5.2 Caellan Caltine
Khass terkesiap. "Jangan!" serunya sembari menghampiri. "Jangan ditembak! Dia bakal lebih marah!"
Peringatan Khass adalah keselamatan bagi siapa pun yang sedang terlibat; sang pemuda nyaris menekan pelatuk, dan seandainya satu peluru menyasar lagi pada tubuh Sulur Biru, maka makhluk itu akan membantingnya ke tanah keras-keras. Sulur hidup itu juga telah menjegal mendiang Debri, dan hampir semua orang tersesat, sekadar untuk memberi peringatan kalau-kalau mereka punya niat buruk terhadap para Guru yang mengucilkan diri jauh di dalam hutan.
Kehadiran Khass juga menarik perhatian Sulur Biru. Suaranya cukup untuk membuat sang makhluk berhenti menggoyangkan si pemuda asing, lantas mengembalikannya menjejak ke tanah saat Khass menepuk-nepuk cabang sulurnya yang menggeliat di dekat kaki. Sulur Biru menarik diri dan beristirahat di tanah, menyatukan wujudnya dengan warna cokelat kehijauan, membeku bagaikan akar-akar pohon yang membisu. Sementara itu sang pemuda asing terhuyung-huyung menghampiri Khass.
"Kau tak apa-apa, Tuan?" Khass refleks memanggilnya demikian saat menyadari betapa mewahnya penampilan sang pemuda. Ia mengenakan setelan yang dijahit khusus untuknya dengan sepatu mengilap yang tak sepantasnya ternodai lumpur kering. Segala kerapian pada penampilannya jelas-jelas menunjukkan bahwa ia bukan bagian dari kota di bawah bukit.
Namun, menurut Par, sudah tidak mengherankan lagi untuk menyaksikan beberapa orang asing datang dan pergi ke kota ini selepas penembakan masal waktu itu. Sebagian datang untuk menjemput keluarganya, sebagian lain mencari sesuatu—dan yang ini sedikit aneh, katanya. Entah apa yang dicari mereka; sesuatu untuk dijarah?
"Oh, astaga." Pemuda itu menutup mulutnya, mungkin bersiap-siap akan muntah. Khass menyesal mengapa tidak membawa minyak jahe. Mereka berdua sama-sama membutuhkannya.
"Kalau kau mau muntah, lakukan saja, Tuan," kata Khass santun. Ia berbaik hati mengambil satu langkah mundur. "Sulur Biru suka sekali melakukan hal itu untuk membuat orang asing mabuk."
Sang pemuda necis mengangkat satu tangannya yang bebas. Khass sontak mengunci mulut dan menunggu reaksi sang pemuda. Ia mengambil napas dalam-dalam, mengembuskannya, dan melakukan itu beberapa kali hingga rona mukanya berangsur-angsur membaik. Ia menyarung pistolnya kembali.
"Makhluk sialan," gumam pemuda itu. Khass memakluminya. Daripada sebuah umpatan, Khass lebih terheran-heran pada sebuah kenyataan tentang kehadiran pemuda ini.
Melihatnya membuat Khass merasa tidak sepenuhnya asing, dan ini mengejutkan. Ia ingat betapa waswas dirinya saat bertemu Debri pertama kali. Meski begitu pemuda ini, yang memiliki aroma serupa Debri yang berasal dari kota besar, membuatnya siaga. Ia memang tidak berpakaian compang-camping macam anak jalanan, tetapi pemuda berpenampilan bersih dengan kemeja dan jas yang disetrika secara hati-hati, serta tatapan mata tajam dengan kulit yang sama sekali tak bernoda membuat Khass lebih ... takut. Pemuda ini nampak penting. Atau, setidaknya, mungkin anak-anak para pejabat.
Hei, apa yang sekiranya dibutuhkan pemuda penting semacamnya di hutan?
"Apakah kau memiliki keperluan khusus di sini, Tuan?" Khass tidak tahan lagi untuk tidak bertanya. Cerita macam apa yang bakal dibawa sang pemuda necis?
"Aku sedang mencari seseorang," jawab sang pemuda, sedikit ragu-ragu karena situasi yang baru saja menimpanya. Kemudian, menyadari bahwa bocah berlilit sarung itu tidak terkejut dengan ucapannya, ia melanjutkan dengan lebih tenang. "Aku mencari keluargaku, tapi ...."
"Apakah kau membutuhkan arah?"
"Tidak. Bukan itu maksudku. Ini sedikit aneh untuk dikatakan di awal, tetapi kau terasa agak familiar."
O-ho, sempurna sekali! Khass merasa semakin bersemangat. Pemuda necis ini barangkali memang membawa sebuah kisah yang menarik untuk dituturkan. Ia familiar dengan seorang Guru, maka siapa kiranya yang sedang dicari? Atau, astaga—ini adalah imajinasi liar Khass—apakah dia abang Amar yang hilang? Tapi, ah, mereka nampak seusia. Tidak mungkin begitu. Khass pun menyerah pada imajinasi super ngawurnya.
"Apakah seseorang yang kau cari tinggal di sini?"
"Aku tidak tahu, tetapi aku yakin begitu."
Khass tidak akan terburu-buru menanyakan perihal desa. Dia harus mengikuti pedoman menuntun orang asing oleh para Guru, tidak semua orang bisa sembarang langsung diarahkan ke desa.
"Mungkin kau bisa mengeceknya di balai kota, Tuan."
"Terima kasih, tetapi aku sudah mencarinya di sana. Tidak ada nama Rayford yang tercatat sebagai pendatang," katanya, dan Khass nyaris tak bisa menangkap namanya sekali dengar. "Sehingga kupikir ia bergabung bersama para Guru. Entahlah, kudengar ada desa perguruan di sini?"
Pertanyaan terbesar Khass akhirnya terjawab. Oh, dugaannya benar! "Benar sekali, dan apakah sekiranya aku kenal dengan seseorang bernama ... siapa tadi? Di desa?"
Anggukan mantap pemuda itu segera dibalas dengan gelengan kecil. "Maaf," kata Khass. "Tidak ada yang bernama ... siapalah itu."
"Rayford. Rayford Caltine."
"Ya, tidak ada yang bernama Rayford, atau bermarga Caltine," jawab Khass. Jadi pemuda ini memiliki marga Caltine. "Atau mungkin saja ada, aku tidak tahu betul. Apakah kau tahu jika siapa pun yang masuk dan diterima menjadi Guru di desa akan mengubah nama mereka, Tuan Caltine? Mungkin kau bisa menyebutkan ciri-ciri Rayford. Apakah rambutnya merah, misalnya?"
"Oh, cukup Caellan saja." Pemuda itu tersenyum. Menawan sekali. Khass bahkan tidak bisa menolak uluran tangan si pemuda bernama Caellan Caltine ini. "Dan sayangnya aku tidak tahu bagaimana adikku Rayford ter-lihat sekarang. Kami sudah lama tidak bertemu. Sangat lama. Namun, aku yakin dia seharusnya berada di sini. Sesuatu ... ya, sesuatu mengatakan itu padaku."
Cara pemuda penting itu berkata-kata menyadarkan Khass dengan banyak hal sekaligus. Pemuda yang berasal dari kota besar itu awam dengan tempat semacam desa perguruan, tetapi tahu sedikit tentangnya, yang nampaknya bukan topik konsumsi orang-orang semacamnya. Maka dia tidak rutin sembahyang di Konservatori. Kedua, cara Caellan menyebut "sesuatu" membuat Khass curiga. Apakah pemuda penting itu sebenarnya memaksudkan iblis? Orang-orang awam selalu berusaha mencari kata pengganti untuk iblis. Mereka takut pada kaum monster ini.
Khass tersenyum tipis. Pada saat seperti ini, ia sangat mensyukuri berkahnya sebagai seorang Guru Muda. Hidup bersama roh-roh dan para iblis membuatnya mudah mencium bau orang yang pernah tersentuh oleh mereka. Caellan memiliki bau itu, seperti Debri, yang amat sangat familiar dengan hidungnya.
Jika Caellan mencari adiknya melalui iblis yang dikenalnya, sementara Debri pernah dirasuki oleh Par, maka kesimpulannya hanya satu: mereka bersaudara. Khass bangga, sekaligus sedih, mengingat bahwa Caellan datang terlambat karena Debri sudah tak ada di dunia ini. Bahkan sangat telat.
Sekarang, bagaimana caranya Khass harus menyampaikan kabar duka ini? Lihatlah pemuda asing itu. Tampak begitu berkilau dan penting, seolah hidup tak pernah menyakitinya, dan itu tak membuatnya sekonyong-konyong menghadiri Konservatori secara rutin. Bahkan mungkin ia tak terlalu mengenal Tuhan—tipikal penduduk kota-kota besar menurut cerita Par. Matanya awas, bukan gerak-gerik para pembaca doa yang senantiasa tenang.
"Aku bingung bagaimana mengatakannya, tetapi nampaknya aku tahu sesuatu," kata Khass. "Sayangnya, aku juga tidak bisa mengantarmu ke desa. Kamitua bukanlah orang yang terbuka dengan orang-orang asing yang sekadar datang tanpa tujuan untuk bergabung. Bukannya kami tidak terbuka, tetapi Kamitua—maksudku kami ... kau tahu, hanya berhati-hati dengan segala kekacauan yang pernah terjadi di luar."
Ya, sejak kedatangan Debri dan kematiannya yang janggal, Kamitua melarang siapa pun untuk mempersilakan orang asing masuk tanpa tujuan yang dapat dimaklumi. Pembatasan hari dan penyediaan pos khusus di dekat gerbang untuk mengobati orang asing yang terluka telah dibuat. Ini mengejutkan seisi desa, tapi keparnoan Kamitua bisa dimaklumi.
"Katakan padaku."
"Aku mengenal seseorang asing yang datang kepada kami sekitar empat tahun lalu. Namanya Debri, dan dia adalah kawan yang sangat baik." Khass menerawang saat kenangan akan Debri terlintas cepat di benaknya. "Dia memiliki bau yang sama denganmu—dan jangan berpikir aneh, tetapi kami bisa mencium bau itu. Kami tahu. Kalian berasal dari tempat dengan bau yang sama. Dan ... sesuatu yang kau sebutkan itu ... apakah kau memaksudkan iblis? Sebab sesuatu itu—si iblis—berada pada Debri saat datang kemari."
Caellan membeliak. Sepertinya Khass benar.
"Debri," ulangnya, dengan alis mengerut. "Bukan Rayford. Namun aku percaya padamu bahwa kami memiliki bau yang sama. Aku tahu para Guru sepertimu punya kemampuan seperti itu."
Khass sedikit terkejut. Pemuda ini ternyata tahu. Jadi apakah dia sering ke Konservatori? Mengapa ia tidak berbau dan bertindak seperti pemuja Tuhan yang baik?
"Para pendatang yang ingin menjadi Guru akan mengganti nama mereka sebagai bentuk pelepasan masa lalu," kata pemuda itu lagi, membuat Khass sempat bengong dengan pengetahuannya. "Dan, empat tahun yang lalu. Ini aneh ... tapi aku juga tidak tahu persisnya dengan situasi Rayford. Baiklah. Jadi dimana si Debri ini?"
Khass menelan ludah. "Dia ... maafkan aku, Caellan, tapi dia—dia sudah meninggal."
Raut penasaran penuh semangat Caellan berubah dengan cepat menjadi ekspresi marah yang tertahan. Kedua matanya yang melotot membuat Khass seketika ingin menciut.
"Apa?"
"Debri, dia sudah ...."
"Tidak mungkin." Caellan mendesis. Dia masih berusaha keras menahan emosinya. "Tidak mungkin. Aku diberitahu bahwa dia masih hidup oleh bajingan itu. Tunggu. Tidak begini." Khass gatal sekali untuk menutup kuping saat pemuda itu terus menceracau dengan kata-kata kasar yang mengikis sisi polosnya. Ia tersentak saat Caellan setengah menghardiknya. "Antarkan aku ke desa. Aku ingin menemui kamituamu."
"Maaf, aku tidak bisa." Khass refleks mengangkat tangannya. "Kamitua benar-benar melarang orang asing untuk datang. Aku ingin sekali membantumu untuk mengunjungi Debri, tetapi maafkan aku. Membawamu ke desa bukanlah pilihan."
Caellan menatapnya sesaat. Amarahnya luruh menjadi kekecewaan. Caellan mengusap wajah dan menunduk, membiarkan mereka tenggelam dalam kesunyian yang canggung. Kemudian, saat Khass menimbang apakah sebaiknya menawarkan kata-kata hiburan atau sejenisnya, Caellan berkata, "Kalau begitu bisakah aku meminta tolong?"
"Ya?"
"Jika Debri seandainya memang adikku, dia pasti membawa sesuatu." Pandangan mereka saling bertemu lagi. Emosi tidak lagi terpancar dari mata Caellan yang tenang. Kemana amarahnya tadi? Dia nampak kalem sekarang. Dia bahkan bisa tersenyum tipis. "Setahuku, dan koreksi jika aku salah, bahwa para pendatang akan menyimpan barang bawaan mereka di suatu tempat di desa, benar? Jika demikian, maka aku hanya ingin membawa kembali barang bawaan Debri. Itu saja. Aku ingin membuktikan jika dia benar adikku."
"Aku yakin dia adikmu," kata Khass mantap. "Kalau kau mau menunggu, aku akan mencarikannya sekarang di gudang."
"Sebenarnya aku tidak bisa berlama-lama di sini." Caellan mendesah. Khass menyadari bahwa mata Caellan sering melirik ke arah kota di bawah bukit. "Aku harus pergi satu jam lagi. Aku sudah terlalu lama di sini dan ... begitulah. Aku beruntung telah bertemu denganmu. Kalau tidak aku mungkin sudah diremukkan makhluk ini." Ia mengakhiri ucapan dengan mengerling kesal kepada cabang Sulur Biru di kakinya. Makhluk itu tahu Caellan tengah membicarakannya, dan sengaja menggeliat sedikit, sekadar untuk membuat sang pemuda asing bergidik.
"Lantas bagaimana aku bisa membawakanmu barang-barang Debri?"
Caellan berpikir sesaat. "Aku ingin bertanya padamu sekarang," bisiknya. "Kenapa kau ada di sini ... uh, siapa namamu? Bukankah Guru tidak sering-sering keluar dari desa?"
"Khass," jawabnya. "Dan aku sekadar mencari udara segar."
"Mencari udara segar? Baiklah. Guru Muda yang ingin keluar sejenak." Cara Caellan tersenyum membuat Khass agak panik. Mengapa pemuda ini selalu tahu segala sesuatu yang bahkan tidak dipahami para penduduk kota yang sering ke Konservatori? Dia pasti tahu jika alasan Khass hanyalah dusta belaka. Udara di desa adalah udara paling jernih dan segar, mengapa ia mencarinya di kota yang sudah terkontaminasi debu serta penyakit?
"Berapa lama lagi bagimu untuk diangkat menjadi Guru dan belajar di luar?"
"Aku akan mulai bepergian kira-kira tahun depan."
"Sempurna. Bisakah kita bertemu suatu saat di tahun depan untuk kuambil barangnya?"
Khass mengangkat alis. Penawaran itu memunculkan sepercik semangat di dalam hatinya. Ini menegaskan bahwa dia benar-benar akan keluar, dan jika seandainya Kamitua setega itu untuk tetap menahannya di desa ... akan ada alasan baginya untuk keluar sejenak. Dia punya janji. Seorang Guru tidak pantas mengingkari janji.
Khass akan keluar.
"Tentu. Aku akan mengantarkan barang Debri kembali kepada keluarganya."
Caellan tersenyum. "Kau tahu?" katanya sembari mengulurkan tangan. Khass menyambutnya tanpa berpikir panjang. "Sesungguhnya, kau lebih terasa familiar bagiku daripada pemuda bernama Debri yang kaukatakan itu. Aku tidak bermaksud lain, tetapi ini membuatku terpukul. Aku lebih senang percaya jika adikku masih hidup, sesuai dengan yang dijanjikan oleh iblis itu. Dan ... kau pun, jika aku boleh berkata, kau juga memiliki bau yang sama." Caellan berbisik di kalimat-kalimat terakhir.
Jabat tangan itu berlangsung cukup lama. Khass tak bisa memikirkan apa pun selain mendukung ucapan Caellan karena, ya, Par kini hidup di dalam dirinya. Iblis yang menghubungkan kedua bersaudara itu kini membagi tubuh dengan Khass. Ia tidak tahu bagaimana Caellan akan bereaksi jika mengetahui hal ini, maka Khass memilih untuk menyembunyikannya saja.
"Mungkin karena aku berkawan dekat dengan Debri." Khass ikut tersenyum.
"Senang mendengarnya. Semoga dia memiliki akhir hidup yang baik."
Khass teringat bagaimana tubuh Debri jatuh dari ketinggian ratusan kaki. Ia menyesal telah mengizinkan otaknya memutar kenangan semacam itu.
"Aku akan memastikan kau mendapatkan barang-barang Debri lagi."
"Terima kasih."
"Dan dimana sekiranya aku bisa menemuimu?"
"Kau akan tahu." Cara Caellan tersenyum menyiratkan ribuan rahasian di baliknya, dan ini membuat Khass bersemangat lebih daripada yang ia pikirkan. "Jika Debri memang benar-benar adikku, dia pasti memiliki sesuatu yang berkaitan dengan rumah kami. Alamat yang tertera atau sejenisnya."
Khass mengangkat alis. Apakah pemuda berpenampilan rapi ini juga tinggal di gang kumuh, di balik pintu yang hanya menyembunyikan satu ruang luas serupa gudang yang ditinggali Debri? Khass ingin sekali menanyakan itu, tapi Caellan keburu pamit dan berlalu meninggalkan hutan. Khass menyaksikan sosoknya menjauh, lantas menghilang, dengan banyak pertanyaan. Apakah Debri memang adik Caellan Caltine? Jika benar demikian, maka Debri menyembunyikan banyak hal darinya. Hal-hal beraroma petualangan dan misteri yang rumit.
Oh, ini mendebarkan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top