9.2 Bocah Baru

"Pernah suatu kali aku jatuh di hutan."

Khass bersandar pada jeruji besi, mata mengedar ke semua wajah yang menyimak dari balik sel masing-masing. "Kakiku patah dan sekujur tubuhku tergores. Aku terperangkap di sana selama dua hari."

Mata-mata itu membelalak, terutama Maurice, yang kini mencengkeram batang jeruji dengan tegang. Sel telah lama hening, khidmat mendengarkan penuturan Khass yang rutin dilakukan sejak dua minggu terakhir, tepat sebelum jadwal Profesor datang dan membawa beberapa di antara mereka untuk 'diobati'. Hari ini jadwal anak-anak di sel sebelah barat. Khass dan Janthell menempati sel paling timur. Pantas saja jika Maurice dan dua anak di samping selnya adalah pendengar paling antusias.

"Lalu?"

"Aku sama sekali kesulitan. Waktu itu hujan deras. Aku jatuh di lubang tepat di bawah tanah curam. Waktu itu sempat longsor juga. Lubangku sampai tertutup." Khass bercerita sambil menggerakkan tangannya untuk menambah kehebohan cerita. Maurice sama sekali tak berkedip. "Aku tidak bisa apa-apa. Cuma berdoa dan berdoa."

Khass samar-samar mendengar Janthell bergumam di belakang punggungnya: bagaimana bisa?

"Aku berdoa agar diselamatkan. Namun, bahkan sampai hari kedua, tidak ada yang menolongku. Kakiku sakit sekali. Aku takut," lanjut Khass, masih dengan nada yang mencekam dan sedikit terlalu dibuat-buat. Kemudian, nadanya melunak. "Lantas aku sadar, caraku berdoalah yang salah. Aku harusnya minta diberi kekuatan. Kamitua selalu mengatakan bahwa kita tidak boleh minta hasil kepada Tuhan. Kita tak boleh pasrah, kita harus berjuang. Karena itu berdoalah agar diberi kekuatan, dan ... dan semakin kuat untuk melakukan sesuatu."

"Astaga. Lalu?"

"Rasanya tubuhku membaik setelah berdoa." Khass tersenyum. "Memang kakiku masih sakit, tapi setidaknya aku bisa menyeret lututku. Aku berusaha menggali. Lama sekali, memang, tapi aku berhasil keluar."

Maurice mendesah lega.

"Yang terpenting adalah mengetahui cara berdoa yang tepat, maka pertolongan juga akan cepat datang." Khass mengacungkan jari, menandakan bahwa cerita belum selesai. "Seperti nanti, atau seperti aku kemarin. Berdoa supaya kuat menghadapi Profesor dan obat itu. Setelah berdoa, bakal jadi yakin. Itu lebih baik daripada tidak berdoa dan ketakutan, bukan? Takut membuat segalanya jadi lebih buruk. Yakinlah Tuhan bakal membantu umat-Nya yang mau berusaha, bukan cuma merengek minta hasil."

Seisi sel kemudian bertepuk tangan. Maurice berseru bahwa dia tidak akan takut, meski lututnya gemetaran. Gara-gara itu, anak-anak di sel lain jadi tertawa. Senyum Khass melebar. Setidaknya suasana tidak seburuk dua minggu lalu saat Melissa tewas di depan mata. Khass pun menoleh ke arah Janthell, tetapi pemuda itu hanya tercenung di pojok sel.

Khass menghampiri. "Bagaimana?"

"Seperti Guru sungguhan." Janthell mengangguk. Nadanya datar.

"Bukan, maksudku, apa kau juga merasa yakin?"

Janthell tak segera membuka mulut. Ia hanya mengerjap, dan ketika menyadari bahwa Khass masih menanti jawabannya, Janthell mengangkat bahu. "Inspiratif. Tapi, kau tahu aku tidak berdoa lagi."

Khass termangu di tempatnya. "Kau bisa mencoba lagi."

"Sering, dan 'gak ada gunanya bagiku. Teman-temanku dahulu sudah hilang semua." Janthell melambaikan tangan, mengisyaratkan sel-sel lain di ruang itu. "Aku berdoa agar temanku diselamatkan. Aku terkungkung di sini, apa yang bisa kulakukan? Aku berusaha, sering kali menjebol, tapi kau lihat ini." Janthell menunjuk bekas merah di kulit kepalanya, tempat rambut paling jarang tumbuh. "Juga 'gak menghasilkan apa-apa. Mereka tetap diseret atau mati."

Kalau Khass bilang bahwa kematian bisa saja adalah solusi agar teman-temannya tidak lagi merasa tersiksa, apakah Janthell bisa menerimanya? Kalau Khass bilang bahwa kematian sudah ditentukan oleh Tuhan, dan tak bisa dihindari dengan cara apa pun, apakah Janthell mau mendengarkannya? Sepertinya Janthell akan semakin skeptis dengan ceramah selanjutnya.

Khass termenung. Bagaimana ia akan mengatakannya? Ia diam terlalu lama, berkutat pada kata-kata yang ingin sekali ia ucapkan. Janthell paham itu. Ia menepuk pundak Khass.

"Jangan terlalu stres. Nanti kau sakit. 'Gak usah mengkhawatirkan aku, dan kau lanjutkan saja untuk yang lain. Mereka masih anak-anak baru sepertimu, jadi masih punya semangat. Kalau aku ... yah, aku sudah terbiasa."

Pintu baja ruang itu berdecit. Perhatian satu ruang tertuju pada dua penjaga dan satu ilmuwan yang melangkah masuk. Kunci sel Maurice dan di sebelahnya dibuka, lantas menyuruh ketiga anak itu untuk bergegas. Khass sempat bertatapan dengan mereka. Ada semangat yang membara di mata-mata cerah itu, kendati lutut-lutut mereka gemetaran. Tak masalah. Khass tersenyum, memberikan semangat secara diam-diam.

Namun, setelah ketiganya menghilang, si ilmuwan masih bertahan di dalam. Seorang penjaga lagi masuk sembari menggotong seorang gadis di bahunya. Khass dan Janthell sontak menegang. O-oh, anak baru?

"Keluar." Si ilmuwan menunjuk Janthell, kemudian sel Maurice. "Pindah ke sana."

Penjaga yang menggotong si gadis membuka sel mereka. Khass dan Janthell bertatapan. Tak ada keraguan di wajah pemuda itu saat beranjak tanpa kata-kata, dan itu membuat Khass terheran-heran. Ia melangkah dengan patuh dan berpindah ke sel Maurice. Pintu sel ditutup dan si ilmuwan memunggunginya, mengawasi si penjaga menjatuhkan si anak gadis ke sel Khass.

"Teman barumu," kata si ilmuwan, masih dengan nada datar, namun matanya menatap Khass tajam. "Kau yang akan bertanggung jawab tentang kesehatannya, sebagaimana teman satu sel seharusnya bekerja. Jangan sampai dia tidak makan sama sekali."

Kemudian si ilmuwan dan penjaganya pergi. Khass melirik ke anak gadis yang pingsan. Rambutnya yang panjang mengusut parah, kerikil-kerikil kecil bahkan tersemat bagai permata menghias rambut seorang putri. Ia mengenakan gaun sehari-hari yang sangat bagus dengan mantel berbalut lumpur. Tubuhnya kecil, hampir seperti Maurice, namun usianya barangkali setara Khass dan Janthell.

"Dia pingsan?" Janthell bertanya dari balik jeruji barunya.

Khass mendorong tubuh gadis itu dengan penuh kehati-hatian. "Iya. Badannya panas sekali." Dan, berkeringat. Khass menarik lengan mantel si gadis yang masih bersih dan mengusap bulir-bulit keringat keruh di wajah.

"Setelah teman-teman kembali, mungkin gadis itu bakal dicek. Dia bakal dibawa Profesor kalau sudah bangun nanti."

Khass bergidik. Ia tak bisa membayangkan gadis ini akan melalui rangkaian pengobatan yang luar biasa menyakitkan sepertinya dua minggu lalu. Bahkan sekujur anggota gerak Khass akan sesekali menggelenyar saat mengingat kembali rasa sakit itu.

Persis seperti kengerian Khass, gadis itu dibawa setelah Maurice dan kawan-kawan dikembalikan. Ia bahkan belum bangun saat digotong. Sang gadis kembali ketika sinar matahari sudah digantikan oleh lampu gantung di atas pintu baja, lengkap dengan piyama tali. Kini ia telah terjaga. Tatapan matanya kosong. Saat Khass menghampiri dan menanyakan keadaannya, gadis itu menatapnya nanar dan tangisnya meledak.

Hampir semalaman sang gadis menangis dan meracau bahwa ayahnya, seorang anggota parlemen, akan mengetahui ini dan menghancurkan semuanya. Khass satu-satunya yang tetap melek untuk menjadi pendengar yang baik. Penghuni sel lain sudah terlelap, setelah bergantian mencoba menyemangati si gadis yang masih tidak ada hasilnya.

Kira-kira dua jam sebelum sinar matahari kembali menyapa ruang itu, si gadis baru selesai menangis. Ia sesenggukan. Matanya sembap dan wajahnya sungguh berantakan. Khass juga sudah capek menghiburnya dan membiarkan gadis itu terpekur sendirian. Khass baru saja akan terlelap ketika gadis itu menghampirinya.

"Siapa namamu?" tanya gadis itu, suaranya parau dan hampir hilang.

"Khass."

"Elena. Elena Laurim."

Mereka berjabat tangan. Tak ada suara lagi. Khass memerhatikan Elena masih terlalu kalut. Apakah gadis itu akan memaksanya mendengarkan lebih banyak keluhan?

Khass menghela napas. "Tidurlah. Kau akan merasa lebih baik."

"Aku tidak bisa tidur."

"Kau bisa. Cobalah berdoa kepada Tuhan dan menangislah kepada-Nya. Bakal kerasa lebih baik ...." Khass menghentikan kalimatnya sejenak, kemudian merasa bahwa situasi ini masih berat bagi Elena, ia menambahkan: "sedikit."

Elena mengangguk ragu-ragu. Sepertinya anak yang patuh dan tidak banyak membantah. Ia pun beralih ke tempatnya menangis sedari tadi. Berbaring di atas tanah liat yang dingin dan keras, gadis itu meringkuk dan Khass mendengarnya berdoa dengan lirih. Khass mengawasinya dengan mata memberat.

Melissa telah pergi dan kini Elena Laurim datang untuk menggantikannya. Orang datang dan pergi, Khass. Ucapan Janthell terngiang terus di kepalanya.

Khass bahkan tidak bisa menduga-duga lagi sekarang. Apa yang akan terjadi keesokan harinya, dan esoknya lagi, dan seterusnya?

Siapa yang akan digantikan selanjutnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top