Jiwa & Cinta
Cinta, gadis lugu dan polos yang pertama kali jauh dari keluarga, dia harus indekos di luar kota karena kuliah.
Pertama masuk kuliah dia berkenalan dengan Tania dan Cici. Kebetulan juga mereka indekos di tempat yang sama. Tania sedikit tomboy, rambut panjangnya hitam dan ikal. Sedangkan Cici lebih feminin, dia selalu memerhatikan penampilannya. Yang membuat kedua gadis itu beda dengan Cinta, mereka lebih berani mengekspose diri ke publik dan pergaulannya mengikuti zaman.
Suatu malam, Cinta dibujuk Tania dan Cici datang ke acara pesta ulang tahun salah satu teman kampus mereka. Sebenarnya Cinta tak biasa menghadiri acara pesta penuh dengan musik keras, berdansa, dan melakukan permainan konyol baginya.
Di tengah pesta itu Cinta banyak diam, duduk di tengah gerombolan teman-teman Tania dan Cici. Di sofa panjang, Tania tampak mesra dengan pria tampan, bertubuh proporsional, dan kelihatannya pendiam. Beberapa kali pria itu melirik Cinta.
"Ayo guys, kita mulai permainannya," pekik salah satu pria berkulit hitam dan berambut cepak.
Segerombolan orang yang duduk bersama Cinta mulai fokus di meja menatap botol yang masih berdiri tegak. Mereka duduk membentuk lingkaran.
Truth or dare adalah permainan yang dimainkan oleh dua orang atau lebih di mana setiap pemain secara bergantian menjawab pertanyaan (truth) atau melakukan tantangan (dare) yang diberikan oleh pemain lainnya.
"Oke siap?" tanya Tania bersiap memutar botol tersebut.
Semua mengangguk, Cinta hanya diam. Tania mulai memutar botolnya. Botol itu berhenti berputar, ujungnya menunjuk pria yang duduk bersebelahan dengan Tania.
"Ayo, Jiwa! Pilih truth atau dare?" tanya Tania.
"Dare," jawab pria yang disapa Jiwa tersebut.
"Tantangannya, lo harus cium Cinta." Seorang pria memberi tantangan kepada Jiwa dan disambut sorakan meriah teman-temannya.
Cinta yang sedari tadi diam langsung mendongak dan menatap keberatan. Dia melihat pria tampan memiliki tinggi sekitar 182 sentimeter sudah mendekat ke tempat duduknya. Cinta berdiri, dia mendongak di depan pria itu karena tingginya hanya 165 sentimeter, sebahu Jiwa.
"Sorry, gue enggak bisa," tolak Cinta menatap hazel kecokelatan milik Jiwa.
Setelah itu Cinta pergi meninggalkan pesta tersebut. Mendengar penolakan itu, Jiwa yang merasa dipermalukan justru semakin penasaran dan tertantang ingin lebih tahu tentang Cinta.
"Siapa sih dia?" tanya Jiwa menyapu pandangannya ke teman-teman.
"Cinta, anak fakultas kedokteran," jawab Tania yang selama ini dekat dengan Jiwa, tetapi mereka tidak memiliki hubungan spesial.
Sekadar dekat tanpa status. Jiwa tersenyum tipis.
"Lo ditolak, Boy? Gila, gadis itu tidak punya takut sama lo!" ujar Dimas cengengesan, dia adalah teman dekat Cici.
Boy merupakan sapaan akrab Jiwa di kalangan kampus bahkan orang-orang yang sudah mengenalnya.
Teman-teman Jiwa tertawa karena ini kali pertama ada wanita yang menolaknya. Pria tampan yang terkenal bad boy, bahkan banyak wanita yang menginginkan dekat dengannya itu hanya tersenyum. Jiwa merasa dipermalukan, lantas dia berkata, "Lihat saja, gue akan buat dia takluk dan cinta mati sama gue. Setelah itu gue akan tinggalin dia."
"Kita lihat saja, guys. Bisa enggak si Jiwa lakuin," sahut Dimas meremehkan.
"Oke, kita taruhan saja gimana? Kalau sampai ini berhasil kalian harus traktir gue bergantian setiap hari. Tapi kalau sampai gue gagal, gue yang akan traktir kalian semua," ucap Jiwa penuh keyakinan.
"Deal!" seru mereka hampir semua.
"Buktinya ada di HP gue." Tania memvideo Jiwa yang sedang mengucap janji tersebut. Dia menyimpannya sebagai bukti.
***
Hari pun berganti, Jiwa gigih mengejar Cinta. Dia berusaha mendekatinya sendiri tanpa bantuan siapa pun. Sesekali Jiwa tebar pesona kepada gadis berparas cantik dan masih lugu tersebut.
Di kantin kampus, Cinta terlihat sedang asyik membaca. Dia duduk sendiri di tengah keramaian. Jiwa masuk sendiri ke kantin lalu mendekati teman-temannya yang duduk tak jauh dari Cinta. Jiwa hanya menyampaikan pesan kepada Dimas, bahwa mereka pulang dari kampus akan bermain futsal.
Mendengar suara seseorang yang tak asing baginya, Cinta mendongakkan kepala menatap ke sumber suara. Dia memerhatikan gerak-gerik Jiwa. Ketika Jiwa ingin pergi dari tempat itu, dia melihat Cinta sedang memerhatikannya. Jiwa tersenyum manis kepada Cinta. Namun, Cinta bersikap biasa saja, datar bahkan dia malas kepada Jiwa karena kejadian kemarin malam. Bisa-bisanya dia dengan mudah menerima tantangan konyol dari teman-temannya. Cinta kembali membaca dan membiarkan Jiwa pergi.
Pulang dari kampus, Cinta dikejutkan pria yang tiduran di sofa panjang ruang tamu indekos sambil membaca buku. Dia menyadari Cinta memerhatikannya aneh.
"Hai," sapa Jiwa menutup bukunya lalu mengubah posisi duduk.
"Kenapa lo bisa di sini?" tanya Cinta kebingungan.
"Dia ke sini cari gue, Ta," ujar Tania yang tiba-tiba menyahut, muncul dari belakang Cinta. Wajah Tania terlihat tidak bersahabat dengan Cinta.
Setelah itu Cinta tak peduli, dia masuk ke kamarnya. Jiwa masih memerhatikan gadis itu, ada yang mengusik di dalam dadanya.
"Ayo!" ajak Tania sudah siap ingin pergi dengan Jiwa.
Setelah kepergian Jiwa dan Tania, Cici masuk ke kamar Cinta. Dia duduk di tempat tidurnya.
"Ta, malam Minggu besok ikut nongkrong yuk!"
"Gue enggak biasa ikut-ikut begituan, Ci."
"Daripada lo cuma diem di kamar."
"Mmm ... gue pikir-pikir dulu deh, ya?"
"Oke. Gue keluar dulu, ya? Mau cari makan."
Cinta hanya mengangguk, setelah Cici pergi dia menutup pintu kamarnya lalu istirahat.
***
Sabtu malam pun tiba. Karena paksaan Cici, akhirnya terpaksa Cinta ikut. Di tengah gerombolan orang-orang terdapat api unggun. Mereka bersenang-senang di tempat itu. Bernyanyi sambil diiringi gitar dan karena di kaki gunung udara dingin, mereka memesan minuman panas.
"Ta, gue ke sana dulu, ya?" Cici meninggalkan Cinta sendiri duduk di dekat pohon.
Datanglah Tania dan Jiwa yang langsung bergabung di tengah-tengah mereka. Jiwa melihat Cinta didekati dua pria. Mereka menggodanya. Cinta tampak risih dan tak nyaman.
Dari tempatnya duduk, Jiwa terus mengawasi Cinta. Sampai salah satu orang itu menjawil dagu Cinta. Hati Jiwa terdorong ingin melindungi perempuan itu. Jiwa bangkit lalu tanpa basa-basi memukul pria yang menjawil dagu Cinta.
Terjadi keributan di tempat itu. Cinta mematung dan melihat Jiwa menghajar orang tersebut. Dimas menahan Jiwa, orang yang dihajar Jiwa lalu dibawa pergi supaya keribitan tak semakin panjang. Cinta tak menyukai keributan, dia lantas pergi dari tempat itu. Jiwa yang melihat perempuan itu pergi tanpa mengucapkan apa pun kepadanya semakin penasaran.
Gue bisa dapetin lo, batin Jiwa membulatkan tekadnya.
***
Pulang dari kampus, Jiwa mencari Cinta. Dia bertanya kepada teman satu kelasnya.
"Cinta udah keluar dari tadi, Boy," jawab seorang pria, teman sekelas Cinta.
"Oke, makasih," ucap Jiwa lantas mencari Cinta ke pelataran kampus.
Jiwa pikir mungkin Cinta sudah mau pulang karena di kelasnya sudah tidak ada jadwal mata pelajaran. Tak sia-sia, Jiwa melihat Cinta berjalan sendiri menuju gerbang.
"Cinta!" seru Jiwa berlari dengan langkah lebar.
Cinta langsung berhenti dan menoleh ke sumber suara. Setelah Jiwa berdiri di depannya, tanpa basa-basi dia meminta nomor telepon Cinta.
"Buat apa?" tanya Cinta heran karena Jiwa tiba-tiba sok dekat dengannya. Toh mereka tidak punya kepentingan, pikir Cinta.
Selama ini mereka tidak pernah ngobrol berdua, hanya saling menatap dari jarak jauh.
"Tambah teman," ucap Jiwa mengulurkan ponselnya supaya Cinta mengetik nomornya di situ.
Setelah dipikir-pikir, Cinta punya utang budi kepada Jiwa. Dia sudah menyelamatkannya malam itu. Akhirnya Cinta menuliskan dan menyimpan nomornya di ponsel Jiwa.
"Thanks," ucap Jiwa tersenyum manis.
"Gue yang harusnya berterima kasih. Makasih udah nyelametin gue malam itu," ujar Cinta hanya diangguki Jiwa.
Setelah itu Cinta berlalu, Jiwa menatap kepergiannya. Ada sesuatu yang mengusik hati Jiwa. Perasaan aneh yang membuatnya ingin selalu dekat dengan Cinta.
***
Berminggu-minggu Jiwa berusaha, akhirnya Cinta merespons. Jiwa diam-diam datang ke perpustakaan tempat basa Cinta menghabiskan waktu di kampus.
"Hai," sapa Jiwa berbisik.
Cinta hanya tersenyum, Jiwa duduk di sebelahnya.
"Pulang nanti gue mau ajak lo ke suatu tempat."
"Ke mana?"
"Di dekat sini ada danau. Tempatnya bagus."
"Oke."
Setelah itu Jiwa ikut membaca buku yang sedang dibaca Cinta.
Seperti yang sudah mereka janjikan, Jiwa mengajak Cinta masuk ke hutan. Sebenarnya Cinta sedikit takut karena dia baru kenal Jiwa dan pertama kali ke tempat itu. Cinta mengikuti Jiwa sampai akhirnya mereka berhenti di dermaga kayu. Tempat itu tampak indah, danau yang tenang di tengah hutan.
"Ini tempat gue kalau sedang ingin menyendiri," ujar Jiwa sambil melepas kausnya.
Cinta melihat tato di beberapa bagian tubuh Jiwa. Kulit putih dan bersih itu membuat Cinta susah menelan salivanya. Cinta terpaku saat Jiwa menjeburkan diri di danau itu. Dia tampak biasa melakukannya.
"Ayo, Cinta! Sini turun! Lo bakalan tenang dan semua beban pikiran lo akan hilang."
"Tapi gue enggak bawa baju ganti."
"Pakai kaus gue."
Cinta ragu, dia menatap kaus hitam Jiwa yang tergeletak di kayu tempatnya berdiri. Setelah berpikir panjang, akhirnya Cinta mengambil kaus itu dan menjauh untuk melepas pakaiannya dan mengganti mengenakan kaus Jiwa yang kedodoran di tubuhnya. Cinta berjalan malu-malu ke ujung dermaga. Di bawah, Jiwa sudah menunggunya.
"Ini aman, kan?"
"Aman. Ada gue," ucap Jiwa mengulurkan tangan lalu membantu Cinta turun ke danau.
"Airnya dingin," ucap Cinta setelah mencelupkan sekujur tubuhnya ke danau.
Mereka asyik bermain air, berenang bersama, dan bercanda. Sampai di suatu titik, Jiwa menarik Cinta dalam pelukannya. Wajah Jiwa sangat dekat dengan Cinta. Embusan napas Jiwa terasa menyapu wajah Cinta. Reflek Jiwa mendekatkan bibirnya di depan bibir Cinta hingga ciuman itu tak terhindarkan.
Sadar dengan situasi itu, Cinta lantas mengakhiri ciuman mereka. Dia menatap Jiwa malu. Cinta lebih dulu menepi dan naik ke dermaga. Jiwa menyusulnya.
"Maaf, gue terbawa suasana," ucap Jiwa tanpa Cinta respons.
Cinta lalu mengambil pakaiannya dan mengganti baju. Mereka kembali ke mobil Jiwa yang terparkir di pinggir jalan. Sampai di mobil, Jiwa meminta Cinta menunggunya di luar, sedangkan dia mengganti baju di dalam. Selesai itu mereka menuju kafe untuk menghangatkan tubuh.
"Lo mau pesan apa?" tanya Jiwa duduk berhadapan dengan Cinta.
Di mata Jiwa, kecantikan gadis itu bertambah saat rambutnya basah. Bahkan wajahnya tetap cantik meski tanpa make up.
"Apa saja," jawab Cinta tersenyum manis.
Jiwa memesan dua kopi latte. Sambil menunggu kopi datang, mereka mengobrol.
"Bagaimana perasaan lo?"
"Lega. Otak gue merasa lebih fresh."
"Tempat itu biasa gue datangi kalau lagi pengin sendiri. Kalau gue lagi banyak pikiran dan suntuk, begitulah obatnya."
Saat mereka asyik mengobrol, Tania, Dimas, dan Cici datang ke kafe itu. Mereka melihat Jiwa bersama Cinta. Wajah Tania berubah masam, dia cemburu.
"Jiwa!" seru Tania mendekati meja mereka.
Cici dan Dimas mengikuti. Jiwa tampak terkejut melihat kedatangan teman-temannya. Dia gelagapan kepergok jalan dengan Cinta.
"Kalian ngapain di sini berdua?" tanya Tania menatap Jiwa dan Cinta bergantian.
Jiwa bingung menjelaskan, dia malu jika ketahuan habis mengajak Cinta kencan. Dia malu dianggap teman-temannya menyukai gadis lugu dan polos, seleranya turun.
Selama ini Jiwa terkenal memacari gadis yang modis dan populer. Image-nya akan turun jika sampai orang-orang tahu dia menyukai Cinta. Apalagi Tania, meski mereka tidak pacaran, tetapi gadis itu sangat posesif kepada Jiwa. Siapa pun gadis yang dekat dengan Jiwa, pasti akan berurusan dengan Tania.
"Kita enggak sengaja ketemu di sini," ucap Jiwa mencari alasan.
Cinta mengerutkan dahi, dia bingung mendengar jawaban Jiwa. Bukankah mereka habis pergi bersama?
"Oh, gue kira kalian habis kencan," sahut Dimas tersenyum penuh arti kepada Jiwa.
Jiwa langsung merangkul Dimas mengajaknya sedikit jauh dari tempat itu.
"Kenapa kalian bisa di sini?" tanya Jiwa kesal berbisik kepada Dimas agar para gadis itu tak mendengarnya.
"Tania yang ngajak. Gue sama Cici cuma ngikuti dia. BTW, lo habis kencan, ya, sama Cinta?" goda Dimas mengerling.
"Diam lo! Jangan sampai Tania tahu."
"Kenapa kalau dia tahu?"
"Dia bisa menghabisi Cinta. Lo tahu sendiri bagaimana Tania."
"Oke, aman!" sahut Dimas mendukung dan berpihak pada Jiwa.
Mereka kembali ke meja, ternyata Tania dan Cici sudah duduk bersama Cinta. Tatapan Jiwa kepada Cinta berubah. Tadi pria itu menyenangkan bagi Cinta, setelah kedatangan teman-temannya dia berubah datar dan cuek padanya.
"Mmm ... gue duluan, ya?" ucap Cinta tak nyaman berada di sana.
"Oke. Hati-hati, Cinta," sahut Cici yang berhubungan baik dengan Cinta. Dia tipe orang yang tak mau ikut campur urusan orang lain.
Tania diam, dia hanya melirik saja. Ketika Cinta sudah menjauh dari meja itu, Jiwa mengejarnya.
"Hei!" seru Jiwa.
Cinta berhenti dan menoleh. Setelah berdiri di depan Cinta, ketika Jiwa menatap hazel kecokelatan milik Cinta, hatinya seakan lumpuh.
"Ada apa?" tanya Cinta datar.
"Lo jangan salah paham, gue ngajakin lo ke danau tadi bukan berarti kita kencan. Kita masih berteman," ucap Jiwa yang sebenarnya bertolak belakang dengan apa yang dia rasakan.
"Lo tenang saja. Gue enggak berharap lebih dari kejadian tadi di danau."
Meski Cita merasa seperti patah hati, dia berusaha tegar. Cinta lalu pergi meninggalkan kafe tersebut. Selama perjalanan dia tak tahu mengapa hatinya seperti terluka, sakit sekali. Ada kekecewaan tak bertuan.
***
Perhatian kecil Jiwa sedikit demi sedikit meluluhkan kekecewaan Cinta. Meski hanya mengirim perhatiannya lewat pesan singkat, entah mengapa bisa membahagiakan perasaan Cinta.
Malam saat Cinta malas keluar mencari makan, tanpa dia memberi tahu Jiwa, tiba-tiba ada kiriman makanan untuk dia dari Jiwa.
"Thanks, ya?" ucap Cinta sambil menempelkan ponselnya di telinga.
"Enak enggak?" Suara Jiwa yang khas dari ujung telepon selalu bisa menggetarkan perasaan Cinta.
"Lo pesan nasi goreng di mana?"
"Depan kampus."
"Lain kali enggak usah repot-repot mesenin gofood. Gue bisa sendiri."
"Gue mau traktir lo. Ya sudah, lo makan aja dulu. Gue mau baca buku."
"Oke."
Setelah panggilan berakhir, lalu Cinta menghabiskan nasi gorengnya. Tania keluar dari kamar, dia melihat Cinta duduk di meja makan sambil senyum-senyum menatap ponselnya.
"Kenapa lo? Udah gila, ya? Senyam-senyum sendiri," tegur Tania mengambil minum.
"Bukan urusan lo, kan?" sahut Cinta merasa harus melakukan itu supaya Tania tak seenaknya kepadanya.
Cinta merahasiakan kedekatannya dengan Jiwa dari Tania. Seperti yang Cici katakan waktu lalu, Tania bisa melakukan apa pun kepada gadis yang sedang dekat dengan Jiwa. Padahal mereka tidak pacaran, bahkan Jiwa hanya menganggap Tania teman tapi mesra.
Cinta lantas membuang kotak bekas nasi gorengnya ke tempat sampah. Dia mencueki Tania, Cinta lalu masuk ke kamar dan membaca novel sambil berbalas chat dengan Jiwa.
***
"Heh, senyam-senyum sendiri. Udah gila lo, ya?"
Dimas yang tinggal satu indekos dengan Jiwa masuk ke kamarnya begitu saja. Sudah biasa di antara mereka asal masuk kamar tanpa mengetuk pintu.
"Ganggu aja lo!" sahut Jiwa tanpa menoleh Dimas, dia masih sibuk menatap ponselnya.
Saking penasarannya, Dimas mengintip ponsel Jiwa. Tertera nama Cinta di sana.
"Oooh, gitu? Jadi lo berhasil deketin dia?" tanya Dimas duduk di tepi ranjang.
"Kali ini beda, Dim. Dia beda dari cewek-cewek lainnya. Kayaknya gue beneran jatuh cinta sama dia."
"Hah! Lo serius?"
"Iya, gue serius. Awalnya gue cuma mau main-main sama dia. Setelah tahu kepribadiannya, gue akui, dia beda dan gue bisa merasakan cinta yang bener-bener cinta. Berdebar saat sama dia, bahagia setiap lihat senyumnya."
"Wah, selamat, Bro. Akhirnya lo nemuin cewek yang bisa bikin hati lo bergetar. Jaga baik-baik, jangan macam-macam. Gue perhatiin dia memang beda, Bro!" Dimas mendukung Jiwa dekat dengan Cinta.
Karena sesuai penilaian Dimas, Cinta gadis yang baik dan menjaga pergaulannya.
"Thanks, Bro!" ucap Jiwa tersenyum lebar. Dia lega bisa mengatakan itu kepada Dimas.
"Soal taruhan itu gimana?"
"Ah, gue patahkan. Gue mau ubah janji itu. Gue akan traktir kalian kalau sampai Cinta mau jadi pacar gue. Denger janji gue, Dim. Kalau sampai gue bisa dapetin Cinta, gue tobat, enggak akan permainkan perasaan wanita lain. Gue akan setia sama Cinta."
"Waaah, keren, Boy! Good!" Dimas ikut bahagia, dia mengacungkan kedua ibu jarinya kepada Jiwa.
***
Tania mendengar kabar yang membuat hatinya terluka. Dia tak terima Jiwa dan Cinta pacaran.
"Lihat aja, gue akan bikin mereka pisah," ucap Tania kesal dan penuh dendam kepada Cinta.
"Lo kenapa sih, Tan? Lo aneh tahu enggak sih! Jiwa enggak cinta sama lo, kalian juga enggak pacaran, kan, selama ini. Kenapa lo ngekang Jiwa? Suka-suka Jiwa dong mau pacaran sama siapa pun!" ujar Cici yang mendukung Jiwa pacaran dengan Cinta.
Karena sejak Jiwa pacaran dengan Cinta, kebiasaan dia berubah. Jiwa rajin masuk kuliah bahkan sekarang Jiwa mengurangi nongkrong yang tak berguna. Jiwa juga tidak lagi tebar pesona dengan para wanita, dia terlihat sekali menjaga sikapnya dan perasaan Cinta.
"Tapi Jiwa enggak bisa dong campakan gue gitu aja. Selama ini gue enggak pernah dikasih kepastian."
"Salah lo sendiri, ngapain mau sama Jiwa. Padahal lo tahu Jiwa belum komitmen sama lo."
"Kok lo belain mereka sih? Lo temen gue apa temen mereka sih?"
"Gue temen kalian. Enggak ada yang gue bela. Gue cuma mau lo sadar aja, udah gitu doang."
"Ish, lo nyebelin, Ci!"
Di kafe itu Tania bersama Cici dan Dimas menunggu hujan reda.
***
Di tempat lain, Jiwa sedang menemani Cinta ke toko buku. Mereka menunggu hujan deras reda sambil memilih-milih novel. Memiliki hobi sama, salah satu alasan asyik mereka menghabiskan waktu bersama.
Ponsel Cinta bergetar tanda pesan masuk, Cinta langsung melihat pesan itu, ternyata dari Tania.
Lo harus tahu sesuatu. Jiwa deketin lo karena mau bikin lo sakit hati.
Cinta langsung menatap Jiwa penuh tanda tanya.
"Kenapa lihatin aku begitu?" tanya Jiwa heran.
Tanpa menjawab pertanyaan Jiwa, ingin memastikan kebenarannya, Cinta membalas pesan Tania.
Jangan asal bicara kalau lo enggak punya bukti.
Jiwa masih sibuk memilih buku di rak. Dia membiarkan Cinta membalas pesan, Jiwa tidak tahu jika pesan itu dari Tania.
Gue ada buktinya. Kalau lo mau tahu, datang ke kafe biasa. Lo akan tahu kebenarannya.
Cinta galau, apakah Tania bisa dipercaya? Selama ini Cinta tahu jika Tania tidak menyetujui hubungannya dengan Jiwa. Tania juga sakit hati karena Jiwa lebih memilihnya daripada dia.
Hampir tak percaya, Cinta memerhatikan Jiwa. Jika melihat sikap dan semua hal yang Jiwa lakukan kepadanya, sepertinya tidak mungkin. Namun, apa salahnya Cinta mencari tahu kebenarannya sebelum hubungannya dan Jiwa semakin jauh.
Tanpa berucap apa pun, Cinta pergi. Jiwa yang melihat sikap aneh Cinta lalu menyusul. Di luar toko Cinta menghentikan taksi. Semakin bingung Jiwa. Dia mengejar taksi dengan mobilnya.
Jiwa mengerutkan dahi ketika taksi berhenti di kafe tempatnya biasa nongkrong bersama teman-teman. Cinta buru-buru masuk ke kafe itu. Dia tahu jika Jiwa mengikutinya. Namun, Cinta tak peduli. Setelah memarkirkan mobil, Jiwa mengikuti Cinta masuk ke kafe itu.
Di sana Cinta sudah berhadapan dengan Tania. Juga ada Cici dan Dimas. Air mata Cinta sudah menggantung. Jiwa bingung apa yang terjadi.
"Tan, jangan, please," mohon Cici tak digubris Tania.
"Mana? Buktikan!" sungut Cinta sudah sangat penasaran.
"Ada apa ini?" tanya Jiwa seperti orang begok. "Kenapa kamu menangis?" Jiwa berdiri di samping Cinta.
Cinta tak menyahut bahkan dia tak menatap Jiwa. Fokusnya kepada Tania yang tersenyum miring dan licik.
"Tan, lo jangan bikin gara-gara," ujar Dimas mengetahui rencana Tania.
Jiwa semakin bingung, dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Oke, kita lihat bareng-bareng."
Ketika Tania menghadapkan ponselnya kepada Cinta, baru Jiwa paham.
"Tania, jangan!" mohon Jiwa dengan wajah memelas.
Tania tak peduli, dia memutar video itu. Cinta yang mendengar dan melihat tak habis pikir Jiwa tega mempermainkannya. Padahal selama ini dia sudah percaya kepada Jiwa. Cinta sudah mencintai Jiwa tulus.
"Jangan percaya ini, aku mohon, Cinta," ucap Jiwa mengiba.
Dia menjatuhkan harga dirinya, tak peduli reputasinya hancur di mata teman-temannya. Namun, dia sungguh-sungguh mencintai Cinta.
"Cukup, Jiwa. Ternyata kamu enggak sebaik yang aku pikirkan," ucap Cinta menangis sesenggukan dan hatinya remuk.
"Aku jelasin, itu dulu ... sekarang beda," ujar Jiwa berusaha ingin menjelaskan.
"Cukup! Aku udah enggak percaya lagi sama kamu."
Cinta keluar dari kafe itu, disusul Jiwa. Mereka debat di teras kafe. Hujan tak kunjung reda, malah semakin deras.
"Cinta dengerin aku dulu." Jiwa menahannya pergi.
"Apa sih yang mau dijelasin! Aku sudah denger dan aku melihat itu kamu! Aku salah mempercayakan hatiku kepada cowok enggak punya hati sepertimu!"
Jiwa menangis, dia tak dapat berkata-kata. Pikirannya kosong, dia hanya takut kehilangan Cinta. Dia bingung mau menjelaskan dari mana.
"Mulai sekarang kita jalani hidup masing-masing. Tujuanmu tercapai, kamu sudah berhasil bikin aku patah hati. Puas, kan, kamu?"
Jiwa menggeleng, air matanya tak dapat dibendung.
"Enggak, Cinta. Aku enggak bisa."
Tak pedulikan Jiwa yang mengiba dan menangis, Cinta berlari menerjang hujan. Jiwa mengejar, tetapi berhenti karena Cinta sudah semakin jauh.
Cinta benar-benar merasa patah hati. Dia pikir Jiwa adalah sosok yang baik dan dapat melengkapi hatinya yang kosong. Ternyata dia hanya ingin mempermainkannya saja. Tanpa Cinta tahu, sebenarnya cinta yang dimiliki Jiwa tulus kepadanya. Hanya karena kesalahannya dulu, menghancurkan segalanya.
Ternyata apa yang kita inginkan tak selalu berjalan seperti yang kita harapan. Jiwa tak dapat menyangkal bahwa dia mengatakannya, karena bukti sudah jelas.
***
Jiwa tak dapat menghubungi Cinta. Dia menitipkan surat untuk Cinta kepada Cici. Setelah mereka putus, sikap Jiwa berubah. Dia seperti malas melakukan apa pun. Bahkan dia menjauhi Tania. Jiwa tak memiliki hasrat untuk berkencan dengan wanita manan pun, sekalipun itu sekadar untuk hiburan.
Di kamar, Cinta membuka surat yang Cici berikan. Cici menemani Cinta membaca surat itu.
Hai, dear
Ada hal yang perlu aku luruskan di sini. Aku mengakui video itu memang aku dan aku pernah mengucapkannya. Tapi itu dulu sebelum aku benar-benar jatuh cinta sama kamu.
Kamu meluluhkan hatiku dengan sikap sederhanamu. Aku sadar sudah jatuh cinta sama kamu. Kamu boleh percaya atau tidak, itu hak kamu. Aku sudah berkata jujur.
Beberapa minggu tidak mendengar kabarmu membuat hatiku gelisah. Aku seperti patah arah. Jika aku diizinkan untuk memperbaiki keadaan, aku akan melakukannya. Aku akan buktikan jika cintaku ini benar bukan main-main.
Temui aku besok siang di danau.
Dari pria yang berharap kamu maafkan.
Cinta menangis sesenggukan. Cici lalu memeluknya.
"Gue udah temenan sama Jiwa lama. Baru ini gue lihat dia gigih mengejar perempuan seperti lo, Cinta. Dia pernah bilang sama gue dan Dimas, kalau cintanya ke lo sungguh-sungguh."
Cinta menegakkan kepalanya menatap Cici, wajahnya sudah basah air mata.
"Lo enggak mengada-ada, kan?"
"Ngapain gue mengada-ada? Gue bicara sebenarnya."
"Lo dapat surat ini kapan dari Jiwa?" tanya Cinta sambil menghapus air matanya.
"Kemarin sih sebenarnya. Tapi kemarin gue pulang malam, lo udah tidur."
Sebelum terlambat, Cinta bergegas keluar. Cici membiarkan Cinta pergi sendiri. Dia pikir akan lebih baik Cinta menyelesaikan masalahnya dengan Jiwa sendiri tanpa dia.
Setelah menempuh perjalanan dengan taksi, Cinta sampai di danau itu. Jiwa sudah menunggunya di sana. Dia duduk di ujung dermaga. Cinta mendekat langsung duduk di sebelah Jiwa. Beberapa menit tak ada obrolan.
"Makasih udah mau datang," ucap Jiwa menoleh ke samping.
"Aku datang cuma pengin memastikan sesuatu."
"Apa?"
"Apa kamu benar mencintaiku?"
"Iya!" jawab Jiwa tegas dan yakin.
"Buktikan." Cinta menatap Jiwa sambil tersenyum manis.
"Apa ini artinya kamu memberiku kesempatan?"
"Kenapa tidak? Tapi jika suatu hari kamu menyakitiku lagi, sampai kapan pun kamu enggak akan ada kesempatan untuk dekat apalagi melihatku."
"Aku janji, enggak akan melakukan itu."
Mereka saling memandang, Cinta menyandarkan kepalanya di bahu Jiwa.
Kita tahu bahwa jiwa dan cinta adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Jiwa adalah sumber kehidupan manusia, yang terjadi pada perasaan, pikiran, dan angan-angan. Sedangkan cinta adalah perasaan yang tak dapat terpisahkan dari jiwa. Jiwa dan cinta dua hal terpenting dalam hidup manusia.
The End
#####
Alhamdulillah akhirnya aku bisa menyelesaikannya. Tugas dari yang penuh pengorbanan.
Aku kemarin ngetik ini udah dapat 2000 lebih, tiba-tiba WP error, pas ngetik blank dan terpaksa aku keluarin. Kamu tahu? Pas aku buka mau lanjutin ngetik, ceritanya tersisa 600 kata. Pengin nangis, marah, dan hampir menyerah😭.
Tadi pagi teringat, hari ini, Jumat 13 Oktober 2020 deadline. Aku buru-buru ngetik lagi dan mengingat alur yang kemarin hilang.
Alhamdulillah, akhirnya bisa aku selesaikan.
Terima kasih teman-teman udah mau sabar, mampir, dan vote ceritaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top