6.1 Kata Kunci

Khass kembali ke desa tepat setelah satu jam. Tanpa diminta oleh Amar pun, Khass juga tidak ingin membuat keributan dengan Kamitua. Sudah cukup baginya merasakan cambuk di sekujur tubuh selama masa kecilnya. Khass telah beranjak remaja, sudah waktunya untuk berpikir lebih rasional. Lagipula ia juga tidak punya alasan untuk menjadi serba penasaran lagi.

Ia memiliki Par si iblis di benaknya. Semua pertanyaannya dengan mudah terjawab.

"Apa kau mengenalnya?" Khass bergumam saat melangkah menyusuri hutan. Gerbang desa terlihat jauh di depan mata, tertutup oleh rimbun sesemakan.

Mula-mula terdengar suara geraman pelan di kepala, kemudian ia merasakan ada geliat-geliat menggelikan yang menyentuh dinding tempurungnya, seolah otaknya menjadi hidup dan berusaha keluar dari kepala.

"Dia sang saudara. Saudaraku." Kendati itu adalah suatu kabar baik, kenyataannya Khass lebih terkejut daripada Par sendiri. Iblis itu menjawab dalam ketenangan yang tak wajar.

"Saudaramu? Kenapa kau diam saja?" tanya Khass kebingungan. Langkahnya refleks terhenti dan ia memandang nanar ke arah dimana kota berada. "Kenapa kau tidak menemuinya? Tidak setiap hari dia datang kemari untuk mencarimu!"

"Sama dengan alasan mengapa kau tidak bilang saja bahwa aku berdiam di tubuhmu." Khass merasa disudutkan dengan respon Par. Ia tidak menyangka akan diserang balik.

"Itu bukan wewenangku untuk ikut campur begitu saja." Khass menggerutu, meski kenyataannya dia sangat ingin mengatakannya kepada Caellan tadi. Kalau saja Par sudah bersuara lebih awal, Khass akan dengan senang hati menyampaikannya.

"Tidak masuk akal. Kau tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpamu." Par terdengar riang. "Aku tahu, kau tidak ingin aku pergi cepat-cepat karena tidak ada yang bisa membantumu keluar dari desa, kan? Amar telah pergi, siapa lagi yang kau punya kalau bukan aku? Dasar bocah licik." Khass merasa malu pada dirinya sendiri. "Lagipula yang dia cari adalah Rayford, bukan aku," lanjut Par. "Dia mencari adiknya."

"Kalau kau adalah saudara Caellan, itu berarti kau adalah saudara Debri juga? Kalian bertiga bersaudara, begitu? Ini membingungkan, bagaimana bisa manusia bersaudara dengan iblis?"

Par tak menjawab selama sesaat. "Nah, teka-teki yang menyenangkan untuk kau pecahkan, bukan?"

"Jangan bermain-main denganku! Ini serius. Mengapa Debri bisa memiliki nama Rayford? Maksudku, mengapa ia mengganti namanya?"

"Teka-teki lain lagi!"

"Par!"

Par tertawa di benak Khass. Pemuda itu tersentak saat burung-burung yang hinggap di sekelilingnya mendadak terbang menjauh, seolah tawa Par terdengar hingga keluar dan mengejutkan burung-burung itu. Khass memandang sekeliling dengan gelisah. Pada saat itulah Khass benar-benar menyadari apa yang terjadi di hutan. Sinar matahari tak mampu mencapai dedaunan lembap di bawah kakinya. Daun-daun mendesau dan mendesis, seolah-olah angin yang berembus datang dari gesekan amarah dedaunan. Angin-angin itu menerbangkan ujung sarung Khass dengan kasar. Bisikan-bisikan samar kerap menghampiri telinga Khass, mengusir sang iblis yang datang dari dunia luar dan merasuki calon kamitua mereka tanpa seizin seluruh desa.

Khass tidak pernah merasa terancam di rumahnya sendiri, dan ini membuatnya makin bertambah gelisah. Untuk pertama kalinya, Khass berpikir larangan Kamitua untuk pergi keluar desa ada benarnya, terlebih-lebih sikap parnonya yang semakin mengucilkan desa dari jangkauan khalayak luar. Semenjak Par hinggap di tubuh Khass dan sama sekali tak menyisakan ruang untuk arwah lain, rasa-rasanya para roh hutan mulai berani mengusik sang pemuda.

Atau, tepatnya, mereka menarget sang iblis. Namun, tetap saja Khass ikut menanggung pengusikan itu!

"Mengapa kau berlama-lama?" Par menyentak lamunan Khass. Iblis itu pun sama kesalnya. "Cepat! Waktumu hampir habis, atau orang tua itu akan mencambukmu. Aku tidak mau ikut campur dengan kalian berdua lagi."

Bahkan tanpa disuruh lagi, Khass sudah mengangkat kaki dari hutan. Ia cepat-cepat melewati gerbang desa, menyapa Guru yang berjaga dengan sekenanya. Ia mengacuhkan wajah heran para kawan seperguruan yang berkelompok di lapangan dan terus berlari hingga suara-suara kebencian itu menghilang dari ujung telinganya. Khass terengah-engah, bersandar pada sebuah pohon, kemudian memutuskan untuk meminta tolong pada sesosok arwah yang melintas untuk mengabarkan kedatangannya kepada Kamitua. Arwah itu merespon dengan tak acuh.

"Jika mereka sudah tidak peduli padamu, mungkin mereka pun takkan mengawasimu pergi ke gudang."

"Mengapa mereka perlu mengawasiku?" Khass tidak menyukai nada suara Par. Ia terdengar seperti akan melakukan tindakan kriminal. Par mengabaikan pertanyaannya.

"Aku tidak mau ikut campur urusanmu dengan Kamitua lagi. Ampun. Para Guru di sini terlalu waswas dengan orang luar!" Sang iblis telah kembali pada keceriaannya yang menghantui. Ia menemani perjalanan Khass menuju gudang dengan cerita yang cukup panjang. Khass berusaha mengabaikannya.

Ah, sudahkah kau tahu jika Khass mulai bosan dengan cerita-cerita Par? Empat tahun yang lalu ia begitu semangat menantikan cerita dari siapa pun, kemudian mendapatkan janji akan cerita yang banyak dari Par membuatnya bahagia. Ternyata, empat tahun kemudian, Khass sudah muak dengan semua itu. Setiap hari ia mendengarkan cerita, nyaris tanpa henti, dan Khass sempat merasa gila karena alam pikirnya tidak pernah sepi. Sekarang, sejak beberapa bulan terakhir, Par lebih memilih diam jika Khass tidak memintanya bercerita. Ia akan melakukan apa pun untuk menjaga perasaan Khass daripada harus kehilangan inang.

Gudang terletak di sebuah pondok kecil yang letaknya sedikit terasing dari desa. Sesuai tujuan Kamitua saat mendirikannya, gudang ini merupakan tempat para Guru mengasingkan barang-barang bawaan mereka saat datang kemari. Tidak terkecuali Debri yang meninggal tanpa ada kejelasan identitas. Barang-barang yang dibawa Debri pun tidak bisa membantu.

Bahkan Par, yang pernah diinterogasi selama tiga malam (tentu saja Khass ikut hadir), juga tidak bisa memberikan keterangan yang jelas tentang siapa pemuda ini.

"Aku hanya meminjam tubuhnya," kata Par saat itu. "Aku tidak berhak mengintip siapa dia."

Khass merasa bahwa Par jujur, tetapi seluruh Guru senior sepakat bahwa Par berdusta. Kepercayaan Khass diwarnai keraguan semenjak peristiwa itu.

Gudang itu kecil dan lembap. Dindingnya basah oleh genangan air yang mengendap pada lubang-lubang di atap, karena sebagaimana mayoritas bangunan di desa ini, gudang hanyalah tumpukan batu alam sisa reruntuhan Konservatori raksasa dahulu. Lumen menyembul dari lubang-lubang udara dan menyala dalam keremangan. Meski begitu Khass masih harus meraih lilin yang ditinggalkan di luar gudang. Barang peninggalan non Guru biasanya ditumpuk begitu saja dan tak terjamah lumen yang merambat ke seluruh dinding.

Khass masih ingat betul penampilan Debri saat pertama kali datang ke desa. Baju lusuhnya yang ternodai lumpur kering, sobekan di sana-sini akibat tersangkut ranting, dan topi coklatnya yang dipenuhi tambalan. Khass menemukan pakaian itu di tumpukan paling atas, tetapi tidak melihat ada satu pun alamat yang disertakan. Tak ada kain tambalan, atau papan timah kecil. Par pernah bercerita jika anak-anak di luar desa sering membawa papan timah atau kuningan berukir alamat, yang disematkan pada topi atau gesper mereka, meniru para ayah yang telah hilang direnggut tentara. Seandainya anak itu hilang, dan jika ia cukup beruntung untuk tidak ditemukan tentara, maka ia bisa kembali ke keluarga yang tersisa.

Khass juga tidak melihat ada bekas sesuatu yang dilepas paksa dari pakaian Debri. Si pemuda mendadak merasa petualangannya akan dimulai dengan cukup rumit. Seandainya Debri tidak membawa alamat apapun bersamanya, Khass tidak bisa bertemu dengan Caellan Caltine ... dan itu kabar buruk. Ia tidak punya alasan kuat untuk meninggalkan desa secepatnya selain menanti pengangkatannya menjadi Guru.

Duh.

Khass dengan frustasi mengais-ngais tumpukan barang itu. Sebagian pakaian menguarkan aroma apek yang telah meresap sempurna pada kain-kainnya, gesper-gesper yang mengelupas, dan benda-benda kecil lain yang bisa digerogoti rayap. Khass nyaris mencapai dasar tumpukan. Karena tak banyak orang yang berkunjung kemari, maka hanya sedikit pula barang yang menumpuk. Buku berjamur ... monokel dengan rantai berkarat ... kompas yang remuk ... semua barang-barang ini hancur seperti para pemiliknya yang telah terkubur di sebuah pekarangan di dalam hutan. Masih tak ada alamat ... buku lagi ... orang-orang ini suka sekali mencatat perjalanan mereka, eh? Khass ingin sekali menyimpannya. Kemudian, buku yang ketiga ... pena yang patah ... saputangan ... kunci ... keranjang bayi—

"KUNCI!"

Khass nyaris saja melempar kunci itu ke tumpukan baru di belakangnya saat Par menjerit. Khass tersentak dan spontan mencengkeram kunci itu erat-erat. Ia nyaris menyumpah, menyesali tindakan Par, kemudian mengamati kunci itu. Ada lempengan perunggu berukiran alamat. Ukiran kecil berbentuk pohon pada permukaan kunci membuat Khass terkagum-kagum. Kunci ini pantas disebut barang antik. Berbeda dengan kunci-kunci di desanya yang besar, berat, dan berwarna kelabu berkarat, kunci ini seolah memantulkan cahaya lumen tanpa cela.

Appevile 21, Bukit Appeton, c. Caltine.

Khass menghapalkan baik-baik alamat itu. c. Caltine—apakah Caellan Caltine? Apakah kunci Caellan Caltine dibawa oleh Debri? Namun ... ini aneh. Khass mengerling ke arah keranjang bayi yang teronggok di lantai. Keranjang itu dibungkus selimut-selimut lembut dari kain yang bahkan tak pernah Khass sentuh. Bulu-bulunya kotor, dinodai oleh tumpukan di atasnya, tetapi Khass lebih terheran-heran karena kunci itu ditemukan di atas keranjang bayi, alih-alih pakaian Debri.

Debri tidak datang kemari dengan keranjang bayi, jadi ... uh ... bagaimana? Khass mengerjap. Apakah kuncinya terjatuh saat Debri melepaskan barang-barangnya di tumpukan? Tetapi bagaimana caranya kunci ini bisa mencapai dasar tumpukan jika Debri adalah orang terakhir yang menaruh barang-barangnya di sini?

Selama sesaat pemuda itu terpekur di tempatnya, mencoba mencerna apa yang terjadi. Tidak mungkin kunci itu bisa melewati serangkaian pakaian, buku, dan sebagainya untuk mencapai keranjang yang ditutupi selimut. Tumpukan ini menggunung, rapat, dan tidak menyisakan cela. Keranjang bayi itu pun tertimbun sempurna, jadi ....

"Jadi," sebuah suara menggelegar mengejutkan Khass, membuat jantungnya nyaris meledak. "Sampai kapan kau akan di situ, membuang-buang waktumu, dan tidak kunjung menemuiku?"

Khass menoleh dengan jantung berdentam-dentam. Ia sama sekali tidak tahu jika telah diawasi. Kedua mata Kamitua melotot tajam saat menyadari Khass membawa keranjang bayi di tangannya. Tongkat jalan Kamitua menjejak dalam pada tanah basah. Jemarinya mencengkeram erat-erat pada tongkat.

Napas Khass memburu, siap menerima gelegar amarah Kamitua saat tetua itu masuk dengan langkah lebar.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top