3.2 Oh! [*]

Flash note: [*] means my favorite part! Enjoy!


------------------------------------------------------------------


"Kau hidup di bagian yang salah," kata Debri setelah mendengar dongeng panjang lebar Khass yang lagi-lagi menyedihkan. "Itulah kenapa kau hanya dengar cerita-cerita yang sedih. Orang-orang kota itu nggak punya tempat melampiaskan kesedihan dan ketakutan selain kepada kalian."

"Bagaimana dengan tempatmu?"

Pertama-tama, rumah-rumah di tempat Debri sangat besar, begitulah katanya. Sebagian bahkan terlalu kecil, karena orang-orang tinggal berhimpitan dalam satu lingkungan besar yang mereka sebut blok, dengan rumah-rumah dalam bangunan yang dibagi rata per penyewa bernama flat. Meskipun demikian, mereka jarang saling mengenal. Bahkan jika mereka memang saling mengetahui hobi satu sama lain, mereka takkan saling sapa dan mengobrol sejenak ketika bertemu di trotoar. Tidak. Semua memiliki tempat dan waktu khusus untuk bercengkerama atau bersendagurau, dan itu tidak di tempat umum. Tidak ada yang mau melihatmu tertawa sementara yang lain bermuka masam, menyimpan tangan di saku, dan berjalan secepat mungkin untuk mencapai tujuan.

Menyapa bolehlah. Tersenyum juga tidak apa-apa. Namun jangan berhenti, apalagi menawarkan cerutu dan sepotong cerita. Bisa saja nenek berselendang merah penjaja koran yang kau ajak mengobrol adalah mata-mata pemerintah. Parahnya, nenek-nenek itu tidak punya toleransi terhadap ramah-tamahmu. Dia sedang bekerja keras untuk mendapatkan uang di usia yang rentan, dan di situlah kamu—mengajaknya mengobrol dan menawarkan roti hangat—seolah-olah kehidupanmu sangat tenteram dan nyaman? Ketika kau pergi, nenek itu memastikan bahwa semua hal tentangmu akan disampaikan kepada seseorang, sebelum memorinya tergerus oleh kelemahan kemampuan para orang tua mengingat sesuatu. Kemudian, saat kau kembali ke rumah, istri dan anakmu tidak lagi menyambut di meja makan. Sebagai gantinya, dua orang berseragam tentara akan menunggumu di pintu, menembak kaki atau tanganmu, lalu menyeretmu ke truk yang menunggu dalam kegelapan tak jauh dari flatmu.

Konon, menurut desas-desus, kau akan bergabung dengan ribuan pria seusia di suatu tempat yang misterius, dan satu-satunya hal yang menjadi identitas tempat itu hanyalah himne pendek yang harus dinyanyikan setiap matahari terbit dan terbenam.

Kami para pejuang negeri

Pembangun bangsa

Tidak menari-nari atas duka orang

Tidak tertawa-tawa atas tangisan raja

Kami akan terus membangun

Sampai semua tertawa bahagia

Oh! Kami para pejuang negeri

Pembangun bangsa

(Seruan 'Oh!' harus diucapkan dengan lantang dan penuh semangat. Kalau terdengar loyo, kau akan diseret keluar dan digebuk sampai bisa menjerit paling keras. Kebanyakan berakhir tewas dengan lolongan "oh" yang terlalu panjang.)

Para penduduk di kota-kota besar memahaminya. Mereka tidak saling menyapa demi keselamatan bersama, hanya mata yang saling melirik dan tersenyum dalam diam ketika berpapasan dengan orang dikenal. Beberapa cukup lihai untuk menyelipkan sepucuk surat kecil di kantong mantel satu sama lain, sekedar ajakan untuk bertemu pada pukul enam sore di bistro langganan. Di situlah mereka baru diizinkan bercengkerama dan bercumbu dalam bilik masing-masing. Asap-asap mengepul, gelas-gelas didentingkan tanpa suara, dan tawa yang tak lebih berisik dari gumaman.

Semua itu tidak terjadi begitu saja. Selalu ada peristiwa, kisah, dan pengorbanan menyakitkan yang membuat semuanya kemudian rela merahasiakan kebahagiaan mereka. Begitu pula demi kepentingan perdamaian negeri agar tidak ada perang yang pecah, kemudian mengulang mitos yang mengerikan. Tidak, terima kasih.

Kami tidak memerlukan akhir dunia yang cepat.


+ + +


"Kau sebut itu cerita yang lebih baik daripada teman-temanku?" Khass terbengong-bengong mendengar penuturan Debri, dan kini pemuda itu tak bisa melawan rasa kantuk yang telah menguasai.

"Setidaknya orang masih bisa tertawa di bilik," tukas Debri.

"Orang-orang di luar sana memang sedih, kan?" Khass menyimpulkan, bergumam pada diri sendiri ketika Debri mulai terlelap di dipan. "Semua membutuhkan pertolongan. Karena itu kami ada."

Khass memandang Debri yang kini mulai mendengkur pelan. Ia pun beranjak perlahan dari pondok itu, lantas kembali ke Konservatori untuk merenung selama berjam-jam. Saat waktu makan malam telah lama lewat, Khass berkutat di pojokan mimbar. Ia memangku sebuah buku, sibuk menulis sesuatu hingga berlembar-lembar tanpa henti. Ia tidak mau merusak orisinalitas kisah Debri dengan imajinasi, atau kisah teman-teman seperguruan lain yang serupa. Ah, tidak ada yang serupa, sebenarnya. Debri memberikan kisah baru.

Lampu-lampu di Konservatori tak pernah dipadamkan. Lilin-lilin terus terjaga apinya, dan malam ini Amar bertugas mengganti lilin-lilin pendek dengan yang baru. Waktu menunjukkan pukul sepuluh ketika ia melewati mimbar dan menyadari suara gemerisik samar di baliknya.

"Kamitua nanti bakal mencarimu, lho," Amar menegur. Khass tersentak, tetapi setelah menyadari bahwa itu hanyalah kawannya sendiri, ia kembali menekuni tulisannya. Amar berusaha menilik apa yang ditulis, kemudian berujung frustasi karena tulisan cakar ayam Khass benar-benar tak bisa diterjemahkan.

"Kau 'gak pulang?"

"Kamitua tidak akan curiga kalau aku berlama-lama di Konservatori. Kau mau bantu mencabuti rumput-rumput di bawah mimbar? Tanganku tidak bisa mencapainya."

Amar mendesis. Yah, setidaknya Khass bisa menyelesaikan tulisannya tanpa diganggu si senior yang kini berkutat menyelipkan lengannya ke bawah mimbar yang lembap.

"Apa dia akan pulang besok?"

Pertanyaan Amar membuat Khass merenung. "Tidak tahu."

"Dia sepertinya menceritakanmu sesuatu yang seru sampai-sampai kau 'gak keberatan makan ayam dingin."

"Kamitua bilang kita tidak boleh menolak pemberian."

"Bukan itu maksudku."

Khass menyelipkan buku kecil ke balik mantel. Ia merangkak turun dari mimbar dan berjongkok di samping Amar, tangan menengadah untuk menampung rerumputan liar yang dicabut.

"Entahlah," gumamnya. Ia berharap tidak. Debri menceritakan hal-hal baru. Tawa di balik bilik dan surat-surat rahasia yang diselipkan ke saku mantel? Khass butuh mendengar lebih banyak lagi. Itulah satu-satunya cara si bocah bisa merasakan kehidupan di luar hutan. "Tapi dia kayaknya tidak terlalu senang untuk tinggal di rumahnya."

"Bagaimana kau tahu?"

"Dia tinggal di kota besar. Orang-orangnya tidak seperti penduduk di kota bawah sana."

"Tentu saja berbeda."

"Apakah menurutmu Debri bakal betah di sini?"

Amar menaruh segenggam rumput basah di tangan Khass. Ia menyunggingkan senyum licik. "Um, ya, kalau ia punya masalah yang ingin diselesaikannya dengan bantuan Guru, tentu dia takkan pulang cepat-cepat. Orang itu tampaknya jarang ke Konservatori, apalagi berdoa."

"Itu masalahnya."

"Semua tergantung caramu meyakinkannya. Maksudku, merayunya, mungkin," kata Amar sembari membersihkan tangannya di bejana air yang tersedia. Ia baru saja akan melap tangannya ketika menyadari bahwa air di bejana itu sudah mengeruh. Ia mendesah, mengangkat bejana itu, dan mengisyaratkan kepada Khass agar segera keluar.

"Besok kau ada tes resitasi dan hapalan ayat. Jangan sampai mengantuk."

Khass mengurungkan niat untuk tinggal sebentar karena Amar terus menunggunya di ambang pintu. Ah, tidak apalah. Lagipula ia sudah menulis semua yang diingatnya di buku. Amar juga sempat berpesan kepadanya agar hati-hati saat menyelipkan buku itu di mantel. Sebaiknya diselipkan di balik sarung saja, karena lipatan sarung akan menyamarkan bentuknya. Jika Khass terus-terusan melipat tangan di depan dada sementara cuaca tidak terlalu dingin, Kamitua pasti bakal curiga.

Benar saja, ketika Khass pulang ke rumah yang terletak di puncak Konservatori dengan tangan masih terlipat, Kamitua mengawasinya dengan pandangan tajam. Beliau meminta Khass untuk membuka mantel, dan untungnya, Khass sudah memindah posisi buku itu sesuai saran Amar. Meskipun begitu Khass masih ketakutan, dan sebagai cara untuk menyingkirkan kecemasannya, ia berkata, "Kamitua, sebaiknya Debri tidak pulang dahulu."

"Mengapa?"

Khass menelan ludah. Ia menelurkan semua alasan bahwa Debri nampaknya membutuhkan pertolongan Guru dan sebagainya, namun sayang respon Kamitua kembali mengecewakannya.

"Kau tidak boleh memaksa orang jika itu tidak muncul dari keinginannya sendiri," kata Kamitua. Khass baru saja akan menimpali, namun Kamitua segera mengangkat tangannya. "Kita memang penolong, dan itulah kewajiban kita. Namun, kita tidak serta-merta menarik semua orang yang nampak kesusahan. Tuhan tidak mengabaikan makhluk-makhluk-Nya, Khass. Ketika mereka mendapat wahyu melalui mimpi-mimpi, mereka akan datang dengan sendirinya kepada kita, atau kitalah yang akan menjemput mereka, dalam berbagai cara yang tentu tidak direncanakan, melainkan melalui pertemuan yang telah dicanangkan oleh Tuhan."

Khass membutuhkan waktu yang lama untuk merespon, maka Kamitua menyimpulkan sembari menghela napas panjang. "Debri belum mendapatkan waktunya."

Kamitua benar. Khass tidak lagi bertanya dan memohon diri untuk segera tidur. Gara-gara itu, pikirannya selalu dihantui bahkan hingga waktu tes keesokan harinya. Ia menyesal karena tidak bisa menghapal tiga bait terakhir doa penyembuhan gangguan hati. Guru pengajarnya meminta Khass untuk tinggal kelas, dan itu berarti ia tidak bisa menemui Debri dahulu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top