KOPI

Namaku Mahesa Ali Mardika, bekerja sebagai barista di salah satu coffee shop ternama di jalan Nakulasadewa no. 47 Duku, Kota Hati Beriman Salatiga. Coffe shop Koinonia adalah salah satu warung kopi yang menjadi favorit dari kalangan remaja hingga lansia. Tak sedikit orang - orang asing dari berbagai negara mengunjungi cafe ini. Tempatnya sangat nyaman untuk nongkrong bersama teman - teman atau pun keluarga. Walau sebenarnya tempat ini sempit dan seperti rumah biasa. Tapi keunikan desain interiornya yang membuat cafe ini menjadi salah satu tempat asyik untuk nongkrong.

Koinonia menyediakan berbagai macam minuman yang berbahan dasar kopi dan berbagai macam minuman lainnya. Selain itu Koinonia juga menyediakan makanan yang sangat lezat untuk menemani waktu santai kalian bersama teman-teman, pacar atau pun keluarga.

Menu favorit di sini antara lain Cinnamon Roll yaitu kue yang ditaburi dengan bubuk kayu manis, rasanya sangat lezat. Chocolate Pie, pie cokelat yang sangat enak, karena berisi cokelat yang padat dengan tambahan es krim dan wipecream. Wild Frapucinos-Caramel Java Chip minuman kopi dengan campuran karamel dan taburan cokelat serta wipecream yang yummy dan terakhir
Turtle Sundae minuman kopi dengan campuran hazelnut, wipecream dan toping cokelat di atasnya. Aku sangat menyukai pekerjaanku, dari sini aku dapat mengenal apa itu kopi dan bagaimana cara meracik kopi hingga menjadi minuman yang nikmat dan bernilai tinggi.

Yang membuatku tertarik di saat bekerja adalah seorang gadis yang selalu datang memesan black coffee. Berbicara soal terjemahan bahasa inggris, black coffe jika dalam bahasa Indonesia artinya kopi hitam. Tapi beda ketika masuk bahasa Jawa. Aku berasal dari Jawa dan lahir di kota Hati Beriman ini. Jadi, sedikit banyak tahu silsilah bahasa Jawa. Apa lagi mengenai kopi yang sudah lama bergelut dengan keseharianku.

Oke, kita kembali membahas black coffe. Black coffee berarti Blek Kopi, atau tempat kopi yang terbuat dari logam plat atau seng. Biasanya kalao di warkop-warkop, tempat kopi ini dari bekas kaleng roti yang dialih fungsikan. Itu sih yang aku tangkap dari kamus plesetan bahasa Jawa. Ingat ya KAMUS PLESETAN BAHASA JAWA.

***


Namaku Prillysa Maharani, orang sering memanggilku Prilly. Aku pecinta kopi, sejak dia pergi aku kehilangan kenikmatan kopi. Entah berapa banyak jenis kopi di dunia ini. Hitam pekat, pahit, tapi aromanya harum. Seandainya segelas kopi hitam, yang menghanyutkan cengkrama ke segala penjuru arah dapat aku nikmati seperti dulu, mungkin hidupku kini tak terasa seperti black coffee yang selalu aku pesan. Aku merasa hidupku sepahit kopi hitam tanpa gula dan pemanis yang lainnya.

Dulu saat masih ada dia di sini nongkrong menyerutup kopi, penting tidak penting semata-mata untuk melupakan penat rutinitas dan menjalin keakraban, silaturahmi, keguyuban sebagai budaya sosial masyarakat Indonesia selalu kami jalankan. Disamping itu, hanya jika perlu tahu saja, bahwa budaya nongkrong di warung kopi adalah budaya asli Indonesia sejak jaman gula belum manis. Yang aku maksud 'gula belum manis' di sini karena jaman dulu tidak semua kalangan dapat membeli gula, hanya orang-orang kaya yang bisa menikmati kopi dengan pemanis gula.

Meski obrolan di warkop terkesan Blackrak-an, sebenarnya banyak ide-ide kreatif muncul dari sana. Pasti semua tahu kalau imajinasi itu lebih dari ilmu. Blackrak-an di sini memiliki arti lain. Karena aku orang Jawa tulen, yang di lahirkan di kota Hati Beriman Salatiga, aku akan membagi sedikit ilmu plesetan bahasa Jawa kepada kalian. Blackrak-an itu sama dengan Belakrak-an atau sering orang tahu keluyuran alias kelayaban. Orang-orang semakin kreatif dalam berbagai hal. Contoh kecil saja seperti tadi, bahasa Inggris bisa dipelesetkan menjadi bahasa Jawa yang keren dan tren di kalangan remaja saat ini.

Pernah aku dengar dari orang Finland, bahwa ide-ide kreatif orang Indonesia sering menguap di warung kopi. Artinya bahwa obrolan kreatif ini di dengar oleh orang lain lalu dicuri dan dipakai. Tapi justru dari sini menandakan bahwa imajinasi kita begitu banyaknya sampai tak muat dan tumpah-tumpah. Sekarang ide yang Blackrak-an itu menjadi bahan penulisan novelku, karena menulis adalah salah satu hobby-ku.

***

Tahukah kalian di balik kenikmatan yang ditawarkan oleh warung kopi atau nama bekennya adalah coffee shop selalu ada peran penting di belakangnya? Tentunya ada seseorang yang cukup ahli untuk meracik minuman kopi bahkan beberapa orang yang begitu hebat meramu secangkir atau bahkan puluhan cangkir berisi kopi yang memiliki taste yang sangat nikmat membuat para coffee lover menjadi coffee maniac, saat menikmati ramuan kopi yang begitu lezat dengan taste yang sangat mengejutkan.

"Ali, black coffee satu untuk meja 8." Seorang waiter berteriak memesankan pesanan gadis berparas ayu duduk sendiri menatap sebuah laptop.

Ali tersenyum saat melihat siapa orang yang memesan black coffee jenis long black.

"Gadis yang misterius," gumam Ali lalu mulai meramu kopi pesanan gadis tadi.

Long black berasal dari Australia dan Selandia Baru, perbandingan rasio air dan espressonya biasanya tergantung selera penikmatnya. Tangan Ali yang sudah lihai dan sudah hafal betul karakter penikmat kopi di coffee shop Koinonia mulai bekerja. Ali terlebih dulu menuangkan air panas 30 ml ke dalam cangkir lalu baru menuangkan espressonya.

"Biar aku sendiri yang mengantar," kata Ali keluar dari tempat peracikan minuman.

Mail yang bertugas sebagai waiter tersenyum penuh arti sambil menaik turunkan menggoda Ali. Ali hanya tersenyum manis membalas godaan Mail.

"Long black." Ali menurunkan secangkir kopi di meja gadis tadi.

Gadis tadi tak acuh kepada Ali, namun karena rasa penasaran Ali yang sudah menggunung kepada gadis tadi beberapa bulan belakangan ini, membuatnya susah untuk melangkah pergi dari hadapannya.

5 menit, 10 menit hingga 15 menit Ali tetap tak dipedulikan gadis tadi. Ali membalikan badannya berniat kembali ke tempat bekerjanya dengan perasaan kecewa.

"Hay!" Suara lembut membuat Ali mengurungkan langkahnya.

Ali kembali membalikan badan, menghadap kepada gadis yang sedari tadi Ali tunggu untuk memandangnya ada di sekitar meja itu.

"Mbak, memanggil saya?" tanya Ali polos menunjuk dirinya sendiri.

"Panggil aku Prilly karena aku tidak menikah dengan mas mu." Gadis tadi berkata jutek membuat Ali merasa semakin penasaran dibuatnya.

"Aku Ali, barista di sini."

"Oh, nama kamu Ali." Prilly berkata tak acuh.

Ali tersenyum manis, dengan setia dia menunggu Prilly kembali berbicara padanya.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Prilly.

Ali menarik kursi di depan Prilly lalu duduk dan siap mendengarkan pertanyaan Prilly.

"Bagaimana kamu meracik long black ini? Rasanya berbeda dengan warung kopi yang lainnya. Coffee shop di kota Salatiga ini hampir sudah pernah aku coba, tapi kopi di sini rasanya unik dan menagihkan."

Ali tersenyum mendengar penuturan Prilly yang saat ini sedang menyecap kopi itu perlahan.

"Cara simpel, mungkin di tempat lain memakai ukuran 160 ml air, tapi aku hanya memakai 30 ml air. Tapi itu semua bisa disesuaikan dengan selera penikmatnya masing-masing," jawab Ali jujur.

"Apa bedanya long black, Americano dan kopi tubruk? Itu semua dalam satu keluarga kopi hitam kan?" Prilly menatap Ali menuntut penjelasan.

Ali berdehem untuk mengawali jawaban dan penjelasan yang akan dia berikan kepada Prilly.

"Itu semua tergantung dari cara dan hasil pembuatannya."

"Apa perbedaannya?"

"Tunggu 10 menit aku akan kembali."

Ali meninggalkan Prilly untuk kembali ke tempat meracik minumannya. Prilly dengan setia menunggu Ali. Sepuluh menit berlalu, Ali kembali menghampiri Prilly membawa dua cangkir kopi dan meletakan di atas meja Prilly.

"Lihat perbedaan tampilan ketiga kopi ini." Ali menyusun tiga cangkir termasuk yang Prilly pesan tadi dan yang baru saja dia bawa.

Prilly memperhatikan perbedaan ketiga kopi di depannya.

"Ini long black." Ali menggeser cangkir yang Prilly pesan tadi.

"Karena cara penyajiannya menuangkan air panas terlebih dahulu sebelum espresso, maka krema yang ada di atas kopi tetap utuh berada di permukaan cangkir. Ini yang menyebabkan long black berbeda dengan jenis kopi hitam lainnya."


"Terus kalau yang Americano?" tanya Prilly mulai tertarik membahas lebih lanjut tentang coffee black kepada Ali.

"Cara menyajikan Americano ini, espresso disiapkan terlebih dahulu lalu menambahkan air panas setelahnya. Hasil Americano biasanya nyaris nggak meninggalkan krema di permukaan cangkir. Hal tersebut dikarenakan espresso yang diguyur air panas, sehingga memecah krema yang ada pada espresso. Hal inilah perbedaan paling jelas antara Americano dan long black. Krema pada permukaan cangkir adalah yang membedakan kedua jenis kopi hitam ini." Ali menyingkirkan cangkir yang berisikan coffee black berjenis Americano.


"Berbeda dengan kedua jenis kopi yang tadi, kalau kopi tubruk selain ketradisionalannya tentu cara penyajiannya juga berbeda."

"Apa bedanya?" timpal Prilly cepat.

Ali tersenyum dan semakin semangat untuk menanggapi rasa penasaran Prilly tentang kopi.

"Kopi tubruk biasanya disiapkan dengan kopi bubuk yang biasa digiling halus dengan medium sesuai selera, lalu disiram dengan air panas mendidih. Beberapa orang gemar mengaduk lalu mereka akan mendiamkannya sebentar agar ampasnya tenggelam ke dasar cangkir. Setelah itu diserupun nikmat ditemani dengan pisang goreng hangat, hmmm pasti enak." Prilly tertawa lepas melihat wajah Ali yang sedang membayangkan hal tersebut.

Ali tersenyum bahagia karena baru kali ini melihat tawa ceria Prilly. Selama ini saat Prilly mengunjungi Coffee Shop Koinonia tak pernah dia tersenyum sedikit pun.

"Kamu tahu nggak, dulu pertama kali aku di ajak Ayah datang ke sini, aku liat tempatnya, sempit, kayak rumah biasa gitu ...."

"Iya emang rumah biasa kan?" Ali menyahut cepat sebelum Prilly menyelesaikan kata-katanya.

"Bukan itu maksud aku Ali. Dengerin aku dulu sampai selesai cerita, baru kamu komentar."

"Okey, maaf. Lanjutkan."

"Mungkin karena coffee shop ini letaknya di daerah pemukiman, perumahan gitu lah! Sempet kecewa, terus mikir, 'seriusan di sini?' Garasi yang jadi parkiran motornya sempit, tapi begitu masuk ke coffee shop-nya, Hoooo ... desain interiornya unyu banget. Habis itu yang bikin aku makin jatuh cinta sama tempat ini itu, tulisan menunya yang di tulis di dinding pakai kapur warna-warni. Tempatnya cozy, ngebikin aku betah nongkrong lama di sini." Prilly bercerita tanpa henti, membuat Ali yang sabar mendengarkan tersenyum tak jelas.

"Aku boleh tanya sesuatu?" kata Ali hati-hati.

"Tanya saja, jika aku bisa menjawab aku pasti jawab."

"Kenapa kamu selalu memesan coffee black? Padahal banyak macam jenis kopi di sini." Ali mulai akan mengurai rasa penasarannya selama ini terhadap Prilly.

Sebelum menjawab Prilly sejenak menghela nafas dalam, lalu ....

"Entah mengapa aku merasa hidupku sepahit kopi hitam ini. Semenjak Ayah meninggal, aku merasa sangat kehilangan. Dulu aku dan Ayah hobby sekali keliling daerah di Indonesia hingga manca negara, hanya untuk mencicipi kopi."

"Terus daerah dan negara mana yang sesuai dengan lidah kamu dan Ayah-mu?"

"Tempat ini," jawab Prilly jujur apa adanya.

"Tapi, sayangnya semua rasa kopi itu sirnah seiring kepergian Ayah. Aku lupa dengan semua rasa kopi yang pernah menyentuh lidahku. Aku hanya dapat menikmati kopi hitam seperti ini." Prilly bercerita dengan wajah sedih membuat Ali tak tega melihatnya.

"Ikutlah bersamaku besok, aku akan mengenalkanmu dengan varian rasa kopi yang nikmat. Kita berwisata mengingatkan lidahmu akan hal nikmat yang pernah ia rasakan dulu." Ali beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Prilly sendiri yang masih mematung mencerna kata-kata Ali tadi.

Kesadaran Prilly kembali saat HP-nya berdering tanda panggilan masuk. Prilly melihat HP-nya, tertera nomer baru dan Prilly melihat lurus ke depan. Ali sedang menempelkan HP-nya di telinga dan Prilly pun melempar senyum manis kepada Ali.

"Dapat dari mana dia nomer HP aku?" desis Prilly heran sambil menyimpan nomer Ali tadi.

Prilly melihat lurus ke depan, Ali kini masih sibuk membereskan tempat bergulatnya karena hari semakin larut malam dan pelanggannya pun tinggal beberapa orang. Hanya menunggu mereka selesai nongkrong coffee shop itu nanti akan di tutup.

***

Tetesan air dari langit sisa derasnya hujan tadi menjatuhi tubuh Ali dan Prilly saat mereka berjalan bersama di sepanjang trotoar jalan kota Salatiga. Ali mendorong sepeda kayuhnya agar dapat menyamakan langkahnya bersama Prilly. Di keramaian kota Salatiga, malam minggu ini, dengan udara dingin karena daerah ini termasuk kaki gunung Merbabu tak menghalangi kedekatan Ali dan Prilly yang semakin nyaman dan dekat.

"Pril, aku antar sampai rumah kamu ya?" kata Ali saat mereka sudah menyeberang di bundaran Tamansari depan Ramayana sebagai pusat kota Salatiga.

"Memang kamu tahu rumah aku di mana, Li?" tanya Prilly menoleh kepada Ali yang berjalan di sampingnya sambil menuntun sepeda.

"Nggak, tapi ini sudah malam Pril. Nggak baik cewek jalan sendiri."

Mendengar perkataan Ali tadi, Prilly tertawa.

"Rumah aku sudah dekat kok, Li. Situ, belakang Ramayana, sebelah Bank BRI." Prilly menunjuk rumah sederhana, dengan taman kecil dan pagar besi sederhana berwarna putih.

"Oh, itu rumah kamu. Baru tahu aku. Padahal setiap hari aku lewati loh," kata Ali yang memang baru mengetahui jika itu rumah Prilly.

"Memang rumah kamu di mana, Li?"

"Dekat pasar Blauran, Kali Taman."

"Oh iya? Serius kamu? Kenapa aku baru tahu kamu ya, Li. Rumah kita dekat loh. Tinggal turun sampai deh."

Tanpa mereka kenal dan tahu sebelumnya, memang rumah mereka dekat. Rumah Prilly yang berseberangan langsung dengan belakang gedung Ramayana sedangkan rumah Ali masih berjalan turun sedikit dari belakang gedung Ramayana dan masih masuk ke dalam gang.

"Karena memang Allah baru mempertemukan kitanya sekarang, Pril. Udah sama-sama gede." Mereka pun semakin akrab dan obrolan semakin bergulir apa adanya.

Hingga Prilly sampai di depan rumahnya, Ali masih melihat Prilly hingga masuk ke dalam rumah. Begitu Prilly sudah di rasa aman masuk ke dalam rumah, baru Ali menaiki sepedanya, dan mengayuh hingga sampai di rumahnya.

***

"Apa yang kamu tahu tentang kopi, Li?" tanya Prilly saat ini mereka sedang duduk di lobby lounge Kampoeng Kopi Banaran, Jl. Raya Semarang - Solo kilo meter 35. Lokasinya persis di tepi jalan Semarang - Salatiga atau sekitar 1 kilometer dari Terminal Bawen .
Di sana mereka bisa asyik ngopi sembari melihat senja berpemandangan Rawapening.

"Kopi selain terdapat kenikmatan saat meminumnya, di dalam kopi juga terdapat beberapa filosofi kehidupan," jawab Ali menatap lurus indahnya pemandangan yang menyejukkan matanya.

"Contohnya?"

"Kopi itu terasa nikmat bila dinikmati selagi masih panas, namun jangan terburu-buru dalam meminumnya karena kamu akan terluka, dan begitu pun hidup, akan nikmat bila kita mengerjakan segala sesuatu dengan lugas namun jangan terburu nafsu karena nantinya kamu akan kecewa."

"Apa sedalam itu kah kamu mengenal kopi, Li?" tanya Prilly kagum kepada lelaki di hadapannya itu.

Ali hanya tersenyum, lalu dengan lembut dia menyingkirkan rambut Prilly yang sedikit berantakan karena terkena angin.

"Jalanilah hidupmu seperti halnya menghabiskan secangkir kopi. Nikmati pelan-pelan sampai kamu merasakan kenikmatan dari menghabiskanya, jalanilah hidupmu secara perlahan hingga kamu tau kenapa kamu harus menjalaninya." Ali mengatakan sangat lembut tepat di depan wajah Prilly, membuat hati Prilly bergetar hebat.

Prilly membuang pandangannya ke arah lain, karena tak kuasa melihat sorot mata tajam Ali, namun penuh kenyamanan dan kelembutan.

"Kamu tahu di dunia ini ada berapa varietas pohon kopi yang dikenal secara umum?" tanya Ali membuat Prilly sedikit berfikir.

"Mmmmm ... dua. Kopi Robusta atau bahasa latinnya Coffea canephora dan Kopi Arabika atau Coffea arabica." Prilly menjawab setahunya dia saja.

"Benar banget. Kopi itu terbagi ke dalam dua macam yaitu, kopi dengan kualitas baik, kopi arabika dan kopi dengan kualitas sedang yaitu kopi robusta. Begitu juga dengan hidup ini ada orang yang menjalaninya dengan baik dan ada juga orang yang menjalaninya dengan biasa-biasa saja, tinggal kita mau memilih yang mana."

"Makasih ya, Li. Mulai sekarang aku akan kembali menikmati kopi dengan berbagai racikan. Sekarang baru aku tahu, ternyata dari kopi yang pahit itu, aku dapat banyak belajar tentang arti kehidupan."

Ali tersenyum melihat Prilly yang kini terlihat lepas tanpa beban. Wajahnya kini berseri dan matanya tak lagi menyiratkan abu-abu, seperti saat Ali pertama melihatnya. Kini Ali melihat banyak warna di dalam mata Prilly yang berbinar.

"Kita jalan-jalan ke kebun kopi yuk, Li?" Prilly berdiri menarik tangan Ali.

"Kita jalan kaki aja ya? Biar lebih menyatu sama alam," kata Ali menuruti Prilly yang mengajaknya turun ke perkebunan kopi.

"Oke."

Mereka pun mulai menapaki jalan yang penuh dengan hal baru. Banyak permainan dan tempat bersantai di sana. Perkebunan kopi dengan luas tanah berhektar tak mungkin Ali dan Prilly susuri semua tempat hanya berjalan kaki saja. Mereka hanya berkeliling sekuat tenaga mereka untuk dapat lebih dalam mengenal jenis kopi.

"Dari kopi untuk secangkir cerita." Ali memberikan secangkir kopi Espresso untuk Prilly yang sedang memiliki inspirasi untuk melanjutkan menulis.

"Terimakasih, Ali." Prilly melihat kopi itu dan merasa tak rela untuk meminumnya.

"Ayo, di minum. Biar keluar semua imajinasi kamu dan aku bisa segera membeli novel kamu," titah Ali penuh perhatian.

"Aaahhh ... Ali, ini sayang kalau di minum. Ini bagus banget Ali. Pasti kamu yang bikin kan?" tebak Prilly tepat sasaran.

"Iya, kebetulan ada teman di sini dan mengijinkan aku untuk meracik kopi itu sendiri. Spesial untuk kamu," kata Ali tersenyum sangat manis ke arah Prilly.

"Tapi, ini sayang Ali untuk di minum. Boleh nggak aku bawa pulang aja? Tapi, sekalian cangkirnya. Biar bentuknya tetap begini," kata Prilly polos membuat Ali tertawa, gemas dan mencubit pipi Prilly lembut.

"Kamu ini ada-ada aja. Mana boleh di bawa pulang. Kalau kamu mau, aku setiap hari bisa buatin kamu. Tapi, kamu harus datang ke Koinonia setiap hari. Karena alat-alatnya tersedia semua di sana."

"Bener ya? Kamu harus racikin aku berbagai macam kopi."

"Iya, sekarang itu di minum dulu."

Prilly sangat hati-hati menserutup kopi tersebut.

"Ini bikinnya gimana, Li?" tanya Prilly penasaran.

"Espresso ini, kopi bubuk yang sangat halus, dikemas menjadi portafilter dan dimasukkan ke dalam mesin espresso. Air yang dipanaskan 190 sampai 197 derajat Fahrenheit ditekan di bawah 8 sampai 10 tekanan atmosfer melalui portafilter, kopi halus untuk menghasilkan 1 sampai 2 ons espresso."

"Habis itu lalu kamu baru bentuk gambar love di atasnya ini?" timpal Prilly segera setelah Ali menjelaskan. Ali hanya mengangguk dan menserutup kopinya.

"Kalau punya kamu itu apa?" tanya Prilly penasarah.

"Oh, ini latte," jawab Ali memperlihatkan bentuk kopi yang sudah tak berbentuk karena Ali tadi sudah sempat meminumnya.

"Seperti Cappuccino?" tanya Prilly bingung.

"Nah, ini ... di sini orang sering membingungkan antara latte dengan cappucino. Mungkin orang bingung karena keduanya sama-sama memiliki tambahan banyak susu dan busa. Rasanya pun hampir sama, tapi pada dasarnya mereka adalah minuman yang berbeda."

"Memangnya beda ya, Li?"

"Iya beda dong Prilly." Ali beralih duduk di sebelah Prilly.

Kini mereka sedang berada di atas bukit dan bersantai di sebuah gazebo. Mata mereka di manjakan dengan luasnya hamparan pohon kopi dan gunung Merbabu dan gunung Merapi sebagai salah view tempat itu.

"Apa yang membedakannya, Li?"

"Komposisi dan cara membuatnya."

"Maksud kamu perbandingan bahan yang di pakai?" tanya Prilly menerangkan kata Ali tadi.

"Gini Prill, kalau membuat latte itu, seorang barista yang baik akan menggabungkan busa hasil dari kukusan susu dan espresso bersama-sama. Hal itu yang akan memberikan minuman campuran dengan rasa dan tekstur yang lembut dan yang pasti yummy," jelas Ali.

"Hah?! Kukusan susu? Emang bisa ya susu yang di kukus menghasilkan busa?" tanya Prilly polos membuat Ali tertawa.

"Itu penjelasan mudahnya, Prilly imut." Ali mencubit hidung Prilly kecil membuat pipi Prilly bersemu merah.

"Ih, ya maklum dong, Li. Kan aku belum tahu. Terus gimana itu susu tadi bisa hasilin busa?" tanya Prilly mendesak meminta penjelasan tapi dengan suara manjanya.

"Jadi susu itu dihangatkan dengan uap air, semacam di kukus begitu, Prilly."

"Terus, letak perbedaan latte sama cappucino di mana, Ali?" sambung Prilly yang masih penasaran.

"Dengan kata sederhana, latte berarti kopi susu."

"Kenapa begitu?" sahut Prilly cepat karena sudah tak sabar ingin mengetahui alasannya.

"Karena latte memiliki rasio bahan dengan perbandingan ideal kopi dan susu adalah 16:2. Sedangkan cappucino, umumnya terdiri dari sepertiga espresso, sepertiga susu, dan sepertiga busa susu." Ali tersenyum memandang Prilly yang serius memperhatikannya.

"Terus apa lagi?"

"Harus diperhatikan bahwa yang ditambahkan di atas latte adalah susu bukan buih susu sehingga jumlah susu dalam latte cukup signifikan. Kalau cappucino memiliki lapisan tebal busa di atasnya sehingga rasanya lebih kuat dibandingkan dengan latte tetapi dengan atribut rasa seimbang."

"Oh, begitu."

"Ada lagi yang unik, di beberapa kafe, latte mungkin disajikan dengan busa di atasnya yang hanya digunakan untuk hiasan agar membuatnya lebih menarik. Biasanya desain yang digunakan berbentuk hati atau daun. Kalau cappuccino biasanya ditambahi taburan bubuk kayu manis di atasnya selesai di hias. Itu salah satu perbedaan kasat mata antara latte dan cappucino," jelas Ali panjang lebar.

"Ya Allah, Ali kamu pinter banget sih?" puji Prilly semakin kagum dengan Ali.

"Kamu sekolah di bidang kopi ya, Li?" timpal Prilly yang ingin lebih dalam mengenal Ali.

"Nggak. Aku lulusan hukum di UKSW."

"Hah?! Serius kamu, Li? Aku juga mahasiswa UKSW tapi masih semester 5 tahun ini." Prilly terlihat shock tak percaya.

"Kamu ambil jurusan apa?" tanya Ali tersenyum melihat wajah Prilly yang masih shock.

"Bahasa dan sastra Indonesia."

"Oh, makanya kamu suka nulis dan mengarang."

"Iya."

"Tapi, aku salut sama penulis."

"Kenapa?"

"Karena dari dia membuat sebuah cerita, berarti mereka di tuntut tahu banyak hal dan pintar memasuki hal baru yang belum tentu dia tahu. Dari itu mereka jadi tahu dan banyak pengalaman," kata Ali membuka buku yang di bawa Prilly untuk bahan menulisnya saat ini.

"Itulah penulis, Li. Jujur saja, kalau aku menulis tidak hanya memikirkan alurnya saja. Tapi juga informasi yang akan aku sampaikan di dalamnya. Makanya, sebelum memulai menulis, aku harus mendalami temanya. Berusaha memahami dan bertanya kepada nara sumber, jika perlu baca buku dan artikel yang membahas tentang tema cerita itu nanti," jelas Prilly menatap dalam wajah Ali yang tampan dan mempesona baginya.

"Kamu selain cantik tapi juga pintar, Pril." Ali memuji Prilly secara langsung. Itu membuat Prilly tersanjung dan tersipu malu.

"Apaan sih, gombal." Prilly memukul kecil lengan Ali.

"Aku jujur Prilly. Kamu benar gadis yang cantik dan pintar." Ali meyakinkan kepada Prilly bahwa perkataannya tadi benar jujur begitu adanya.

"Kamu juga hebat bisa menjadi barista yang handal meracik kopi hingga menjadi berbagai macam jenis minuman." Prilly membalas pujian untuk Ali.

Saling memuji awal dari sebuah ungkapan mengagumi. Akan kah rasa kagum ini berubah menjadi rasa cinta?

"Apa menjadi barista pekerjaan tetap kamu, Li?" tanya Prilly sambil menikmati kopinya yang sudah mulai dingin.

"Menjadi barista hanya penyalur hobby-ku saja. Aku bekerja sebagai pengacara yang bernaung di bawah pimpinan pengacara kondang di kota ini. Kamu tahu Bapak Heru Wismanto, SH?"

"Iya, dia pengacara hebat dan sudah terkenal di kota ini. Apa kamu salah satu pengacara yang bekerja dengannya?" tanya Prilly yang hanya menebak saja.

"Iya, aku memang bekerja di kantor advokat dan kantor lembaga bantuan hukum yang di pimpin oleh beliau. Aku bekerja jika ada kasus yang perlu aku tangani saja, kalau tidak ada ya beginilah. Namanya juga pengacara ...."

"Pengangguran banyak acara maksud kamu?" sahut Prilly cepat.

Ali tertawa mendengar sahutan Prilly yang sama dengan pemikirannya.

"Pulang yuk!" Ajak Ali saat mereka sudah puas menikmati panorama perbukitan tersebut.

Prilly segera memasukan lap top dan barang bawaannya ke dalam tas punggung. Mereka menuruni bukit melewati anak tangga sambil mengabadikan kebersamaan sepanjang jalan. Hingga sampai di tempat parkiran, lagi-lagi Prilly dikejutkan dengan keunikan tempat itu. Tadi saat Ali memarkirkan mobilnya, sengaja dia menurunkan Prilly di depan pintu masuk.

"Ali, wow ini bagus banget. Unik, ada payung-payung kecilnya dan di dalam balon itu ternyata lampu. Jadi kalau malam pasti lebih bagus tempat ini." Prilly mendongakkan kepalanya, masih sibuk mengagumi tempat itu.

Ali dengan sabar dan setia menunggu Prilly, yang berputar mengamati setiap bagian tempat parkir itu. Senyum tak pernah pudar dari kedua sudut bibir mereka. Rasa bahagia dan nyaman kini menghinggap di dada Ali dan Prilly.

"Sudah, mengagumi tempatnya? Ayo pulang?" Ali mengajak dengan suara sangat lembut sambil membukakan pintu mobil untuk Prilly.

Dengan berat hati akhirnya Prilly harus menyudahi kekagumannya untuk tempat itu.

"Kapan-kapan kita ke sini lagi ya, Li?" kata Prilly saat mobil Ali sudah ke luar dari area Kampoeng Banaran.

"Iya," jawab Ali dengan suara pelan dan lembut, tangan kirinya mengelus rambut Prilly sedangkan tangan kanannya sibuk memutar kemudi, melajukan mobil Jazz silver ke arah kota Salatiga.

***

Ali

Kopi pertama pagi ini. Harum, hitam. Seperti aromamu, di pertemuan kita yang tak sengaja, pada malam yang tak biasa.

Setiap pagi saat aku menikmati kopi, Ali tak pernah absen untuk mengirimkan ku sms. Sudah lebih 6 bulan aku berteman baik dengan Ali. Dari dia aku banyak mengenal tempat-tempat yang menjual berbagai olahan kopi. Dari minuman, kue, makanan tradisional hingga internasional. Ali! Jika menyebut nama itu, entah mengapa hatiku selalu bergetar dan jantungku tak hentinya berdegub kencang.

Kopi pertama pagi ini. Manis, walau pun diminum terlalu siang. Seperti cinta yg menunggu waktu yang tepat.

Aku membalas sms Ali sesuai dengan isi hatiku. Akankah Ali peka dengan kode yang selalu aku beri untuknya? Apa arti pertemanan kita selama ini? Apa dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku?
Apa kopiku tak dapat sambutan untuk dia racik, hingga menjadi seduhan yang yummy?

Ali

Kopi pertama pagi ini. Cukup manis, cukup pahit. Seperti cinta yang tidak banyak meminta.

Apa maksud balasan Ali ini?
Apa aku banyak meminta?
Aku rasa selama ini, aku tidak pernah menuntut lebih dari dia untuk hubungan kami.

Kopi pertama pagi ini. Satu rasa, setiap hari. Seperti tahu saatnya berhenti mencari.

Aku berharap balasan ini, Ali dapat mengerti mauku. Aku ingin hubungan ini lebih dari seorang teman, karena aku merasa sudah mendapatkan kopi yang pas untuk aku nikmati di sepanjang hidupku.

Ali

Kopi pertama pagi ini. Sehitam pupil mata kedua orang yang menyimpan rindu. Semanis senyum yang terngiang di kepalanya, tanpa sengaja.
Kopi pertama pagi ini. Semanis kata 'kangen' yang masih malu-malu untuk diucapkan.

Ali membalas sms-ku, memang sudah satu minggu ini dia berada di Jakarta. Ada sebuah kasus perusahaan besar yang memerlukan jasanya. Hatiku berbunga-bunga saat ini. Entah mengapa senyuman tak pudar dari bibirku. Kalian tahu, hatiku saat ini sepeti tanah gersang yang baru saja mendapat guyuran air, menyejukkan hatiku. Oh ... Tuhan, apa ini yang namanya jatuh cinta?

Ali

Ra maido sopo wong sing ora kangen
Adoh bojo pingin turu angel merem
Ra maido sopo wing sing ora trenyuh
Ra kepethuk sawetoro pingin weruh
Percoyo aku, kuatno atimu
Cah ayu entenono tekaku

Aku semakin tersenyum tak jelas saat sms susulan masuk dari Ali. Dia mengirimkan sepotong lirik lagu jawa dari Didi Kempot yang berjudul layang kangen.

Ali

Umpomo tanganku dadi suwiwi
Iki ugo aku mesti enggal bali
Ning kepriye maneh mergo kahananku
Cah ayu entenono tekaku

Ali kembali mengirimkan potongan lirik yang membuatku semakin dibuatnya gila karena harus menahan rindu ini.

Layangmu wes tak tompo Mas Ali.
Wis tak woco opo karepe atimu
Trenyuh ati iki moco tulisanmu
Aku bakal ngenteni tekanmu Mas Ali. Nganti awakmu ngadek neng ngarepku.

Aku membalas sms Ali juga memakai bahasa Jawa. Sungguh hidup ini nikmat, senikmat racikan kopi dari tangan orang tercinta.

***

Sudah dua minggu Ali tak kunjung pulang. Hariku kembali terasa sepi tanpa ada Ali yang menemani. Dua hari yang lalu aku sudah dinyatakan lulus dari kampus tercintaku yaitu Universitas Kristen Satya Wacana UKSW. Bahagia setelah mengadakan wisuda dan resmi mendapat gelar di belakang namaku sekarang.

Dari sinilah aku mulai berjalan, membiarkan langkah kakiku mengelilingi kota kecil Salatiga Hati Beriman. Aku mulai berjalan sendiri dari titik Bundaran Tamansari melewati Tamansari Shopping Center, sentra belanja di kota Salatiga . Toko-toko, warung-warung, dan pedagang kaki lima berjajar di sepanjang Jl. Jend. Sudirman ini. Hingga aku melewati Hotel Grand Wahid, hotel terbesar dan termegah di Salatiga.


Sampai di ujung Jl. Jendral Sudirman yang bersistem satu arah, aku sampai di pertigaan. Aku ambil arah kanan, masuk ke Jalan Sukowati. Di tempat ini adalah pusat oleh-oleh. Aku melewati Klenteng Hok Tek Bio.

Aku mencintai kota kelahiranku ini, kota yang tenang dan berhawa sejuk. Hiruk pikuk di sepanjang jalan yang aku lewati, namun tetap saja hatiku merasa sepi. Hingga kini kakiku melangkah ke alun-alun kota Salatiga, yaitu lapangan Pancasila. Aku mencoba menghibur diri, mengusir kesepian hati. Hariku sepi di keramaian kota ini. Aku memutari lapangan Pancasila, tak ada kata lelah kakiku ini tetap saja melangkah. Pada akhirnya aku sampai di taman kota Kartini. Aku duduk di salah satu bangku, menikmati white coffe yang aku beli tadi saat berjalan ke sini. Saat aku sedang asyik menenggak minumanku, deringan sepeda yang sudah sangat aku hafal bersuara tepat di depanku. Aku tak memperdulikan, mungkin saja itu halusinasi karena saking kangennya aku sama pemilik sepeda itu.

"Kamu ngapain di sini sendiri?"

Suara itu nyata dan sangat dekat sekarang. Aku membuka mata, entah pangeran dari mana dia yang sekarang sudah di depan mataku. Bibirku tersenyum di balik cup coffee.

"Ali."

Iya! Ini Ali nyata di depanku. Pucuk dicinta ulam pun tiba.

"Ayo, ikut aku."

Ali menarik tanganku agar aku duduk di tengah-tengah sepedanya. Rintikan air hujan yang lembut tak mengurangi semangat Ali mengayuh sepeda. Hatiku terasa nyaman dan tenang setelah bertemu dengan Ali. Rasa rinduku menguap begitu saja. Kami menyusuri jalan kota Salatiga ini dengan sepeda dan aku duduk di depan Ali. Ini sering kami lakukan saat sore hari atau saat Ali berangkat dan pulang kerja. Padahal Ali punya mobil dan motor, tapi dia lebih nyaman mengayuh sepeda saat bepergian di daerah kota kecil ini, aku juga nyaman-nyaman saja di bawa Ali berkeliling kota Salatiga walau hanya dengan sepeda biasa. Lebih romantis!

***

"Sudah sampai."

Prilly turun dari sepeda Ali. Kini mereka sudah sampai di Coffee Shop Koinonia. Tempat Ali bekerja dan Prilly menuangkan inspirasinya. Ali membukakan pintu untuk Prilly, masih sepi hanya beberapa orang pekerja yang sudah sibuk persiapan.

"Kamu duduk di sini dulu ya? Sebentar aku siap-siap dulu."

Prilly mengangguk, lalu duduk di meja 8 yang sudah menjadi kursi favoritnya jika nongkrong di situ. Prilly mengeluarkan laptopnya dan mulai menyalakan, bersiap menuangkan imajinasinya. Namun semua itu terhenti saat tiba-tiba ada balon yang meletus dan ruangan itu sekejam ramai orang dan berbagai hiasan balon, kertas warna warni bertaburan di tempat itu.

"Kopi yang bewarna hitam dan berdasar rasa pahit menjadi rasa manis dengan campuran berbagai bahan lainnya. Begitu juga hidupku yang terasa manis setelah bertemu denganmu. Kopiku yang hitam kini berubah warna karena ada kamu di dalamnya. Aku bukan pujangga, aku tidak pintar merangkai puisi cinta, karena aku hanyalah seorang barista yang dapat meracik dan menyedu kopi agar menjadi rasa yang dapat di nikmati. Namun dengan ketulusan dan kejujuran hati, aku Mahesa Ali Mardika dengan sepenuh hati ingin memintamu untuk menjadi pendamping hidupku." Ungkapan hati Ali di depan puluhan orang.

Prilly masih diam seribu bahasa saat Ali berdiri di depannya, di saksikan banyak orang dan di sana juga ada keluarga Ali dan Prilly beserta teman-temannya. Ali bertepuk tangan tiga kali, ada beberapa orang membalikan badannya, di belakang kaos mereka ada sebuah abjad yang penuh di bagian punggung, mereka berbaris hingga sebuah kalimat terbentuk di sana.

WILL YOU MARRY ME

Prilly membekap mulutnya sendiri karena saking terkejutnya dan Ali berlutut di depannya, membuka sebuah benda dengan cincin bermata satu di dalamnya.

"Prilly Maharani, aku ingin kamu menjadi istriku yang selalu menemani pagiku menikmati secangkir kopi dan memberi cerita di dalam secangkir kehidupan ini. Menikahlah denganku dan jadilah ibu untuk anak-anakku."

Prilly hanya pasrah dan diam saat Ali memasukan cincin itu di jari manisnya. Cinta tak perlu banyak kata, dia hanya perlu tindakan dan perjuangan. Tak perlu banyak janji, karena cinta tahu apa yang harus dilakukan dan dijalani.

Di sana banyak orang menikmati kopi, mulai dari kopi jenis Cappucino, Americano, Machiato, Latte hingga black coffee dan masih banyak lagi jenis kopi lainnya. Entah berapa banyak jenis kopi di dunia ini. Hitam pekat, pahit tapi aromanya harum menenangkan. Banyak cara untuk menikmati kopi, hanya perlu cari tahu dan mencoba. Sepahit-pahitnya kopi ada cara untuk menikmatinya. Sesuai dengan selera kita sendiri, tentunya seperti hidup ini. Sepahit apa pun hidup, masih banyak pilihan untuk menikmatinya dengan cara kita sendiri. Kopi itu nikmat, senikmat hidup ini.

THE END

###################

Terima kasih vote dan komennya. Semoga dapat mengambil pelajaran dari buah kecil berwarna hitam dan memilik rasa pahit itu. Kopi tersimpan banyak cerita dan filosofi kehidupan di dalamnya. I love Indonesia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top