BETRAYAL FRIEND
"Daf, peta kita ke mana ya? Gue cari engga ada masa," tutur Rio sembari ia merogoh semua saku yang tertempel di pakaiannya.
"Hah?! Benar tidak ada?" tanya Rangga yang mendengar bahwa peta yang mereka bawa hilang. Mereka semua panik tetepi mencoba untuk tenang, rasanya sangat sulit.
-oOo-
"Daf, Ga, udah ngepacking barang-barang?" tanya Rio. Sekarang mereka bertiga sedang berada dikediaman rumah Rio.
"By the way, nanti teman gue ada yang mau ikut," ujar Rangga.
"Laki? Apa perempuan?" tanya Daffa, soalnya kalau perempuan dia bisa modus-modus dikit. Emang ini anak salah satu playboy tetapi, masih batas wajar kok. Tenang aja.
"Laki semua kok. Jadi kalian tenang aja," jawab Rangga dengan santai. Daffa mendengus kemudian mereka mengecek kembali barang bawaan mereka.
Kompas? Cek!
Peta? Cek!
Perlengkapan lainnya? Cek!
Setelah barang bawaan sudah dipastikan tidak tertinggal. Mereka pun bergegas menaiki travel. Tetapi, sebelum menaiki travel, mereka harus menunggu kedua teman Rangga dahulu. Selang beberapa menit teman-teman Rangga pun tiba. Mereka segera menaiki travel itu. Tujuan mereka adalah Gunung Rinjani. Menjelajahi untuk memotret keindahan di atas gunung itu.
"Di sana gimana ya pemandangannya?" tanya Dean yang merupakan salah satu teman Rangga. Mereka semua berpikir hingga Ray ikut menimpali ucapan Dean. "Yan, gue pernah search tentang Gunung Rinjani lebih tepatnya sih engga sengaja lihat."
Ray segera membuka galeri di handphonenya, waktu itu ia merasa ia pernah menscreenshoot tentang Gunung Rinjani karena pemandangannya yang menakjubkan. Akhirnya ia berhasil menemukan foto itu diantara 350 tangkapan layar di handphonenya. Ray dengan segera menyerahkan kepada Dean tentang keindahan di sekitar gunung itu. Yang lain ikut mengintip, sedangkan Daffa tetap santai di kursinya. Ia tak begitu suka dengan teman-temannya Rangga. Tetapi, mau bagaimana lagi. Mau tidak mau harus ia terima.
"Wah ... keren ya!" seru Rio sembari mengintip gambar-gambar Gunung Rinjani yang terpampang di handphone Dean.
"Hooh, Yo. Gue juga suka, untung kita engga salah pilih," timpal Dean.
Tak terasa sudah 2 jam lebih mereka menempuh perjalanan. Hingga mereka tiba di kaki gunung itu dengan selamat. Keadaan di gunung itu sudah mulai gelap, karena sekarang telah menunjukkan pukul 17.00.
Mereka mulai mendaki gunung itu dengan peralatan yang ada. Tetapi, kebetulan ada kayu yang bisa dipergunakan para penyuka hiking untuk mempermudah jalan mereka. Meskipun jalannya tak lurus seperti jalan raya. Tetapi, mereka berusaha dengan tenaga yang mereka kerahkan semua. Dengan penerangan yang cukup minim karena matahari akan terbenam dalam beberapa menit lagi. Dan setidaknya mereka harus segera menemukan tempat untuk mendirikan tenda atau mereka harus segera menemukan gua yang bisa dijadikan tempat mereka tidur malam ini.
Mereka terus mendaki hingga terdengar suara di sekitar semak-semak yang mereka coba hiraukan. Rangga berada di depan karena ia yang tau seluk-beluk di Gunung Rinjani ini. Diurutan kedua ada Rio, yang ketiga ada Ray, keempat Dean, dan yang terakhir Daffa.
Kenapa Daffa? Karena dia yang paling cuek dengan keadaan sekitar. Tetapi, ia juga bisa menjadi yang paling peka. Contohnya seperti sekarang. Suara yang terdengar di semak-semak itu, sebenarnya Daffa mendengarnya. Tetapi, ia tak ingin membuat teman-temannya panik. Meskipun ia ingin memberitahu mereka, sebab jika binatang buas mereka bisa antisipasi.
Suara itu lama-kelamaan terdengar semakin kencang. Semua mulai sedikit was-was. Meski Rangga dan Daffa masih tak peduli. Mereka berdua masih memfokuskan terhadap jalanan dan mencari tempat untuk mereka diami.
Akhirnya mereka berhenti sejenak. "Daf, lu kan paling berani. Liat gih di sana ada apaan!" perintah Rangga.
"Gue? Kaga ah. Gini-gini juga gue bisa takut kali," jawab Daffa dengan dengusan yang sinis. Mood nya sedang tak baik hari ini.
"Lu aja, Dean!" perintah Daffa. Daffa malah memerintah balik seseorang.
"Lah? Lu kan disuruh Rangga. Kenapa gue yang jadi disuruh?!" tanya Dean tak terima.
"Mood gue lagi engga bagus hari ini," jawab Daffa seenaknanya. Kemudian ia melenggang ingin pergi dari hadapan mereka. Ia jengah dengan kedua teman Rangga, berasa ada sesuatu yang tak enak. Ketika ingin melewati Rangga, tangannya dicekal oleh Rangga. Otomatis ia berhenti.
"Lu jangan pergi, biar gue yang liat tuh semak-semak," ujar Rangga. Mungkin ia berasa sebagai penanggung jawab semuanya, agar mereka bisa sampai tujuan kembali.
Rangga berjalan perlahan mendekati semak-semak. Jalan ini seperti tanah merah, yang licin jika diinjak karena mungkin tadi sekitar pukul 16.00 di daerah ini hujan.
Secara tak terduga muncul seekor serigala dan otomastis mereka berteriak, "LARI!"
Pinggang mereka yang terikat oleh tali, mau tidak mau jika salah satu lari yang lainnya harus lari. Sebab, jika tidak mereka semua akan terperosok ke kaki gunung.
Terdengar suara serigala yang mengaum dengan sangat keras. Daffa melihat kebelakang bahwa serigala itu tak mengejar mereka.
"Berhenti! Serigalanya enggak mengejar," ujar Daffa dengan suara sedikit lebih keras. Mendengar instruksi dari Daffa, otomatis mereka berhenti.
Rio melihat sekeliling, sedangkan yang lainnya masih mengatur nafas.
"Woi, di sebelah sana ada gua," tutur Rio sembari menggoyangkan tubuh Rangga.
"Mana? Mana?" tanya mereka bersamaan. Rio menunjuknya menggunakan dagunya. Ia takut jika menunjuk dengan jarinya, takut terjadi yang tak diinginkan.
"Yaudah, ayok kita pergi ke sana. Hari sudah menunjukkan jam 7 malam. Aku tidak mau jika harus meempuh hingga tengah malam," jelas Ray. Ray ini cukup penakut, sebelumnya ia belum pernah mengikuti acara yang terbilang mandiri ini. Rangga yang cukup paham sifat Ray, jika tak dituruti dia akan berulah. Ia pun segera pergi ke gua yang berada di ujung sana.
"Hati-hati ya, kawan!" perintah Rangga. Jalan menuju ke gua sana jauh lebih licin, sehingga harus melihat betul-betul jika ingin melanjutkan langkahmu.
Sesampainya di dalam gua. Kami segera mendirikan tenda. Satu tenda terdiri dari 2-3 orang. Jadi kami mendirikan 2 tenda. Tenda satu terdiri dari Daffa, Rio, dan Rangga. Sedangkan tenda kedua terdiri dari Dean dan Ray. Mendirikan sebuah tenda memakan waktu kurang lebih 30 menit. Sehingga sekarang sudah pukul 19.30.
Rio dan Ray mengumpulkan kayu yang terlihat berserakan di sekitar gua itu. Setelah terkumpul mereka membakar kayu itu menggunakan pistol pematik api, sehingga tak perlu susah payah agar kayu itu terbakar.
"Kalian bawa makanan?" tanya Rangga kepada yang lainnya. Serempak mengangguk.
"Tujuan kita mau kemana sih, Ga?" tanya Daffa. Sedari tadi dia heran mau kemana mereka sebenarnya.
Ketika Rangga ingin menjawab, sudah disela oleh Dean. "Kita ingin ke puncak Gunung Rinjani ini."
Daffa mendengus sinis. Ia bertanya dengan siapa, yang menjawab siapa. Kemudian ia bertanya kepada Rangga, "Emang benar gitu, Ga?"
Rangga mengangguk membenarkan. Rangga sebenarnya sudah melihat tatapan tak suka kepada teman-temannya. Tetapi, ia mencoba mengenyahkan tatapan yang diberikan oleh Daffa.
Keheningan menyelimuti mereka. Sehingga mereka putuskan untuk masuk ke dalam tenda mereka masing-masing.
"Daf, kenapa sih lu keliatannya enggak suka banget sama teman-temannya Rangga?" tanya Rio. Ternyata dia menyadarinya juga.
"Iya, Daf. Kasihan tau mereka, lu kasih tatapan ga bersahabat gitu," timpal Rangga. Daffa menatap mereka jengah terutama kepada Rangga.
"Apa itu teman lu. Jadi, lu enggak enak sama mereka gitu?" jawab Daffa atas ucapan Rangga tadi. Rangga mengangguk membenarkan. Mereka ingin ikut, tetapi disambut sifat yang tak baik oleh sahabatnya kepada kedua temannya. Ya, dirinya merasa tak enak lah. Merasa bersalah gitu.
"Gue merasa mereka merencanakan sesuatu, Ga. Gue takut dalam pendakian ini--" ucapan Daffa terpotong membuat kedua orang yang diantaranya Rio dan Rangga menatapnya dengan pandangan penasaran.
"Pendakian ini--?" tanya Rio ragu. Ia sangat penasaran akan hal ini.
"Pendakian ini ada yang tak selamat. Apalagi lu, Rangga," tutur Daffa melanjutkan ucapannya dengan serius. Hawa yang dirasakan Rio menjadi sangat mencekam. Ia juga merasakan tatapan Dean yang kurang bersahabat kepada Rangga. Tetapi memang tak terlalu kentara.
"Gue?" tanya dia kepada dirinya sendiri. Kemudian ia tertawa terbahak.
"Enggak mungkin lah. Mereka kan teman gue. Mana mungkin gue enggak selamat dalam pendakian ini," sanggah Rangga. Padahal di dalam dirinya merasakan hawa yang tak enak dan khawatir akan dirinya pulang hanya dengan jasad yang terkapar, tak ada nyawa di dalamnya. Hal itu membuat Rangga bergidik ngeri.
"Udahlah. Ayok kita tidur, besok masih ada perjalanan buat sampai ke punjak Rinjani," tutur Rangga sembari membaringkan badannya, kemudian ia memejamkan matanya.
Daffa dan Rio saling bertatapan, berbicara secara telepati. Dan menatap Rangga nanar. Kemudian mereka menyusul Rangga ke alam mimpi mereka.
-oOo-
Keesokan harinya, terdengar kicauan burung yang begitu merdu.
Kelima laki-laki itu sudah melipat tenda mereka kembali dan akan melanjutkan perjalanan mereka. Tetapi, perut mereka masih belum diisi.
"Woi, tunggu dulu dong," ujar Ray. Mereka semua menoleh ke belakang, terlihat Ray sedang bertumpu pada kedua lututnya.
"Kamu kenapa, Ray?" tanya Rangga sembari menghampiri Ray.
"Kita makan dulu ya. Laper gue," jawab Ray dengan pandangan memohon. Semua menuruti perkataan Ray, karena mereka juga belum mengisi perutnya dengan asupan makanan mereka.
Setelah mengisi perut mereka dengan asupan energi. Mereka bergegas untuk melanjutkan perjalanan dengan wajah yang jauh lebih segar daripada tadi.
"Rangga, gue boleh bawain tas lu enggak?" tawar Dean dengan niat yang terdengar baik. Tetap, hal itu malah dicurigai oleh Daffa. Tanpa berpikir yang aneh-aneh, Rangga memberikan tasnya kepada Dean.
-oOo-
- Di tengah perjalanan. -
"Ga, gue kebelet pipis. Ini tasnya. Ayok Ray temenin gue!" izin Dean kepada yang lain. Tanpa memikirkan jawaban mereka, Dean menarik tangan Ray menjauh dari hadapan mereka.
"Kita tungguin mereka sebentar ya," tutur Rangga. 30 menit berlalu, mereka tak datang.
Hujan rintik-rintik menyambut senja saat itu. Mereka masih menunggu Gea dan Rey.
"Sial! Kenapa mereka belum datang juga?" umpat Daffa kesal lelah menunggu mereka.
Sudah hampir satu jam mereka kehilangan waktu pendakian gara-gara menunggu teman Rangga.
"Hujannya makin deras, Bro. Kita cari tempat berteduh!" Rio menarik Rangga disusul Daffa. Mereka mencari tempat aman di bawah pohon yang besar dengan daun lebat.
Air yang turun dari langit semakin deras. Seandainyaa jika sesuai jadwal yang direncanakan mereka sudah sampai di danau Segara Anak, di mana tempat itu biasa untuk mendirikan tenda sebelum pendaki naik ke Palawangan. Danau Segara Anak adalah tempat patokan pendaki jika perjalanan mereka akan terbayar dengan keindahan puncak yang disucikan masyarakat Sasak.
"Bagaimana nih? Lanjut atau mau bermalam di sini?" tanya Rio mengusap-usapkan tangannya mencari kehangatan.
Udara semakin dingin menusuk hingga ke tulang. Mendaki gunung tanpa seorang pandu atau jika bahasa Sasak disebut amak piung sangat berbahaya. Apalagi medan yang dilalui Rangga CS terjal dan sulit. Jalanan yang mereka ambil adalah jalur Torean.
Daffa dan Rangga saling memandang, dalam hati Rangga mengkhawatirkan kedua temannya yang tak kunjung datang. Namun jika mereka di sana sampai malam, entah apa yang terjadi. Harusnya dari awal mereka mengikuti prosedur pendakian yang sudah resmi dan bergabung dengan pendaki yang lain. Tapi karena merasa sudah menguasai medan mereka berjalan sendiri tanpa mendapat pantauan dari pengurus.
"Ya sudah yuk, lanjut saja. Setidaknya kita harus sampai di danau Segara Anak, biar menuju ke puncak nggak kejahuan." Akhirnya Daffa memutuskan.
Dia tidak mau mengambil risiko keselamatan teman-temannya. Akhirnya mereka pun melanjutkan perjalanan meskipun jalanan licin. Selama perjalanan Rangga selalu diam memikirkan ke mana perginya Ray dan Dean. Hari semakin gelap, mereka menyalakan senter yang dipasang di kepala. Mereka terus berjalan mengikuti jalan setapak dengan hati mantap jika itulah jalurnya. Sampai Daffa yang berjalan paling depan menyetop perjalanan mereka.
"Berhenti!"
Rangga dan Rio berhenti.
"Kenapa?" tanya Rangga.
"Guys, kalian merasa kita salah jalan nggak sih? Sesuai peta kan dari Pos III Torean menuju ke Pelawangan Torean kita akan menemukan sungai. Dari tadi siang kita jalan, gue nggak menemukan sungai," ujar Daffa takut bercampur bingung.
Jarak dari Pos III Torean menuju ke Plawangan harusnya sepanjang perjalanan mereka akan berada dalam apitan 2 buah gunung dan bisa menikmati aliran sungai (Kokok) Putih.
"Iya, ya? Kok gue baru sadar itu sih?" timpal Rangga karena sedari tadi terlalu sibuk memikirkan teman-temannya yang kabur entar ke mana mereka sekarang.
Tanpa berucap Rio mencari sesuatu yang bisa menunjukan arah mereka. Kompas! Setelah kompas di tangan, Rio mencari selembar kertas penting yang menggambarkan jalur menuju ke puncak Rinjani.
"Waduh!" seru Rio mengejutkan Daffa dan Rangga.
"Kenapa?" tanya Daffa.
"Daf, peta kita ke mana ya? Masa gue cari nggak ada?" tutur Rio sembari ia merogoh semua saku yang tertempel di pakaiannya.
"Hah?! Benar tidak ada?" tanya Rangga yang mendengar bahwa peta mereka hilang.
Mereka semua panik tetepi mencoba untuk tenang, rasanya sangat sulit.
"Coba cari di tas." Semua mencari di tasnya masing-masing, namun nihil. Tidak menemukan.
"Shit!!! Sial!!! Kenapa harus hilang di saat seperti ini!" umpat Rio marah.
Dia berkacak pinggang membasahi bibirnya dengan lidah. Rangga dan Daffa duduk lemas di tanah. Hujan sudah reda, gelapnya keadaan di sana membatasi pandang mereka. Kanan kiri, depan belakang gelap.
"Terus kita harus bagaimana?" Daffa merengek takut jika mereka akan tersesat.
Rangga termangu berpikir sesuatu. Bagaimana bisa peta itu hilang? Daffa melirik Rangga, dia curiga kepada dua temannya.
"Ga, sorry sebelumnya. Tapi gue curiga sama temen-temen lo. Jangan-jangan mereka yang ambil? Siapa lagi kalau bukan mereka? Coba pikir, di tengah perjalanan begini tiba-tiba mereka menghilang." Rangga menunduk mencerna ucapan Daffa.
Apa mungkin mereka yang mengambil? Kalau memang iya, apa tujuan mereka? Rangga terdiam dan memicingkan matanya.
"Gue dari awal sudah curiga sama dia," gumam Daffa meraup wajahnya.
"Terus kita harus bagaimana?!!" pekik Rio dengan suara parau.
"Kita harus menginap di sini menunggu sampai hari terang. Kalau kita melanjutkan perjalanan, gue takut kita akan semakin tersesat. Gimana, Ga?" Daffa meminta persetujuan Rangga.
Rangga menghela napasnya dalam dan menjawab, "Oke, kita dirikan tenda di sini."
Tanpa memikirkan di mana keberadaan mereka, aman atau tidak posisi mereka, akhirnya mendirikan tenda di sana dan menyalakan api unggun meskipun sulit di tanah basah sisa hujan. Rangga masih tak habis pikir kenapa Ray dan Dean tega melakukan itu?
-oOo-
Hari sudah terang udara sejuk pegunungan menerpa wajah mereka. Setelah membereskan alat bermalam, mereka pun melanjutkan perjalanan.
"Seharusnya kemarin kita ambil jalur yang ramai dan mudah. Jalur Senaru atau jalur Sembalun. Kita tidak akan mungkin tersesat meskipun tanpa peta," sesal Rio terus menanjak bertumpu sebatang kayu yang dia gunakan sebagai tongkat.
Gunung Rinjani telah disediakan Pusat Pendakian Terpadu (Rinjani Trek Centre) atas kerjasama Balai Taman Nasional Gunung Rinjani dengan NZAID (New Zealand Asistance International Development). Jika pendaki berjalan sesuai jalur yang ditetapkan, mereka tidak akan tersesat walau tanpa peta.
"Sorry guys, ini salah gue. Seandainya...." Daffa menepuk bahu Rangga.
"Buat pelajaran lo, Ga. Lo harus bisa memilih kawan mana yang tulus mana yang bulus. Kawan sewaktu-waktu bisa menjadi lawan." Daffa merangkul bahu Rangga dan menepuk-nepuknya.
"Makasih, gue akan lebih hati-hati percaya sama teman," ucap Rangga.
"Guys, lihat itu!" Rio tiba-tiba mengagetkan, sembari menunjuk ke depan.
-oOo-
Bertolak dari Danau Segara Anak dan melanjutkan perjalan ke Pelawangan Sembalun membutuhkan waktu kurang lebih 4 Jam. Dilanjutkan lagi ke Puncak Rinjani menempuh waktu 4-5 Jam. Pendakian ke puncak dilakukan pada pukul 2 dini hari, dimaksudkan agar pada pagi harinya dapat menikmati sunrise dari Puncak Gunung Rinjani serta dapat menikmati pemandangan seluruh pulau Lombok bahkan pulau Bali di cuaca cerah seperti saat ini.
Matahari sedikit demi sedikit mengintip dari sela-sela bukit. Semakin lama terlihat terang. Kabut menyingkir dan embun menguap seiring menghangatkan hari.
Napas lega menyelimuti hati mereka. Senyum terukir di bibir tebal Rangga. Rio merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara dalam-dalam hingga menembus ke paru-paru. Daffa, mengabadikan indahnya hamparan kabut putih seperti awan menutupi tebing-tebing tinggi yang mengelilingi puncak Rinjani.
"Wooow!!!" pekik Rio senang akhirnya setelah berjalan dua hari satu malam mereka sampai juga di atas Rinjani.
Rangga menoleh ke samping, dia terkekeh geli dan menggelengkan kepalanya.
"Gue nggak tahu bagaimana kalau kemarin nggak ketemu rombongan pendaki lain? Gue bersyukur dan amat sangat bersyukur kita bisa sampai di atas sini dengan selamat." Rio terus mengoceh, Rangga dan Daffa mendengarkan sambil tersenyum-senyum turut bahagia.
-oOo-
Suasana di kantin kampus tidak begitu ramai. Hanya terlihat beberapa orang.
"Gue yakin mereka sekarang pasti sengsara di tengah hutan," ucap Dean licik menyeringai culas.
"Lo ada masalah apa sih sama Rangga? Sampai lo tega melakukan itu? Sumpah gue takut terjadi sesuatu sama mereka," ujar Ray tak mengerti tujuan Dean.
Setelah mengambil peta dan kembali turun ke pos I, Dean langsung mengajak Ray kembali ke kota. Sebenarnya Ray hanya ikut-ikutan tanpa mengetahui alasan Dean mengambil peta itu. Otak dari keculasan itu adalah akal-akalan Dean membalas sakit hatinya pada Rangga.
"Gue kesel sama Rangga. Kenapa dia yang dipuji sedangkan kita yang sudah membantu dia sampai menang lomba miniatur pesawat. Kita yang membantunya mencari bahan dan juga menemaninya lembur mengerjakan itu," kesal Dean mengepalkan kedua tangannya menajamkan mata.
Iri dapat menggelapkan mata, meskipun dengan sahabat sendiri.
"Hah!?" seru Ray menoleh terkejut. "Kalau lo kesal sama Rangga jangan libatkan orang lain. Kalau lo mau balas dendam atas kekesalan lo, jangan membahayan nyawa orang yang tidak bersalah. Lo gila! Lo sudah mengkhianati sahabat yang selama ini baik sama kita. Rangga juga mencantumkan nama kita di hasil karyanya kan?" sergah Ray menyesal sudah membantu Dean mengambil peta itu.
Ternyata Dean memiliki dendam dan niat terselubung pada Rangga.
"Hai guys." Seseorang yang mereka bicarakan datang dan langsung duduk di sebelah Dean.
Mulut Dea dan Ray menganga tak percaya Rangga ada di depan mereka.
"Rang...rang...rangga?" seru Ray gelagapan.
Rangga tersenyum dan menepuk bahu Dean.
"Kenapa lo lakuin itu?" tanya Rangga tanpa basa-basi. "Apa salah gue ke lo?" Rangga melirik Dean yang terpaku dengan debaran jantung abnormal. "Selama ini kita sudah bersahabat baik, gue tulus berteman sama kalian," imbuhnya menatap wajah Ray dan Dean bergantian.
Ray dan Dean saling memandang tak enak hati. Ray menunduk dan berucap, "Sorry, Ga."
Rangga tersenyum kecut. "Maaf itu gampang, tapi menghapus pengkhiatan yang sudah kalian lakukan ke gue itu sulit. Tapi makasih, dengan ini gue bisa sadar ternyata kawan bisa menikam sahabat baiknya dari belakang. Kenapa kalian menyembunyikan pisau di belakang kalau memang mau membunuh gue? Tikam saja dari depan, gue bisa lebih menerima dengan ikhlas."
Rangga menahan dadanya yang panas dan penuh amarah. Ingin sekali dia memukul Dean dan Ray, tapi dia masih memiliki belas kasihan karena mereka pernah membantunya banyak hal.
"Ga, gue bisa jelasin," ujar Dean.
"Sorry, gue nggak bisa menerima penjelasan dari kalian. Gue sudah sangat kecewa dan terima kasih kalian sudah menjadi teman baik gue." Rangga beranjak dari duduknya.
Ray mengejar Rangga disusul Dean tapi Rangga tetap tidak mau mendengar alasan apa pun dari mereka. Masih untung Rangga bisa selamat dari pendakian itu. Bagaimana jika sampai terjadi sesuatu dengannya atau Daffa dan Rio?
Hal yang paling menyakitkan adalah pengkhianatan.
#########
Ini sebenarnya adalah cerpen kolaborasi saya dengan seorang teman salah satu anggota group. Daripada tersimpan di sini, mendingkan diposting. Hehehe
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.🙏🙏🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top