ali.

Ini pertama kali Prilly masuk, kamar sudah berantakan karena sedari pagi Ali sudah menggeser beberapa benda di sana.

"Gue bantu apa?" tanya Prilly bingung mau mengerjakan yang mana dulu, saking banyaknya baran-barang Ali.

"Sini, bantu geser meja." Ali memegang meja belajarnya, Prilly pun membantu.

Mereka bekerja sama, meskipun ada perdebatan kecil, tetapi pekerjaan mereka cepat selesai

"Gue laper, Li," ucap Prilly tampak lelah setelah selesai mengepel.

"Sama," timpal Ali mengelap keringatnya lalu mengangkat ember bersisi air bekas Prilly ngepel.

"Traktir gue makanlah, Li. Gue, kan, udah bantuin lo," pinta Prilly memelas sambil menuruni tangga, berjalan di belakang Ali.

"Ya, habis kita mandi, gue traktir lo bakso."

"Kok bakso sih, nggak kenyang."

"Terus apa?"

"Nasi bebek, ya?"

"Terserah!"

"Yeaaaa, asyiiiiik." Prilly kegirangan.

Ali tersenyum tipis melihat tingkah Prilly seperti anak kecil.

Sorenya, setelah mereka rapi, Ali mengajak Prilly makan di warung serba olahan bebek dan ayam. Mereka duduk di lesehan, setelah memesan, mereka harus menunggu sampai masakan disajikan di meja.

"Jangan begitu," ujar Ali mengingatkan Prilly yang menidurkan kepalanya di meja.

"Kenapa?" tanya Prilly menegakkan tubuhnya.

"Kalau rambut lo rontok, entar masuk ke nasi."

"Enak aja! Rambut gue nggak rontok tahu!"

Hampir setengah jam mereka menunggu, akhirnya pesanan datang. Dua porsi nasi bebek, dua es jeruk, ditambah jamur krispi dan kulit krispi.

"Mantap!" ucap Prilly setelah menyuapkan nasi pertama ke mulutnya.

"Eh, jangan banyak-banyak sambalnya." Ali mencegah tangan Prilly saat dia ingin mengambil sambal lagi.

"Kenapa? Sambalnya enak tahu. Ini yang bikin bebeknya makin mantap."

Ali menggeser sambalnya, dijauhkan dari jangkauan Prilly.

"Iya mantap, tapi bikin penyakit. Udah makan itu aja."

Sambil manyun, Prilly akhirnya makan seadanya. Sesekali Ali mencuri pandang padanya, dalam hati mulai mengagumi.

"Ngapain lihat gue kayak gitu?" tanya Prilly yang tak sengaja memergoki Ali sedang memerhatikannya makan.

"Lo badan kecil, makan banyak juga, ya?" canda Ali lalu mendekatkan kulit krispi dan jamur krispi ke depan Prilly.

"Menghadapi kenyataan butuh tenaga," sahut Prilly asal sambil mengunyah makanannya.

Ali tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Dia melanjutkan makan.

Hari sudah petang, makanan habis, mereka pun pulang. Sampai di rumah, ternyata keadaan sepi.

"Kok mereka belum pulang sih?" tanya Prilly turun dari sepeda motor.

"Mereka mampir dulu ke rumah tante. Tadi Mama telepon gue."

"Oh." Prilly menunggu Ali memarkirka sepeda motor di garasi.

Setelah itu mereka masuk rumah. Baru selangkah masuk, Prilly langsung berteriak, "Aaaaaaa, Ali, Ali, lo jangan jauh-jauh dari gue."

Pemadaman listrik, suasana menjadi gelap gulita. Ali sengaja ingin ngerjain Prilly, dia menjauhi Prilly dan menempelkan badannya di tembok. Tangan Prilly meraba-raba.

"Liiiii," panggil Prilly masih meraba depannya.

Ali mengulum bibir menahan tawanya.

"Li, supah ini nggak lucu! Gue benci gelap, Li!" pekik Prilly ketakutan.

"Liiiiii! Lo di mana?" Suara Prilly semakin lama parau.

Karena ketakutan dan gemetar, Prilly demprok di lantai. Lalu dia duduk menekuk kakinya dan menelungkupkan wajah di sela-sela lutut. Prilly terisak-isak, Ali yang mendengar sayup-sayup suara tangis Prilly terkejut. Gadis itu benar takut gelap, tidak sedang mencari perhatiannya.

"Ayah, aku takut," lirih Prilly serak di sela tangisnya.

Hati Ali terenyuh, lantas dia menyalakan senter di ponselnya. Dia melihat Prilly duduk meringkuk, langsung Ali memeluk Prilly dan menenangkannya.

"Sorry, gue pikir lo bercanda," ucap Ali menyesal.

Tubuh Prilly gemetar, tangisnya terisak-isak. Badannya pun terasa dingin.

"Lo jahat banget sih sama gue, Li." Prilly memukul-mukul dada Ali.

"Sorry, sorry. Gue nggak tahu. Udah, jangan takut lagi, ada gue di sini." Ali mengelap air mata Prilly dengan kedua tangannya.

"Lo jangan tinggalin gue lagi, ya? Gue takut."

"Iya. Ayo berdiri." Ali membantu Prilly berdiri.

Setelah tegap, dengan cepat Prilly memeluk lengan Ali supaya tidak ditinggal.

"Li, kita duduk di ruang tengah aja, ya?"

"Ogah ah, gue mau ke kamar. Gelap begini enaknya tidur."

"Ah, Aliiiiii." Prilly merengek.

"Ya, ya, yaaaaa. Gue temenin."

Mereka mencari lilin, setelah menyalakannya, mereka duduk di ruang tengah. Rumah sebesar itu hanya mendapat pencahayaan satu lilin yang diletakkan di meja ruang tengah. Prilly tidak pernah mau jauh dari Ali, dia takut Ali menjahilinya.

Beberapa menit mereka saling membisu, Ali sibuk bermain Mobile Legends di ponselnya.


"Li, gue boleh tanya sesuatu?" tanya Prilly karena bosan didiamkan Ali.

Mata tetap fokus pada posel, Ali menyahut, "Apa?"

"Lo sama Rere kenapa bisa putus?"

"Nggak ada urusannya sama lo."

"Emang, kalau gue tanya salah?"

"Ck!" Suasana hati Ali langsung berantakan. Mengingat Rere, dadanya sesak dan nyeri.

"Gue tinggal nih." Ali mengancam, ingin berdiri, tetapi dengan cepat Prilly memeluknya hingga tubuh Ali terhuyung dan jatuh terbentur sandaran sofa.

"Nggak mau." Prilly memejamkan matanya, tidak sadar dirinya juga jatuh di dada Ali.

"Makanya, jangan bahas dia lagi. Lo sebut nama dia lagi di depan gue, awas! Gue tinggalin lo!"

"Iya, iya. Gue minta maaf."

Beberapa menit saling diam, hanya deru napas mereka dan suara guntur di luar yang terdengar. Sepertinya malam ini akan turun hujan lagi. Kilatan cahaya beberapa kali muncul, membuat malam semakin mencekam.

Dering ponsel Ali mengejutkan. Buru-buru dia mengangkat teleponnya.

"Halo, Ma."

"Li, kamu kalau mau tidur duluan, nggak apa-apa. Jangan nunggu kami sampai pulang. Di sini hujan lebat. Adikmu juga ketiduran."

"Mama bawa kunci serep, kan?"

"Iya, bawa. Kamu sama Prilly sudah makan, kan?"

"Sudah kok, Ma."

"Prilly lagi ngapain?"

"Mmmm ...." Ali menatap Prilly yang bersandar di dadanya sudah memejamkan mata.

"Ali ...?"

"Iya, Ma."

"Prilly di mana?"

"Sudah tidur kayaknya, Ma."

"Ya sudah, jaga baik-baik gadis Mama itu. Awas macam-macam kamu."

"Iya, Maaaaaa."

Panggilan pun terputus. Ali menghela napas panjang. Dia ingin menyingkirkan kepala Prilly dari dadanya, tetapi napas Prilly sudah teratur.

"Pril," panggil Ali menyenteri wajah polos Prilly yang sudah tertidur pulas. "Malah tidur," gumam Ali membiarkan Prilly tidur dalam posisi bersandar di dadanya.

Ali mendekapnya sambil melanjutkan permainan di ponselnya. Tak lama kemudian, mata Ali berat. Dia meniup lilinnya lalu meletakkan ponsel di meja. Ali membiarkan Prilly tidur dalam dekapannya.

***

Sisa guyuran hujan semalam menyisakan genangan di jalan. Rintik gerimis menghiasi pagi ini. Sayup-sayup Ali mendengar suara wanita sedang mengobrol. Perlahan dia membuka mata. Dia menatap sekelilingnya, baru teringat semalam dia tidur mendekap Prilly.

Ali terlonjak, dia mencari Prilly, tetapi sudah tidak di sampingnya. Malah ada selimut yang menutupi setengah badannya.

"Pagiiiiii," sapa Renata ketika ingin membuka gorden di ruang tamu, melewati ruang tengah dan melihat Ali sudah bangun.

"Pagi, Ma," jawab Ali sambil melipat selimutnya.

Setelah itu, Ali berjalan ke arah tangga. Saat ingin naik ke tangga pertama, dia lebih dulu menoleh ke ruang makan. Setiap pagi, sehabis salat Subuh, pasti Prilly sudah sibuk membantu Renata di dapur.

Kali ini Prilly masih sibuk menyiapkan sarapan di meja makan. Ali tidak tahu jika Renata memerhatikannya yang sedari tadi berdiri menoleh ke ruang makan. Renata mengikuti arah pandang Ali, bibirnya tersenyum lebar, dia menyadari jika putranya sedang memerhatikan Prilly.

"Prilly!" Sengaja Renata memanggil Prilly keras dari ruang tengah.

Ali tersentak lalu buru-buru naik ke lantai dua. Melihat Ali gelagapan, rasanya Renata ingin tertawa, tetapi dia tahan.

"Iya, Tan," sahut Prilly.

Sambil mendekat, Renata memerintah, "Kamu ganti baju dulu sana. Biar Tante yang meneruskan."

"Baik, Tante. Aku selesaiin ini dulu, ya? Sekalian mencuci bekakas yang kotor." Prilly menurut, tetapi dia ingin menyelesaikan pekerjaannya lebih dulu.

Sambil membawa mangkuk kotor ke tempat mencuci piring, Prilly sekalian mencuci semua alat masak yang kotor. Setelah itu, dia ke kamar yang ada di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Farhan, berhadapan dengan kamar Ali.

Ketika Prilly ingin membuka pintu kamarnya, Ali justru keluar dari kamar.

"Pril, lo tahu dasi gue nggak?" tanya Ali yang sudah berseragam, tetapi rambut masih basah dan acak-acakan.

"Kemarin gue gantung di lemari jadi satu sama dasi-dasi lo."

"Oh, okay. Thanks." Ali kembali menutup pintunya.

Saat teringat kejadian semalam, sebenarnya Prilly malu setengah mati.

Kurang lebih pukul 01.00 WIB, Renata dan Teguh yang menggendong Farhan tertidur, masuk ke rumah. Mereka terkejut melihat Ali dan Prilly tidur di sofa ruang tengah.

Awalnya Renata tidak ingin membangunkan Prilly, tetapi setelah dipikir-pikir, Renata mengkhawatirkan sesuatu. Dia pun membangunkan Prilly pelan agar Ali tidak ikut bangun. Setelah Prilly sadar, dia melihat Renata dan menyadari posisinya, langsung Prilly menjauh dari Ali. Posisi mereka yang membuat malu Prilly.

Renata menyuruh Prilly pindah ke kamarnya, sedangkan Ali dibiarkan tidur di sofa. Renata hanya menyelimutinya.

Hari ini Ali dan Prilly berangkat lebih awal. Setiap Senin mereka upacara bendera, rutinitas semua sekolahan. Sampai di sekolah, hampir semua orang memandang Ali dan Prilly aneh. Setelah Ali memarkirkan motornya dan Prilly turun, Dita terlihat panik sambil berlari menghampiri mereka.

"Pril, Pril, Pril, lihat mading," ucap Dita sambil mengatur napasnya.

"Ada apa sih?" tanya Prilly semakin binggung.

"Lihat aja dulu." Dita menunjuk arah mading.

Ali dan Prilly saling memandang, firasat mereka tidak enak. Segera mereka lari ke mading. Banyak orang yang mengerumuni mading.

"Misi, misi, misi." Ali menyingkirkan orang-orang.

Sampai di depan mading, betapa terkejutnya mereka. Gambar editan wajah mereka setengah telanjang dan beberapa foto mereka boncengan berhenti di satu rumah, dibumbuhi tulisan yang tidak mengenakan.

"Dasar kalian! Nggak tahu malu, ternyata selama ini kalian kumpul kebo," cibir mereka.

"Ih, jijik gue!" Salah satu orang mendorong Prilly.

"Sok alim, tapi nyatanya lonte!" tambah perempuan lain.

"Kelihatannya aja diem, ternyata jalangnya Ali." Cibiran gadis itu menyinggung perasaan Ali.

"Tutup mulut lo, ya?" Ali menunjuk orang itu tajam dan memasang badan di depan Prilly.

Perasaan Prilly kalut, campur aduk, ingin marah, tapi kepada siapa? Sudah pasti dia malu. Prilly hanya bisa menangis. Lantas dia berlari ke luar sekolahan.

"Prilly!" teriak Ali. Namun, Prilly tak menggubris, dia tetap berlari.

Dengan amarah yang meluap-luap, Ali meremas kertas itu dari mading. Matanya menyalang merah, dia mencari seseorang yang sudah menyebar fitnah tentangnya dan Prilly.

Sampai di ruang redaksi OSIS, Ali menggebrak meja. Seorang pria berdiri menghadapi Ali.

"Ada apa ini?" tanya pria itu bingung.

"Siapa ketua redaksi dan yang bertanggung jawab mempublikasi di mading?" tanya Ali dengan wajah kesal, menyapu wajah semua orang yang ada di sana satu per satu.

"Li, lo tenang dulu. Ada apa ini? Gue ketuanya." Pria tadi sama sekali belum tahu tentang mading pagi ini.

"Ga, lo harus cari tahu orang yang memasang ini di mading." Ali meletakkan kertas yang tadi dia ambil dari mading di meja.

Yoga, ketua organisasi redaksi melihat kertas itu. Diikuti beberapa temannya. Mereka sangat terkejut, itu jelas ada beberapa foto editan.

"Li, sumpah gue nggak tahu soal ini," ujar Yoga mengangkat dua jarinya, meyakinkan bahwa dia sungguh-sungguh bersumpah.

"Terus siapa yang melakukan ini? Lo sebagai ketua bagaimana sih?"

"Gue minta maaf. Kami kecolongan, Li. Ini bukan ulah kami. Gini deh, lo tenan dulu. Gue akan bantu cari biang keroknya. Gue janji secepatnya lo akan tahu orangnya."

"Awas kalau lo bohong." Ali menunjuk wajah Yoga tajam.

"Nggak, Li. Lo bisa pegang janji gue." Yoga meyakinkan.

Ali keluar dari ruangan itu. Yoga mengadakan rapat dadakan bersama timnya. Mereka membagi tugas.

"Ali!" Dita berlari mengejar Ali yang melangkah lebar ke parkiran, berniat mengambil motor dan mencari Prilly.

Dia tidak peduli panggilan Dita dan bel sekolah yang bunyi, bertanda semua siswa harus berkumpul ke lapangan untuk mengikuti upacara.

"Ali! Tunggu!" Kali ini panggilan Dita semakin keras dan setengah jengkel.

Sambil menahan sebal, Ali menoleh dan menyahut, "Apa!"

"Lo dipanggil ke ruang BP. Sebenarnya sama Prilly, tapi gue tadi nyari dia, nggak ketemu."

Buru-buru Ali mengeluarkan ponselnya, setelah teringat sesuatu, dia semakin kesal.

"Sia!" umpat Ali meraup wajahnya kasar.

"Kenapa, Li?" tanya Dita bingung.

"Gue nggak punya nomor Prilly."

"Hah! Serius lo?" Dita sangat terkejut, dia pikir Ali dan Prilly sedang pendekatan. Namun, nomor telepon, salah satu alat komunikasi jarak jauh saja tidak punya.

"Gue minta nomor dia."

Dita langsung mengeluarkan ponselnya, memberikan nomor Prilly kepada Ali. Saking bingungnya, Dita menggaruk pelipis.

"Gue kira lo sama Prilly ..."

"Apa?" Sebelum Dita menyelesaikan ucapannya, Ali sudah memotong.

"Lagi pendekatan. Terus kenapa setiap pagi lo bisa bareng Prilly? Pulang sekolah juga bareng." Dita malah sekarang curiga, dia menduga kabar yang di mading itu benar.

"Dit, lo temenan sama Prilly berapa lama sih? Temen lo kesusahan, kenapa lo nggak tahu?"

"Maksud lo, Li?"

Ali menceritakan yang sesungguhnya. Sekaligus membantah berita pagi ini. Dita merasa sangat bersalah.

"Selama ini Prilly nggak cerita soal itu sama gue, Li. Pantesan, setiap gue dan temen-temen ajak main, dia tolak. Setiap gue pengin makan ke resto dia selalu tutup. Ya ampun, ternyata ini masalahnya. Kenapa nggak cerita sih, Pril!" Dita gemas dengan Prilly yang menyembunyikan masalah darinya.

"Nomor dia nggak aktif, WA dia juga nggak bisa dihubungi. Ada nomor lain nggak?" tanya Ali mencemaskan Prilly.

"Nggak ada, dia cuma punya nomor satu itu doang."

"Ya dah, kalau gitu gue ke ruang BP dulu. Lo ke lapangan aja." Ali akan menghadapi masalah ini sendiri.

Meski pikirannya kalut, dia tetap harus meluruskan masalah ini.

Tuk tuk tuk

Ali mengetuk pintu ruang BP. Seorang wanita paruh baya berkacamata yang sedang duduk di kursinya mendongak.

"Masuk, Li," ucap Diana, selaku pembina konseling.

Ali pun masuk dan berdiri di samping meja kerja Diana.

"Duduk, Li. Kamu sendiri? Prilly mana?"

"Mmmm ... Prilly ..."

"Ya sudah, Ibu paham. Kamu saja."

Setelah Ali duduk, dengan kalem dan wajah meneduhkan, Diana mulai menanyakan masalah pagi ini. Ali menjelakan, sampai dia menelepon Renata dan Teguh agar Diana percaya. Bukannya Renata tenang, justru dia panik dan menyusul Ali ke sekolah.

"Ali!" teriak Renata melihat Ali baru saja keluar dari ruang BP. Dia berjalan cepat di koridor dan mendekati putranya.

Diana yang mengantar Ali sampai depan pintu memerhatikan Renata. Wajah Renata panik dan napasnya memburu.

"Di mana Prilly?" Renata menggenggam tangan Ali yang dingin sambil menatap kedua mata Ali yang sendu. Mata Renata berkaca-kaca.

"Bu, Maaf menyela. Silakan duduk dulu." Bukan maksud tidak sopan, tetapi dia melihat kondisi Renata yang saat ini sedang kebingungan.

"Iya, Bu. Terima kasih." Walau air mata sudah menetes, Renata berusaha melempar senyum kepada Diana.

Ali kembali masuk ke ruang BP bersama Renata. Mereka duduk di kursi, Diana membawakan air mineral untuk Renata lalu ikut duduk di kursi yang memang khusus untuk tamu atau wali murid di ruang itu.

"Li, Prilly bagaimana keadaannya?" Renata masih terus mendesak Ali.

Sambil menggeleng Ali menjawab, "Aku nggak tahu Prilly pergi ke mana Ma. Habis lihat berita itu, dia langsung pergi."

"Prilly itu tanggung jawab kita, Li. Bagaimana kalau Om Dedi tahu? Dia sudah nggak punya ibu, Om Dedi sekarang tinggal di kos, dia masih banyak urusan. Terus sekarang Prilly di mana?" tangis Renata pecah.

"Maaa ...," Ali menyandarkan kepala Renata di bahunya, "nanti kita cari bareng-bareng, ya? Udah, Mama jangan nangis lagi." Dia juga menghapus air mata Renata.

Teringat sesuatu, Renata lalu menegakkan kepalanya dan tangisannya berhenti.

"Prilly pasti ke makam bundanya," ucap Renata yakin.

"Mama tahu dari mana?"

"Waktu itu dia ngajakin Mama ke makam Tante Yunita, Li. Terus dia bilang, setiap sedih dia pasti datang ke sana."

"Kita susul dia ke sana, Ma."

"Li, kalau mau pergi, isi surat izin dulu, ya? Biar keterangan presensimu jelas," pesan Diana sebelum Ali dan Renata pergi.

"Baik, Bu."

Ali bergegas mengisi kertas izin di pos satpam. Sementara Renata berpamitan kepada Diana dan langsung mengambil mobilnya di parkiran. Sudah menjadi peraturan sekolah itu, setiap anak yang ke luar di jam sekolah, harus jelas dan ada surat izinnya. Setelah surat itu ditandatangani penjaga pos, Ali masuk ke mobil Renata.

Renata melajukan mobilnya, dia langsung ke makam Yunita. Sampai di sana, bergegas mereka mencari Prilly. Ketika sampai di makam Yunita, dia tidak melihat Prilly. Tak kekurangan akal, Renata bertanya kepada penjaga makan. Ali terus membuntuti mamanya.

"Permisi, Mang."

"Iya, Bu."

"Mau tanya, Mamang tadi lihat gadis berseragam begini, ke sini nggak?" Renata menunjuk seragam Ali.

"Oooh, iya. Ada, Bu. Tadi lumayan lama dia nangis di makam sana." Penjaga itu menunjuk makan Yunita, dapat dipastikan itu Prilly.

"Mamang lihat dia pergi ke arah mana?"

"Sambil nangis, dia jalan ke sana, Bu," tunjuk dia ke selatan.

"Terima kasih, ya, Mang."

"Sama-sama, Bu."

Renata dan Ali bergegas pergi ke arah yang sama dengan Prilly. Renata menyetir pelan, mata mereka meneliti jalanan.

Hari semakin siang, sudah dua mata pelajaran yang Ali lewatkan. Renata tidak ingin mengorbankan sekolah Ali karena masalah ini. Dia pun mengantar Ali kembali ke sekolahannya. Setelah itu, Renata pulang ke rumah, berharap Prilly sudah di rumah. Namun, ternyata tidak ada, rumah sepi dan barang-barang Prilly masih ada saat Renata mengecek kamarnya.

Setelah salat Isya, Dedi dan Prilly datang ke rumah Teguh. Mereka menyambut bahagia kedatangan Dedi yang mengantar Prilly kembali ke rumah itu. Namun, kebahagiaan keluarga Teguh tak lama, setelah Dedi menyampaikan akan mengajak Prilly tinggal bersamanya di kos-kosan.

"Ded, Prilly itu anak gadis, nggak baik tinggal di tempat seperti itu." Renata terus menggenggam tangan Prilly, memohon kepada Dedi supaya meninggalkan Prilly di rumah itu lagi.

"Iya, Ren. Aku tahu. Terima kasih sekali beberapa minggu ini sudah menjaga Prilly dengan baik. Aku ayahnya, Prilly juga tanggung jawabku. Sebaiknya aku ajak dia, apa pun yang terjadi," ucap Dedi merengkuh bahu Prilly.

Tangis Renata pecah, dia belum rela melepaskan Prilly. Teguh pasrah, dia tidak punya hak memaksa Dedi. Prilly memang masih tanggung jawab ayahnya. Tanpa berucap, Ali pergi dari ruang tamu.

"Tante, jangan nangis. Aku jadi makin sedih." Prilly menyeka air mata Renata. Dia pun tak henti-hentinya menangis.

Ini adalah keputusan terbaik setelah Prilly bercerita kepada Dedi, kejadian pagi tadi di sekolah. Prilly tidak ingin membuat repot keluarga Ali. Bibir Renata kelu, sambil menangis, Renata terus menciumi tangan Prilly.

"Ambil barang-barang kamu. Kita pulang ke kosan, sebelum hujan turun," titah Dedi mengelus kepala Prilly.

"Tante, Prilly ambil pakaian di kamar, ya?"

Sebelum berdiri, Prilly meminta izin. Namun, Renata menggeleng, dalam hati terdalam tidak mengizinkan Prilly pergi dari rumah itu.

Terpaksa Prilly melepaskan tangan Renata yang menggenggamnya erat. Lalu dia ke lantai dua, ke kamar yang selama ini dia tempati. Saat ingin membuka pintu kamar, dia menoleh ke kamar Ali.

"Li," panggil Prilly ketika melihat Ali sedang memetik gitar di tempat tidur.

Ali menghentikan petikannya, dia meletakkan gitar di tempat tidur lalu menghampiri Prilly.

"Maaf," ucap Prilly sedih menatap kedua mata Ali, tiba-tiba air matanya mengalir deras.

Menghempaskan gengsi, Ali menarik Prilly ke dalam pelukannya. Prilly semakin terisak membalas pelukan Ali.

"Kemarin lo yang selalu larang gue buat ninggalin lo, tapi kenapa sekarang lo malah yang ninggalin gue?" ujar Ali mendongakkan kepalanya menahan air mata supaya tidak jatuh.

Tangis Prilly semakin menjadi, pelukannya pun tambah erat.

"Sorry," ucap Prilly terisak-isak.

Mereka meregangkan pelukan, Ali menghapus air mata Prilly dengan kedua tangannya.

"Besok lo sekolah, ya?" pinta Ali menyingkirkan poni Prilly ke samping dan merapikan rambutnya.

Prilly menggeleng. "Gue malu."

"Kenapa malu?"

"Mereka pasti berpikir kalau gue ..."

"Sssssst." Ali membekap mulut Prilly. "Lo mau jadi orang bodoh? Jangan karena masalah begini, lo alasan mau ninggalin pelajaran, ya? Tadi lo dah absen," omel Ali menatap tajam Prilly.

"Insya Allah," jawab Prilly lesu lalu memutar tubuhnya dan membuka pintu kamar.

Ali membantu Prilly merapikan barang-barangnya. Setiap Prilly memasukkan barangnya di koper, Ali mengeluarkannya.

"Ih, Ali!" sebal Prilly kembali memasukkan barang yang Ali keluarkan.

"Ini ditinggal aja," ucap Ali merebut batal Doraemon Prilly.

"Aaaaah, jangaaaaan. Gue nggak bisa tidur nanti." Prilly ingin mengambil bantalnya, tetapi Ali mengangkat ke atas hingga Prilly tidak bisa menggapai.

"Bodoh amat!" Ali langsung membawa bantal itu masuk ke kamarnya lalu menutup pintu.

"Aliiiii!" teriak Prilly menggedor pintu.

"Apa!" sahut Ali dari dalam tak mau membukakan pintu untuk Prilly.

"Gue mau balik ke kos. Mana bantal gue."

"Balik aja. Hati-hati." Walau dalam hati tidak rela, tetapi keputusan Prilly ini yang pasti sudah banyak pertimbangan.

"Ih, Ali nyebelin!" ujar Prilly lalu meninggalkan kamar Ali.

Di dalam kamar, Ali terus menatap bantal itu. Dia tersenyum tipis.

***

Di sekolah, Ali risau karena sejak dia datang belum melihat Prilly. Meksipun bersikap santai, tetap hatinya gundah. Ali duduk di teras kelas sambil membaca buku, menunggu kedatangan Prilly.

"Nggak nyangka, ya, cewek lo jalang," ucap seorang wanita yang tiba-tiba duduk di sebelah Ali.

Telinga Ali panas, tetapi dia masih berusaha sabar dan tidak memedulikan orang itu.

"Selera lo ternyata rendah. Lepas dari gue, dapatnya kurcaci jalang berkedok sok alim," tambahnya memancing amarah Ali.

Ali menarik napas panjang, dia menutup bukunya lalu berdiri.

"Lo mau ke mana?" Gadis itu menahan pergelangan tangan Ali.

"Lepas!" Ali mengayunkan tangannya kasar agar tangan gadis itu melepaskannya.

"Oooh, pasti lo sedang menanti kedatangan jalang muda itu, kan?"

"Heh, mau lo apa sih, Re!" sentak Ali keras sampai beberapa orang menolehnya.

"Gue mau kita balikan," ucap Rere sok memelas.

"Hah! Mimpi! Lo pikir gue mau? Ngaca!" Ali melebarkan telapak tangannya di depan wajah Rere. "Lo yang selingkuh, lo yang manfaatin gue, dan lo juga cuma melorotin gue. Terus dengan seenak jidat, lo minta kita balikan? Ogah!" tolak Ali jelas, hampir semua orang di sana mendengarnya.

"Pantas lo nolak gue, karena pacaran sama kurcaci itu, lo bisa menyalurkan hasrat sesuka hati lo. Iya, kan?"

Kedua tangan Ali mengepal, dia menutup mata sambil menarik napas panjang.

Plak!

Tamparan keras melayang di pipi Rere. Ali membuka mata, Prilly sudah berdiri di depannya. Dua menit lalu Prilly sudah sampai di sana, dia mendengar semua hinaan Rere kepadanya. Namun, Ali dan Rere belum menyadari kedatangannya karena mereka sibuk berdebat.

"Gue merasa nggak pernah punya masalah sama lo, tapi lo hina gue serendah itu. Kalau memang lo punya masalah sama Ali, sportif, jangan libatkan orang lain dalam masalah kalian. Gue ingetin, ya, sama lo, Re ...," Sambil menggebu-gebu, Prilly menunjuk wajah Rere, "Ali bukan pacar gue dan gue bukan jalang!"

Mereka menjadi tontonan banyak orang. Ketika Prilly ingin pergi, Ali menahan tangannya. "Pril."

"Lepasin gue!" Prilly menampik tangan Ali kasar. Dia juga menatap kedua mata Ali penuh dendam. Air matanya menggantung di pelupuk mata, Ali melihat kesedihan mendalam dari mata Prilly.

"Pril ...." Ali berucap sangat lirih, memohon agar Prilly tidak bersikap seperti itu padanya.

"Jauhi gue," ucap Prilly lalu membalikkan badan dan melepas air matanya yang sudah dia tahan sejak tadi.

Dita melihat tangis Prilly, dia juga melihat wajah sedih Ali. Prilly melangkah pergi ke kelasnya, Dita menyusul Prilly. Melihat perpisahan Ali dan Prilly, Rere tersenyum sinis. Memang ini yang dia mau, menjauhkan Ali dan Prilly. 

***

Hari terus berganti, setiap Ali dan Prilly berpapasan, mereka menjadi seperti orang yang tidak pernah kenal.  Ali menjadi semakin pendiam dan tidak peduli di sekitarnya.

Saat Ali keluar dari toilet tak sengaja menabrak bahu Prilly yang berjalan bersama Dita, mereka ingin pergi ke kantin.

"Sorry," ucap Ali langsung pergi.

Hati mereka sebenarnya sama-sama nyeri dan mereka merasa ada sesuatu yang hilang saat ini. Prilly mematung di tempat, Dita menoleh ke belakang melihat Ali yang berjalan dan sesekali menoleh Prilly.

Kayaknya mereka saling cinta, tapi karena masalah kemarin, mereka menyiksa diri. Dita membatin lalu merangkul Prilly. "Yuk, ke kantin."

Sampai di kelas, Ali duduk di bangkunya. Dia melanjutkan membaca novel. Tak lama kemudian, Yoga datang dan langsung duduk di sampingnya.

"Li, gue udah nemuin orangnya," ucap Yoga pelan.

Segera Ali menutup novelnya lalu menatap Yoga menuntut jawaban.

"Lo ikut gue ke ruang redaksi." Yoga berdiri lantas ke luar kelas diikuti Ali.

Sampai di ruang redaksi, beberapa orang dari tim kerja Yoga, menyidang seorang gadis. Ali mengerutkan dahi, dia tidak mengenal gadis itu bahkan tidak pernah berurusan dengannya.

"Ini anaknya, Li," ucap Yoga menunjuknya.

"Siapa nama lo?" tanya Ali dengan wajahnya yang khas; datar dan tatapan tajam membuat bulu kuduk gadis itu bergidik ngeri. 

"Gita, Kak," jawabnya sambil menunduk takut dan gemetar.

"Kenapa lo melakukan itu?" tanya Ali menarik kursi lalu duduk di depan Gita.

Selain Ali, orang-orang di sana diam dan menyimak intrograsi itu. Yoga pun menyerahkan masalah ini kepada Ali.

"Ka-ka-ka-re-na saya suka Kak Ali," ujar Gita tak berani membalas tatapan Ali.

"Suka?" sahut Yoga lalu tertawa remeh. "Naksir maksud lo?" lanjutnya.

Ali bersedekap, memerhatikan gerak-gerik Gita. Dari sikapnya itu, Gita seperti tak serius menyukainya, tetapi ada suatu hal yang dia tutupi.

"Lo tahu? Gara-gara ulah yang lo bikin, sekarang mama gue sedih dan sering sakit."

"Ma-maaf, Kak." Gita ingin menangis, dia menundukan kepalanya dalam.

Semua membiarkan Gita menangis, mereka diam beberapa menit. Yoga memberinya air mineral. "Dimunum dulu."

Sambil gemetar, Gita mengambil botol air mineral itu lalu meminumnya pelan-pelan.

"Nggak usah ditutup-tutupi sekarang, tolong jujur, siapa yang nyuruh lo?" tanya Ali mengejutkan mereka yang ada di sana, termasuk Gita.

"Eng ... emmm ... mmmm." Bibir Gita sulit terbuka.

"Maksud lo apa sih, Li?" tanya Yoga tak memahami maksud Ali.

"Dari gerak-gerik dia yang sedari tadi gue amati dan dari cara dia menjawab pertanyaan, orang ini bohong. Dia menyembunyikan sesuatu dari kita. Jangan lo pikir gue bisa ditipu," kata Ali semakin membuat Gita terpojok.

Gemar membaca membuat Ali luas wawasan dan tahu banyak hal. Belakangan ini dia sering membaca buku Membaca Gerakan Lawan Bicara, dari itu Ali bisa membaca setiap laku lawan bicaranya.

"Jujur!" Ali berdiri sambil menggebrak meja.

Semua terkejut, Gita sampai terlonjak.

"Maaf, Kak. Saya takut." Tangis Gita semakin kencang.

"Okay, kalau lo nggak mau ngaku, nggak masalah. Tapi, gue akan ngumpulin bukti dan akan gue kirim ke orang tua lo. Gimana?" ancam Ali kembali duduk.

"Jangan, Kak!" Gita ketakutan, dia menatap Ali mengiba.

"Gue kasih waktu satu menit untuk lo memilih, jujur atau gue laporin lo ke kepala sekolah biar menyampaikan masalah ini ke orang tua lo."

Semua tegang menanti jawaban Gita.

Setelah hampir satu menit mereka semua diam, Gita membuka suara, "Kak Rere yang menyuruh saya, Kak."

Ali tersenyum miring. "Sudah gue duga," ucapnya pelan.

"Rere? Mantan lo, Li?" tanya Yoga sangat terkejut.

Beberapa saat Ali terdiam memikirkan sesuatu. Lantas mereka berdiskusi, meminta bantuan Gita supaya Rere mau mengakui kesalahannya. Mereka merancang rencana.

***

Keesokan harinya, pulang sekolah, Rere kencan dengan Gita di kafe dekat sekolah.

"Gimana kemarin di ruang redaksi?" tanya Rere berlagak santai padahal selama ini dia takut jika Gita membocorkan rahasianya.

"Aman, Kak."

"Mereka percaya sama ucapan lo?"

"Iya, Kak."

"Ada Ali?"

"Ada, Kak."

"Prilly?"

"Nggak ada, Kak."

"Terus apa yang akan mereka lakukan sama lo?"

"Mereka mengancam akan memberi tahu orang tua saya, Kak. Dan akan melapor kepada kepala sekolah."

"Lo percaya?" Rere tersenyum miring, meremehkan ancaman itu.

"Maaf, Kak. Kalau boleh saya tahu, kenapa Kakak melakukan itu? Bukannya Kak Rere pernah pacaran sama Kak Ali? Apa Kak Rere cemburu lihat Kak Ali dekat sama Kak Prilly?"

"Lo tahu apa sih? Baru kelas sepuluh, lo masih bocah, nggak tahu soal itu."

"Maaf, Kak. Saya sudah terlibat masalah ini sangat jauh. Sekolah saya terancam, kalau sampai saya dikeluarkan, bagaimana? Kakak mah enak, masih bisa melenggang di sekolahan, lah saya?"

"Gampanglah, tinggal pindah sekolah, beres, kan? Tenang, soal bayar sekolah gue yang tanggung. Jangan khawatir, gue tahu orang tua lo nggak mampu bayar sekolah lo," ejek Rere melirik remeh Gita.

Hati Gita bergemuruh panas mendengar hinaan Rere, andai saja Rere bukan anak majikan ayahnya, Gita tidak mau melakukan ini. Gita melakukan ini demi ayahnya, agar tidak dipecat dari pekerjaan sebagai sopir di rumah Rere. Ibunya hanya bekerja buruh menyetrika di loundry. Rere masih punya dua adik, satu kelas enam SD, yang satunya masih TK.

"Kenapa Kakak lakukan itu? Apa salah Kak Ali sama Kak Prilly?" tanya Rere terus mendesak agar Rere berbicara jujur.

"Gue nggak suka Ali dekat sama Prilly. Gue belum ikhlas Ali putusin gue."

"Pasti ada sebab Kak Ali mutusin Kak Rere, tidak mungkin, kan, tiba-tiba mutusin gitu aja?"

"Iya, gue sadar salah. Waktu itu gue terlalu meremehkan perasaan Ali, kebaikan Ali, dan menganggap dia cowok dungu yang bisa gue permainin bahkan gue manfaatin. Ternyata gue salah, dia terlalu cerdik. Selama pacaran sama Ali, gue juga pacaran sama anak geng motor. Gue pikir diamnya Ali tidak tahu apa-apa, ternyata diamnya, dia banyak tahu. Gue nyesel, Ali itu cowok baik. Sedangkan Riko, cowok brengsek yang egois dan dia sudah ngajak gue tidur. Gue sakit hati sama Ali, itu terjadi gara-gara dia mutusin gue." Dari sorot mata Rere saat bercerita, Gita melihat amarahnya.

"Loh, kok Kak Rere nyalahin Kak Ali sih? Saya jadi bingung." Gita menggaruk pelipisnya.

"Malam itu gue minum sama Riko, gue marah sama Ali. Gue merasa diremehkan sebagai cewek. Selama gue pacaran, baru kali itu gue diputusin."

"Emang biasanya Kak Rere yang mutusin?"

"Iya."

"Terus hubungannya sama Kak Prilly apa? Bukankah Kak Prilly nggak pernah punya urusan sama Kak Rere?"

"Gue cemburu sama dia. Selama gue pacaran sama Ali, nggak pernah dia memperlakukan gue seperti Ali memperlakukan Prilly. Cewek itu selalu Ali lindungi, bahkan Ali seperti memanjakannya."

"Pasti ada sesuatu yang bikin Kak Ali melakukan itu kepada Kak Prilly."

"Ah, sudahlah! Yang penting sekarang mereka sudah jauh. Jadi, gue punya kesempatan deketin Ali lagi."

Gita menggelengkan kepala, karena ambisi, segala cara dilakukan. Tidak peduli dengan imbasnya dan bahkan orang-orang yang menjadi korban.

Dari tempat lain, Ali bersama Yoga dan tim redaksi mendengar percakapan mereka. Ali terdiam, dia menyimak setiap obrolan Rere dan Gita.

"Gimana, Li? Mau lo laporin ke kepala sekolah rekaman ini?" tanya Yoga menyimpan hasil rekaman percakapan Rere dan Gita.

"Karena rasa kemanusiaan, gue kasihan kalau sampai Rere nanti dikeluarkan dari sekolah. Beberapa bulan lagi kita ujian, tapi mengingat kelakuan dia, gue gedeg, sumpah gue pengin hajar dia. Andai dia bukan cewek, sudah habis itu anak."

Yoga paham, walau Ali selama ini diam dan cuek seperti tidak peduli siapa pun, tetapi hatinya baik.

"Terus apa rencana lo dengan hasil rekaman ini?"

"Yog, lo bisa bantu gue?"

"Bantu apa?"

Ali menjelaskan maksudnya. Setelah Yoga paham, semua keluar dari ruang redaksi.

"Prilly!" teriak Dita dari teras kelas, sedangkan Prilly di tengah lapangan sedang mengikuti esktrakurikuler voli.

"Apa?" sahut Prilly mendekat.

"Temenin gue ke ruang musik yuk!"

"Lo mau ngapain sih? Tumben."

"Nih, disuruh Bu Vera naruh gitar di sana. Horor kalau gue sendirian."

"Halah! Lebay lo!" cibir Prilly, tetapi dia tetap berjalan mengantar Dita.

Sampai di ruang musik, Prilly melihat-lihat alat musik. Setelah menaruh gitar itu, Dita buru-buru ke luar dan mengunci pintu.

"Ditaaaa!" teriak Prilly menggedor-gedor pintu.

Di luar, Dita cekikikan, Yoga menghampirinya.

"Gimana?"

"Sip! Aman!" Dita mengacungkan ibu jarinya kepada Yoga.

"Ditaaaaa! Lo tega sama gue! Dit!" Prilly berusaha menurunkan gagang pintu berulang kali.

Tiba-tiba dia mendengar rekaman di pengeras suara ruang itu. Prilly berhenti meneriaki Dita, dia menyimak percakapan Rere dan Gita. Prilly naik darah setelah mendengar kejujuran Rere, dia mengepalkan kedua tangan, matanya memanas menahan marah dan ingin menangis.

"Rere," gumam Prilly sangat lirih.

Setelah rekaman itu selesai, pintu terbuka. Ketika Prilly buru-buru ingin ke luar, tubuh tegap menahannya. Prilly mendongak, debaran jantungnya berdegup kencang.

"Ali?" gumam Prilly selangkah demi selangkah mundur karena Ali melangkah maju. 

 "Kenapa? Mau marah?" tanya Ali sangat lembut.

Prilly speechless sambil terus menatap wajah Ali yang meneduhkan. Tidak terasa tubuh Prilly terbentur meja, langkahnya kepentok. Tubuh mereka tak ada celah sedikit pun, mereka beberapa saat saling menatap.

"Li, gue nggak nyaman begini." Prilly sedikit mendorong Ali, tetapi percuma, tubuh Ali tak sedikit pun goyah.

"Lo sudah tahu sekarang siapa biang keroknya. Masih mau jahuin gue?" ujar Ali menatap Prilly sendu.

"Maaf, Li. Gue nggak mau punya musuh atau masalah dengan siapa pun. Dia masih mengharapkan lo ..."

"Tapi gue mengharapkan lo," sahut Ali sebelum Prilly menyelesaikan ucapannya.

"Hah!" Prilly terkejut, dia mengerutkan dahi, menatap Ali bingung.

"Gue nggak peduli lagi sama dia, sekarang ceritanya tentang gue sama lo."

"Tapi, Li ..."

Ali membekap mulut Prilly ketika gadis itu ingin membantahnya.

"Gue minta maaf. Sekarang jawab, lo mau maafin gue atau nggak? Jangan banyak alasan dan jangan banyak bicara yang nggak penting."

Setelah Ali menurunkan tangannya dari mulut Prilly, gadis itu meneliti sorot mata Ali yang mengharap jawabannya.

"Ya, gue maafin lo."

"Kita pacaran?" celetus Ali memegang pergelangan Prilly supaya gadis itu tidak kabur.

Mata Prilly berkedip-kedip, terkejut sudah pasti! Jantungnya saja berpacu sangat kencang sekarang. Ali terus menatap kedua bola mata Prilly.

"Gue ... mmm ... gu-gu-gue ...." Prilly bingung dan tiba-tiba gagap. Sangat sulit ingin menjawab.

"Gue mau serius, nggak mau cuma pacaran yang berjalan seperti air mengalir. Gue punya tujuan, yaitu berumah tangga sama lo dan hidup bareng lo sampai Tuhan mengambil nyawa kita. Itu planing gue ke depan bersama lo. Bukan hanya ingin menikah sama lo, tapi hidup selamanya sama lo." Ali menegaskan keseriusannya.

"Lo nggak mau memikirkannya lagi?"

"Sudah setiap hari gue mikirin lo."

"Yakin lo mau hidup bareng gue?"

"Iya, yakin. Kenapa nggak?"

"Alasannya?"

"Apa cinta butuh alasan?"

"Aku mau tahu alasannya?"

"Karena lo selalu mengganggu pikiran gue dan selalu terucap dalam setiap doa-doa gue."

"Lo bakal nyesel pilih gue."

"Kenapa?"

"Karena gue bukan cewek yang seperti tipe lo."

"Gimana lo tahu tipe gue?"

"Dari mantan lo. Gue tahu mantan-mantan lo selama kita sekolah di sini. Rere dan Tania cantik, tinggi, anak orang kaya, mereka punya segalanya. Sedangkan gue, pendek, misk---"

Cup! Ali membekap mulut Prilly dengan mulutnya. Mata Prilly terbelalak, dia sangat terkejut. Ali menangkup kedua pipi Prilly dan mulai memanggut bibir tipis gadis itu.

Sangat lembut Ali mengecap bibir itu, matanya terpejam. Karena merasa nikmat dan nyaman, Prilly menutup matanya, menikmati pagutan bibir Ali. Tak sadar, tangan Prilly memeluk pinggang Ali. Dalam hati Ali tersenyum bahagia, dia sudah mendapat jawaban meski Prilly tak berucap; dari balasan pagutan Prilly dan pelukannya.

Perlahan Ali melepas ciuman mereka, hati Prilly seperti tidak rela. Ali tersenyum sangat manis, menghapus sisa saliva di bibir Prilly dengan ibu jarinya. Ali juga mengusap bibir tipis Prilly.

"Manis," ucap Ali pelan.

Blush! Pipi Prilly merah, dia menyadari apa yang baru saja dia lakukan bersama Ali. Prilly menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Kenapa ditutup?" tanya Ali membuka tangan Prilly.

"Gue ..."

"Kamu. Sama pacar masa gue sih?" sahut Ali percaya diri.

Prilly semakin terkejut mendengar pernyataan Ali itu.

"Pacar?" ucap Prilly sambil tersipu malu.

"Iyalah!"

"Jadi, gini cara lo nembak cewek? Bahaya juga lo, ya? Diem-diem ...." Prilly mengerling.

"Sumpah demi Allah, baru sama lo gue begini. Sama mantan-mantan gue, nggak pernah seujung kuku pun gue nyentuh bagian sensitif bahkan ciuman bibir kayak gini, gue nggak pernah!"

"Yakin?" tanya Prilly mengintimidasi.

"Sumpah!" Ali mengangkat jarinya membentuk V.

"Terus kenapa lo cium gue?"

"Karena lo beda."

"Masih pakai lo-gue sama pacar?" ucapan Ali dibalik Prilly.

Bibir Ali tersenyum lebar, dia menarik Prilly ke dalam pelukannya.

"Aku, kamu, aku, kamu, aku, kamu, aku, kamu." Ali belajar membiasakan diri mengubah sapaannya kepada Prilly. "Cuma aku dan kamu, nggak akan pernah ada dia," imbuhnya.

Prilly tertawa dalam pelukan Ali.

"Woiy, udah belum kalian yang di dalam? Dah sore nih!" Yoga berteriak dari luar.

Sedari tadi Yoga dan Dita menunggu di luar.

"Keluar yuk! Kasihan mereka," ajak Ali melepas pelukannya.

Prilly mengangguk, Ali menggenggam tangannya, menggandeng Prilly keluar dari ruang musik.

"Lama banget sih kalian? Mencurigakan," ucap Yoga beranjak dari duduknya.

Ali dan Prilly hanya tersenyum.

"HP gue mana?" tanya Yoga.

"Oh, masih di dalam," jawab Ali.

"Sebentar, gue ambil dulu." Yoga pun masuk dan mengambil HP-nya yang dicolokan ke pengeras suara di ruangan itu untuk menyetel rekaman tadi.

"Ehem! Kayaknya habis ini gue dapat traktiran deh," ucap Dita tersenyum lebar melirik Ali dan Prilly.

"Ih, apaan sih." Sambil senyum-senyum, Prilly memukul pelan bahu Dita.

"Gue kangen masakan resto lo, Pril. Gue kangen makan cumi asam pedas masakan Om Dedi." Dita merengek, dulu dia memang sering sekali makan menu itu di restoran Prilly.

"Iya, entar gue mintain Ayah masak itu buat lo. Tapi, tunggu sampai kedai kami siap, ya?"

"Kedai?" tanya Ali cepat menatap Prilly menuntut penjelasan.

Sambil tersenyum lebar, Prilly mengangguk-angguk. Yoga keluar dari ruang musik, langsung nimbrung di obrolan itu.

"Jadi, kemarin aku sama Ayah cari-cari tempat buat jualan. Alhamdulillah dapat, cukuplah untuk jualan sama tinggal sementara. Tapi kami ngontrak tahunan."

"Di mana itu, Pril?" tanya Yoga.

"Deket pertigaan Jalan Flamboya, arah mau ke perumahan Green House Wahid, Yog."

"Oh, iya! Itu bekas rumah makan Padang, bukan?" Kali ini Dita yang bertanya.

"Hooh. Itu tempatnya."

"Kapan mulai jualan?" Dita menyambut bahagia.

"Insya Allah secepatnya. Kami lagi ngambilin barang-barang yang bisa dipakai dari restoran. Paling beberapa meja, kursi, sama bumbu-bumbu yang masih bisa dipakai."

"Kapan pun lo minta bantuan, kami siap, Pril. Gue akan bawa pasukan," ujar Yoga yang bermurah hati menawarkan bantuan.

"Sip! Entar gue kasih tahu kalau sudah mulai bebenah, ya?"

"Ya sudah, kita mending sekarang pulang. Sudah semakin sore, kamu juga tadi nggak jadi ikut ektrakurikuler, maafin aku, itu salahku," ucap Ali menyadari kesalahannya.

"Iya, nggak apa-apa. Besok aku menghadap Pak Bandi," ujar Prilly sambil tersenyum manis.

Pak Bandi adalah guru olahraga sekaligus pembimbing ektrakurikuler voli.

Mereka pun menyebar, Ali mengantar Prilly pulang sampai ke kosan. Sekaligus Ali bertemu dan mengobrol dengan Dedi. Secara gentle, dia jujur kepada Dedi tentang hubungannya dan Prilly. Dia sungguh serius kepada Prilly. Dedi menyambut bahagia, dia sangat senang mendengar itu.

***

Setelah banyak persiapan, Minggu ini Prilly dan Dedi opening rumah makannya. Hari pertama gratis khusua sahabat Dedi dan teman-teman Prilly.

Sedari pagi Ali sudah membantu Prilly. Sampai malam ini dia membantu melayani tamu-tamu yang hadir. Mungkin akan sering Ali lakukan itu demi meringankan pekerjaan pacarnya.

"Cape?" tanya Ali ketika Prilly menunggu masakan Dedi selesai.

"Nggak. Aku seneng banget lihat mereka menyukai masakan Ayah. Semoga nanti kalau sudah buka ramenya begini."

"Aamiin." Ali mengacak rambut Prilly pelan.

"Pending dulu pacarannya, waktunya kerja," ujar Dedi sambil bercanda yang sudah sejak tadi sibuk di dapur.

Ali dan Prilly kecicikan, lantas mereka mengantar makanan yang sudah siap kepada teman yang memesan.

Renata dan Teguh datang bersama Farhan. Sampai di sana, Teguh langsung terjun ke dapur membantu Dedi. Ali dan Prilly kelihatan kompak melayani tamu-tamu yang terus berdatangan. Renata membantu membuatkan minum.

"Mantuuuu, minum sudah siap. Pesanan meja tiga," ujar Renata bahagia bisa membantu.

"Siap, Tante." Prilly mengambil minuman yang sudah siap.

Sejak mengetahui hubungan Ali dan Prilly, Renata sangat bahagia. Dia terus memanggil Prilly dengan sapaan mantu. Awalnya Prilly kurang nyaman, tetapi lama-lama terbiasa.

"Sudah dapat semua?" teriak Ali di tengah ruangan.

Ruangan di sana tidak terlalu luas, di dalam hanya tertata enam baris meja dan kursi saling berhadapan, kanan tiga baris, kiri tiga baris, tengah kosong untuk jalan. Di luar juga disediakan meja dan kursi, tempat yang tidak terlalu luas, diatur sedemikian rupa agar nyaman untuk makan.

"Sudah, sudah, sudah," sahut mereka bergantian.

"Selamat menikmati," pekik Prilly.

Karena dari pagi belum istirahat, mereka kelelahan. Ali dan Prilly duduk di kursi dekat dapur, bergabung dengan Teguh dan Dedi yang terlihat juga kelelehan. Renata datang membawakan es untuk mereka.

"Ded, kamu tadi racik-racik sendiri?" tanya Renata duduk di samping Teguh.

"Iyalah, Ren. Jam dua aku sudah ke pasar sama Prilly. Pulang dari pasar kami racik-racik, terus menyiapkan bumbu, paginya Ali datang. Bantu-bantu kami, bersih-bersih dan ngatur tempat duduk."

"Memang harus begitu, Ded! Calon mantu yang baik." Renata mengacungkan jempol kepada Ali.

Ali hanya tersenyum, sebenarnya sedikit malu jika Renata menggoda seperti itu. Namun, mau bagaimana lagi, memang begitu sifat mamanya.

Prilly pergi membersihkan dapur dan merapikannya. Ali yang melihat itu tidak bisa berdiam diri, dia menyusul.

"Aku bisa bantu apa?"

"Nggak usah, kamu pasti kecapean dari pagi belum istirahat." Prilly mengelap kompor, menyisihkan peralatan yang kotor ke tempat cucian.

Biarpun Prilly melarang, Ali tetap membantu. Dia mencuci bekakas yang kotor.

"Pekerjaan apa pun, kalau dikerjakan bersama akan cepat selesai," ujar Ali sambil mengosok wajan dengan sabun.

Mereka membersihkan dapur itu bersama, setelah Prilly selesai mengepel dan dapur bersih, mereka membuang sampah ke belakang warung.

"Pril," panggil Ali setelah memasukan kantung sampah itu di tong.

"Hm." Prilly menoleh, wajahnya terlihat kelelahan.

Ali menariknya ke dalam pelukan, nyaman dan Prilly merasa lelahnya luntur.

"Aku belajar sesuatu dari ini."

"Apa?" tanya Prilly memejamkan mata merasakan kenyamanan yang dia dapat dari dekapan Ali.

"Aku akan bekerja keras mulai sekarang, biar anak-anak kita nanti bisa merasakan hasilnya."

Hati Prilly menghangat, dia mengeratkan pelukannya.

"Aku suka kamu selalu membahas masa depan kita, tanpa mengungkit masa lalu."

"Kita menjalani ini untuk masa depan, bukan kembali ke masa lalu."

Prilly mendongak, dia melihat Ali menunduk tersenyum padanya. Ali menarik dagu Prilly, dia mencium bibirnya. Mereka saling membalas, tanpa melepas pelukan. Mereka tidak peduli menjadi tontonan bulan dan bintang. Karena malam ini semua bahagia untuk Ali dan Prilly.

############ the end ############

Alhamdulillah ya Allah. Akhirnya selesai. Berhari-hari aku ngetik ini, akhirnya kelar juga. Efek kangen Ali dan Prilly, aku nulis cerita ini.😅🤫

Bagaimana komentar kalian tentang cerita ini? Kasih aku masukan dan komentar kalian. Semoga lain waktu aku bisa rajin bikin cerpen lagi.

Terima kasih yang sudah membaca. Semoga kalian yang rindu Ali dan Prilly terobati sedikit setelah baca ini.
Sampai jumpa di ceritaku yang lain.

Banyuwangi, 9 November 2019
Pukul : 09.05 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top