8.2 Profesor Penyiksa
"Selamat sore!" suaranya menggelegar menyapa para bocah. Khass tidak berkutik, selain merasakan jantungnya berdentam-dentam. Siapa mereka? Dan mengapa wajah bocah-bocah ini terlihat sendu? Tak ada yang menjawab sapaan si ilmuwan senior. Bocah paling kecil di seberang selnya—Maurice—bahkan menyembunyikan diri di balik punggung si gadis.
"Maafkan atas keterlambatanku!" ilmuwan senior itu terus mengoceh. Ia tertawa sembari menerima sodoran papan dari salah satu asistennya. Ia membolak-balik halaman. "Ada banyak sekali yang perlu diurus, kalian tahu? Karena kami—ah, ini kabar gembiranya—telah menemukan formula baru yang lebih efektif untuk menyingkirkan efek samping dari pengobatan yang lalu-lalu! Kawan-kawan kalian di sel sebelah sudah mencobanya. Mereka yang menderita ruam-ruam kini sembuh. Siapa di sini yang kemarin mengalaminya ... mari kita lihat ... ah, Melissa?"
Maurice refleks terisak di balik punggung si gadis. Semua mata pun tertuju pada satu-satunya gadis yang kini terlihat tegang. Khass merasakan Janthell meringsut mendekat ke jeruji sel. Kedua matanya melotot saat seorang penjaga membuka pintu sel Melissa dan Maurice.
"Tidak—tolong jangan." Melissa mencicit.
"Bangsat." Khass mendengar Janthell mengumpat dalam bisikan. Khass terkejut mendengar kata semacam itu diucapkan begitu dekat dengan telinganya. Apakah dia benar-benar mengucapkan kata kasar itu? Bang ... bangsat katanya? Demi Tuhan, Kamitua bakal memecut pantat siapa pun yang berani mengatakan itu di desa. Khass melotot balik kepada Janthell, tapi ia tidak digubris.
"Tidak!" Melissa menjerit saat seorang iblis menyeretnya keluar sel. Sementara para ilmuwan menyingkir dari lingkar kecil, si ilmuwan senior menerima sodoran suntikan dari salah satu rekannya. Melissa dilempar ke tengah dan dipaksa berdiri pada kedua lutut. Ia mengerang saat si iblis menahan kedua kakinya dengan diinjak. Khass menahan napas. Apa yang bakal terjadi?
Seorang ilmuwan wanita menarik tangan Melissa. Gadis itu memberontak dan pipinya langsung ditampar. Kejadiannya begitu cepat sampai-sampai Khass semula tidak menyadari itu. Namun, isakan Melissa menyadarkannya. Tangannya ditarik oleh si ilmuwan wanita dan dioleskan semacam cairan, hingga Khass mencium bau alkohol dan sari-sari tumbuhan yang pekat.
Sang ilmuwan senior berjongkok di depan Melissa. "Tenanglah, Sayang. Tenang. Ini tidak akan menyakitkan."
Khass melongo ketika Melissa meludah ke wajah ilmuwan itu sambil berseru, "Pembohong!" dan mengundang tamparan dari ilmuwan wanita yang menahannya, kali ini lebih keras. Melissa meraung saat kakinya ditekan hingga terdengar suara gemeretak. Si ilmuwan senior hanya menggeleng pelan. Ia mengelap bekas ludahan Melissa dengan jijik.
"Jangan begitu. Kau bahkan belum tahu bagaimana hasilnya."
Janthell mendesis di samping Khass. Ia membisikkan serentetan kata-kata makian yang membuat telinga Khass geli. Sebagai gantinya, Khass terus-terusan merapal nama Tuhan dan doa di dalam hati. Jangan dengarkan. Jangan dengarkan. Ya Tuhan, semoga Melissa tidak apa—
"Tidak!!" Melissa menjerit. Khass menyaksikan dengan tegang saat jarum suntik menembus kulitnya. Cairan berwarna kemerahan disuntik ke dalam nadi, dan Khass terpana melihat cairan itu nampak begitu jelas dari bawah kulit, seolah-olah nadi Melissa telah menonjol keluar dan nyaris menjebol lapisan pelindungnya. Khass mengawasi aliran merah samar yang terlihat menyebar di bawah kulit Melissa dengan jelas. Liukannya ... semakin jauh cairan itu masuk ke dalam tubuh Melissa, semakin keras teriakan gadis itu, bahkan Khass terpaksa menutup kuping karena kedengaran terlalu menyakitkan, mengalahkan dengung yang mengganggu pendengarannya sejak dari truk.
Melissa pun melemas. Suaranya menghilang. Ia ambruk segera setelah suntik itu dicabut, dan tidak ada yang mau repot-repot menahannya. Ia justru diseret kembali ke sel dan dibiarkan tergeletak pingsan. Maurice pun menghampiri Melissa dengan histeris.
"Mel!"
"Ah ... Hm, mungkin memang rasanya sedikit nyeri, tapi aku yakin ruamnya akan segera menghilang." Sang ilmuwan senior mengangguk-angguk. Nadanya terdengar begitu tenang, berkebalikan dengan situasi di sel itu. "Tadi siang aku menerima laporan bahwa penderita ruam di sel sebelah sudah kehilangan ruamnya, padahal aku baru menyuntiknya kemarin! Besok, pasti, Melissa bakal sembuh. Atau paling lambat besok lusa."
"Bajingan! Keparat! Kami tidak butuh obatmu!" Khass terkejut mendengar Janthell berteriak emosi seraya menggoyang-goyangkan jeruji besi. Si ilmuwan senior tidak kaget sama sekali. Ia melengos menatap Janthell dengan alis terangkat. Ia nampaknya baru saja akan mengatakan sesuatu, tetapi pandangannya teralih kepada Khass yang masih terperangah dengan situasi barusan.
"Oh, oh. Siapa ini? Aku belum pernah melihatnya."
"Dia anak baru, Profesor. Asisten Lorry yang mendatanya tadi pagi."
"Dan dia sakit apa?" Profesor tak sekali pun berkedip saat mendekat. Khass tanpa sadar menjauh dari jeruji sel, tapi langkahnya tertahan saat Profesor mencapai lengannya dan menarik dengan kuat. Ia ketakutan menatap kedua mata Profesor yang sangat pucat. Mengerikan. Pria ini mengerikan—
"Mabuk darat."
Alis Profesor berkedut. "Hanya mabuk darat, Sayang? Lihat rahangnya. Lukanya masih segar ... oh, ini mengerikan."
"Mabuk daratnya parah sekali, ini menurut laporan Lakar yang mengantar. Dia sepertinya baru pertama kali naik kendaraan ... dan dia berasal dari sebuah desa perguruan."
"Ah, anak-anak itu!" Nada Profesor berubah. Khass menyadari bahwa statusnya sebagai anak perguruan membuatnya diperlakukan berbeda. Khass tidak tahu apakah ini baik atau buruk, tapi nampaknya menyuarakan statusnya kepada tentara lalu ternyata membawanya ke hal-hal tidak diduga.
"Kalau begitu tidak masalah. Seharusnya ia lebih familiar," Profesor kembali berkata kepada para ilmuwan lainnya. Mereka mengangguk setuju dan mencatat sesuatu pada papan masing-masing. Tatapan Profesor masih tidak beralih dari Khass, dan itu membuat si pemuda tidak nyaman. Profesor menyadari itu dan tersenyum. "Siapa namamu, nak?"
"K-Khass."
"Khass. Benar begitu?"
"Er, Profesor. Dia membawa barang saat dibawa kemari. Seperti biasa, kiranya engkau ingin melihatnya dahulu sebelum dibuang?" salah seorang ilmuwan menyela. Ia mendekat dan mengeluarkan kunci dari sakunya. Khass mendelik melihat hal itu. Kunci itu! Kunci milik Caellan Caltine, bagaimana bisa terjatuh? Astaga, dia bahkan tidak sadar jika kunci itu terlepas dari kantong celananya! Mungkinkah terjatuh karena ia diangkut dengan posisi terbalik oleh penjaga iblis tadi?
Profesor menyimak kunci itu. Selama sesaat ia membacanya berulang kali, alisnya bertaut, kemudian menatap Khass dengan emosi yang berubah. Ia nampak ... marah.
"Siapa namamu tadi?"
"Khass, Pak ... Khass." Ia menelan ludah.
"Lalu siapa con Caltine ini?"
"Con ... siapa? S-saya tidak tahu, Pak."
"Jangan berdusta, anak muda." Profesor mencondongkan tubuh. Senyumnya yang lebar sama sekali telah lenyap. Kepribadiannya yang semula terlihat tenang dan penuh tawa kini berubah dengan cepat menjadi pria tua yang pemarah. Khass menjauhkan tubuhnya, tetapi lengannya masih dicengkeram, bahkan lebih erat.
"Sungguh, Pak. Nama saya Khass! Saya tidak tahu kunci itu punya siapa! Saya cuma ... Saya cuma menemukannya ...." Khass terpaksa berdusta, dan ini sama sekali diluar keinginannya. Ia mencium aroma bahaya, dan entah mengapa muncul kecurigaan bahwa Caellan Caltine bisa saja diburu oleh ilmuwan ini, entah karena alasan apa, dan Khass tidak mau. Pemuda itu baik, dan ia telah kehilangan adiknya. Khass hanya ingin mengembalikan kuncinya dalam keadaan utuh tanpa menyeretnya dalam situasi apa pun! Oh, astaga, Khass harus melindungi namanya agar ia tidak dicari dan ikut diseret ke perbudakan ini!
Profesor nampaknya akan mengatakan sesuatu, tetapi ia hanya memandang kunci itu agak lama dan memasukkannya ke saku sendiri. "Baiklah, Khass, terserah. Kita lupakan kunci ini dan ceritakan sedikit tentangmu. Darimana kau tadi? Ah, ya. Perguruan. Desa yang mana, tepatnya?"
Satu sisi Khass mendesak agar tidak membocorkannya. "Di ... di utara."
"Kau sedang di utara, anak muda. Tolong jangan membuatku lebih kesal."
Khass menelan ludah. "Sa-saya jarang keluar desa. Kamitua tidak pernah memberitahu saya nama-nama daerah. Sungguh! Hutan kami bahkan tidak punya nama ...."
Profesor mengernyit. Ia ingin sekali meragukan kata-kata Khass, tetapi memutuskan untuk tidak mengambil pusing. "Sejak kapan kau masuk perguruan, Khass?"
"Sejak lahir."
"Terkungkung selama hidupmu, eh?" Profesor mencemooh. "Memutuskan untuk keluar dari zona nyaman dan berakhir di sini? Betapa ... beruntungnya."
Khass tidak paham mengapa Profesor terdengar membencinya begitu saja. Semula ia disapa dengan cukup ceria. Meski Khass tidak berharap akan perlakuan khusus, tetapi segala situasi yang asing dan tidak dipahami Khass ini membuatnya menginginkan perlakuan sebaik-baiknya. Namun, mengapa ada begitu banyak kebencian dan kepasrahan? Sebenarnya apa yang terjadi?
"Pak, sebenarnya ini apa?" Khass memberanikan diri untuk bertanya. Profesor menatapnya dengan alis terangkat. Ketika tidak ada tanda-tanda akan dijawab, Khass melanjutkan, "Saya tidak mengerti. Saya dimana? Dan apa yang akan kiranya diobati? Luka-luka saya, benar begitu?"
Profesor mengerling ke arah belakang Khass, kepada Janthell. Selama sesaat Khass menyaksikan Profesor menyipit kepada pemuda itu. Belum sempat Khass menoleh, Profesor sudah melepaskan cengkeramannya.
"Pertanyaan bagus, Khass. Selain luka-luka ini dan mabuk daratmu, kau akan segera mengetahuinya!" Profesor beranjak. Ia mengibaskan tangan kepada para penjaga. "Kita lakukan sekarang saja. Keluarkan bocah itu."
Khass masih tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ia yakin, ketika dirinya diseret keluar sel dan digotong menuju ruangan lain bersama Profesor, sesuatu yang buruk akan menghampiri.
Seharusnya ia tidak bertanya.
Khass menjerit.
"Tahan dia! Tahan!" suara Profesor menggelegar di ruangan itu. Para ilmuwan muda tersebar. Ada yang mengambil baki berisi jarum-jarum dan pisau-pisau pemotong. Seseorang mengambil kereta dorong. Seseorang lagi memberikan isyarat, kemudian menekan tombol di sebuah tabung gas di pojok ruangan. Semua langsung menarik masker gas di wajah mereka, tepat ketika asap putih menyembur dari moncong tabung besi itu.
Khass masih menjerit, tetapi suaranya mulai melemah. Kaki dan tangan meronta-ronta, berusaha membebaskan diri dari belitan sabuk yang menahannya di matras. Profesor berdiri di sisi kepalanya, menahan pemuda itu untuk menyaksikan para ilmuwan sedang menyuntikkan sesuatu ke sekujur alat geraknya. Jeritan berubah menjadi isakan serak. Para ilmuwan itu membuat wajahnya berubah cepat dari merah padam menjadi sepucat pualam. Jemari-jemarinya tegang.
"Tenang, tenang." Profesor mendesis. Sebulir keringat mengalir ke dahi. Khass mendelik ke arah satu-satunya objek pandangannya itu. Jika berani—dan Khass nyaris berani karena saking marahnya—ia bakal menyumpahi wajah itu. Tapi Khass masih anak baik. Satu-satunya kata yang ia geramkan di sela-sela giginya adalah Tuhan.
"Ya Tuhan ... ya Tuha—AN!"
"Bagus, Nak. Pertahankan keyakinanmu itu." Profesor terkekeh ketika mata mereka bertatapan. Wajahnya merah berusaha menahan Khass agar tetap diam.
"Ya Tuhan—AAH!!" Khass nyaris kehilangan suara saat merasakan aliran deras menyakitkan dari arah lengan kanannya. Ia menoleh ke arah ilmuwan wanita yang dengan susah payah menjaga agar suntikan itu tetap imbang. Cairan pekat berwarna hitam terlihat menggelegak di dalam tabung suntik, perlahan masuk ke dalam lubang jarum menuju nadi Khass. Pemuda itu bisa melihat garis hitam meliuk-liuk di balik kulitnya, berdenyut-denyut hingga ke lapisan kulit terluar. Semakin jauh liukan itu mengalir, semakin nyeri dan panas dada Khass bereaksi ....
"Profesor!" ilmuwan lain di sekitar matras Khass berjengit. Mereka menatap ke arah sesuatu di kaki mereka dan terbirit-birit.
"Lanjutkan!" Profesor membentak ilmuwan wanita yang menyuntik Khass. "Sampai habis!"
Ilmuwan wanita itu berusaha keras menghindari sesuatu di kakinya sambil mempertahankan kestabilan suntik di lengan Khass. Dua orang ilmuwan datang dan Khass sempat menyaksikan mereka mengangkat tangan. Muncul tentakel-tentakel putih serupa tulang-belulang dari bawah kaki mereka dan bergulat dengan apa pun yang ada di balik kolong matras Khass. Pemuda itu berusaha mencerna apa yang terjadi, tetapi dadanya terasa semakin terbakar ... bahkan kepalanya juga.
Beberapa detik kemudian, tubuh Khass akhirnya mencapai ambang batas. Matanya menggelap, dan segalanya menjadi tak terdengar lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top