27. Erangan Epilog

Bab terakhir buku satu. Happy reading. ^^


--------------------

16, Bulan Puncak. Tahun 1927.

Dokter Antellina menyusuri lorong berdinding beton dengan kegembiraan membuncah. Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun, ia mendapatkan pasien yang benar-benar menarik. Tidak sekadar pecandu, atau penanggung sel vehemos yang tidak cocok di tubuhnya. Tidak! Lebih daripada itu semua.

Keletak ujung sepatunya menggaung rendah, sempat bersahutan dengan derap seorang perawat yang berlari melewatinya. Wajahnya bersimbah peluh, dan dengan panik perawat itu berteriak ke pos di ujung lorong. "Lagi!" serunya. "Bawakan yang kemarin!"

Oh, Antellina makin tidak sabar! Jemarinya menggenggam erat berkas tipis di pelukan. Sebentar lagi. Sebentar lagi ia akan menemui pasien barunya yang berada di balik ujung pintu ganda di depan. Ia hanya perlu mempercepat langkah, meraih gagang pintu dan mendorongnya pelan, lalu memasuki sebuah ruang temaram dengan jendela raksasa di salah satu sisi. Jendela itu menghadap ke sebuah lapangan tertutup, tetapi itu bisa ditengok nanti. Antellina perlu mengobrol dengan kepala penjara yang tengah duduk menghadap jendela dengan pandangan kosong. Ketika sang dokter melangkah masuk, kepala penjara otomatis beranjak tegak. Kelegaan membanjiri ekspresi pucatnya yang tak tertolong.

"Salaam, Tuan Dane." Dokter Antellina tersenyum sopan.

"Oh ... Salaam, Lady! Senang Anda akhirnya datang kemari." Sang kepala penjara menjabat tangannya dengan cepat. Gemetaran. Pria tua malang ini tak mampu menanggung beban penglihatan akan apa yang belum nampak di wawasan pandang dokter Antellina. Tetapi satu yang jelas, alat pengeras suara di pojok-pojok dinding dimatikan.

"Anda datang lebih cepat daripada yang saya duga," gumam Dane. "Pasien Anda belum selesai bersantap."

"Tidak masalah. Justru aku kemari untuk mengenalnya lebih jauh. Maksudku, dengan mata kepalaku sendiri!" kata Antellina, dan kekehannya membuat sang kepala penjara ikut memaksakan tawa. "Omong-omong aku tidak sendirian. Apa kau keberatan jika ayahku datang kemari? Dia ingin tahu betul dengan pasienku, dan aku tidak bisa menahannya. Kau tahulah, orang tua."

Wajah Dane tak bisa lebih pucat daripada sekarang. "O-oh, ayah Anda, Lady? Tentu ... tentu, apa pun itu. Keluarga Anda bisa datang kapan pun, termasuk ayah Anda, tetapi dengan penuh hormat saya memohon agar pasien bisa lebih tenang ... waktu santapnya akan berakhir selepas ini."

Antellina mencatat sesuatu pada pojok berkasnya. Mengatur ulang waktu bersantap. "Tak masalah! Kebijakan tergantung pada fasilitas yang menaunginya. Tetapi aku adalah psikiater yang bertanggung jawab atas pasienku, jadi kuharap kita bisa menegaskan beberapa peraturan tambahan setelah aku bertemu dengannya. Bagaimana?"

"Tentu, Lady."

"Dan tolong, panggil aku dokter." Antellina tersenyum. "Aku hanya psikiater di sini."

Dane mengangguk patuh. Ia mengelap bagian bawah hidung dengan gugup sementara Antellina membuka-buka berkasnya. Ia mencoba memastikan lagi informasi yang tercatat mengenai pasien barunya, tetapi ... oh! Rasanya tak perlu. Antellina niscaya telah menyerap semua informasi ini bagai data identitasnya sendiri. Ia mampu menyebutkan berapa ukuran sepatu Rayford Caltine, panjang jemarinya, atau jenis makanan apa yang akhir-akhir ini disantapnya sebelum didaftarkan ke fasilitas. Antellina menghapalnya di luar kepala, bahkan lebih daripada kebiasaan anak-anaknya di rumah.

Rayford Caltine memang spesial, dan Antellina ingin menyayanginya lebih daripada tiga anak kandung yang dibangga-banggakan suami payahnya.

Antellina sudah tahu, sehingga ketika pintu ruangan dijeblak dan muncul perawat yang panik tadi, dia tidak melonjak kaget seperti si kepala penjara. Dane memelototinya, mengisyaratkan agar lebih sopan karena kehadiran seorang psikiater, namun si perawat tak menggubris. Matanya berair dalam ketakutan.

"Pak, waktu makannya sudah habis, tetapi pasien meminta lagi."

"Jangan boleh." Dane terperangah. "Tahan dia."

Perawat itu bergeming. Selama sesaat dia bertahan di tempatnya, teramat ragu dengan usul yang diberikan bosnya.

"Apa yang kau lakukan? Cepat!"

"Tidak ... tidak ada yang berani, pak. Mohon maaf."

"Aduh! Maaf, La—maksudku, dokter Antellina. Saya akan turun dulu untuk memastikan situasi pasien."

"Oh, biarkan aku ikut." Antellina tersenyum, dengan sukacita membuntuti kedua pria keluar dari ruangan, berbelok ke pintu lain yang berujung pada tangga besi yang mengarah ke lapangan tertutup. Alih-alih berderap, mereka menuruni tangga dengan begitu hati-hati seolah tak ingin menimbulkan suara, menyaingi berisiknya kecap lidah dan seruput menjijikkan yang bergaung di ruangan. Pada sisi lain aula terdapat tiga tentara bersenjata yang menempati sebuah balkon kecil. Mereka berusaha keras menahan muntah yang tertahan di balik bibir pucat yang mengatup rapat. Aroma anyir dan lemak menggelayut pekat di udara.

Semua itu gara-gara Rayford Caltine yang menenggelamkan wajah pada potongan perut seorang terdakwa mati. Rambut hingga ujung kakinya basah oleh darah dan sedikit baluran pecahan lemak. Potongan tubuh berceceran di sekitar Rayford, tenggelam dalam lautan darah yang berkecipak di bawah langkah kaki. Iblis sekalipun malu dengan cara makannya yang berantakan, dan para Guru takkan pernah mau mengakui bocah ini menjadi bagiannya, bahkan sejak kelahirannya dahulu.

Rayford mendongak dan, dengan mata pucat yang berair, mengerang jengkel. "Aku masih haus!"

Dane menelan ludah di samping Antellina. Ia menggumamkan nama Tuhan, dan memekik saat Rayford berlari ke arah mereka. Beruntung bocah itu terpeleset, sehingga ia terduduk di kedua lututnya tepat di depan Antellina. Para tentara bahkan tidak sempat mengacungkan senjata mereka.

"Wahai Lady, tolong aku." Rayford terisak. Air mata menggenang di pelupuk, siap menyingkirkan noda darah berlemak di pipinya yang memualkan. "Aku masih haus. Anda tahu itu."

Antellina tersenyum. Bocah ini memanggilnya Lady. Apakah dia sudah tahu kalau Antellina bakal menjadi psikiaternya? Entah siapa pun itu yang membocorkannya, pantas mendapat balasan setimpal. Tetapi itu perkara nanti. Antellina merasakan kegembiraan yang gundah di dalam dirinya, menekan sanubari untuk ditumpahkan melalui sebuah pelukan hangat. Namun Antellina tak mau pakaiannya dilumuri lemak. Maka dengan lembut ia menyeka rambut Rayford yang menjuntai lengket di dahinya.

"Bersantapnya berhenti dulu ya?" bisik Antellina lembut. "Nanti, kalau kau merasa haus sampai-sampai ingin mati, aku akan memberimu darah yang lebih enak, terhidang di gelas, dan tidak berantakan seperti ini. Ya?"

Bibir Rayford membentuk lengkung jelek. Bahunya gemetaran karena menahan tangis dan kekecewaan yang meluap. Meski begitu Rayford tidak menyangkal. Ia merosot ke lantai dan menjilat noda darah di lengannya.

Antellina mengedikkan dagu kepada Dane. "Sebaiknya itu cepat dibersihkan," katanya, otomatis menggerakkan semua pria di ruangan untuk menyingkirkan potongan mayat yang berserakan di lapangan.

"Ayo, Rayford." Antellina mengulurkan tangan kepadanya. "Bergegaslah mandi agar tubuhmu bersih! Setelah itu kita akan mengobrol. Ayahku juga ingin bertemu denganmu. Kau takkan keberatan untuk menemuinya, kan?"

Rayford mengangguk sembari mengisap ujung-ujung kukunya. Tanpa banyak protes, ia membiarkan Antellina mendorong punggungnya dengan lembut ke luar ruangan.

Ah, kalau Rayford tidak menolak, maka dia belum tahu siapa Antellina sesungguhnya. Sang Lady akan membiarkan siapa pun yang terselip mengatakannya kepada Rayford, kalau begitu. Si bocah belum tahu apa-apa yang penting tentangnya, dan itu cukup. Antellina sendiri yang harus memperkenalkan dirinya dengan resmi.

+ + +

"Kau boleh memanggilku Bibi," kata Antellina memulai, dan setelah Rayford mengangguk ragu, sang dokter membuka berkasnya kembali. "Jadi ... aku akan membacakan sedikit informasi tentangmu, dan kau bisa menyangkal jika ada yang salah, ya? Namamu Rayford Caltine, benar? Usia lima belas tahun, lahir pada tanggal tujuh di Bulan Air ... benar? Bagus. Keluarga terdekatmu adalah seorang kakak laki-laki tiri yang berbeda lima tahun, yakni Caellan Caltine. Terhubung oleh ayah yang bernama Aland Caltine, dan terlahir dari ibu yang berbeda."

"Ya."

"Dan ... ah, tidakkah kau merasa catatan di sini terlalu formal?" Antellina tersenyum. Ia menutup berkas dan meletakkannya di meja. Rayford, yang duduk di seberang dengan rambut basah yang wangi dan pakaian khas pasien rehabilitasi, melirik berkas itu dengan penuh rasa penasaran. Antellina mengawasi tiap gerik kecilnya dengan hangat.

"Aku punya satu adik, Rayford," katanya tiba-tiba. "Dia juga sedikit aktif sepertimu dan begitu berbeda dari kami para saudaranya. Dia memang sepuluhan tahun lebih tua darimu, tetapi aku yakin kalian akan bertemu suatu saat. Aku yakin itu."

"Apa dia di sini?"

"Oh, tidak." Antellina tertawa kecil. "Adikku Anthoniras sedang bersekolah, dan kukatakan kepadamu, sekolah itu teramat baik dan menakjubkan! Aku juga yakin kau akan bersekolah di sana ... dan katakan, menurut informasi yang kuhimpun, kau belum pernah bersekolah secara formal. Apakah itu benar?"

Rayford selama sesaat bingung menanggapinya. "Um, ya," jawabnya. Jemarinya dengan gelisah meremas lutut. "Saya belajar seumur hidup di desa perguruan. Seharusnya, saya baru bisa memasuki sekolah formal khusus para Guru kalau sudah akil balig."

"Bukankah sekarang usiamu sudah memasuki tahap akil balig?"

Rayford mengangguk lemas dan, sebagai pendukung, matanya berkaca-kaca. "Apakah ... apakah Anda juga tahu apa yang terjadi pada desa saya?"

Antellina beranjak. Ia menghampiri bocah itu, duduk di sampingnya untuk berinteraksi lebih leluasa. Jemari lentiknya mengusap pipi Rayford yang sudah merona segar kembali. "Tidak ada yang lebih tahu daripadamu, Rayford, tetapi yang kuharapkan adalah ketenangan dirimu. Sekarang, kita akan mengobrol secara santai, oke? Aku ingin mengenalmu lebih jauh, dan tentu kau juga pasti penasaran siapa aku. Apa kau tahu namaku?"

Rayford menggeleng. Sedikit mengejutkan.

"Namaku Antellina Roschad," katanya, "dan aku sangat senang memiliki kesempatan untuk menemanimu sepanjang waktu yang kau butuhkan, Rayford. Kau tahu, aku tidak bertempat tinggal di Nordale. Aku berasal dari nun jauh di luar negeri, tetapi aku kemari demi engkau! Sebab, kau tahu, kau adalah bocah yang sangat baik lagi menarik. Aku menyukaimu segera setelah aku mengenalmu."

Rayford menunduk malu. "Terima kasih atas kepedulianmu, Bibi."

"Oh, jangan formal begitu, nak." Antellina meraih pundaknya dan meremas dengan lembut. "Omong-omong, ayahku telah menanti. Apa kau mau menemuinya sekarang, Rayford? Dan kusarankan begitu, sebab semakin cepat kau menemu ayahku, akan semakin baik. Aku memang bertanggung jawab atas penyembuhanmu, tetapi ayahku punya hampir semua jawaban dari segala pertanyaanmu."

Rayford menatapnya heran. "Ayah Anda pasti psikiater yang hebat."

Antellina hanya tersenyum sebagai respon, lantas beranjak ke satu-satunya pintu di ruang duduk. Ia membuka pintu untuk mempersilakan sang ayah memasuki ruang. Rayford terus menambatkan pandangan pada pintu dengan bertanya-tanya, selagi Antellina memilih sebuah piringan hitam untuk diputar.

Ketika ayah Antellina muncul, Rayford seketika merasakan tekanan menyesakkan di dadanya. Padahal, sumpah, ia tidak mengenal pria itu! Namun, sesuatu tentang ayah Antellina—yang kini menutup pintu dan mengunci—membuat benak Rayford bergejolak hebat.

Sungguh, tak ada yang nampak begitu spesial dari beliau. Ia hanyalah pria jangkung, dengan wajah belia yang lebih pantas disebut sebagai saudara kembar Antellina. Wajahnya bersih, tampan, dengan janggut yang dipangkas rapi dan rambut hitam legam yang diminyaki. Pakaiannya nampak sangat mahal dengan jas panjang berekor, tersemat kuncup protea dan bakung gunung di sepanjang kerah jas beludrunya.

Bakung gunung. Rayford sering melihat bunga itu di berbagai tempat ... tetapi ia tak mengingatnya. Di mana? Dan, tidak, Rayford tidak melihatnya dalam rupa tanaman yang segar. Ia melihat bakung gunung itu pada emblem, pin perak, patung, panji-panji raksasa yang berkibar di situs, atau ....

"Salaam, Rayford Caltine," sapanya, mengejutkan Rayford. "Senang akhirnya aku bisa bertemu denganmu."

Rayford bahkan tak bisa menjawab salamnya. Betapa pun bibirnya ingin membuka untuk membalas sapaan itu, tak ada suara yang mampu keluar. Rayford terpaksa membalasnya di dalam hati dengan lantang, kendati tak ada yang lebih berisik daripada jeritan-jeritan asing di dalam benaknya, meronta-ronta memohon pemisahan jarak dengan pria memesona ini.

"Rayford, sapa ayahku." Antellina mengingatkan dari sisi lain ruangan. Ia tengah menuangkan air ke cangkir-cangkir porselen yang bermotif liukan rumit. "Dia cuma bisa datang sekarang dan barangkali kau akan susah menemuinya kelak di kemudian hari."

Rayford tak mendengarnya. Segala sesuatu tentang pria ini begitu mencekam di mata Rayford yang pucat. Ayah Antellina adalah sosok yang ... entahlah, Rayford bahkan tak kuasa memikirkan kata-kata yang tepat.

Hingga, pria itu duduk di sebelahnya dan mengulurkan tangan dengan riang. "Andres Alvaguer," katanya, menegaskan kengerian yang menyiksa Rayford malang.

Rayford memang tidak tahu banyak tentang dunia luar, tetapi bahkan bayi sekalipun sudah dipaksa mengenali nama Andres Alvaguer ketimbang nama orang tuanya sendiri.

Rayford masih tak sanggup berkata-kata. Tak hanya lidahnya yang kelu, bahkan sekujur tubuhnya lemas tak berdaya sekarang. Ia memandang uluran tangan sang Cortessor yang dibalut sarung tangan. Sadar Rayford tak kunjung menjabatnya, sang kaisar dinasti meraih tangan bocah itu dan menepuk-nepuknya lembut.

"Rayford?" tegur Antellina.

"Tidak apa-apa." Cortessor Alvaguer tersenyum lembut. "Dia kebingungan, aku tahu itu." Kemudian, ia mencondongkan tubuh untuk berbisik kepada Rayford, barangkali hanya bisikan yang mampu menembus ketegangan berlapis-lapisnya. "Kedatanganku mungkin sedikit mendadak dan tanpa pemberitahuan," katanya, dan kendati teramat pelan, niscaya menggaung keras hingga sudut tergelap di benak Rayford. "Tetapi kau adalah anggota dinasti terbaru yang bergabung dengan kami, Nak. Tak ada yang ingin kutemui lebih darimu, dan aku di sini untuk menyambutmu."

"M-menyambut saya?" Rayford mencicit.

"Tentu saja. Kau kira, mengapa aku meminta Jenderal Arial untuk turun tangan mencarimu dan mengerahkan banyak orang, sementara engkau bukanlah satu-satunya penyintas, dan Jenderal Arial bukanlah pengangguran?" Senyum Cortessor sesungguhnya mengandung keinginan untuk menertawakan rahasia itu, namun Rayford tidak menangkap maksudnya. Otaknya serasa lumpuh dan tenggorokannya tercekat.

Rayford sama sekali tidak tahu. Jadi, selama ia mengikuti Par untuk mencari Desmond, sisi lain negeri Nordale tengah ribut menjadikannya seorang buronan?

Ini gara-gara Par!

Entah bagaimana, tubuhnya secara otomatis merosot turun dari sofa dan bersimpuh. Sang kaisar dinasti terperangah melihat sikapnya. "O, Yang Mulia, tolong maafkan saya! Ampuni saya, dan kakak saya Caellan! Kami ... kami hanya—"

"Rayford! O astaga, berdirilah, Nak!" Antellina menghampiri dengan cepat. Ia berusaha menarik sang bocah untuk kembali bangkit, namun wajah Rayford yang pucat telah bersimbah air mata.

Cortessor menatapnya dengan kalut. "Kau tidak salah apa-apa, Rayford," ujarnya pelan. "Dan jika ada yang harus meminta maaf, maka akulah yang seharusnya meminta maaf kepadamu."

Rayford tidak paham. Bagaimana bisa seorang kaisar dinasti meminta maaf pada bocah berdosa sepertinya? Rayford bahkan takut untuk mengaku sebagai Guru Muda lagi. Dia telah membunuh beberapa pejabat yang notabene adalah afiliasi dinasti, menggorok sekumpulan tentara, dan membuat keluarga walikota Woodand ditangkap. Bagaimana bisa sang Cortessor justru meminta maaf atas jatuhnya kedudukan Rayford di mata Tuhan?

"Kau sudah terlalu lama lepas dari kehidupan dinasti," Cortessor termangu. "Kau, dan kakakmu. Kalian akan mengalami adaptasi yang cukup berat setelah ini, tetapi ... ah, kita bisa bicarakan itu nanti." Sang Cortessor menoleh kepada Antellina. "Jangan khawatir. Lanjutkan saja mengaduk tehnya, Nak," perintahnya, yang disanggupi Antellina dengan agak enggan. Demi Tuhan, cengkeraman wanita itu begitu erat di bahu Rayford, sampai-sampai terasa kukunya menembus pakaian rehabilitasi yang cukup tipis.

"Pertama, Rayford," kata sang Cortessor lembut. "Satu hal yang perlu kau ketahui sebagai Cortessian—anggota dinasti—bahwa aku tidak pernah berniat untuk melakukan keburukan padamu. Apa pun yang kau dengar tentang kami, biar kuluruskan segalanya untukmu; Dinasti Cortess tidak seperti apa yang kaudengar. Kurang lebih." Sang kaisar berhenti sejenak, memberikan waktu bagi Rayford untuk menyeka air mata dan meresap ucapannya dengan saksama. Menyadari ketenangan yang kembali hinggap pada sang bocah, Cortessor Alvaguer tersenyum lebar. "Jadi, maukah kau mengosongkan segala dugaanmu tentang Cortess, dan mendengarnya secara langsung dariku yang sudah memerintah selama delapan puluhan tahun?"[]



----------------

ffs when sh*dow and b*ne got released, I was excited af because the Darkling looked exactly how I always pictured Cortessor in my head.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top