IKHLAS BERBUAH CINTA
Aku menitikan air mata saat melihat tangan seorang pria dewasa menggenggam erat stang motor. Di bawah rintikan air hujan, kami melawan kerasnya kehidupan. Tidak peduli basah kuyup tubuh kami, dua roda motor ini terus berputar, menerjang jalan kota yang cukup lengang. Motor berhenti di sebuah halte, aku menyeka air mataku dan turun dari boncengannya.
"Wes sampe, kalau kerja seng hati-hati yo, Nok. Ojo lali ibadahe," pesan Bapak saat aku berpamitan mencium tangannya yang terasa dingin dan gemetar, mungkin dia menahan kedinginan udara pagi ini.
Maklum saja, kota kami di bawah kaki gunung, jadi jika jam 05.30 WIB udara masih sangat dingin, ditambah lagi, hujan dari semalam tak juga reda.
"Nggeh, Pak. Bapak berteduh dulu aja, nunggu hujane reda," ujarku merasa kasihan melihat bibirnya yang sudah membiru menahan dingin.
"Wes, ndak usah. Kasihan adikmu kelamaan nunggu," tolak Bapak sambil menoleh ke kanan dan kiri melihat keadaan jalan raya. "Wes ya, Bapak tinggal," ucapnya lantas menyeberangi jalan raya dan kembali melajukan motor ke rumah.
Biasanya, setelah mengantarku sampai di halte, Bapak akan langsung kembali ke rumah karena dia juga harus mengantar Fia, adik semata wayangku berangkat sekolah.
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh, mantel menyelubungi tubuhnya. Air mataku tak ada habis-habisnya, ia selalu keluar meski aku sudah menahannya. Bagaimana tidak aku menangis? Tangan besar itu yang selalu menghidupi keluarga kami, mencari nafkah demi kesejahteraan kami. Dengan kedua tangannya, aku, Fia dan Ibu dapat hidup layak sampai saat ini. Punggung lebar itu, yang selalu menjadi tumpuan kami.
Aku adalah Gendis, anak pertama dari dua bersaudara. Aku sudah bekerja di luar kota, tempatnya tak begitu jauh dari rumah, hanya menempuh waktu dua jam. Maka dari itu, setiap hari aku selalu pulang pergi di antar Bapak sampai di halte. Sesampainya di halte, aku masih naik bus untuk sampai di kantor. Hidup sederhana, hanya lulusan D3 dan dapat bekerja di kantor pabrik mebel, itu sudah sangat aku syukuri. Walaupun gaji hanya sebatas UMR (Upah Minimum Regional), tapi itu sudah cukup untuk membantu kebutuhan keluarga.
Aku sangat menyayangi keluargaku, aku rela melepaskan kesenangan masa mudaku dan memilih membantu perekonomian keluarga. Apalagi semenjak dokter memvonis Bapak, menderita tumor paru-paru. Aku benar-benar tak memikirkan kebahagiaanku sendiri sebagaimana seorang gadis menikmati hasil jerih payahnya. Mungkin sebagian teman-temanku, gaji yang mereka dapatkan, bisa digunakan untuk keperluan mereka sendiri. Tapi, aku tidak! Aku ingin membantu pengobatan Bapak dan meringankan kebutuhan keluarga, walaupun sebenarnya Bapak dan Ibu melarangku, tapi aku tetap ingin melakukannya.
"Nok, sini tak bilangi," panggil Bapak setelah kami salat Magrib berjamaah.
Ibu langsung keluar, untuk menyiapkan makan malam. Biasanya aku membantunya dan Fia yang menemani Bapak.
Panggilan 'Nok' itu singkatan dari 'Denok' yang artinya 'Sayang'. Begitulah orang Jawa jika memanggil anak perempuannya. Aku dan Fia mendekati Bapak yang duduk berselonjor menyandarkan punggungnya ke tembok.
Jika melihat keadaan Bapak sekarang, hatiku tak tega, ingin rasanya aku menangis. Wajahnya kadang membengkak, kakinya pun kadang susah digerakkan, seperti orang kesemutan kata Bapak. Aku duduk di sebelah kiri Bapak, sedangkan Fia duduk di sebelah kanannya, kami bersandar manja di bahunya.
"Saiki, awakmu wes dewasa. Kapan arep nikah? Lihaten konco-koncomu seng umure sejajar karo awakmu. Rata-rata wes pada duwe anak," ujar Bapak tak bosan-bosannya selalu bertanya seperti ini.
Aku menghela napas dalam, jangankan menikah, memikirkan soal cinta saja aku belum sempat.
"Bapak, Gendis belum kepikiran buat nikah. Gendis masih mau membahagiakan Bapak sama Ibu dulu," jawabku tetap sama seperti yang sudah-sudah.
Bapak selalu saja tersenyum menanggapi hal itu. Lantas dia beralih ke adikku. Fia sangat manja jika dengan Bapak.
"Sebentar lagi Fia ujian kan? Jangan lupa terus belajar, biar bisa lulus dengan nilai terbaik," nasihat Bapak.
Fia adalah salah satu murid dengan nilai terbaik di sekolahannya. Setiap penerimaan rapor, selalu saja dia mendapatkan rangking satu, kalau tidak, rangking dua.
"Iya, Bapak. Fia akan terus belajar, biar mendapat nilai yang bagus. Biar Bapak dan Ibu bangga sama Fia," ujarnya manja.
Aku tersenyum bahagia, biarpun kami selalu memanjakannya, tapi Fia termasuk anak yang mandiri. Tahu dengan kewajibannya dan tanpa kami memerintah, dia tahu hal apa yang harus dia kerjakan.
"Adikmu pengen melanjutkan kuliah kedokteran, nanti nek sudah lulus SMA. Bapak wes nyiapke tabungane, nek Bapak wes nggak ad..."
"Bapak!" sentakku dan Fia bersama memotong ucapannya.
Kami langsung memeluknya, hatiku sangat takut saat Bapak berkata seperti itu. Rasanya tak rela jika sampai itu terjadi. Aku mendengar Bapak malah tertawa dan mengelus kepala kami bersamaan.
"Jangan bilang seperti itu, Bapak pasti sembuh," ucap Fia sudah terisak, membuatku ikut menangis.
"Siapa pun, pasti akan melewati yang namanya kematian. Cepat atau lambat, semuanya akan mendapatkan giliran. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan diri menghadap Gusti Allah."
Aku dan Fia semakin terisak memeluk Bapak. Rasanya sangat sedih kalau Bapak membicarakan hal ini. Memang benar kata Bapak, tapi untuk saat ini, aku belum bisa membayangkan apa jadinya, jika itu sampai terjadi sama Bapak. Tidak terbayangkan dalam benakku, jika keluarga kami akan hidup tanpa tiang penyanggah. Bapak adalah imam dan lelaki satu-satunya dalam keluarga ini, bagaimana jika kami tak memilikinya lagi?
"Wah, wah, wah, ada apa ini? Makan malam sudah siap. Ayo, kita makan dulu," ajak Ibu menghampiri kami.
Aku dan Fia menegakkan tubuh kami, lantas aku menyeka air mata yang membasahi wajahku. Aku tahu bagaimana perasaan Ibu, dia sebenarnya jauh merasa sedih daripada kami. Tapi Ibu kalau di depan kami berlagak sok kuat dan tidak pernah mengeluh. Padahal, hampir setiap tengah malam aku mendengarnya menangis, saat Ibu dan Bapak salat malam. Mereka selalu bercengkrama bersama setelah salat.
"Ayo, Pak." Aku membantu Bapak berdiri.
Bapak memang terlihat baik-baik saja dari luar, tapi sebenarnya tubuh bagian dalamnya sudah sangat rapuh. Saat bersama tetangga dan teman-temannya, Bapak tak pernah memperlihatkan sakitnya. Dia selalu bersikap biasa, seolah-olah dia masih sangat sehat.
"Nasinya seberapa, Pak?" tanya Ibu mengambilkan nasi untuk Bapak setelah kami berada di dapur, duduk di atas balai-balai yang terbuat dari kayu berkaki rendah.
"Segitu saja, cukup," kata Bapak.
Semenjak sakit, nafsu makannya semakin rendah. Banyak makanan yang tidak boleh dikonsumsi Bapak. Karena kami peduli dengannya dan ingin merasakan apa yang Bapak rasakan, akhirnya kami pun makan apa yang juga Bapak makan. Meski rasa masakannya aneh, hambar, karena mengurangi garam dan tanpa penyedap, tapi kami tetap menikmatinya. Kami selalu memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
***
Semakin lama kesehatan Bapak semakin menurun. Sudah bolak-balik Bapak keluar masuk rumah sakit. Untung saja, aku sudah mengikutkan keluarga kami asuransi kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang diselenggarakan oleh negara. Itu dapat meringankan biaya rumah sakit Bapak, walaupun aku harus membayar angsuran setiap bulan, setidaknya itu sudah sangat membantu.
"Dis," panggil Bapak saat aku ingin berbaring di lantai.
Setiap pulang kerja, aku selalu menggantikan Ibu dan Fia menjaga Bapak di rumah sakit. Mereka pulang ke rumah, karena Fia harus belajar untuk menghadapi ujian sekolah.
"Nggeh, Pak." Aku mengurungkan niatku untuk berbaring meregangkan otot yang kaku karena seharian letih bekerja, dan langsung berdiri di samping tempat tidur Bapak.
Bapak sudah tidak bisa bernapas secara alami, hidungnya selalu tertancap selang oksigen untuk membantunya bernapas. Sudah satu minggu ini, dokter memindahkan Bapak ke ruang khusus. Entahlah apa yang sebenarnya terjadi, tapi dokter selalu mengawasi perkembangan Bapak setiap waktu. Hatiku semakin dilanda takut dan cemas.
"Kamu kenal Juriadi?" tanya Bapak membuatku mengerutkan dahi.
Tumben Bapak membahas orang lain, selama ini, dia tidak pernah membicarakan orang lain, selain keluarga kami. Aku menarik kursi dan duduk di samping tempatnya berbaring.
"Pak Adi lurah kita itu, Pak?" tanyaku memastikan.
Bapak mengangguk dan tersenyum penuh arti. Juriadi adalah anak teman baik Bapak. Dia kepala desa di tempat kami, meskipun masih muda, tapi masyarakat kami sangat puas dengan hasil kerjanya. Terbukti, dia terpilih menjadi lurah dua periode.
"Kalau dia melamar kamu, apa kamu mau menerimanya?" tanya Bapak membuatku terkejut dan gelagapan bingung untuk menjawab.
Memang, Mas Adi orang yang baik. Dia sudah dekat dengan keluarga kami, tak hanya itu saja, kedua belah pihak keluarga pun juga sudah saling mengenal baik. Hanya saja, aku dan dia tak pernah banyak mengobrol. Hanya perbincangan basa-basi saat bertemu, selayaknya orang bertemu dengan teman atau tetangga.
"Tapi Pak, aku sama Mas Adi tidak saling tertarik dan kelihatannya Mas Adi juga belum memikirkan hal itu," sanggahku, belum yakin dengan apa yang Bapak katakan.
Bapak menarik napasnya dalam, sudah sering Bapak melakukan hal ini. Dia sangat sulit bernapas, seperti orang sesak napas. Melihatnya seperti itu membuat dadaku ikut sesak dan nyeri.
"Bapak kan tanya, kalau seandainya, belum tentu itu benar terjadi. Kalau memang benar, Bapak pengen, kamu cepat menikah. Waktu Bapak sudah ndak banyak lagi, Nok. Bapak itu sebenarnya sudah srek sama anak itu. Wes pinter, bagus, soleh, terbukti pinter mengayomi masyarakat lan keluarga," puji Bapak. Aku menjadi terbebani dengan ucapannya.
Apa maksud Bapak mengatakan ini ya?
"Bapak mung pingin, melihatmu menikah. Dadi wali nikahmu, nek nunggu sampe adikmu lulus, Bapak wes nggak sanggup. Anak-anak Bapak gadis kabeh, seenggake nek Bapak wes ra ono, salah siji di antara kalian iku wes ono seng nikah. Dadi keluargone kita masih tetep due panutan lan pegangan," ujar Bapak semakin membebani batinku.
Aku menunduk menangis mencerna setiap kata yang keluar dari bibir pucat Bapak. Ya Allah, apa yang harus aku katakan sama Bapak? Dalam hatiku belum ingin membina rumah tangga, apalagi dengan pria yang belum aku kenal kepribadiannya. Aku juga belum bisa menerima, jika harus kehilangan Bapak. Aku sangat menyayanginya, begitu cepat waktu yang Engkau berikan untuk kami besama. Rasanya baru kemarin aku tidur di gendong Bapak, bersandar manja di punggungnya. Dosakah aku, jika menolak keinginan Bapak? Aku bingung, aku masih ragu.
"Wes, dipikir seng tenanan. Nikah iku penting, Nok. Opo seng tok goleki saiki? Kerja wes mapan, arep membahagiakan Bapak lan Ibu? Bapak sama Ibu wes bahagia, weroh awakmu wes bisa kerja, Fia sekolahe pinter. Endak muluk-muluk keinginanne Bapak, Nok. Bapak selama ini nggak pernah kan jaluk opo-opo nek awakmu. Saiki Bapak cuma mau minta satu aja. Bapak pengen kamu menikah, biar hidupmu tentram lan punya tiang kanggo pegangan masa depanmu. Ben kamu ora montang-manting." Air mataku semakin deras mengalir. Bapak benar-benar menginginkanku menikah. Apa yang harus aku lakukan?
***
Sudah beberapa hari ini, aku memikirkan pembicaraanku dan Bapak. Hal yang tak pernah kuduga terjadi. Benar apa yang Bapak katakan, keluarga Mas Adi melamarku beberapa hari yang lalu, di rumah sakit. Tak ingin membuat kecewa Bapak dan Ibu, akhirnya aku menerima lamarannya. Semoga saja Mas Adi pria yang tepat untukku, walaupun di dalam hati aku belum yakin.
"Dik, mau langsung ke rumah sakit apa pulang ke rumah?" tanya Mas Adi saat kami berada di dalam mobil. Semenjak lamaran itu, dia berusaha mendekatiku. Setiap hari, dia mengantarku dan menjemputku di tempat kerja.
Tak heran jika dia memiliki mobil, secara, sebelum dia menjadi lurah, keluarganya sudah terkenal kaya di desa kami. Keluarganya pengepul gabah dan memiliki banyak sawah, serta salah satu usaha keluarganya adalah penggilingan padi terbesar di wilayah kami. Saat ini kami sedang berusaha saling mengenal satu sama lain, sebelum kami memutuskan untuk menikah.
Walaupun sebenarnya Bapak sudah selalu mendesak agar kami secepatnya menikah, tapi aku yang selalu mencari alasan karena aku belum siap dan belum ikhlas menerima Mas Adi di dalam hidupku. Aku masih merasa ada jarak di antara kami, mungkin aku masih menganggapnya orang terhormat di desa kami dan belum terbiasa dengannya serta masih sungkan padanya.
"Nggak tahu nih Mas, kok rasanya aku pengen banget pulang ke rumah. Apa karena sudah sering di rumah sakit, jadi aku kangen rumah ya?" ujarku jujur, sedikit aneh memang, tapi saat ini aku ingin sekali pulang ke rumah.
Entahlah, mengapa malam ini aku sangat ingin langsung pulang ke rumah. Biasanya sepulang kerja, aku langsung ke rumah sakit menggantikan Ibu dan Fia. Tapi, besok kan hari Minggu, Fia libur sekolah, jadi aku bisa istirahat dulu di rumah, baru besok pagi-pagi aku ke rumah sakit. Karena sudah beberapa minggu aku kurang tidur dan kurang istirahat karena paginya bekerja dan malamnya menjaga Bapak.
"Ya sudah, kamu kirim pesan ke Fia saja. Bilang, kalau mau langsung pulang ke rumah, biar nggak menunggu di sana," titah Mas Adi sangat lembut. Memang begitulah cara tutur bicaranya.
Jujur saja, sampai detik ini, perasaanku kepada Mas Adi masih biasa saja. Memang wajah Mas Adi tampan, jika tertarik dengan parasnya, sudah lama sejak awal pertemuan kami, aku sudah simpati padanya. Tapi, soal sayang dan cinta, aku belum merasakan di dalam hatiku. Aku juga tidak pernah membahas mengenai perasaan jika kami bersama, hubungan ini mengalir begitu saja.
"Kamu pasti belum makan, apa kita mau mampir makan dulu?" tanya Mas Adi saat kami melewati tengah kota.
Keramaian kota dan berbagai jajanan digelar, tapi tak ada satu pun yang aku inginkan. Perasaanku hambar dan pikiran pun kacau, aku seperti mati rasa.
"Ndak usahlah Mas, di rumah pasti ada mi. Nanti aku bikin mi saja," tolakku masih sungkan jika dia membelikan sesuatu padaku.
Sejak dulu, aku tidak pernah dibelikan sesuatu oleh seorang pria, kecuali Bapak. Aku juga tidak terbiasa menerima sesuatu secara cuma-cuma dari orang lain.
"Jangan sering makan mi, nggak baik buat kesehatan. Sudah, kita beli nasi goreng saja."
Tanpa menunggu jawaban dariku, Mas Adi membelokkan mobilnya ke tepi jalan. Di depan sana, ada penjual nasi goreng kaki lima, langgananku sama Bapak. Aku jadi kepikiran Bapak, apa dia baik-baik saja? Sedang apa dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Pikiranku terus bertanya-tanya, perasaanku pun menjadi tak tenang. Tapi, kenapa hatiku ingin sekali pulang ke rumah?
"Kamu tunggu di sini, aku belikan dulu. Dibungkus saja ya? Nanti kamu makan di rumah," ujar Mas Adi.
Aku hanya menganggukkan kepala saja, entahlah, aku sangat malas berbicara. Biarpun aku selalu menolak dan melarangnya membelikan sesuatu untukku, tetap saja dia tidak mau mendengarkanku dan akan membelikannya.
Entahlah, ada apa dengan perasaanku ini? Kenapa jadi tidak tenang begini? Pikiranku kalut dan selalu tertuju ke Bapak. Semoga tidak terjadi apa-apa sama Bapak. Kalau ada apa-apa sama Bapak, pasti Ibu dan Fia sudah menghubungiku. Tadi saja saat aku mengirim pesan singkat kepada Fia, dia sempat menjawab 'Iya'. Itu artinya, di sana tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.
Saat aku sedang melamun, ternyata Mas Adi sudah masuk ke dalam mobil dan bersiap menjalankannya. Pikiranku benar-benar sedang tidak fokus. Kami sama-sama terdiam, sehingga ruangan di dalam mobil terasa sunyi dan hening. Hanya suara mesin mobil yang terdengar. Akhirnya kami pun sampai di jalan dekat rumah, karena rumahku masih masuk gang, jadi Mas Adi memarkirkan mobilnya di pelataran tetanggaku. Sudah biasa jika di kampung menitipkan mobil di pelataran tetangga tanpa izin terlebih dulu, apalagi Mas Adi lurah, jadi beberapa orang sudah mengenali mobilnya.
Aku berjalan mendahului Mas Adi, dia mengikutiku dari belakang. Terlihat di antara rumah-rumah di sini, cuma rumahku yang gelap gulita, karena lampu belum dinyalakan.
"Baru pulang, Dis?" sapa Pak Trisno tetangga depan rumahku.
Dia sedang duduk bersantai, berbincang dengan anak istrinya di teras rumah mereka.
"Nggeh, Pak," jawabku ramah.
Jika di kampung, tak ramah, bisa-bisa orang-orang menganggap kita sombong. Kalau sampai terjadi sesuatu, mereka tidak akan ada yang membantu.
"Sugeng ndalu, Pa?" Mas Adi menyapa Pak Trisno, sekadar basa-basi agar tak dianggap sombong.
"Sunggeng ndalu ugi, Pak. Mampir Pak," balasnya tak kalah ramah dan malah terlihat sangat menerima kehadiran Mas Adi.
Tetanggaku sudah mengetahui, mengenai lamaran Mas Adi padaku.
"Terima kasih, Pak. Kalau tidak keberatan, apa boleh Bapak ikut saya menemani Dik Gendis masuk ke rumah. Kalau hanya berdua saja, takutnya akan menimbulkan fitnah," pinta Mas Adi baik-baik.
"Ooooh..., boleh, boleh, boleh, Pak. Ayo!" Pak Trisno merespon baik, lantas dia langsung beranjak dari duduknya, dengan senang hati dia menemani Mas Adi bertamu ke rumahku.
Para warga di kampungku menyambut bahagia, saat mendengar aku dilamar oleh kepala desa. Karena bagi orang kampung seperti kami, rumah dekat dengan kepala desa itu sangat menguntungkan. Mau minta persetujuan atau tanda tangan surat penting akan lebih dekat.
Aku membuka pintu, hal pertama yang aku rasakan, mengapa suasana di dalam rumah terasa mencekam? Ada hawa yang aneh dan bulu kudukku seketika berdiri, tanganku merinding. Aneh, tak biasanya aku merasa takut seperti ini. Mas Adi menyalakan lampu dari ponselnya, menyinari langkahku mencari sakelar.
Setelah aku menyalakan lampu ruang tamu, lalu aku mempersilakan mereka masuk, "Masuk, Mas, Pak."
Aku pun juga membuka pintu rumah lebar-lebar, agar orang dapat melihat kegiatan kami di dalam. Supaya tidak ada yang curiga kepada kami.
"Dik, ini nasi gorengnya. Kamu makan dulu sana, setelah itu bersihin badanmu. Biar aku ngobrol sama Pak Trisno di sini," perintah Mas Adi memberikan sebungkus nasi goreng padaku.
Aku menerimanya dan mengangguk lantas pergi ke dapur membuatkan mereka minuman hangat, sebelum menuruti perintahnya. Entahlah, mengapa dari tadi perasaanku tidak enak. Setelah aku makan, mandi dan sekarang sudah rapi, barulah aku ikut bergabung bersama mereka yang sudah asyik mengobrol sedari tadi. Aku duduk di sofa panjang samping sofa singel yang Mas Adi tempati. Sedangkan Pak Trisno duduk di sofa depan Mas Adi. Saat Pak Trisno sedang antusias menceritakan hasil panennya, suara ponsel Mas Adi berbunyi.
"Maaf Pak, saya angkat telepon dulu," potong Mas Adi menyela pembicaraan Pak Trisno.
"Nggeh, Pak. Monggo!" ujar Pak Trisno mempersilakan Mas Adi mengangkat teleponnya.
Mas Adi berdiri dari duduknya, sedikit menjauh dari kami saat menerima telepon itu. Aku menatap wajahnya tampak serius dan tegang saat dia berbicara dengan orang yang meneleponnya. Perasaanku semakin tak karuan ketika dia menatapku aneh. Ada apa ini? Setelah dia usai menelepon, aneh, mengapa dia duduk di sampingku? Dia menatapku dan Pak Trisno bergantian. Aku memiliki firasat yang tidak baik.
"Ada apa, Mas?" tanyaku karena sudah tidak tahan lagi menahan rasa perasaanku.
Dia menghela napas dalam dan merengkuh bahuku, semakin tak karuan rasanya hatiku. Aku melirik ke pintu, kok banyak tetanggaku yang datang, ada apa sebenarnya?
"Dik, kamu harus sabar dan ikhlas," ujar Mas Adi sangat pelan memegangi tanganku dan menyandarkan tubuhku yang sudah melemas di bahunya. "Bapak sudah ndak ada," lanjutnya pelan namun sangat amat menohok ke ulu hatiku.
Seketika napasku sesak dan hatiku tercekam. Perlahan karena tak mampu menahan sesak di dada, akhirnya aku menangis sampai meraung-raung. Mas Adi memeluk tubuhku yang mulai lemas, semakin lama pandanganku mengabur dan gelap.
***
Samar-samar aku mendengar tangisan keras di sampingku, aku mengejapkan mata dan menoleh ke samping. Fia, dia terbaring sambil menangis histeris. Aku menyapu pandanganku, banyak tertanggaku mengelilingi tempat tidur kami. Aku melihat lagi sekelilingku, kamarku penuh ibu-ibu berkerudung sambil menangis. Bapak! Aku teringat sesuatu, dan seketika langsung beranjak dari tempat tidur. Aku kembali menangis dan beberapa ibu-ibu menahanku agar tak keluar dari kamar.
"Lepas! Aku mau lihat Bapak!" berontakku memaksa melepaskan diri dari pelukan salah seorang ibu-ibu yang menahanku.
Akhirnya dia melepaskan aku, lantas aku berlari keluar kamar dan melihat Ibu sudah mengaji di samping tubuh Bapak yang tertutupi dengan kain jarik hitam. Lututku lemas dan bibirku kelu, aku berharap ini adalah mimpi. Sesaat aku memejamkan mata, berharap saat nanti aku membuka mata, semua ini tidak nyata. Sebuah tangan merengkuh bahuku dan memegang tanganku.
"Ambillah wudu, kita bacakan surat yasin buat Bapak," titahnya dengan suara pelan.
Perlahan aku membuka mata, menoleh ke samping, melihat wajah Ibu kusam, matanya sebap, hidungnya pun merah. Dia tersenyum tipis dan mengangguk agar aku segera melaksanakan perintahnya. Aku langsung memeluk Ibu dan menangis sejadi-jadinya sampai tubuhku lemas dan akhirnya, karena Ibu tak kuat menahan tubuhku, kami pun sama-sama tersungkur di lantai.
"Ibuuuu...," isakku tak kuasa menahan tangis.
"Sabar, ini yang terbaik buat Bapak. Allah sudah mengangkat penderitaan yang Bapak-mu tahan selama ini. Ikhlaskan," bisik Ibu terdengar tabah walaupun suaranya bergetar.
Ikhlas? Sangat mudah terucap namun begitu sulit dijalankan. Apa aku bisa mengikhlaskan kepergian Bapak? Sangat sulit dan bayangan masa depanku seketika kelabu.
"Ada satu permintaan Bapak untukmu, sebelum tadi dia masuk ke ruang ICU," lirih Ibu langsung kutegakkan tubuhku mendengarkan apa yang dikatakan Bapak sebelum dia tiada.
"Apa, Bu?" tanyaku menatap mata sembap Ibu.
Ibu mengusap wajahku, menyeka air mataku yang terus membanjiri pipiku.
"Bapak ingin kamu segera menikah dengan Pak Adi. Bapak dan Pak Rudi sudah membicarakan hal itu tadi siang. Tapi, takdir mendahului Bapak. Sebelum dia menikahkanmu, Allah lebih dulu memanggil Bapak," jelas Ibu semakin membuatku merasa bersalah dan berdosa.
Penyesalan pun datang, kenapa aku tidak menuruti keinginan Bapak jauh hari, saat dia menawariku untuk menikah? Aku semakin menangis hingga sesenggukan.
"Terus apa yang bisa aku lakukan sekarang, Bu? Bagaimana aku menebus rasa bersalahku pada Bapak?" tanyaku tak lagi dapat berpikir jernih.
Kenapa aku tadi tidak datang ke rumah sakit? Seandainya aku tahu jadinya akan begini, tadi saat pulang kerja aku akan langsung ke rumah sakit. Penyesalan menyelimuti hatiku.
"Menikahlah di depan jasad Bapak, setidaknya turuti permintaan terakhirnya sebelum dia dimakamkan," ujar Ibu meneteskan air mata.
Aku terkejut dan langsung menoleh ke arah di mana Pak Rudi sedang duduk berdampingan dengan Mas Adi di samping tubuh membujur kaku Bapak. Melihat air mata Ibu, ada sesuatu yang menggeliat di dalam hatiku.
Menikah??? Secepat itukah? Ya Allah, apa pantas di saat keluargaku sedang berkabung aku menikah? Tapi memang itu keinginan Bapak. Tapi, bagaimana dengan perasaanku? Aku belum bisa mencintai Mas Adi. Apa aku bisa hidup mendampinginya tanpa memiliki rasa cinta? Ya Allah, rencana apa yang sedang Engkau atur untuk hidupku?
***
"Assalamualaikum," ucap seorang pria yang kini sudah resmi secara agama dan negara menjadi suamiku.
"Waalaikumsalam," balasku menghampirinya yang sudah duduk di kursi ruang tamu sambil melepas sepatu kerjanya.
Aku tersenyum mendekatinya, lantas dia pun berdiri dan mengambil Salsa, balita berusia enam bulan, putri pertama kami.
"Aku buatkan minum dulu ya, Mas," kataku setelah Salsa anteng berada di gendongannya.
"Iya, sekalian minta tolong bawakan tas dan map itu ke kamar ya, Dik," titahnya lembut padaku.
Tutur katanya yang baik, tingkahnya yang sopan, perlakuan manisnya dan kesabarannya, perlahan menumbuhkan rasa cinta di dalam hatiku. Dia adalah Mas Adi, pria pilihan Bapak yang tiga tahun lalu mengucap ijab kabul di atas jenazah Bapak. Walaupun dulu aku belum yakin menerima dia untuk menjadi suamiku, berkat ketulusan dan keikhlasannya menunggu dan membimbingku, aku bersyukur kini kesabarannya terbalas oleh perasaan cintaku.
Butuh waktu lama untuk Ikhlas menerimanya dan mengikhlaskan kepergian Bapak. Tak cukup satu atau dua bulan, aku menyembuhkan dukaku atas kepergian Bapak. Tapi aku bersyukur, saat aku merasa sangat terpuruk, ada Mas Adi yang selalu setia mendampingiku dan berusaha menguatkanku. Tak pernah dia mengeluh sedikit pun, meski pada awalnya aku bersikap acuh tak acuh dengannya.
Hingga suatu hari, saat aku mendengar ceramah di pengajian akbar di masjid kampungku, yang membahas tentang ikhlas dan sabar, barulah aku mengerti maksud Bapak, kenapa dia mendesakku agar segera menikah. Tuhan memang selalu memiliki jalan untuk menunjukan makna kehidupan, meskipun awalnya sulit untuk dijalani.
Namun sekarang aku sudah ikhlas menjalani kehidupanku yang jauh lebih baik. Aku merasa lebih tenang karena memiliki pegangan hidup dan panutan setelah Bapak meninggal. Mas Adi juga bisa menjadi pengganti pemimpin di keluarga kami. Dia juga sangat baik kepada Fia dan Ibu. Menasihati Fia layaknya seorang kakak dan imam keluarga. Dari sini aku merasakan keikhlasanku berbuah cinta yang tulus dan suci.
THE END
########
I miss you so much Ayah. Tenanglah di sana, di sisi Tuhan. Damailah di sisi-Nya. Doaku untukmu, yang dapat membasuh rindu di antara kita.
Untuk pembaca ceritaku, siapa di antara kalian yang sudah ditinggalkan ayah? Beruntung kita, karena dia sudah membekali kita kekuatan dan kebaikan. Jangan lupa untuk selalu berdoa untuknya.
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top