Cerita di Tengah Macet

Hujan deras mengguyur jalanan Salatiga, tepat di tanjakan menuju ke arah Semarang. Sebuah pickup pengangkut kambing terjebak di tengah kemacetan. Deru klakson seakan tak mau kalah dengan desing knalpot dan rinai hujan meninju terpal di atas Colt buntung sang peternak.

Hari itu sang peternak berencana membawa kambing-kambingnya ke Kendal untuk istirahat di hotel hewan sebelum berlanjut menuju Jakarta via jalan tol. Ia harus sampai Jakarta selambat-lambatnya dua minggu sebelum Idul Adha. Ia mendengus selagi merutuk dengan supir pickup yang duduk di sampingnya dalam bahasa Jawa krama inggil.

"Mbek! Kapan kita bertemu dengan Tuhan?" tanya si kambing bergaris hitam.

"Gak tahu, Mbeek!" lenguh si kambing cokelat yang menekuk keempat kakinya demi menahan dingin. Alas jerami di bawah tubuhnya mulai basah berkat hujan angin kencang yang menyembur ke dalam pickup.

Ada 10 ekor kambing di dalam pickup yang berasal dari peternakan serupa. Namun di antara semuanya, si kambing bergaris hitam lebih akrab dengan si kambing cokelat. Itu karena kandang mereka bersebelahan dan sering ngobrol selagi si peternak menggembalakannya di tanah kosong. Keduanya berteman akrab sambil kunyah rumput liar setiap paginya.

Sudah dua jam berlalu setelah keberangkatan mereka dari peternakan di Kartasura. Si peternak bisa saja lewat tol Soker menuju Semarang lalu sambung tol lainnya menuju Kendal dan Jakarta. Sayangnya letak pintu tol dari hotel hewan amat jauh di samping biaya tol yang hampir saban bulan naik. Si peternak baru bisa mendapat uang banyak sesampainya di Jakarta.

Si kambing berbulu cokelat tertidur. Ia menahan dingin yang tak hentinya menyusup dari sela-sela jerami. Hujan menuruni jalanan Salatiga. Kendaraan demi kendaraan hanya berjalan sejauh 10 cm/menit. Apakah ada masalah di sana? Jangankan untuk tahu. Kambing pun tak paham akan bahasa manusia!

Di tengah kesendiriannya sore itu, datanglah sebuah truk berterali besi mengangkut hewan ternak bergerak di samping Colt buntung. Para babi merah-muda gempal yang bergerombol tidak seberuntung para kambing bernaung terpal di saat hujan.

"Dingin banget," keluh si babi dari truk sebelah.

"Iya. Sama," jawab kambing bergaris hitam.

"Eh, ada yang bangun. Dikirain tidur semua. Mau pergi ke mana?"

"Jakarta. Lho, emangnya mau pergi ke mana?"

"Semarang," jawab si babi dalam senyuman ramah.

Deru klakson tak henti bergilir dengan rinai hujan dan suara peluit. Si kambing bergaris hitam tak bisa melihat apapun berkat truk pengangkut babi di sebelah kiri dan bus Sumber Kencono di sebelah kanan.

"Aku iri sama kamu, Mbek."

"Iri kenapa?"

"Kamu enak dikasih terpal sama jerami di mobil. Aku sama temen-temenku malah kasih penutup seadanya di atas. Aku capek jadi sasaran orang terus. Kalo marah, dikit-dikit aku yang dipanggil. Kadang juga gantian sama si anjing. Aku juga sering dikatai najis. Padahal Tuhan menciptakanku seperti ini pasti ada tujuannya," keluh si babi. Rutukan berbahasa Jawa dari arah supir mengiyakan perkataan si babi.

"Sabar aja ya. Lah, ngapain juga marah-marah sama manusia? Mereka juga gak bakalan dengerin suara kita. Paling cuman suara 'mbek' ato 'ngok-ngok'. Kita juga bentar lagi bakal ketemu sama Tuhan kok. Sekarang banyakin aja amal ibadah sebelum sampai tujuan."

Memang pertemuan si babi dan kambing bergaris hitam itu sebentar. Mereka bicara terlalu akrab hingga akhirnya lupa akan kendaraan yang saling berdesakan berkat kecelakaan beruntun di ujung sana.

Soal hotel hewan itu, ane juga baru tahu dari berita. Ada hotel khusus buat hewan.

Baru tahu juga hewan bisa kena jet lag.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top