8.1 Saudara Satu Sel

Khass dilempar masuk ke sebuah sel. Belum sempat ia beranjak, iblis pengawal itu menutup pintu dan menguncinya dengan cepat. Khass terpana menyaksikan tubuh raksasa itu menghilang di balik sepasang pintu baja ruangan. Pintu berderit menutup, menimbulkan suara decitan memekakkan telinga yang membuat dengung di kepalanya makin mengeras. Khass pun tergolek lemas di tanah liat yang membatu.

Kamitua ... desa ... dan, Par. Ya Tuhan, kemana iblis itu?

"Hei?"

Khass terkejut saat pinggangnya disentuh oleh sesuatu. Ia terlonjak dari tempatnya, berbalik, dan—oh! Ternyata ada seorang pemuda seusianya! Khass sempat tidak menyadari karena saking kacaunya, tetapi kini ia bisa mengenali pemuda itu dengan baik. Kulit zaitunnya kusam, wajahnya berbintik-bintik dan matanya cokelat terang ... bahkan terlalu terang, nyaris pucat. Begitu aneh. Barisan giginya yang agak berantakan terlihat saat ia membuka mulut.

"Kau tidak apa-apa?" pemuda itu terlihat gelisah, meski Khass ragu apakah itu karena raut wajahnya yang pucat. Ia tidak terlihat lebih baik daripada Khass. Malah, nampaknya pemuda itu menderita suatu penyakit. Tubuhnya bungkuk dan kurus kering. Ia sama sekali tidak cocok untuk diperbudak di lapangan. Kulitnya yang pucat menandakan ia sudah lama tidak disentuh sinar matahari secara langsung.

Khass tidak tahu harus menjawab apa. Lagipula, ia mendengar ada suara dentingan pada jeruji sel di seberangnya. Khass menoleh, kemudian menyadari bahwa ada sel-sel serupa di dalam ruang melingkar itu. Setidaknya ada lima sel, saling menghadap ke sebuah lingkar kecil di tengah-tengah. Masing-masing mengunci dua atau tiga anak sebaya. Wajah-wajah itu sebagian terlelap dan sebagian lagi memandang Khass dengan penasaran. Mereka semua mengenakan pakaian yang sama; serupa piyama berwarna putih tulang dengan tali-tali di punggung mereka.

"Darimana kau berasal?" pemuda satu selnya kembali bertanya. Suaranya agak serak.

"Dari ... Desa."

"Desa apa?"

"Desa ... desa?"

Pemuda itu mengernyit. "Kau tidak tahu nama desamu?"

"Bukan. Bukan desaku. Tapi Desa."

"Ah." Ekspresi pemuda itu melunak. "Apakah kamu murid sebuah perguruan?"

"Sejak lahir." Khass mengangguk lemah, lega karena tidak perlu menjelaskan sesuatu yang bahkan tak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Ia merasa canggung karena tak pernah sekali pun mengobrol dengan seseorang di luar desa perguruan, selain orang-orang asing yang mampir dahulu. Pemuda itu punya bau yang berbeda dengannya. Sama sekali tidak tercium lavender, melati, atau tetumbuhan wangi lainnya yang menjadi ciri khas para Guru. Pemuda itu memiliki bau serupa rerumputan serta tanah basah, dan meski itu adalah bau yang segar, tetapi telah lama pudar dan ditutupi bau keringat, obat-obatan, dan sesuatu yang sangat menyengat serupa cairan kimia, dan itu membuat hidung Khass gatal. Juga ada bau tumbuhan tertentu, tapi Khass tidak tahu apa itu, dan ia hanya pernah menciumnya sekali ketika menyelinap ke ruang pengobatan Guru tabib. Bau pemuda itu, secara keseluruhan, membuat Khass mual, melebihi kecut dan apeknya aroma Debri saat pertama kali tiba di desa.

"Aku Janthell." Ia mengulurkan tangan. "Dari Langman."

"Langman?" Khass menjabat tangannya, lantas agak terperangah dengan kekuatan genggaman Janthell yang ternyata lebih kuat daripada postur tubuhnya. "Dimana itu?"

"Kau tidak tahu Langman? Ah, benar, bocah perguruan dari lahir." Janthell tertawa pada dirinya sendiri. Khass tidak tahu apakah dia dijadikan bahan lelucon atau hanya sekadar basa-basi, sehingga ia hanya tersenyum canggung. "Langman adalah kota di Gerbang Timur. Terkenal dengan jalur Pegunungan Putih ... kukira kau tahu?"

"Pegunungan Putih, aku tahu. Langman, tidak. Kamitua tidak pernah bercerita soal kota-kota."

"Pendidikan yang ketat, ya?" Janthell menebak. "Meski rasanya aku sok tahu. Aku 'gak pernah mengerti kehidupan perguruan semacam itu."

"Daripada itu ... Gerbang Timur? Ini masih di Gerbang Utara, kukira? Kenapa kau di sini?"

Senyum Janthell melemah. Khass sempat panik jika telah salah memberikan pertanyaan. Ini obrolan pertamanya dengan orang asing di luar Kota Miggle! Pertanyaan macam apa yang seharusnya diberikan untuk basa-basi?

"Aku sedang menemani abangku untuk perjalanan bisnis ... dagang kecil-kecilan, maksudku. Sekaligus mengunjungi paman kami. Tapi tampaknya aku bermain-main terlalu jauh. Aku tersesat di tepi kota tepat ketika sepasukan tentara mendobrak rumah-rumah ... dan, ya ... aku ikut terseret."

Khass tak tahu harus berkomentar apa. Dan, untunglah, kekakuan di benaknya teralihkan oleh suara dentingan berulang dari balik punggungnya. Khass dan Janthell serentak menghadap ke asal suara. Dua orang anak, seorang gadis dan seorang bocah laki-laki yang nampaknya masih delapan tahun, paling muda di antara semua, mengintip dari balik jeruji mereka dengan antusias.

"Sudah berkenalan, Janthell? Siapa dia?"

"Astaga, aku bahkan belum tanya namanya," Janthell berseru.

"Khass." Ia merasa malu. "Dari desa perguruan. Salam kenal."

Gadis dan bocah laki-laki di sampingnya menatap sejenak dengan mata-mata cerah mereka, seolah berusaha mencerna kata-kata Khass barusan.

"Halo, Khass!" sebuah suara lain menyahut dari sel di samping mereka.

"Kau terlihat sangat takut. Kau tak apa, teman? Aku tahu ini berat buatmu, tapi, uh—santailah." Gadis di seberangnya berkata. Ada nada ketidakyakinan pada kalimat terakhir. Ia berusaha sebisa mungkin mempertahankan senyumnya untuk menyambut si anak baru. "Kau mungkin ingin istirahat sejenak. Kau ... kau bisa cerita kepada kami nanti."

"Cerita? Cerita apa?"

"Ceirta tentang dirimu." Janthell menanggapi dengan tenang. "Kami semua saling mengenal di sini. Karena ... yah, mungkin kami bakal menjadi keluarga terakhirmu."

Khass mengernyit mendengar kata-kata itu. Ia memandang Janthell dengan skeptis, tetapi tak ada perubahan pada ekspresinya. Ada ketenangan yang mengerikan di sana, seolah-olah ia adalah anak pertama yang dijebloskan ke sel ini. Kepasrahan. Khass buru-buru mengerling ke wajah-wajah lain, dan mereka semua sama saja.

Pasrah.

Khass merasakan debaran tidak menyenangkan di jantungnya. Ada apa ini?

"Tunggu. Ada apa di luar sana?" Khass tidak berusaha menyembunyikan kecemasan. Berpadu dengan rasa nyeri dan sakit di sekujur tubuh, ia tak lebih dari seorang pemuda ceking yang memohon agar tenggorokannya dibasahi air bergentong-gentong.

"Perbudakan. Jelas. Kenapa kau masih bertanya?" seseorang di sel entah yang mana menyahut.

"Sebentar, dia tidak terlihat ikut di luar sana." Janthell memelajari Khass dengan saksama. Lumpur di bajunya masih agak basah. Dia memang terluka, tetapi bukan karena dipecut atau tergores benda konstruksi.

"Kau baru datang, ya?" Khass mengangguk lagi. "Oh, beruntungnya kamu," Janthell bergumam, tapi wajahnya masih muram dan nada iri di suaranya tak membuat Khass merasa lebih baik. "Tapi berada di sini juga tidak lebih baik sih."

"Kita tidak ikut di luar?"

"Tidak, dong." Janthell menunjuk pakaiannya. "Kita di sini untuk proyek lain yang lebih ...." Janthell terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu yang nampaknya adalah kenyataan, dan berusaha mencari kata paling semu untuk membuat Khass nyaman. "Uhh, lebih berbeda. Maksudku, tidak angkut-angkut batu dan semen. Kita dikasih obat, begitu."

Khass terdiam sejenak. "Apakah karena itu kalian semua terlihat sakit?"

"Bukankah karena itu kau dibawa kemari?" Janthell mengedikkan dagu pada luka di rahang Khass.

Ada jeda sejenak. Khass, sekali lagi, telah kehilangan kata-kata yang tepat. Ada banyak sekali pertanyaan yang mendadak muncul di otaknya, tetapi lidahnya sama sekali tak bisa menyuarakan bahkan satu pertanyaan saja. Tidak kuat dengan tekanan itu, Khass merosot dan bersandar pada jeruji sel. Mata Janthell masih terus mengawasinya. Khass tidak ingin repot-repot mengartikan tatapan itu.

Jika para bocah di sel ini dikurung untuk diobati, itu berarti mereka akan kembali ke perbudakan jika sudah sembuh, bukan? Bayangan mengerikan akan bertelanjang kaki di musim dingin yang membeku, sembari dibentaki oleh tentara-tentara jahat yang tak menghormati posisinya, membuat Khass lemas. Jantungnya berdegup tidak nyaman. Seluruh tubuhnya masih sakit dan nyeri, begitu pula dengan perutnya yang lapar, tapi tak ada yang bisa mengalahkan ketakutan Khass terhadap dunia asing di luar desa.

Lubang kecil di atas sel bundar menjadi satu-satunya penanda apakah pagi sudah berganti malam. Ketika sorot matahari tipis yang menyinari sepetak kecil di tengah sel lama-lama meredup, mereka tahu bahwa malam sudah tiba. Namun suara konstruksi tak pernah reda, dan senantiasa samar-samar terdengar. Suara debuman dan ledakan akan sesekali mengejutkan seisi sel, meski suaranya begitu redam dan tidak semenakutkan ketika Khass mendengarnya tadi pagi.

Pintu baja mendadak berderit. Khass tersentak dari tidur. Ia menatap Janthell yang sudah memandang ke arah pintu baja dengan kaku. Menyadari gelora emosi Janthell yang tidak biasa, Khass menoleh ke arah pintu.

Khass mengawasi dengan waswas. Muncul dua penjaga iblis serupa yang Khass temui pertama tadi, dan mereka mengambil posisi di masing-masing pintu. Mereka nampak identik, Khass curiga bahwa para penjaga di sini berasal dari ras iblis yang sama. Setelah mereka berada di posisi, tiga orang berjas lab menyusul ke dalam sel. Mereka semua berpenampilan rapi—dengan rambut disisir dan digelung, serta jas dan kemeja yang disetrika. Seorang ilmuwan yang paling tua, yang nampaknya adalah senior dari dua ilmuwan wanita di belakangnya, meminyaki rambutnya sedikit berlebihan, dan tak menghiraukan beberapa helai yang menjuntai di dahinya yang licin. Alisnya nyaris bertaut, bibirnya yang tipis nampaknya susah untuk tersenyum, tetapi ketika kedua matanya mengedarkan pandangan ke penjuru sel, ia mendadak tersenyum lebar.

"Selamat sore!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top