9.1 Ampas Asa

Khass tidak makan selama dua hari. Satu kali lagi ia melewatkan makan yang disodorkan para petugas, Janthell yakin pemuda itu bakal mati.

"Khass, makanlah." Janthell membawa baki bekas peralatan medis ke samping Khass yang tergolek lemas di pojok sel. Khass sama sekali tidak bergerak. Semula, pemuda itu bakal bereaksi dengan melirik dua potong roti keras dan sup kental hambar dengan kulit lemon, tetapi Khass bahkan tidak bergerak. Orang yang tak teliti bakal setuju pemuda itu sebenarnya sudah mati satu jam yang lalu.

"Hei. Kau bakal mati kalau begini." Janthell mendesah. Ia sebenarnya tak ingin mengatakan itu, tetapi kata-kata halus nampaknya tak berguna lagi. Khass sudah merasakannya. Dua hari yang lalu, ketika pemuda itu dilempar kembali ke sel setelah diberi "pengobatan" perdana oleh Profesor, Khass berubah menjadi mayat hidup. Kosong. Ia mengalami terlalu banyak syok. Dan, parahnya lagi, ia bakal sesekali berjengit di tidurnya dan menjerit-jerit memohon ampun, entah kepada siapa. Janthell hanya sempat menangkap kata-kata semacam "ampun, Kamitua!" atau "jangan suruh mereka tinggal di dalam lagi!" dan Janthell sama sekali tidak paham. Ia hanya bisa berspekulasi bahwa kalimat terakhir merujuk pada cairan-cairan yang disuntikkan kepada tubuh mereka. Cairan-cairan itu menimbulkan halusinasi parah.

"Khass." Janthell menggoyangkan bahunya, dan masih tak ada jawaban. Ia berdecak. Matanya mengedar ke sekeliling, mencoba mencari cara, kemudian ia menatap Khass lagi dan menepuk-nepuk bahunya dengan keras. "Astaga! Mereka datang!"

Khass tersentak. Ia langsung merapat pada dinding dan sekujur tubuhnya menegang. Gerakannya begitu cepat dan membuat Janthell sempat ikut kaget. Selama sesaat sel itu kembali hening, kemudian kedua mata Khass perlahan menatap Janthell dengan marah.

"Kau bohong."

"Kau harus makan, bocah." Janthell tak menggubris nada penuh penghakiman Khass. "Mereka akan semakin marah kalau kau tidak makan. Bakal lebih sakit."

"Biarkan saja. Mending aku mati."

Janthell mengernyit. Bocah itu bahkan baru disuntik sekali. Ia memutar otak lagi. "Yah, aku tahu perasaanmu ... tapi apa kau tidak merasa semakin berdosa karena sudah menyia-nyiakan makanan selama dua hari? Tuhan ... Tuhan mungkin bakal enggan menolongmu lagi ... jika kau menolak bantuan kecil-Nya ini."

Khass membuka mulut, siap mengatakan sesuatu, tetapi ia memilih untuk menutupnya kembali. Ia meraih sup dengan amat tidak berselera. Janthell menghela napas lega saat Khass mulai menelan suapan supnya. Bagi pemuda empat belas tahun yang sudah dua hari tidak makan, ditambah banyak kejadian traumatis, sup kental hambar sekalipun akan terasa seperti sup ayam hangat yang gurih. Janthell tidak paham apa yang membuat Khass sempat menahan diri untuk tidak makan.

Seusai Khass menandaskan semua makanan di baki, Janthell berdeham. Ia mendaratkan tangan di bahu Khass dan meremasnya pelan. "Dengar, aku tahu ini sangat mengejutkan bagimu, tapi ... beginilah. Di sini, atau dipecut di luar. Aku tidak tahu mana yang lebih baik. Tapi kau harus bertahan. Memilih mati bukanlah jalan keluar. Mereka takkan membiarkanmu mati. Karena semakin sakit kau terlihat, maka pengobatannya akan semakin ... kuat."

Janthell merasakan Khass bergetar di tangannya. "Aku tidak ingin menakutimu, Khass. Kau perlu menguatkan dirimu. Kau harus sehat dengan caramu sendiri. Kalau kau sehat, pengobatannya akan lebih ringan. Sungguh. Percayalah. Aku sudah di sini sejak sel ini didirikan. Aku tahu ... banyak."

Khass menatap Janthell lemas. "Membantu sekali. Terima kasih."

Janthell tersenyum tipis. "Kuatkan dirimu. Mereka takkan menyentuhmu lagi sampai satu minggu berlalu."

"Aku ...." Khass terdiam sejenak. "Aku merasa kacau."

"Ya? Kenapa?"

"Aku dididik menjadi pembimbing orang-orang seperti kalian, tetapi aku merasa gagal." Janthell tidak menyangka akan mendengar curhatan seperti itu. Ia kira Khass akan mengeluh soal pengobatan.

"Apa yang membuatmu merasa begitu?"

"Aku seharusnya menunjukkan jalan buat kalian ... mengarahkan kalian ke jalan yang baik. Tapi aku malah ... aku malah begini." Khass nampaknya nyaris menangis, kecuali alisnya yang bertaut dan matanya menyala marah. "Aku tidak tahu ada orang sejahat itu di luar sana. Mengapa dia berbuat seperti itu kepada kita? Apa salah kita?"

Janthell menatap Khass lekat-lekat. Bocah itu datang ke sel ini dengan tubuh penuh carut-marut dan lumpur kering. Ia kebingungan karena terjebak dalam situasi yang amat asing, di dunia yang selalu nampak menakutkan baginya. Sekarang, dua hari kemudian, ia sudah merasakan secuil neraka di situs perbudakan ini, dan balutan sarungnya sudah berganti menjadi piyama tali. Ekspresinya persis dengan yang pernah ditampilkan semua anak di sel ini saat mereka pertama kali diberi pengobatan. Hanya saja ketakutan bocah ini benar-benar murni—bukan ketakutan yang pernah dirasakan oleh anak-anak yang dipukul dan bertengkar dengan orangtuanya—tetapi ketakutan yang dirasakan oleh orang yang menganggap diri mereka suci dan tak seharusnya disentuh kejahatan barang disandung sekalipun.

"Bung, aku tidak tahu apakah kau bisa menerima saran dariku yang jarang ke Konservatori ini." Janthell mendesah. "Tetapi aku ingin kau mendengarku. Dengar, pasti ada alasan mengapa engkau di sini. Lupakan masalah di belakangmu sejenak dan pikirkan secara luas, jika kau paham maksudku. Kau tidak berakhir di sini tanpa suatu alasan ... karena, kau tahu, kedatangan seorang pembimbing di antara kami pasti selalu memiliki alasan yang baik."

Janthell berharap omong kosongnya bekerja. Dia pernah sekali, bahkan terlalu, berharap kepada Tuhan, tetapi hidup di sel selama bertahun-tahun telah menumpulkan keimanannya.

Dan, nampaknya itu menghasilkan efek yang agak baik pada Khass. Janthell melihat percikan harapan di kedua mata hijau yang sayu itu. "Bangkitlah, Khass. Kaulah yang paling berilmu di antara kami, wahai Guru Pembimbing. Seperti malaikat yang diutus Tuhan untuk memberikan cahaya pada sebuah kaum yang tersesat, itulah tugas kalian sebagai putra Konservatori. Bukankah begitu?"

Kemampuan Janthell mengutip kata-kata yang selalu didengarnya pada pembukaan resitasi di Konservatori dekat rumah dahulu membuat Khass terlihat semakin membaik.

"Ya, memang seharusnya begitu."

"Benar, kan? Kau pasti bisa, bung. Seperti yang kubilang tadi, kau harus kuat dan sembuh dengan caramu sendiri. Semua dimulai dari dirimu. Kalau kau terus larut, kau akan merasa sakit, dan seterusnya sakit. Dan itu buruk. Kau harus bangkit dan menjadi kuat! Maka ... maka Tuhan akan menolongmu."

Janthell menelan ludah. Oh, betapa ia telah menggigit lidahnya sendiri!

Namun, anggukan mantap Khass membuat Janthell menghela napas lega. Ketika seutas senyum tipis muncul di bibir Khass yang kering, Janthell spontan menarik bocah itu mendekat. Ia menepuk-nepuk bahu Khass.

"Terima kasih, Janthell. Kau sungguh baik."

"Tak masalah. Aku sudah biasa menghadapi anak-anak sepertimu. Kita bisa—"

Ucapan Janthell terputus ketika mendengar baki yang terjatuh, suara mangkok yang pecah, diikuti lolongan Maurice. "Mel!"

Janthell dan Khass serentak menoleh, berikut para anak di sel itu. Mata mereka membelalak menyaksikan Melissa menggeliat di tanah, kedua tangannya memegang leher.

Ada tentakel kecil muncul dari dalam mulutnya, berlumur darah, merobek bibir Melissa dan kulit wajahnya. Sebelum Khass bisa mencerna apa yang terjadi, tentakel itu meraup seluruh wajah Melissa dan melepasnya dari leher. Kepala Melissa menggelundung dramatis ke pojok selnya.

Kemudian, sesosok iblis melepaskan diri dari lubang yang menganga di leher Melissa.

Seisi sel menjerit. Janthell berusaha mendobrak jeruji sel, tetapi tentu saja itu percuma. Tangis Maurice membahana saat iblis berkulit telanjang itu merangkak keluar dari tubuh Mel. Seluruh tubuhnya botak tanpa rambut, berlendir merah yang pekat dan menetes-netes dari tonjolan yang seharusnya adalah kepala si iblis. Pada sekujur tubuhnya menonjol garis-garis serupa nadi, merah dan biru, berdenyut-denyut seolah jantung yang menempel pada lapisan terluar kulit.

Maurice melolong, memohon agar iblis itu tidak mendekat. Khass tidak melihat iblis itu berbahaya. Intuisinya mengatakan bahwa makhluk itu justru kebingungan. Khass telah terlatih. Kedua matanya tidak sekadar melihat apa yang bisa ditangkap oleh mata telanjang. Ia bisa melihat satu lapisan dimensi di atas batasan para manusia, yang dibukakan oleh Kamitua semenjak usia kesepuluh. Aura iblis itu menguar dalam warna kelabu. Si iblis baru lahir dan kalut.

Khass menjulurkan tangannya keluar jeruji, mengarahkannya kepada iblis itu. Ia memutar-mutar tangannya, membuat gerakan apa pun agar si iblis memandang ke arahnya. Khass mendengar Janthell menyumpah di belakangnya, mempertanyakan tindakan Khass. Namun pandangan Khass sudah terlanjur terfokus pada iblis itu. Tak ada yang bisa memecah konsentrasinya sekarang.

Si iblis menggeliat. Gerakan tubuhnya menandakan ia telah menghadap ke arah Khass. Kepalanya berputar-putar kecil mengikuti gerakan tangan pemuda itu.

"Bagus ...," Khass berbisik. Ia berbicara dalam Bahasa Tua. "Lihat aku. Dengarkan aku."

Sebagaimana seorang Guru seharusnya bertindak, Khass komat-kamit merapalkan banyak doa. Ia menyebut bentuk iblis itu dalam bahasa kuno yang hanya boleh dipelajari para Guru. Memanggilnya. Iblis itu pun tergerak. Ia merangkak menjauhi Maurice dan menyusup melalui jeruji. Tubuhnya memanjang, mengempis, melesak melalui sela-sela jeruji, dan kembali ke bentuk semula saat tiba di tengah lingkar.

Seisi sel menjerit makin keras.

"Apa yang kau lakukan?!" seseorang membentak.

"Dia akan membunuh kita semua!"

Khass tak mengindahkan. Perhatiannya masih terpaku pada iblis itu. Dia mengangkat tangannya, siap untuk—

Khass terjungkal saat Janthell menyerang punggungnya. Si bocah terjatuh dan terbatuk saat debu tanah terhirup ke hidungnya. Terdengar suara alarm berbunyi.

"Hentikan! Jangan lakukan itu!" Janthell menggoyangkan bahu Khass. Ia berlutut di atasnya. "Kau akan membunuh kami!"

"T-tidak," Khass berusaha keras bersuara. Dadanya sakit karena Janthell menahan tubuhnya sedemikian kuat. "A-aku hanya—aku hanya—"

Aku hanya ingin menenangkan iblis itu! Namun Khass tidak bisa bersuara. Selang tak lama kemudian pintu baja sel berdecit terbuka. Dua orang iblis pengawal melesak masuk. Mereka sama sekali tidak terkejut melihat iblis baru yang menggeliat di tengah lingkar. Makhluk itu ditembak dengan senapan khusus yang membuat si iblis ambruk seketika. Khass memandang mereka dengan horor. Para iblis itu dipersenjatai dengan senapan yang bisa membunuh sesamanya! Tempat ini sungguh buruk!

Sementara iblis baru dan mayat Melissa digotong keluar, seorang ilmuwan masuk ke dalam ruangan. Ia mencatat sesuatu, sama sekali tak mengindahkan wajah-wajah pucat yang meringkuk di sel. Janthell dan Khass pun sudah kembali duduk di posisi masing-masing—saling berjauhan. Khass meringkuk dalam ketakutannya sendiri.

Iblis itu ... seharusnya Khass bisa menolongnya! Bukankah itu yang dianjurkan oleh Janthell tadi? Bukankah ia seharusnya menjadi penolong?

Setelah si ilmuwan keluar dan meninggalkan sel itu dalam kesenyapan yang menyedihkan, Janthell langsung meringsut ke arah Khass.

"Jangan lakukan itu lagi." Desisnya.

"Tapi aku hanya ingin menolong!" Khass berseru tertahan. "Kau bilang aku bisa membimbing kalian. Iblis itu ketakutan! Dia bingung! Dia sama sekali takkan membunuh!"

"Tapi bocah-bocah lain tidak tahu!" Janthell balas meninggikan suaranya. "Aku juga tidak paham apa yang akan kaulakukan, Khass! Aku mengerti kalau kau adalah Guru Muda, dilatih membimbing semua jenis makhluk, tapi pikirkan juga bocah-bocah yang lain. Mereka takut. Mereka tidak paham dengan tindakanmu."

"Kalau begitu, membiarkan iblis itu mencaplok Maurice seandainya dia sudah sadar?"

Janthell tak menjawab. Selama sesaat, kedua pemuda itu hanya saling menatap dalam ketegangan. Khass mengawasi Janthell menundukkan pandangan. "Bukan, bukan begitu," Janthell bergumam. "Biarkan saja. Alarm pasti berbunyi ... pasti."

"Mel tewas." Suara Khass bergetar. "Suntikan yang kemarin itu ...."

"Aku tahu. Ini sudah biasa." Janthell terdengar kaku. "Kau harus terbiasa dengan ini, Khass. Itulah yang selalu terjadi. Pengobatan-pengobatan selalu diperbarui, tetapi kebanyakan berujung kematian. Mel bukanlah yang pertama." Khass membeliak mendengarnya, sementara Janthell hanya mendesah. "Karena itulah hentikan tindakan tadi. Kita justru tidak akan tahu siapa lagi yang bakal mati kalau iblis itu kau bawa ke tengah-tengah ruang. Beruntung para penjaga tadi tidak tahu kalau kau yang mengajak si iblis keluar. Kalau mereka tahu itu perbuatanmu ... yah, aku tidak tahu kau bakal diapakan. Diam sajalah."

Khass bersandar lemas pada dinding berbatu.

"Di sini orang datang dan pergi, Khass. Satu mati, satu akan masuk lagi. Kau harus terbiasa. Dan, kalau penyakitmu tambah parah—seperti Mel, dan seperti yang kukatakan tadi—maka ini bisa saja terjadi."

"Kalau begitu, sebelum aku, ada yang di sini?"

Janthell mengangguk dingin. "Persis seperti Mel."

Khass termenung. Ia kehilangan kata-kata selama sesaat. Ia hanya bisa mengawasi Janthell beralih dan kembali ke pojok lain sel, meringkuk dan memejamkan mata. Sel itu senyap kecuali isakan Maurice yang bertahan. Bau anyir darah memenuhi seisi sel, dan masih tercium bahkan hingga keesokan harinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top